Tradisi-Tradisi Tawuran di Indonesia

Megha

New member
Tradisi Tawur Dhukutan untuk Membersihkan Desa​



Tawuran tidak selamanya bermakna negative, seperti halnya tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Nglurah Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Kekerasan bagi masyarakat Nglurah merupakan media silaturahmi dan sarana mempererat kerukunan masyarakat desa tersebut. Bahkan kekerasan tersebut harus dilaksanakan setiap 8 bulan sekali atau setiap pitung lapan dalam penanggalan jawa.

Prosesi tawuran ini diawali dengan arak-arakan warga dari dua dusun, yaitu Nglurah Lor dan Nglurah Kidul yang membawa sesaji menuju makam pepunden yang dikenal sebagai Situs Menggung. Sesaji berupa makanan pokok seperti nasi, lauk pauk dan sayuran dan juga makanan ringan lain seperti kue-kue dan kerupuk.

Setelah doa bersama, sesepuh desa membagikan sesaji berupa air suci dan jajan pasar kepada warga, selanjutnya sejumlah warga mengelilingi makam sambil melemparkan sesaji ke puluhan warga yang lain.

ritual kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan puluhan warga dari Dusun Nglurah Lor dan Nglurah Kidul menuju pepunden di Dusun Nglurah Lor. Sesampainya di makam, puluhan warga dari dua dusun yang berbeda ini kemudian tawuran. Warga dibiarkan saling beradu dan bahkan diperbolehkan menggunakan kayu, batang pohon pisang dan tanah yang keras. Meski tubuh dan kepala lebam serta bengkak terkena lemparan, namun warga tidak boleh marah dan menyimpan dendam dan langsung pulang ke rumah masing-masing.
 
Last edited by a moderator:
Re: Tradisi Tawur Dhukutan untuk Membersihkan Desa

Tradisi “Perang Obor“ Tegal Sambi Kota Jepara


Di Desa Tegalsambi kecamatan Tahunan kabupaten Jepara ada acara tradisi atau ritual yang saat ini masih di”uri-uri” kelestariannya yaitu perang obor . Bagi pemerintah daerah Jepara acara tradisi itu dikemas menjadi ajang wisata yang mampu menyedot pengunjung yang cukup banyak.Namun bagi warga desa Tegal Sambi ritual ini sebagai tolak balak dan juga ajang syukuran warga desa sehabis panen padi ,agar tahun-tahun mendatang semua warga masih mendapatkan rejeki dari yang Maha Kuasa.

Disebut Perang obor karena warga yang mengikuti ritual ini mengadakan perang ( hantam menghantam ) dengan menggunakan obor yang dibuat dari pelepah daun kelapa kering dan juga daun pisang kering. Warga yang mendapat tugas sebagai tentara yang akan berperang merupakan warga pilihan yaitu harus berani dan tidak takut akan api .Pada pesta obor tahun ini panitia telah menugaskan 30 warga desa Tegal sambi untuk menjadi pasukan perang.

OB4.jpg

Sekretaris Desa Tegal Sambi, Muhsin, mengatakan bahwa untuk tahun ini, perayaan perang obor tidak diadakan pada bulan Dhulhijah dalam kalender Jawa atau Arab. Sebab, pada bulan itu cuaca masih sering hujan dan khawatir saat dilaksanakan perayaan perang obor akan terjadi hujan

”Makanya kami mengadakan tradisi ini pada bulan Mei. Untuk harinya tetap sesuai yang telah dilakukan sejak dulu, yakni Senin Pahing dan bertepatan tanggal 24 Mei ” katanya

Muhsin mengatakan, tahun ini panitia prang obor hanya menyediakan 200 gulung pelepah daun kelapa dicampur daun pisang kering. Ini karena keterbatasan biaya. Maklum, semua bahan untuk tradisi itu harus didapat dengan membeli. ”Semua bahan untuk obor-oboran ini kami beli dari Kecamatan Keling. Karena di sana yang masih banyak pohon kelapanya,” tuturnya.

Setiap gulung pelepah daun kelapa dan daun pisang kering itu, diperkirakan senilai Rp 10 ribu. Sehingga untuk membuat 200 gulung, panitia menghabiskan sekitar Rp 2 juta.

Perang obor ini, merupakan atraksi budaya yang sudah turun temurun, yang harus dilestarikan. Karena selain merupakan tradisi budaya daerah, juga sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan atas limpahan anugrah panen kepada masyarakat. Selengkapnya kisah adanya perang obor ini adalah sebagai berikut:

Dahulu di Desa Tegalsambi ada seorang petani kaya raya bernama Mbah Babadan. Petani ini memiliki banyak sekali hewan ternak. Bahkan, saking banyaknya jumlah ternak yang dimiliki, Mbah Babada pun tak mampu memelihara hewan-hewannya itu seorang diri. Akhirnya, seorang warga bernama Ki Gemblong menawarkan diri untuk memelihara hewan-hewan ternak Mbah Babadan. Kesepakatan pun dilakukan dan Ki Gemblong mulai memelihara ternak Mbah Babadan.

Kepandaian Ki Gemblong memelihara ternak ternyata membuahkan hasil. Dalam waktu singkat hewan ternak yang dipeliharanya jumlahnya bertambah banyak, bahkan boleh dikata berlipat-lipat dan badannya gemuk-gemuk.

OB+3.jpg

Melihat keberhasilan memelihara hewan ternak, Mbah Babadan pun sangat gembira. Ia terus-menerus berterimakasih dan memuji-muji Ki Gemblong.

Pada suatu hari, Ki Gemblong menggembalakan hewan-hewan ternaknya di tepi sungai. Ki Gemblong tiba-tiba terkejut karena di sungai itu banyak sekali ikannya. Melihat saking banyaknya ikan di sungai yang jernih itu, perut Ki Gemblong pun tiba-tiba terasa melilit lapar. Ki Gemblong pun memakan ikan tersebut dengan cara dibakar.

Begitu ikan bakar yang diambil dari sungai itu dikunyahnya, Ki Gemblong terkejut bukan kepalang. Sebab ikan yang dimakannya terasa enak sekali. Ki Gemblong pun ketagihan.

Sejak saat itu, tiap hari Ki Gemblng selalu menggiring ternaknya ke tepi sungai dan ia meninggalkan hewan ternaknya begitu saja. Ki Gemblong asyik menangkap, membakar dan memakan daging ikan, sementara hewan ternaknya benar-benar dilupakan. Hingga pada suatu hari, hewan-hewan ternak yang digembala Ki Gemblong menjadi kurus-kurus bahkan banyak sekali yang sakit dan kemudian mati.

Peristiwa ini akhirnya terdengar Mbah Babadan, maka Ki Gemblong pun dipanggilnya untuk menghadap. Rupanya Mbah Babadan marah melihat ulah Ki Gemblong. Mbah Babadan pun segera mengambil seikat daun kelapa kering dan membakarnya menjadi obor. Dengan obor itulah Mbah Babadan berkali-kali memukul kepala Ki Gemblong. Karena merasa sakit, Ki Gemblong segera bangkit dan melawan dengan obor pula.

Ternyata percikan api obor yang dipukul-pukulkan kedua orang itu ada yang membakar jerami yang ada di kandang. Kandang ternak itu pun akhirnya terbakar dan hewan ternak milik Mbah Babadan yang sedang sakit dan kurus-kurus lari tunggang langgang ketakutan. Setelah terbakarnya kandang tersebut selanjutnya sapi-sapi itu menjadi gemuk-gemuk dan sehat.

OB+1.jpg

Sejak itulah, masyarakat Desa Tegalsambi yakin bahwa untuk mengusir penyakit perlu dilakukan Tradisi Obor-Oboran. Prosesi ini masih acap digelar menjadi rangkaian Upacara Sedekat Bumi Desa Tegalsambi.

Perang obor pada malam kemarin cukup meriah ,selain dihadiri oleh seluruh warga desa ,pejabat dari kabupaten juga warga sekitarnya ikut menyaksikan kemeriahan perang api ini . Saking meriahnya kadang api dari obor tersebut memercik ke tubuh pasukan ataupun penonton yang menjadikan luka bakar ,namun anehnya luka itu dapat tersembuhkan dengan obat khusus dari ramuan minyak kelapa dan bahan khusus dari desa TegalSambi cukuphanya dioleskan saja.

” Bagi penonton yang tiba-tiba kena percikan api jangan takut , luka tersebut dapat disembuhkan dari minyak khusus yang telah dipersiapkan oleh panitia ,jangan di bawa ke dokter nanti lama sembuhnya ” , ujar salah satu panitia . (FM)

Bahan : Dari berbagai sumber
Foto-foto : Anis Hartanto

Fatkhul Muin : Pengelola Blog Pusat Informasi Masyarakat Pesisir ( http//www.for-mass.blogspot.com)

Sumber --> http://regional.kompasiana.com/2010/05/25/tradisi-“-perang-obor-“-tegal-sambi-jepara-seru/
 
Re: Tradisi Tawur Dhukutan untuk Membersihkan Desa

wah..
kalo ada yang mati gimana tuh sist..?

kalo setau megha sih, dalam menjalanin prosesi tawur ini tentu masyarakat juga gak semerta-merta liar dengan menggunakan alat-alat berat yang bisa mengancam nyawa. Dan mereka pun nampak senang dan tertawa lepas seusai tawur.
 
Re: Tradisi Tawur Dhukutan untuk Membersihkan Desa

Aku pindah ke history aja ya? :)(
Dan karena pembahasannya meluas, judulnya aku ganti...


-dipi-
 
Re: Tradisi Tawur Dhukutan untuk Membersihkan Desa

Aku pindah ke history aja ya? :)(
Dan karena pembahasannya meluas, judulnya aku ganti...


-dipi-

sip markosip


yuk kita berburu lagi artikel tradisi tawur dari Indonesia <3D<3D<3D
 
Sampyong seni Tradisional Khas Majalengka

spektrum-permainan-tradisional-03.jpg


Selain terkenal dengan kecapnya Majalengka juga memiliki kesenian tradisional yang tak kalah dengan Kabupaten yang lain. Warga Majalengka, Jawa Barat memiliki seni tradisional yang mengambarkan peperangan yaitu seni sampyong. Kesenian ini merupakan seni duel dengan menggunakan rotan. Namun pesertanya harus orang yang sudah cukup umur agar bisa mengendalikan emosi.

Iringan gamelan peserta seruling merupakan perangkat yang tidak bisa ditinggalkan dalam seni sampyong. Selain untuk menarik minat penonton untuk datang, tetabuhan ini juga semakin menambah semangat para penari.

Setelah terbentuk kalangan atau lingkaran, salah seorang sesepuh langsung bertindak sebagai malandang atau wasit. Tanpa di komando, biasanya akan muncul para lelaki yang akan mencoba menjadi peserta duel dengan mengambil rotan pemukul.

Malandang juga bertindak sebagai orang yang menyeleksi peserta duel. Jika dianggap belum cukup umur, seorang laki-laki tidak diperkenankan menjadi peserta sampyong.

Setelah rotan diadu, tanda dimulainya duel kedua peserta dan malandang terlebih dahulu ngibing atau berjoged mengikuti irama gamelan. Biasanya seorang peserta sampyong akan memulai pukulan saat lawannya lengah.

Namun uniknya, pukulan ke arah lawan harus disesuaikan dengan ketukan irama gamelan. Setiap peserta memiliki kesempatan untuk memukul tubuh lawannya dengan rotan sebanyak tiga kali. Hal ini sesuai dengan arti sampyong yang berasal dari bahasa Cina. Sam berarti tiga dan poyong berarti pukulan.

Permainan sampyong ini lebih bertujuan untuk menghibur dan mengasah sportifitas. Jika seorang sampyong terpancing emosinya, malandang atau wasit berhak mengusirnya.

Namun sayang, keberadaan seni sampyong kurang diminati kaum muda. Pagelaran sampyong ini rata-rata dimainkan oleh generasi tua. Padahal jika tidak diteruskan generasi muda, kesenian khas Majalengka ini bisa cepat punah


Sumber artikel: Blog Urang Majalengka
Sumber foto: Antara



-dipi-
 
Tarung Peresean (Lombok, Nusa Tenggara Barat)


PRESEAN11.jpg

Asal-usul

Peresean adalah sebuah upacara tarian kuno yang bersenjatakan tongkat rotan (penjalin). Selama upacara berlangsung, para petarung (Pepadu) menyerang satu sama lain (saling empok kadu penjalin) dan menangkis sabetan lawannya dengan sebuah tameng dari kulit sapi atau kerbau. Peresean merupakan bagian dari upacara adat di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, yang menunjukkan kembali legenda ratu Mandalika yang bunuh diri karena melihat dua tunangannya berkelahi sampai mati untuk memperebutkannya. Dengan kata lain, kesenian ini dilatar belakangi oleh pelampiasan rasa emosional para raja di masa lampau ketika harus berperang untuk mengalahkan musuh-musuhnya.

Disamping itu, seni Peresean, bertujuan untuk menguji keberanian, ketangkasan dan ketangguhan seorang petarung (Pepadu) dalam pertandingan. Keunikan dari pertarungan ala Peresean ini adalah pesertanya tidak dipersiapkan sebelumnya karena para petarung diambil dari penonton sendiri ketika acara pertarungan dimulai. Ada dua cara untuk mendapatkan Pepadu, yaitu: pertama, Pekembar Tengaq (tengah) menunjuk langsung calon Pepadu dari para penonton yang hadir. Kedua, Pepadu yang telah memasuki arena pertarungan menantang salah satu penonton untuk melawannya.

Pertarungan diadakan dengan sistem ronde, yaitu terdiri dari lima ronde. Pemenang dalam Peresean ditentukan dengan dua cara yaitu: Pertama, ketika kepala atau anggota badan salah satu Pepadu mengeluarkan darah, maka pertarungan dianggap selesai dengan kemenangan di pihak Pepadu yang tidak mengeluarkan darah. Kedua, jika kedua Pepadu sama-sama mampu bertahan selama lima ronde, maka pemenangnya ditentukan dengan skor tertinggi. Skor didasarkan kepada pengamatan Pekembar Sedi terhadap jalannya pertarungan. Untuk menggugah semangat para Pepadu dan agar unsur hiburannya tidak hilang, acara tarung Pereseandiiringi oleh alunan musik. Ketika musik mengalun, para Pepadu harus berhenti bertarung dan menari mengikuti irama musik.

Tetap eksisnya keberadaan tarung Peresean nampaknya tidak semata-mata karena Peresean dapat dijadikan tolak ukur kemampuan dan harga diri dan berhubungan dengan legenda ratu Mandalika, tetapi karena adanya keyakinan masyarakat bahwa darah yang menetes berhubungan dengan hujan; semakin banyak darah menetes, semakin besar peluang terjadinya hujan.

Peralatan

Peralatan untuk melakukan Tarung Peresean adalah sebagai berikut:
  1. Alat pemukul, sebuah tongkat yang terbuat dari rotan.
  2. Ende, sebuah tameng yang dibuat dari kulit sapi/kerbau.
  3. Alat musik, tujuannya untuk menggugah semangat bertanding para Pepadu. Alat-alat musik yang digunakan adalah:
    • Gong. Alat musik ini berbentuk bundaran yang ditengahnya terdapat sebuah bundaran lagi dan tepat di bundaran tersebut jika dipukul akan menghasilkan suara yag mendengung.
    • Sepasang kendang. Kendang berbentuk silinder dengan lubang yang besar ditengahnya, terbuat dari kayu dan ditutup oleh kulit sapi atau kambing yang telah disamak. Gendang ini dimainkan dengan cara ditepuk dengan dua telapak tangan pada kedua sisinya.
    • Rincik / simbal.
    • Kajar.
    • Suling, dibuat dari bambu dan diberi lubang agar menghasilkan bunyi yang merdu. Suling dimainkan oleh seorang sukaha (pemain) dengan cara ditiup.

presean41.jpg

Pemain

Yang terlibat dalam permainan ini adalah:
  • Pepadu (petarung). Jumlah petarung tidak dibatasi. Hanya saja, pertarungan dilakukan satu lawan satu.
  • Pekembar (wasit). Ada dua Pekembar, yaitu Pekembar Sedi (pinggir), bertugas memberikan nilai pada pasangan yang bertarung, dan Pekembar Tengaq (tengah), bertugas memimpin pertandingan.
Tempat

Permainan Peresean biasanya diadakan di tanah lapang. Alasan penggunaan tanah lapang karena permainan ini, biasanya, menarik perhatian banyak orang.

Peraturan

Untuk menjamin terjaganya sportifitas, ada aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh Pepadu, diantaranya:
  1. Secara umum, Peresean diadakan dengan menggunakan sistem ronde atau tarungan. Setiap Pepadu bertarung selama lima ronde dan akhir setiap ronde/tarungan ditandai dengan suara peluit yang ditiup oleh Pekembar Tengaq.
  2. Pertarungan secara otomatis berhenti jika dari salah satu Pepadu mengeluarkan darah. Keluarnya darah dari tubuh menunjukkan kekalahan.
  3. Setiap Pepadu hanya boleh memukul bagian atas tubuh lawannya dan tidak boleh memukul bagian bawah tubuhnya (dari pinggang hingga kaki). Nilai tertinggi akan didapat oleh Pepadu jika ia mampu memukul kepala lawannya.
Pelaksanaan

Setelah acara dimulai, Pekembar Tengaq mengundang dua orang penonton untuk menjadi Pepadu. Setelah didapatkan dua orang Pepadu, keduanya memasuki arena pertandingan dengan membawa sebuah perisai (ende) dan alat pukul yang terbuat dari rotan. Sebelah tangan memegang ende untuk menangkis pukulan lawan dan sebelahnya lagi memegang tongkat untuk memukul lawan.

Kedua Pepadu memasuki arena dan mengambil posisi berhadapan, Pekembar Tengaq berdiri di antara mereka. Kemudian Pekembar Tengaq menjelaskan hal-hal tekhnis pertarungan, misalnya: Peresean akan diadakan lima ronde, Pepadu tidak boleh memukul tubuh bagian bawah lawannya, Pepadu yang dari tubuhnya keluar darah berarti kalah, dan lain sebagainya. Setelah itu, Pekembar Tengaq memberi aba-aba untuk memulai pertarungan. Di sisi arena, Pekembar Sedi mengawasi jalannya pertarungan untuk memastikan tidak adanya kecurangan. Pada saat aba-aba dimulai, musik penggugah semangat kemudian dimainkan. Setelah waktu ronde habis, Pekembar Tengaq meniup peluit untuk memberikan kesempatan Pepadu untuk beristirahat dan memikirkan strategi bagaimana mengalahkan lawannya. Bahkan di saat bertarungpun, Pekembar Tengaq dapat menyuruh Pepadu untuk menari.

Setelah diketahui pemenangnya, baik karena menang angka atau karena ada tubuh salah seorang Pepadu mengeluarkan darah, sang pemenang diberi kesempatan istirahat dan Pekembar Tengaq kembali mengundang atau menunjuk penonton lain untuk memasuki arena. Demikian seterusnya sampai didapatkan juaranya. Satu hal yang cukup menarik untuk dicermati adalah seberapapun parahnya luka yang ditimbulkan dalam Peresean tersebut, para Pepadu selalu mengakhiri Peresean dengan saling rangkul.

presean7.jpg

Nilai-Nilai

Peresean mempunyai beberapa nilai, diantaranya: pertama, historis, yaitu untuk mengenang legenda Ratu Mandalika. Kedua, kemampuan dan harga diri. Arena Peresean merupakan tempat para individu yang memiliki keberanian, ketangkasan, dan ketangguhan untuk menunjukkan kemampuan diri secara jantan dihadapan para penonton. Oleh karena acara Peresean disaksikan oleh banyak orang, maka mereka dituntut untuk bertarung secara sportif dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang kurang baik, curang. Dengan cara demikian, masyarakat Lombok menunjukkan kemampuan dan harga dirinya.

Ketiga, sosial. Ketika seorang Pepadu sedang bertarung maka di sana sedang terjadi proses pelampiasan emosi (permusuhan) di antara dua individu yang bertarung, tetapi ketika acara tersebut usai mereka harus segera melupakannya. Hal ini ditunjukkan dengan keharusan mereka untuk saling berangkulan setelah acara selesai. Nilai sosial juga dapat dilihat dari keberadaan Pekembar Tengaq dan Pekembar Sedi. Keberadaan kedua Pekembar tersebut untuk menjamin terlaksananya Peresean secara adil dan sportif. Keempat, Sakral. Permainan ini merupakan salah satu bentuk permohonan kepada Tuhan agar menurunkan hujan. Mereka percaya bahwa, sebagaimana kepercayaan nenek moyang mereka, bahwa semakin banyak darah tertumpah maka kemungkinan hujan turun akan semakin nyata.


sumber:
Melayu online



-dipi-
 
Back
Top