Kekerasan di Sulawesi Tengah

Mrs_Sumart1

New member
(New York, 4 Desember 2002) ? Kekerasan yang melanda Sulawesi Tengah saat ini adalah
akibat langs ung dari kegagalan pemerintah Indonesia menghukum para pelaku penyerangan dan
melindungi masyarakat di propinsi tersebut sejak 1998, demikian menurut sebuah laporan baru
yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch hari ini.
Sekitar 1.000 orang diperkirakan tewas dan lebih dari 100.000 orang mengungsi setelah
kekerasan antara umat Kristen dan Islam meledak di wilayah Poso, Sulawesi Tengah pada
Desember 1998.
Laporan setebal 48 halaman yang berjudul Breakdown: Four Years of Communal Violence in
Central Sulawesi (Porak Poranda: Empat Tahun Kekerasan Antarkelompok di Sulawesi Tengah),
mengatakan bahwa aparat keamanan menutup mata terhadap kekerasan yang dilakukan kedua
belah pihak, termasuk serangan oleh milisi Laskar Jihad. Human Rights Watch mengingatkan
bahwa tidak adanya hukuman terhadap penembakan, peledakan bom dan serangan akan
mengancam kelanjutan deklarasi damai yang ditandatangani setahun lalu.
?Sejumlah pemerintahan Barat ingin memperkuat hubungan dengan militer Indonesia untuk
memerangi terorisme, tapi nyatanya militer bahkan tidak dapat mengontrol konflik yang terjadi
di beberapa bagian negeri itu,? kata Brad Adams, Direktur Eksekutif Divisi Asia dari Human
Rights Watch. ?Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan memberi lebih banyak senjata dan
pelatihan. Seharusnya yang diperhatikan adalah reformasi.?
Berawal dari perkelahian antara pemuda empat tahun lalu, kelompok-kelompok Islam dan
Kristen melakukan serangan terhadap pemukiman dan desa lain, dan membentuk lingkaran
kekerasan yang terus berulang. Aparat keamanan gagal menghentikan serangan-serangan
tersebut, dan jika bertindak, kadang justru memperparah keadaan dengan menembaki kerumunan
dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Kejahatan yang terburuk pun tidak pernah dihukum, dan ledakan kekerasan yang terus terjadi
terkait dengan tidak adanya penangkapan terhadap pelaku kekerasan sebelumnya. Pengadilan
terhadap beberapa kasus sejauh ini menjatuhkan hukuman yang tidak konsisten dan berlangsung
seperti sandiwara yang justru memicu ketegangan lebih lanjut, demikian laporan Human Rights
Watch.
Penempatan polisi atau militer secara efektif dan tidak bias, dengan sistem peradilan yang dapat
menuntut tanggung jawab pelaku secara baik sebenarnya dapat menghentikan masalah itu sejak
awal, menurut Human Rights Watch.
Perhatian internasional saat ini terpusat pada kerjasama Indonesia untuk memerangi terorisme,
khususnya sejak peledakan bom di Bali pada 12 Oktober tahun ini. ?Jaringan teroris di Indonesia
memang perlu diperhatikan oleh penguasa,? kata Adams. ?Tapi konflik wilayah di Indonesia
merupakan ancaman yang lebih langsung bagi demokratisasi dan perdamaian. Dan konflik
wilayah ini menciptakan kekacauan dan radikalisasi yang justru diharapkan oleh jaringan
teroris.?
Ada dugaan bahwa sebuah kamp pelatihan al-Qaeda pernah didirikan di wilayah Poso.
Laporan Human Rights Watch lebih jauh menggambarkan bagaimana organisasi Islam radikal,
Laskar Jihad, yang pernah terlibat dalam konflik serupa di Maluku, tiba di Poso pada Juli 2001.
Mereka bertemu dengan pejabat setempat dan disambut oleh orang Islam yang merasa bahwa
polisi dan tentara telah gagal memberikan perlindungan bagi mereka. Kedatangan pasukan
dengan persenjataan lengkap dan berpengalaman disusul oleh penghancuran desa-desa Kristen
pada akhir 2001. Walaupun skala kekerasan mulai menurun setelah penandatanganan Deklarasi
Malino pada Desember 2001, keputusan milisi untuk menetap di Poso menjadi penghalang bagi
proses perdamaian.
Saat tekanan terhadap kelompok Islam radikal mulai meningkat setelah peledakan bom di Bali,
pimpinan Laskar Jihad mengumumkan pembubaran organisasi tersebut. Mereka menyatakan
bahwa keputusan itu dibuat berdasarkan alasan-alasan internal sebelum peledakan bom terjadi,
yang memang tidak dikaitkan dengan kelompok tersebut. Tak lama kemudian sebuah kelompok
lain, Front Pembela Islam (FPI), membuat pengumuman serupa di Jakarta. Para pemimpin kedua
kelompok saat itu sedang didakwa melakukan tindak kejahatan dan sejumlah pengamat
mengatakan bahwa dukungan yang diduga berasal dari kelompok-kelompok di tubuh Angkatan
Darat mulai memudar.
?Pengumuman pembubaran diri milisi radikal Islam Laskar Jihad adalah saat penting bagi
perdamaian di Poso dan Indonesia,? kata Adams. ?Pemerintah harus melakukan penyelidikan
dan penghukuman untuk menunjukkan bahwa kekerasan oleh milisi atau mantan anggotanya
tidak dapat dibiarkan.?
Para pengamat khawatir bahwa mantan anggota milisi tidak akan kembali begitu saja ke desadesa
mereka. Banyak dari mereka telah menjadi milisi radikal yang berpengalaman karena
bertahun-tahun terlibat dalam konflik. Saat ini masih ada kelompok-kelompok milisi yang belum
dibubarkan di seluruh negeri dan beberapa di antaranya terikat pada partai-partai politik. Jika
pemerintah sekarang bertindak menyeret para pelaku kekerasan terorganisir ke pengadilan dan
memperjelas landasan hukum untuk melarang kelompok-kelompok paramiliter semacam itu,
maka kekerasan yang meluas dapat dikurangi pada pemilihan umum tahun 2004 mendatang.
Human Rights Watch menyerukan perlunya penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) mengenai kegagalan pemerintah menangani kekerasan di Poso, dan
mendesak agar program pelatihan yang mendapat dukungan internasional membangun kapasitas
polisi di propinsi tersebut, termasuk langkah-langkah untuk meningkatkan pertanggungjawaban
atas pelanggaran hak- hak asasi manusia.
 
Back
Top