Disini kamu bisa baca dongeng penuh motivasi

princess_newbie

New member
langsung aja buat cerita pertama di post berikutnya..
tanpa basa basi,

mohon kritik dan saran serta komen yang bermanfaatnya ya ^_^


oh, iya...
isi dari thread ini di dapatkan dari beberapa situs diluaran, jadi bukan karya saya..
saya hanya, share apa yang saya baca dan dapatkan dari orang lain
 
Last edited:
Batman Dan Mbah Gendeng

“Huh, siyal, masa’ bocor lagi sih”, ujar Batman gemas sambil menendang pintu BatMobile-nya perlahan. Meskipun kesal, ia masih cukup sadar untuk tidak melampiaskannya kepada kendaraan tercintanya, yang cicilannya belum lunas itu. Dengan susah payah, ia mendorong mobilnya ke pinggir, ke sebuah tambal ban yang kebetulan berada tidak jauh dari situ.

“Mbah Gendeng – Nambal Ban Sejak 1911”

Begitu tulisan yang tertera di atas “bengkel” kecil yang didirikan seadanya di bawah sebuah pohon beringin besar.

“Bannya bocor ya, nak?”, tanya seorang kakek tua yang tiba-tiba muncul dari balik pohon.

“Iya, mbah”, jawab Batman lesu, “sudah kedua kalinya nih. Padahal baru sekitar 5km lalu bocor dan ditambal.”

“Hmmm…”, mbah Gendeng mengangguk-anggukan kepalanya dan mulai mempersiapkan peralatannya. Bak air sabun untuk memeriksa bagian ban yang bocor, dongkrak, pompa angin, dan sebagainya. “Silahkan duduk dulu aja di kursi kayu itu, nak. Biar mbah kerjakan dulu bannya.”

45 menit berlalu, Batman mulai gak sabar. Maklum, ia lagi semangat-semangatnya untuk bangkit kembali dari keterpurukannya dan ingin segera sampai ke WTC untuk membuka gerai HP. Ditambah lagi, seekor kura-kura berseragam “Bukan Express” yang tadi disalipnya kini sudah berjalan melewati tempat ia duduk. “Masa’ Batman kalah cepet ama kura-kura”, pikir Batman dalam hati. Penasaran, ia mendekati Mbah Gendeng dan mengintip kerjanya.

“Pantesan aja lama!”, sergah Batman kasar. “Lha wong kerjanya lambat banget gini! Apa gak bisa lebih cepet lagi, mbah?!”

Mbah Gendeng meletakkan ban dalam BatMobile yang sedang ia pegang dan menoleh ke arah Batman. Tatapannya yang tajam membuat Batman secara tidak sadar mundur selangkah ke belakang. Tanpa disangka, dengan tidak kalah kerasnya, Mbah Gendeng balik bertanya, “Memangnya kamu pikir pekerjaan ini tidak penting sehingga harus dikerjakan dengan terburu-buru?”

“Memang begitu, kan? Cuman nambal ban ini, apa pentingnya? Jauh lebih penting pekerjaanku yang ke sana kemari buat nyelamatin dunia dari orang jahat! Mbah tahu kan kalo aku ini Batman?!”

“Iye, terus so what gitu loh, mau situ Superman kek, Batman kek, Barack Obama kek, SBY kek, tetep aja, jangan pernah ngeremehin pekerjaan saya!”

Batman sudah akan membuka mulutnya lagi untuk menjawab, namun kakek tua itu tidak mau kalah cepat dan melanjutkan kata-katanya.

“Dengarkan baik-baik, anak muda. Coba pikir. Seandainya tadi kamu dalam perjalanan untuk menyelamatkan ribuan orang dan banmu bocor, apa bukan berarti yang saya kerjakan ini tidak sama pentingnya dengan pekerjaanmu? Dengan memperbaiki ban bocormu dengan baik dan teliti, secara tidak langsung saya suda membantu kamu menyelamatkan mereka — ribuan orang itu.”

“Tidak usah muluk-muluk. Setiap ban bocor yang saya perbaiki pasti berhasil membawa pengemudinya tiba dengan selamat sampai di rumah. Coba bayangkan apabila saya melakukannya dengan asal-asalan. Bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bukan?”

“Lihat ban dalammu ini”, Mbah Gendeng menyodorkan dua buah ban dalam BatMobile yang sedang ia kerjakan. “Perhatikan ini, bekas tambalan yang dilakukan oleh penambal ban sebelumnya. Kasar dan kurang kuat rekatannya. Itu sebabnya tadi ban mobilmu bocor lagi. Masih untung tidak terjadi apa-apa. Dan ini, yang ada di kanan, adalah hasil tambalan ban yang aku lakukan. Bandingkan!”

Batman tercenung. Ia memperhatikan ban dalam pada bagian yang ditunjukkan oleh Mbah Gendeng dan ternyata memang benar, pekerjaannya kurang baik. Bahkan jauh dibandingkan hasil pekerjaan Mbah Gendeng. Padahal tadi ia cukup senang dan memberi tips lebih kepada penambal ban sebelumnya karena kerjanya hanya butuh waktu 5 menit saja.

Dengan menunduk, Batman mohon maaf kepada Mbah Gendeng dan beringsut kembali ke kursi kayu untuk menunggu. Di satu sisi, ia malu terhadap apa yang telah ia lakukan, namun di sisi lain, ia gembira karena mendapat pelajaran baru tentang hidup dan juga tentang bisnis.

“Aku pasti tidak akan kalah oleh Peter Parker”, ujar Batman dalam hati sembari tersenyum.


sumber
 
Dongeng motivasi ini menceritakan seorang anak yang kehilangan uang sebesar Rp 10.000. Dia begitu sedihnya dan menangis sejadi-jadinya.

Paman anak tersebut merasa kasihan, kemudian dia menghampiri anak itu.

“Kenapa kamu menangis?” tanya pamannya dengan penuh kasih sayang.

“Uang saya hilang. Rp 10.000.” katanya sambil terisak-isak.

“Tenang saja, nich paman ganti yah… paman kasih Rp 10.000 buat kamu. Jangan menangis yah!” kata pamannya sambil menyerahkan selembar uang Rp 10.000. Namun, sia anak tetap saja menangis. Kenapa?

“Kenapa kamu masih menangis saja? Kan sudah diganti?” tanya pamannya.

“Kalau tidak hilang… uang saya sekarang Rp 20.000.” kata anak itu dan terus menangis.

Pamannya bingung…

“Terserah kamu saja dech….”, katanya sambil pergi.

Ayahnya yang baru pulang kantor mendapati anaknya masih menangis.

“Kenapa sayang? Koq menangis sich. Lihat mata kamu, sudah bengkak begitu. Nangis dari tadi yah?” tanyanya sambi menyeka air mata anaknya.

“Uang saya hilang Rp 10.000.” kata anaknya mengadu.

“Ooohhh. Lho itu punya uang Rp 10.000? Katanya hilang?” tanya ayahnya yang heran karena dia melihat anaknya memegang uang Rp 10.000

“Ini dari paman…. uang saya hilang. Kalau tidak hilang saya punya Rp 20.000.” jawabnya sambil terus menangis.

“Sudahlah…. nih ayah ganti. Ayah ganti dengan uang yang lebih besar. Ayah kasih kamu Rp 20.000. Jangan menangis lagi yah!” kata ayahnya sambil menyerahkan selembar uang Rp 20.000.

Si anak menerima uang itu. Tetapi masih tetap saja menangis. Ayahnya heran, kemudian bertanya lagi.

“Kenapa masih menangis saja? Kan sudah diganti?”

“Kalau tidak hilang, uang saya Rp 50.000.”

Ayahnya hanya geleng-geleng kepala.

“Kalau gitu dikasih berapa pun, kamu akan nangis terus.” sambil mengendong anaknya.

***
Dongeng motivasi ini nyata? Tidak juga, ini hanya rekayasa. Dalam kenyataannya banyak orang yang memiliki sikap seperti anak tadi. Dia hanya melihat apa yang tidak ada, dia hanya melihat apa yang kurang, tanpa melihat sebenarnya dia sudah memiliki banyak hal. Sifat manusia yang selalu merasa kurang padahal nikmat Allah begitu banyaknya sudah dia terima.

Banyak orang mengeluh tidak bisa bisnis, sebab dia tidak punya uang untuk modal. Padahal modal hanyalah salah satu yang diperlukan dalam bisnis. Bisa jadi dia sudah punya waktu, punya tenaga, dan punya ilmu untuk bisnis. Namun dia tidak juga bertindak sebab dia hanya fokus melihat kekurangan, bukannya bertindak dengan memanfaatkan apa yang ada. Mulailah Bertindak Dari Yang Sudah Ada.

Bersyukurlah jika Anda merasa tersindir dengan dongeng motivasi diatas, artinya Anda perlu berubah sekarang.

sumber : motivasi islami.com
 
Misteri Kotak Hitam Bu Beri

Poka dan Beka adalah dua ekor bebek yang masih muda. Umur keduanya sepantaran dengan manusia yang sedang dalam masa ABG. Si Poka sendiri umurnya sedikit lebih tua dibanding Beka, selisih 3 bulan.
Meskipun masih muda, kedua bebek tua (kalau manusia kan orang tua, berarti kalau bebek ya bebek tua, hehehe) mereka sudah meminta Poka dan Beka untuk hidup sendiri. Bukan apa-apa. Dibanding kelima saudara mereka yang lain, Poka dan Beka ternyata memiliki sifat yang kurang baik, yaitu suka curiga dan sinis terhadap binatang yang lain. Agar keduanya bisa sadar dan berubah, bebek tua mereka menyuruh Poka dan Beka untuk mendirikan rumah sendiri dan hidup mandiri.

Pinggir sungai adalah tempat yang dipilih oleh Poka dan Beka. Selain nyaman, juga dekat dengan sumber makanan dan air. Kebetulan, tempat yang mereka berseberangan dengan rumah kayu milik Bu Beri Berang-berang.
Suatu hari, dari balik jendela, Beka melihat Soni Semut membawa sebuah kotak ke rumah Bu Beri.
Kotaknya besar. Cukup untuk memasukkan Horas ke dalamnya. Sedang bagian luarnya terbungkus oleh kain berwarna hitam.

‘Hei Poka, coba lihat itu”, panggil Beka.

Poka yang sedang menggunting kukunya berhenti dan melangkah menuju jendela.
“Apaan sih?”

“Itu”, tunjuk Beka dari balik korden, “kotak hitam itu. Kira-kira apa ya isinya?”

“Wah, gede banget”, ujar Poka, terkejut. “Jangan-jangan isinya sampah tuh!”

“Kok sampah?”. Beka kebingungan.

“Coba ingat, si Soni itu kan tinggalnya dekat pembuangan sampah hutan ini.”, Poka menjelaskan teorinya dengan serius. Tangannya ia letakkan ke belakang, persis seperti seorang profesor yang sedang berpikir. Lanjutnya, “Pasti itu isinya sampah-sampah yang sudah busuk, trus ia kumpulkan dan masukkan ke dalam kotak agar tidak bau.”

Di seberang tampak Soni sedang meletakkan kotak tersebut di ruang tamu Bu Beri.
“Hmmm, bisa jadi”, Beka mengangguk-anggukkan paruhnya. “Dan jangan-jangan, Bu Beri itu punya hobi ngumpulin sampah. Dia kan tinggal sendirian sekarang, siapa tahu karena nganggur jadinya punya hobi aneh.”

“Ih, jorok juga ya”, Poka menjawab dengan raut muka jijik.
Dari luar terdengar suara pintu rumah Bu Beri ditutup. Tampaknya Soni Semut sudah pulang, meninggalkan kotak hitam tersebut di rumah Bu Beri.

***

Tiga hari sudah berlalu sejak kotak hitam itu datang. Setiap hari, Poka dan Beka mengamatinya secara diam-diam dari seberang sungai. Meskipun tidak begitu jelas karena terhalang korden rumah bu Beri, tampak bahwa bu Beri sibuk sekali dengan isi kotak hitam tersebut.

Sesekali Soni mampir dan mereka berdua terlihat antusias sekali mendiskusikan sesuatu.
Selama tiga hari itu pula, Poka dan Beka tak henti-hentinya menduga-duga dan berasumsi mengenai “sampah” yang ada di dalam kotak hitam tersebut. Prediksi mereka yang terbaru, Bu Beri dan Soni sedang berkonspirasi untuk mengumpulkan sampah-sampah terbusuk dari seluruh penjuru hutan, dan sedikit demi sedikit mengubah hutan mereka menjadi hutan sampah!

***

Keesokan harinya, dengan diantar oleh Kaka Kancil, Bu Beri menyeberangi sungai dan menuju ke rumah Poka dan Beka. Poka, yang sedang asik berjemur di atap rumah, kaget melihat kedatangan mereka berdua. Buru-buru ia menyusup masuk ke dalam rumah, menutup dan mengunci pintu dan jendela, serta menyuruh Beka untuk bersembunyi.

“Aku tidak menyangka kalau Kaka sekarang ikut bersekongkol dengan Bu Beri. Mereka ke sini pasti ingin mengajak kita untuk bergabung dengan organisasi menjijikkan mereka itu. Ih, amit-amit deh.”, bisik Poka pada Beka dari balik kulkas, tempat keduanya bersembunyi.
Beka mengangguk, tanda setuju.

Tok. Tok. Tok.
Poka dan Beka menahan nafas mendengar suara pintu diketok.
Tok. Tok. Tok.
Tok. Tok. Tok.
Tok. Tok. Tok.
Kaki Beka mulai kesemutan.
Tok. Tok. Tok.

“Hmmm, sepertinya mereka sedang tidak ada di rumah”, samar-samar terdengar perkataan Kaka kepada bu Beri.

“Iya, kalau begitu sebaiknya kita kembali saja.”, jawab bu Beri.

Sejurus kemudian terdengar suara langkah-langkah kaki menjauh.
“Phew”, ujar Beka sambil melemaskan kaki-kakinya. “Akhirnya mereka pergi juga. Hampir saja kita terjerumus ke dalam kelompok sampah itu.”

Poka mengintip dari balik jendela, menatap perahu yang dinaiki Kaka dan Bu Beri menjauh.
“Iya, untung saja tadi mereka tidak melihatku di atap.”, ujarnya, lega. “Tidur siang saja yuk, malas aku memikirkan sampah-sampah itu”.

“Yukkkk”.

***

Beberapa jam kemudian Beka terbangun. Terdengar suara ramai dari seberang sungai. Ia meloncat dari tempat tidur dan menuju ke jendela.

Tampak rumah Bu Beri terang benderang. Ramai. Binatang-binatang hutan sedang berkumpul di sana. Mereka asik mengobrol, tertawa, dan menyanyi. Di sisi kanan, bu Tutul Macan dan kak Boni Ulat sibuk menyiapkan makanan yang harumnya terasa sampai ke hidung Beka. Di sisi kiri, Kuri Kura bernyanyi dengan lantang sambil diiringi petikan gitar Kaka Kancil.

Beka sejenak bengong.
18 detik kemudian ia tersadar, dan bergegas membangunkan Poka.
“Poka, Poka, cepat bangun”.

“Apa sih”, jawab Poka sambil cemberut.

“Itu lihat, di rumah Bu Beri”

Mendengar kata kunci ‘Bu Beri’, Poka langsung loncat dari tempat tidurnya dan berlari ke arah jendela.
“Hah, ada apa itu???”, giliran Poka yang bengong.

Di seberang, Bu Beri keluar dari dalam rumahnya sambil membawa kotak besar hitam.
“Ayo semuanya kumpul sini”, teriaknya lantang sambil tersenyum.

Setelah semua binatang berkumpul mengelilingi bu Beri dan kotak hitamnya, Soni Semut tiba-tiba muncul dari balik kotak dan berkata, “Teman-teman, berhubung sekarang adalah hari ulang tahunku dan Bu Beri, yang kebetulan tanggalnya sama, maka kita berdua memutuskan untuk memberikan kado kepada seluruh penghuni hutan!!!”

Seluruh binatang bersorak dan bertepuk tangan. Saking semangatnya bertepuk tangan, Kuri Kura bahkan sampai terjengkang ke belakang.

“Dan terimalah kado dari kami berdua”, ujar Bu Beri Berang dan Soni Semut sembari menggulingkan kotak hitam tersebut.

Poka dan Beka tercekat. Tidak sadar, keduanya berpengangan tangan dan bergumam, “Pasti sampah… pasti sampah.. pasti sampah…”

Kotak terguling. Tutupnya terlepas dan menggelinding, diiringi dengan tumpahnya puluhan bahkan ratusan mainan yang sudah dibungkus kado manis dari dalam kotak.

“Horeeeee!!!!”, sorak penghuni hutan.

Sekali lagi, Poka dan Beka bengong.

***

Malam itu Poka dan Beka terdiam. Sejak melihat mainan-mainan yang ada di dalam kotak hitam bu Beri, mereka tidak bercakap-cakap apapun. Masing-masing sibuk dengan penyesalannya.

Tok. Tok. Tok.

Tiba-tiba terdengar suara ketokan di pintu.
Beka dan Poka berpandangan. Bingung.
“Anak-anak, kalian ada di rumah?”, terdengar suara Bu Beri dari balik pintu.

Kedua bebek kecil itu tersenyum dan langsung berlomba membukakan pintu bagi Bu Beri.

***

dongengmotivasi.com
 
Last edited:
Kuda Berkaca Mata Hitam

Kaku adalah kuda yang paling gagah di hutan. Tidak hanya gagah, ia pun kuat dan dapat berlari dengan cepat. Saking hebatnya, warga hutan yang lain memberikan gelar “Kuda Perkasa” padanya. Disingkat “kuper”, hehehe.
Sayangnya, perilaku Kaku tidak sehebat kemampuannya. Karena merasa dirinya yang paling jago, ia menjadi sombong dan sering menganggap remeh orang binatang lain. Tabiat buruknya yang lain adalah selalu ingin dipuja. Itu sebabnya ia iri 1/2 mati terhadap Horas.

Ya, Horas adalah kuda gemuk yang cenderung pendiam. Walaupun begitu, penghuni hutan lainnya senang kepadanya karena ia suka menolong dan ramah. Berbeda 180 derajat dengan Kaku.
Suatu hari Kaku pun mendatangi Horas yang sedang makan rumput di pinggir sungai.

“Hei Horas, ayo kita berlomba mengelilingi bukit timur itu”, tantang Kaku tanpa berbasa-basi. “Aku ingin tahu, siapa diantara kita yang paling hebat”.

Horas menoleh dengan santai ke arah Kaku.
“Buat apa ah”, jawabnya, “Kan sudah jelas, kamulah kuda paling hebat di hutan ini. Aku jelas gak mungkin menang melawanmu.”

“Tidak peduli!”, tukas Kaku. Kasar. “Pokoknya aku ingin kita bertanding. Kalau tidak, aku akan hancurkan rumah kayu milik Bu Beri Berang-berang yang kamu buat untuknya bulan lalu.”

Horas tertegun. Ingatannya melayang ke Bu Beri. Badannya yang sudah tua. Bulu-bulunya yang mulai memutih. Tongkat penyangga jalannya.

“Baiklah”, ujarnya sambil mengangguk lirih. “Kapan kita bertanding?”

Kaku menjawab sambil tersenyum sinis, “Besok sore.”

Malamnya Kaku mulai membayangkan dirinya yang tengah berlari di bukit timur dengan gagah. Bulunya yang hitam berkilauan terkena cahaya matahari sunset. Kakinya yang kokoh menapak mantap di atas tanah bukit timur yang berbatuan menimbulkan suara yang keras.

Ketepok. Ketepok. Ketepok.

Mendadak ia terkikik. Ia membayangkan Horas yang gemuk berlari dengan terengah-engah menaiki bukit dan akhirnya tersungkur kecapekan.

“Kemenangan sudah jelas ada di tanganku.”, batin Kaku. “Apabila aku menang, penduduk hutan akan makin menyadari bahwa aku lah kuda terhebat di sini. Popularitasku pasti akan jauh melebihi Horas. Sekarang aku harus cari cara agar aku tampak keren di hadapan mereka saat masuk ke garis finish.”

Ia berpikir. Tiba-tiba ia teringat pada majalah mingguan “Kueren” yang ia beli minggu lalu. Kaku pun mengambil majalah tersebut dari laci lemarinya dan mulai membuka lembar demi lembar. Sampai akhirnya…

“Ini dia!!!”, teriak Kaku sambil menunjukkan jarinya tangannya ke sebuah iklan tentang kacamata hitam. “Dengan ini aku pasti akan tambah cool di depan warga hutan”.

Keesokan harinya, Kaku menyempatkan diri untuk pergi ke mall dan membeli kacamata hitam yang paling mentereng. Setelah bersiap dengan menggunakan tapal kudanya yang berbalut emas, ia pun bergegas menuju ke bukit timur, tempat ia akan bertanding dengan Horas.

Sesampainya di sana, tampak Horas sedang berbincang riang dengan teman-temannya. Ada Kuri si Kura-Kura, Nur si burung Nuri, dan bu Beri Berang-Berang. Warga hutan lainnya pun berjejer di sepanjang jalur, bersiap untuk menyaksikan lomba antara Horas dan Kaku.

“Ayo segera kita mulai”, kata Kaku sembari memakai kacamata hitamnya yang baru.
Horas memandang Kaku dengan wajah aneh. Perhatiannya tertuju pada kacamata hitam Kaku dan label harganya yang entah sengaja atau tidak, lupa dicopotnya.

Namun Horas tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, ia meminta Nur untuk membantu memasangkan kacamata kudanya yang sudah agak butut.

Kedua kuda itu pun bersiap di garis Start. Pak Hori Harimau yang bertugas sebagai penjaga garis melambai-lambaikan bendera putih di depan mereka. Dalam hitungan ketiga, ia menurunkan bendera dengan bersemangat sambil berteriak lantang, “Mulai!!!”

Kaku langsung melesat. Julukannya sebagai “Kuda Perkasa” memang bukan main-main. Dalam hitungan detik, ia sudah tidak tampak di balik bukit. Sebaliknya, Horas melaju dengan sambil menjaga kecepatan dan staminanya. Ia sadari bahwa dalam urusan keduanya, ia bukan tandingan Kaku, oleh karena itu ia harus berhati-hati dan tidak boleh gegabah.

Kaku yang jauh memimpin di depan tertawa lebar-lebar sambil terus memacu kecepatannya. Ia sudah tidak kuasa lagi membayangkan kemenangannya. Di hadapannya sudah tampak Bukit Curam, bukit terakhir dari deretan Bukit Timur.
Bukit Curam terkenal sebagai bukit paling berbahaya di daerah itu. Berbatu dan memiliki sudut tanjakan yang sempit.

Siapa saja yang tidak berhati-hati pasti akan celaka. Di sisi lain, pemandangan dari atas Bukit Curam cukup indah. Dari sana terlihat jelas pemandangan hutan serta danau Leka yang luas dan banyak ikannya. Warga hutan sering berkumpul di danau tersebut, baik untuk mandi maupun sekedar untuk bersantai dan bersosialisasi.

Beberapa langkah menuruni Bukit Curam, perhatian Kaku terpecah. Di bawah, tampak Kutik, kuda betina yang jadi incarannya sejak masa sekolah dulu, sedang mematut-matut tubuhnya di hamparan air danau yang jernih. Tidak lagi konsentrasi terhadap jalan di depannya, kaki kanan Kaku tanpa sengaja menabrak sebuah batu yang cukup besar.

Kaku oleng. Ia terjungkal dan menggelinding ke sisi kiri bukit sebelum akhirnya mencapai garis finish barunya di sebuah kubangan tepat di samping Kutik yang melongo melihat adegan akrobat gratis.

Byurrrrr.

Sejurus kemudian, Kutik tertawa terbahak-bahak. ROTGLOL. Tanpa mempedulikan Kaku yang kesakitan setelah terguling-guling di bukit berbatu. Tanpa mempedulikan wajah Kaku yang merah padam. Tanpa mempedulikan kacamata hitam Kaku yang patah. Tanpa mempedulikan perasaan Kaku yang bingung antara menahan sakit dengan menahan malu.

Saat ia mencoba untuk berdiri (dengan diiringi tawa Kutik yang masih berkesinambungan), terdengar sorak sorai warga hutan. Rupanya Horas telah tiba di garis finish. Agak terengah-engah, tapi setidaknya ia sampai ke tujuan dengan berlari, bukan dengan menggelinding.

Dari kejauhan, ia menatap Kaku (yang masih mencoba berdiri) dan Kutik (yang masih terus tertawa). Horas juga suka pada Kutik dan ia mungkin akan melakukan kesalahan yang sama seperti Kaku seandainya ia tidak menggunakan kacamata kudanya. Ya, kacamata itulah yang membantunya untuk tetap berkonsentrasi sepanjang lomba.

Horas mengangkat kaki kanannya, ingin berjalan ke arah Kaku. Tapi kawan-kawan dan penghuni hutan lainnya mulai mengerubunginya, sibuk memberinya selamat dan memintanya bercerita tentang perasaannya. Akhirnya Horas pun membatalkan niatnya untuk membantu Kaku.

“Semoga ia baik-baik saja”, gumamnya.


dongengmotivasi.com
 
Rufi si Rusa


— 15 menit sebelum bendungan jebol, di pinggir danau yang terletak di dataran bawah air terjun –

Rufi Rusa melangkahkan keempat kakinya dengan santai menyusuri pinggiran danau yang berair jernih dan banyak ikannya itu. Pandangannya terarah pada seekor kupu-kupu bersayap biru dengan garis-garis kemilau keemasan yang sedang terbang rendah di atas air. Jelas bukan sekali dalam hidupnya ia menemui kupu-kupu di sekitar gua tempat ia tinggal beserta kelompok rusa yang lain itu, namun entah kenapa, ia tidak pernah jemu mengagumi keanggunannya.

“Sedang mengamati kupu-kupu lagi, Rufi?”

Rufi menoleh ke belakang. Tampak Kakek Tore Rusa berjalan menghampirinya. Kakek Tore adalah rusa tua yang mengasuhnya sejak kecil, sejak ia ditinggal pergi oleh kedua rusa tuanya. Baginya, kakek Tore adalah sosok ayah sekaligus ibu yang selalu menjaganya.

“Iya, kek”, jawab Rufi. Ia geser sedikit tubuhnya ke kanan, memberi ruang bagi Kakek Tore untuk berdiri di sampingnya.
Kakek Tore menghentikan langkahnya. Ia berdiri sekitar 50cm di sebelah kiri Rufi. Kepalanya ia tengadahkan, menatap arah kupu-kupu biru yang tadi diperhatikan si Rufi. Kupu-kupu tadi sekarang sedang bercengkrama di udara dengan seekor burung gereja.

“Tahukah kamu berapa lama kupu-kupu itu bisa hidup Rufi?”
Rufi sedikit kaget karena kakek Tore tiba-tiba mengajukan pertanyaan kepadanya.

“Tiga tahun?”, tebak Rufi. Asal.
Kakek Tore menggeleng.

“Kebanyakan kupu-kupu hanya bisa bertahan hidup selama 2 hingga 14 hari.”

Kali ini Rufi benar-benar kaget. “Sungguh?”, ujarnya.

“Ya”, jelas sang kakek, “walaupun tidak semua. Ada beberapa spesies yang bisa hidup selama beberapa minggu atau berbulan-bulan. Namun secara keseluruhan ya itu tadi, umur mereka pendek”.

Rufi terdiam. Ia tidak menyangka binatang seindah dan seanggun kupu-kupu biru tadi hanya bisa menikmati dunia dalam waktu yang tidak lama. Ia tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika ia ditakdirkan memiliki siklus hidup yang pendek seperti mereka.

Seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan Rufi, kakek Tore sengaja berdiam diri. Membiarkan Rufi larut dalam pikiran dan bayangannya.

Samar-samar terdengar suara lengkingan dari langit. Tak berapa lama kemudian, muncul Eli Elang, melesat dengan cepat dari arah air terjun, dan berputar-putar di atas danau sambil berteriak, “AWASSSS!!!! BENDUNGAN AMBRUKKK!!!! SEGERA MENYINGKIR DARI DEKAT AIR TERJUN!!!!”

Rufi dan kakek Tore tersentak. Reflek mereka menatap ke arah air terjun. Memang benar, terasa ada sedikit suara gemuruh air dari arah sungai di dataran atas. Kakek Tore segera memerintahkan Rufi untuk memberitahu dan membantu rusa-rusa lainnya yang berada di dekat air terjun untuk segera menyingkir. Perintah ini ditanggapi dengan sigap oleh Rufi.
Semenit kemudian limpahan air bendungan menerjang bebatuan di pinggir air terjun dan menghujani danau di bawahnya dengan deras.

“Siapa itu?”, tanya Rufi.

“Entahlah”, jawab Rena, rusa betina, cucu dari kakek Tore. Usianya sepantaran dengan Rufi.

“Kita menemukannya di pinggir danau, badannya basah kuyup, sepertinya ia terseret arus bendungan dan terhempas dari atas air terjun”, lanjut Rena.

“Wah, malang sekali nasib musang itu. Ia tidak luka parah kan?”

“Itu hebatnya. Tubuhnya sepertinya hanya mengalami lecet-lecet saja. Sekarang Tombi sedang merawat luka-lukanya dan mengusahakan agar ia cepat siuman”, Rena menjawab sembari mengarahkan hidung mungilnya ke arah Tombi, rusa gemuk yang handal masalah kedokteran. Kabarnya ia pernah mengikuti kursus kilat perawat di masa kuliah dulu.

“Baguslah kalau begitu. Kamu sendiri tidak apa-apa, Rena?”

“Aku baik-baik saja. Begitu mendengar Eli Elang berteriak tadi, aku langsung cepat-cepat menyingkir dari danau.”

Rufi menghela nafas lega. Namun tatapannya tetap tidak lepas dari musang yang baru saja diselamatkan oleh Rena dan kawan-kawannya. Entah kenapa, ia merasa penasaran.

dongen motivasi.com
 
Last edited:
bagus non, tapi lebih rapi kalo penulisannya juga rapi dan enak membacanya... :)

Rufi si Rusa


— 15 menit sebelum bendungan jebol, di pinggir danau yang terletak di dataran bawah air terjun –

Rufi Rusa melangkahkan keempat kakinya dengan santai menyusuri pinggiran danau yang berair jernih dan banyak ikannya itu. Pandangannya terarah pada seekor kupu-kupu bersayap biru dengan garis-garis kemilau keemasan yang sedang terbang rendah di atas air. Jelas bukan sekali dalam hidupnya ia menemui kupu-kupu di sekitar gua tempat ia tinggal beserta kelompok rusa yang lain itu, namun entah kenapa, ia tidak pernah jemu mengagumi keanggunannya.

“Sedang mengamati kupu-kupu lagi, Rufi?”

Rufi menoleh ke belakang. Tampak Kakek Tore Rusa berjalan menghampirinya. Kakek Tore adalah rusa tua yang mengasuhnya sejak kecil, sejak ia ditinggal pergi oleh kedua rusa tuanya. Baginya, kakek Tore adalah sosok ayah sekaligus ibu yang selalu menjaganya.

“Iya, kek”, jawab Rufi. Ia geser sedikit tubuhnya ke kanan, memberi ruang bagi Kakek Tore untuk berdiri di sampingnya.
Kakek Tore menghentikan langkahnya. Ia berdiri sekitar 50cm di sebelah kiri Rufi. Kepalanya ia tengadahkan, menatap arah kupu-kupu biru yang tadi diperhatikan si Rufi. Kupu-kupu tadi sekarang sedang bercengkrama di udara dengan seekor burung gereja.

“Tahukah kamu berapa lama kupu-kupu itu bisa hidup Rufi?”

Rufi sedikit kaget karena kakek Tore tiba-tiba mengajukan pertanyaan kepadanya.

“Tiga tahun?”, tebak Rufi. Asal.

Kakek Tore menggeleng.

“Kebanyakan kupu-kupu hanya bisa bertahan hidup selama 2 hingga 14 hari.”

Kali ini Rufi benar-benar kaget. “Sungguh?”, ujarnya.

“Ya”, jelas sang kakek, “walaupun tidak semua. Ada beberapa spesies yang bisa hidup selama beberapa minggu atau berbulan-bulan. Namun secara keseluruhan ya itu tadi, umur mereka pendek”.

Rufi terdiam. Ia tidak menyangka binatang seindah dan seanggun kupu-kupu biru tadi hanya bisa menikmati dunia dalam waktu yang tidak lama. Ia tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika ia ditakdirkan memiliki siklus hidup yang pendek seperti mereka.

Seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan Rufi, kakek Tore sengaja berdiam diri. Membiarkan Rufi larut dalam pikiran dan bayangannya.
Samar-samar terdengar suara lengkingan dari langit. Tak berapa lama kemudian, muncul Eli Elang, melesat dengan cepat dari arah air terjun, dan berputar-putar di atas danau sambil berteriak, “AWASSSS!!!! BENDUNGAN AMBRUKKK!!!! SEGERA MENYINGKIR DARI DEKAT AIR TERJUN!!!!”

Rufi dan kakek Tore tersentak. Reflek mereka menatap ke arah air terjun. Memang benar, terasa ada sedikit suara gemuruh air dari arah sungai di dataran atas. Kakek Tore segera memerintahkan Rufi untuk memberitahu dan membantu rusa-rusa lainnya yang berada di dekat air terjun untuk segera menyingkir. Perintah ini ditanggapi dengan sigap oleh Rufi.

Semenit kemudian limpahan air bendungan menerjang bebatuan di pinggir air terjun dan menghujani danau di bawahnya dengan deras.

“Siapa itu?”, tanya Rufi.

“Entahlah”, jawab Rena, rusa betina, cucu dari kakek Tore. Usianya sepantaran dengan Rufi.

“Kita menemukannya di pinggir danau, badannya basah kuyup, sepertinya ia terseret arus bendungan dan terhempas dari atas air terjun”, lanjut Rena.

“Wah, malang sekali nasib musang itu. Ia tidak luka parah kan?”

“Itu hebatnya. Tubuhnya sepertinya hanya mengalami lecet-lecet saja. Sekarang Tombi sedang merawat luka-lukanya dan mengusahakan agar ia cepat siuman”, Rena menjawab sembari mengarahkan hidung mungilnya ke arah Tombi, rusa gemuk yang handal masalah kedokteran. Kabarnya ia pernah mengikuti kursus kilat perawat di masa kuliah dulu.

“Baguslah kalau begitu. Kamu sendiri tidak apa-apa, Rena?”

“Aku baik-baik saja. Begitu mendengar Eli Elang berteriak tadi, aku langsung cepat-cepat menyingkir dari danau.”

Rufi menghela nafas lega. Namun tatapannya tetap tidak lepas dari musang yang baru saja diselamatkan oleh Rena dan kawan-kawannya. Entah kenapa, ia merasa penasaran.

maaf kalau lancang...
 
Back
Top