Abdoel Moeis: Tokoh Dibalik Berdirinya ITB

Dipi76

New member
abdul-muis.jpg

Pada tahun 1913 di Hindia Belanda muncul suatu gagasan tentang pembentukan “Indie Weerbaar” (Pertahanan Hindia) yaitu milisi paruh waktu yang terdiri atas orang-orang bumi putera, karena milisi merupakan kekuatan pertahanan yang lebih murah daripada memperbesar pasukan professional. Namun demikian ide tentang pembentukkan “Indie Weerbaar” ditolak oleh pemerintah Belanda.

Ketika perang dunia I pecah pada tahun 1914 gagasan “Indie Weerbaar” muncul kembali. Boedi Oetomo yang mempunyai cabang-cabangnya di kalangan orang-orang Jawa yang berdinas pada tentara kolonial, bangkit dari tidurnya dan mulai mengkampayekan pembentukkan milisi semacam itu.

Ketika kampanye tentang perlunya suatu milisi pertahanan berlangsung, Sarekat Islam (SI) memunculkan tuntutan yang lain yaitu harus adanya perwakilan bumi putera dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1915 Boedi Oetomo mendukung pandangan SI, sehingga dengan demikian kampanye “Indie Weerbaar” dengan cepat berubah menjadi isu perwakilan rakyat atau Volskraad

Sebagai kelanjutan kampanye Indie Weerbaar, muncul keputusan agar dikirim delegasi ke Negeri Belanda untuk menyampaikan mosi kepada Ratu Wilhelmina, Menteri Jajahan, dan Parlemen Belanda. Utusan terdiri atas enam anggota yaitu Pangeran Ario Koesoemodiningrat (mewakili Prinsen Bond), Bupati Magelang Raden Tumenggung Danoe Soegondo mewakili Regenten Bond, Mas Ngabehi Dwidjosewojo mewakili Boedi Oetomo, Abdoel Moeis mewakili Sarekat Islam, F Laoh mewakili Perserikatan Minahasa, dan W.V Rhemrev. Selain itu, ada seorang pendamping yaitu Dirk van Hinloopen Labberton, seorang tokoh pendukung Politik Etis

Rombongan berangkat ke Negeri Belanda pada bulan Januari 1917 dan tiba di sana pada awal Maret 1917 Sebelum tiba di Negeri Belanda, ketika perjalanan tertunda di Jenewa, Abdoel Moeis bersama Dirk van Hinloopen Labberton sudah menyampaikan gagasan-gagasan mereka dalam berbagai ceramah tentang perlunya percepatan kemandirian Hindia Belanda, meski tetap di bawah pimpinan Negeri Belanda. Untuk itu kemampuan bertahan di bidang militer, intelektual, dan ekonomi sangatlah penting .

Ketika datang di Belanda, mereka diterima dengan sedikit aneh: Untuk memimpin rombongan di Belanda, ditunjuk seorang mentor ; polisi juga ditugaskan untuk mengamat-amati mereka. Para anggota delegasi tidak memiliki kebebasan untuk bergerak sendiri-sendiri. Aturan ketat itu tidak berlangsung lama, beberapa anggota delegasi bergerak sendiri tanpa meminta idzin. (Kaoem Moeda, 28 Juli 1917). Meskipun demikian, secara formal mereka disambut secara simpatik oleh Ratu Wilhelmina, Menteri Jajahan, dan Staten Generaal (Parlemen Belanda)(Poeze, 1986: 113).

Dalam surat kabar Handelsblad yang terbit di Amsterdam, diberitakan tentang acara pertemuan Delegasi Indie Weerbaar yang diselenggarakan oleh perhimpoenan Koninklijke Nederlandsche Vereeniging ,,Onze Vloot” pada tanggal 1 April 1917 di Gedung Concereige Bouw. Dalam berita yang disarikan dalam surat kabar Oetoesan Hindia itu, disebutkan bahwa hadir dalam pertemuan itu beberapa bekas Menteri Kolonial, bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.C. van Heutszt, A.W.F. Idenburg, beberapa anggota parlemen, akademisi,dan para pengusaha.

Menjelang kepulangan ke Hindia Belanda, diadakan pesta besar yang diselenggarakan Jenderal Van Heutsz dan dihadiri oleh para tokoh terkemuka dari kalangan pemerintahan dan dunia usaha. Kemudian diselenggarakan pula satu pertemuan, di mana kalangan usahawan menjanjikan dukungan untuk didirikannya sebuah sekolah politeknik di Hindia (Poeze, 1986: 114).

Dirk van Hinloopen Labberton juga berpendapat bahwa jika ada perang, bumiputera pertama tama mesti melindungi kepentingannya sendiri. Labberton juga menjelaskan bahwa tidak lama lagi oleh usaha pihak partikulir di Hindia, kira kira di Bandoeng, akan didirikan Technische Hooge School (Kaoem Moeda, 16 Juli 1917).

Keinginan untuk mendirikan Sekolah Teknik Tinggi di Hindia Belanda, sebenarnya sudah menjadi pemikiran elite Bumiputera dan sementara pengusaha dan industriawan Belanda di Hindia sebelum 1917. Misalnya dalam Doenia Bergerak No. 18 (1914) sudah muncul tulisan berjudul “Pendapatan hal Techniche Hooge School di Hindia” . Soewardi Soerjaningrat yang ketika itu (1917) masih di Nederland gencar sekali mendukung pendirian Sekolah Tinggi Teknik itu. Akhirnya dengan kedatangan delegasi Indie Weerbaar, khususnya Abdoel Moeis berupaya melakukan negosiasi hingga berhasil dengan disetujuinya pembentukan komisi untuk pendidikan teknik di Hindia oleh Ratu Belanda dan 14 pengusaha Belanda yang memberikan dukungan penuh secara finansial Pada tahun 1920, sekolah yang diimpikan itu berdiri di Kota Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS).(Koloniale Studien 1917-1918, hal. 158).

Menurut keterangan puterinya, Dr. Diana Moeis, ayahnya pernah bercerita bahwa lokasi THS yang sekarang disebut sebagai Intitut Teknologi Bandung itu usulan ayahnya. Pembangunan gedung THS, juga mendapat masukan dari Abdoel Moeis, yang menginginkan agar ada unsur pribumi diterapkan dlm bangunan tsb. Jadilah, atap gedung yang disebut Aula Barat itu sekarang, berbentuk seperti atap rumah gadang di Sumatra Barat.
 
Siapa Abdoel Moeis ?

Buat “urang Bandung”, Abdoel Moeis identik dengan terminal Kebon Kelapa. Ada jurusan Abdoel Moeis-Elang, Abdoel Moeis-Cicaheum, Abdul Moeis-Ledeng, Abdoel Moeis-Dago. Memang bila dilacak sejarah kota Bandung, di sekitar Kebon Kalapa itu sempat menjadi tempat diam tokoh perjuangan Abdoel Moeis. Selain itu di sekitar Kebon Kalapa ini terdapat rumah Inggit Garnasih, isteri kedua Bung Karno. Sehingga di sekitar Kebon Kalapa pun terdapat nama jalan Inggit Garnasih, yang kadang disebut jalan Pungkur.

Abdoel Moeis dilahirkan pada 3 Juli 1883 di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya pada sekolah Belanda tingkat persiapan Sekolah Stovia di Bukittinggi, Abdoel Moeis kemudian menuju Bandung dan tinggal lama di kota ini. Dan atas bantuan Mr. Abendanon dapat bekerja di Departemen Pengajaran dan Keagamaan antara tahun 1903-1905. Kemudian ditempatkan di Bank Rakyat. Kemudian keluar karena melihat kasus pungutan liar yang dilakukan lurah dan kaum priyayi rendahan terhadap orang-orang desa (Deliar Noer, 1995:122-123). Abdoel Moeis mengawali aktivitas dalam dunia pers dengan memasuki Koran berbahasa Belanda, Preanger Bode. Waktu itu Abdoel Moeis berkedudukan sebagai korektor naskah-naskah yang masuk (Soebagidjo IN, 1981; Deliar Noer, 1995).

Kemudian bersama Soewardi Soerjaningrat dan A.Widnjadisastra mendirikan Koran Hindia Sarekat, 50% penghasilan dari Koran itu dimasukan untuk kas Sarekat Islam, karena mereka termasuk pimpinan Sarekat Islam (SI) lokal Bandung yang berdiri sejak tahun 1912. Selain itu Abdoel Moeis pun mengelola Koran Kaoem Moeda yang juga menjadi corong perjuangan SI juga terbit di Bandung. Merupakan Koran pertama yang mengenalkan rubrik “Pojok” sejak tahun 1913-an.

Abdoel Moeis pun kemudian terlibat dalam Komite Boemi Poetra bersama Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Soewardi Soeryaningrat dalam menentang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol. Karena merayakan kemerdekaan di tanah yang dijajahnya. Ketika pecah Perang Dunia I (1914-1918), tepat tahun 1915 Abdoel Moeis sudah menjadi salah satu pimpinan Central Sarekat Islam sebagai Commisaries (APE Korver, 1985: 220).

Nyaris sebagian besar masa mudanya ia baktikan untuk perjuangan, bergerak melalui Sarekat Islam (SI) pimpinan Tjokroaminoto. Bersama Soewardi Soejaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, Abdoel Moeis menduduki posisi tinggi di kepengurusan SI Jawa Barat. Dan mulai April 1914 hingga beberapa tahun ke depan, Moeis dipercaya menjadi wakil ketua Central Sarekat Islam (CSI, pengurus pusat SI) mendampingi Tjokroaminoto. Dengan cepat, Moeis menjelma menjadi sosok intelektual yang berpengaruh. Pada Kongres Sarekat Islam diadakan pada 1916, ia menganjurkan agar SI bersiap-siap menempuh cara kekerasan menghadapi Belanda jika cara lunak sudah tidak mempan.

Abdoel Moeis terkenal sebagai orang yang selalu membela kepentingan rakyat kecil. Ia sering berkunjung ke daerah-daerah untuk membela rakyat kecil sambil membangkitkan semangat para pemuda agar semakin giat berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia. Moeis juga tidak sepakat dengan penamaan Hindia Belanda. Baginya, Hindia Belanda menjelaskan sebuah hubungan dari Belanda atas Hindia yang didasari atas kepemilikan dan dominasi. Tipe hubungan yang sama juga diekspresikan oleh kata “daerah jajahan” yang digunakan bagi Hindia. Moeis kemudian memberi makna politis dalam bentuk Hindia yang harus merdeka.

Kemerdekaan bangsa Indonesia memang merupakan impian terbesar Moeis. Pemikiran nasionalismenya ini ia tuangkan di pelbagai kesempatan, termasuk dalam pidato-pidatonya dan tulisan-tulisannya di media massa.

Simak nukilan salah satu pemikiran Moeis :

“Selama bumiputera tanah Hindia belum memunyai kebangsaan dan tanah air sejati, maka perasaan cinta pada tanah air dan bangsa itu harus dibangunkan dalam kalbu bumiputera itu. Selama bumiputera tanah Hindia belum mendapat kemerdekaan, maka lebih dahulu ia harus memunyai sifat yang tersebut di atas. Segala pergerakan bumiputera haruslah berikhtiar membangunkan perasaan ini, karena dengan alasan itu saja suatu bangsa akan bernafsu memajukan negerinya, mengangkat derajat bangsanya.”

Moeis juga berharap orang Indonesia bisa mencontoh Amerika yang kendati bukan merupakan bangsa yang terlahir dari asal-usul yang sama namun mereka dapat berbangga hati dengan benderanya, atau dengan lagu-lagu kerakyatannya. Sedangkan bangsa Indonesia tidak bisa merasakan hal yang sedemikian karena bendera Hindia adalah bendera Belanda, dan kaum pribumi tidaklah punya lagu-lagu kebangsaan. “Jadi patutlah kita mencari jalan lain buat membangunkan percintaan itu kepada bangsa dan tanah air. Salah satu daripada jalan itu, menyertai jalan-jalan yang lain, diturut oleh segala perkumpulan-perkumpulan bumiputera, timbangan saya adalah ilmu,” lanjut Moeis menawarkan solusi bahwa dengan memiliki banyak ilmu dan pengetahuan akan bisa membangun perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa.

Mengenai gagasan kebangsaan Indonesia sebagai salah satu bentuk penyadaran nasionalisme bumiputera, Abdoel Moeis berkata:

“Yang menjadi tujuan daripada perhimpunan kaum pribumi itu adalah memerbaiki nasib kaum bumiputera. Sedangkan bila ia melihat lebih jauh maka tidak dapat tidak akan nampak bahwa perhimpunan-perhimpunan tersebut hanya satu tujuannya, yaitu kemerdekaan Hindia.”

Dalam sambutannya pada Kongres Nasional SI Kedua, di Bandung 20-27 Oktober 1917 itu, Abdoel Moeis melanjutkan, “Putera-puteri Hindia tetap mengarahkan pandangannya kepada tujuan yang telah mereka idam-idamkan: melepaskan diri dari belenggu yang mengikat mereka.”

“Yang pertama-tama harus kita miliki untuk usaha yang sukar dan berbahaya ini adalah rasa Kebangsaan, yaitu cinta kepada negara dan sesama bangsa kita. Bila kita renungkan betapa buruknya nasib negara dan sesama bangsa kita yang beratus-ratus tahun terbelenggu oleh orang-orang asing, serasa berdebarlah hati kita, berdiri bulu roma, dan kita merasa kasihan kepada negara dan sesama bangsa kita.”

Di penghujung orasinya, Moeis kembali menegaskan akan pentingnya menumbuhkan perasaan cinta tanah air serta menekankan akan perlunya merapatkan barisan dan menghemat energi untuk kepentingan-kepentingan di dalam terlebih dahulu, meski juga mesti tak abai terhadap perkembangan-perkembangan global. “Untuk memerbaiki rumah tangga seluruh dunia tidak usah kita terlebih dahulu menjadi kaum internasionalis,” pungkas Moeis.

Ketika Perang Dunia I terjadi, bangsa Indonesia pun siap sedia mengatasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Untuk itu, pada 1917, Abdoel Moeis diutus ke Negeri Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan masalah pertahanan bagi bangsa Indonesia. Komite Indie Weerbaar adalah barisan pertahanan Hindia atau biasa dikenal dengan sebutan Milisi Indonesia yang merencanakan akan diberlakukannya semacam wajib militer bagi penduduk pribumi. Kendati rencana Milisi Indonesia itu mendapat reaksi keras dari orang-orang SI Semarang, namun Abdoel Moeis tetap berangkat ke Belanda. Menurut Moeis, dengan masuknya rakyat ke dalam angkatan bersenjata akan mendorong terbentuknya laskar perjuangan yang lebih tangguh, juga dapat dibanggakan di dalam sistem hirarki sosial.

Dalam perjalanannya di dunia politik, Abdoel Moeis pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bersama Tjokroaminoto sebagai wakil dari SI. Di forum Volksraad inilah Moeis dengan gencar mengecam penamaan Hindia Belanda untuk wilayah nusantara. Ia adalah salah satu penggagas lahirnya nama Indonesia. Keterlibatan Moeis dan Tjokroaminoto dalam Volksraad ini juga ditentang oleh Semaoen, Darsono, dan anggota SI Semarang lainnya. Akan tetapi Moeis berpikiran lain, bahwa Volksraad menyediakan arena baru bagi pergerakan untuk menggerakkan harapan-harapan kaum muda. Dengan Volksraad pula, suara bumiputera akan bisa lebih terakomodasi dalam rangka mewujudkan tujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri bagi Hindia.

Pertentangan di tubuh internal SI sendiri sudah cukup parah. Orang-orang SI Semarang yang digalang oleh Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka adalah golongan yang bertipikal radikal. Mereka juga menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet yang merupakan cikal-bakal partai beraliran komunis di Indonesia. Golongan non-komunis, yang dimotori oleh Abdoel Moeis dan Agus Salim, menentang mereka dengan mengajukan kebijakan disiplin partai: anggota SI dilarang keras untuk menjadi anggota perhimpunan lain. Wacana disiplin partai mulai dibahas pada kongres CSI tahun 1920, serta dipertegas dan ditindaklanjuti lebih jauh pada kongres setahun kemudian.

Soe Hok Gie di dalam bukunya Di Bawah Lentera Merah (Yayasan Bentang Budaya, 1999), mengungkap tiga point penting yang menjadi pokok pangkal perseteruan keduanya. Yang pertama adalah soal agama. Bagi kelompok Moeis, agar agama Islam diperkembangkan melalui partai. Sementara bagi Semaoen, cukuplah agama Islam itu tidak dibelakangkan dari agama lain di Indonesia. Yang kedua adalah soal nasionalisme. Kelompok Moeis menolak pertuanan (penghambaan-pen) bangsa yang satu oleh bangsa lainnya. Sementara kelompok Semaun menganggap perjuangan melawan kapitalisme adalah yang terpokok. Yang ketiga adalah sikap terhadap kapitalisme. Keduanya sepakat bahwa untuk memeperoleh kemerdekaan diperlukan dana untuk perjuangan. Bagi kelompok Moeis modal boleh dimiliki oleh individu orang Indonesia. Sementara bagi kelompok Semaoen modal harus dikumpulkan pada badan-badan koperasi.

Setelah melalui beberapa pertimbangan, maka diputuskan bahwa usulan tentang disiplin partai diterima dan segera dilaksanakan. Keputusan ini sontak membuat beberapa pihak menolak, yaitu dari SI Semarang. Mereka itu di antaranya adalah Semaoen, Darsono, Mas Marco, Muhammad Kasan, Tan Malaka, yang kemudian mendeklarasikan SI Merah di Semarang. SI Merah lantas berubah menjadi Sarekat Rakyat sebelum diubah lagi menjadi Partai Komunis Hindia dan yang terakhir menjadi Partai Komunis Indonesia atau PKI.
 
Sepertinya Abdoel Moeis tidak pernah kehabisan ide untuk melawan Belanda. Pelbagai cara perlawanan pernah dilakukannya termasuk mengajak kaum buruh untuk melakukan mogok. Pada 11 Januari 1922, ia memimpin pemogokan buruh di Yogyakarta akibat adanya pemecatan pekerja pribumi secara sepihak oleh pemerintah. Moeis adalah ketua Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera (PPPB). Aksi mogok yang dipimpin Moeis dengan cepat meluas ke luar Yogyakarta. Dalam waktu dua minggu, sekitar 1.000 orang buruh pegadaian di Karesidenan Cirebon, Kedu, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kediri, serta Surabaya mengadakan aksi mogok kerja secara massal.

Pemogokan besar-besaran ini jelas membuat pemerintah kolonial kelabakan dan mengajak Abdoel Moeis untuk berunding. Moeis menuntut dibatalkannya pemecatan buruh dan meminta pemerintah membentuk suatu komite penyelidik ketidakpuasan para buruh pegadaian. Permintaan ini ternyata tidak digubris pemerintah sehingga membuat Moeis geram dan menggalang pemogokan dengan jumlah massa yang lebih besar. Pemogokan pekerja pribumi menurut Abdoel Moeis adalah sebuah bentuk perjuangan nasional. Akibatnya, pada 8 Februari 1922, Moeis ditangkap dan diasingkan ke Garut. Penangkapan Moeis membuatnya tidak bisa terjun lagi ke arena pergerakan nasional sehingga ia memutuskan untuk banting setir menjadi petani di tempat pembuangannya itu.

Selain bergerak di lapangan fisik, Abdoel Moeis juga berjuang melalui tulisan-tulisannya. Namanya mulai dikenal oleh masyarakat ketika artikelnya yang banyak dimuat di harian De Express selalu mengecam tulisan orang-orang kolonialis Belanda. Setelah De Expres dilarang terbit akibat artikel keras Soewardi Soerjaningrat “Als Ik Ees Nederlander was” pada 1912, Moeis bekerja di suratkabar Kaoem Moeda sebagai redaktur serta mengurusi masalah-masalah penerbitan dan pemasaran. Moeis juga masuk ke keredaksian Oetoesan Hindia, organ internal SI, pada 1915 serta tercatat pula sebagai redaktur di majalah Hindia Sarekat. Pengalaman jurnalistik Moeis diperoleh ketika ia bekerja untuk suratkabar berbahasa Belanda, Preangerbode.

Pada 8 September 1917, ia bergabung dengan Neratja sebagai pemimpin redaksi. Tulisan-tulisan Moeis menjadi pemantik perlawanan kepada pemerintah kolonial. Komitmennya atas perbaikan nasib pribumi melekat pada karya yang ia tulis. Moeis juga memimpin perusahaan periklanan NV Neratja yang terutama mengiklankan perusahaan-perusahaan gula. Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat (asosiasi pabrik gula) Hindia Belanda. Hasil usaha Neratja digunakan juga untuk mendirikan perusahaan periklanan dan penerbitan di Sumatera Timur.

Di samping terkenal sebagai aktivis pergerakan, pejuang intelektual, juga pegiat pers perjuangan, Abdoel Moeis juga kesohor sebagai sastrawan kenamaan Indonesia. Karya sastra yang berjudul “Salah Asuhan” yang sangat legendaris itu merupakan salah satu dari karyanya yang paling monumental. Salah Asuhan diterbitkan oleh badan penerbitan negara, Balai Pustaka.

*****

Republik telah beberapa waktu berdiri. Hingar-bingar kebebasan menggema di mana-mana. Di pelosok di Garut Jawa Barat, seorang petani tua lebih suka berteriak mengusir burung-burung yang menyambangi padinya ketimbang ikut bersorak merayakan kemerdekaan. Ia menyadari bahwa ia sudah renta. Bukan masanya lagi ikut-ikutan berjingkrak selayaknya para pemuda revolusioner. Padahal siapa sangka, orang tua itu adalah salahsatu penyumbang utama pembentukan Indonesia sebelum ia memilih untuk menyepi. Petani tua itu bernama Abdoel Moeis, pejuang intelektual yang cukup kondang kiprahnya di era pergerakan nasional…

Tetapi, belum lama Indonesia berdaulat, Belanda balik lagi. Masih menyalanya bara juang di hatinya membuat Moeis akhirnya tergerak juga untuk turun gunung, kembali beraksi meski tidak bisa seofensif dahulu. Maka didirikanlah Persatuan Perjuangan Priangan, suatu persatuan perjuangan untuk memertahankan kemerdekaan. Laskar perjuangan ini ia pimpin dengan segenap hati sebagai pengabdian pamungkasnya terhadap Republik Indonesia hingga akhirnya Moeis menutup mata di Bandung pada 17 Juni 1959. Abdoel Moeis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

Referensi :

1. Siapa Penggagas ITB ?, (dari milis itb75), Prof. Dr. Nina H. Lubis
2. Untuk Kemerdekaan Hindia, Iswara N Raditya
3. Abdoel Moeis dan Press Pribumi, Syafaat R Slamet
4. http://serbasejarah.wordpress.com



-dipi-
 
Back
Top