Hinduisme dan Budaya Bali

spirit

Mod
penjor-galungan.jpeg

Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama Hindu di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di India. Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5 Masehi, terutama di Kalimantan Timur (pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja Mùlavarman dan di Jawa Barat oleh raja Pùrnavarman) yang datang dari India Selatan. Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah ditandai dengan pendirian “Lingga” oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri dinasti Matarama Kuno. Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang disusul dengan dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hindusime di Jawa Timur (berdasarkan prasasti Dinoyo, Malang) dan di Bali. Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8 , Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu Hinduisme (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad k2-8 Masehi. Bukti lain yang merupakan awal penyebaran Hinduisme di Bali adalah ditemukannya arca Siva di pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.

Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkann kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siva dan Buddha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni Hinduisme. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmadeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.

Di samping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian . Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah di kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.

Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti diwarisi di Bali saat ini.

Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspediri Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.

Pada masa Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati i Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan kegamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.

Pada saat Senapati i Kuturan dijabat oleh Mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.

Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit ditransfer ke Bali bahkan di dalam kitab Nagarakrtagama disebutkan “Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa”, yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang diminan, di samping dakui pula eksistensi Buddhisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai Hinduisme atau agama Hindu (Hindu Dharma), unsur-unsur ketuga sekta tersebut masih dapat diamati.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karateristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap dipertahankan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya.

Bila kita melihat bermacam-macam kebudayaan daerah yang terdapat di Indonesia, maka nampak jelas perbedaan antara budaya atau kebudayaan Bali dengan budaya dan kebudayaan daerah lainnya. Populernya Bali di seluruh penjuru dunia adalah karena kebudayaannya yang luhur dan indah itu, tentu pula di samping potensi alamnya tempat budaya Bali tumbuh dan berkembang. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan antara agama Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa kedudukan agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya Bali adalah merupakan jiwa dan nafas hidup dari budaya danm kebudayaan ini.

Agama Hindu dapat disebut sebagai isi, nafas dan dan jiwa dari budaya Bali sebagai ekspresi atau gerak aktivitasnya. Agama Hindu sesuai dengan sifat ajarannya senantiasa mendukung dan mengembangkan budaya setempat. Agama Hindu ibarat aliran sungai, kemana sungai mengalir, di sanalah lembah disuburkan. Budaya dapat pula dibandingkan sebagai wadah dan agama sebagai air. Warna dan bentuk wadah menentukan warna dan bentuk air di dalam wadah itu. Demikianlah hubungannya agama Hindu dengan budaya atau kebudayaan Bali. Perbedaan budaya tidak akan menimbulkan perbedaan dalam pengamalan ajaran agama oleh umatnya, karena agama Hindu di manapun dianut oleh pemeluknya, ajarannya selalu sama, univesal dan bersifat abadi.

Dalam hubungannya dengan kebudayaan Bali, agama Hindu yang merupakan jiwa, inti atau fokus budaya itu memancar pada: (1). pandangan hidup masyarakat Bali, (2). seni budaya Bali, (3). adat-istiadat dan hukum adat yang merupakan pangejawantahan dari hukum Hindu dan (4). organisasi sosial kemasyarakatan tradisional seperi desa Adat, Subak dan lain-lain. Jalin menjalinnya berbagai aspek budaya yang bernafaskan ajaran Hindu. Aspek-aspek budaya inilah merupakan mosaik kebudayaan Bali dewasa ini.

Simpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas secara singkat dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Agama Hindu sebagai agama yang tertua tumbuh dan berkembang tidak terlepas dengan pengaruh dan dukungan lingkungan alam dan budaya dari suatu masyarakat pendukungnya. Demikianlah pada awalnya tidak terlepas dari peradaban lembah Sindhu dan pengaruh lokal di India Utara, Selatan atau Timur.

2. Nama Hindu bukanlah nama asli dari agama ini, melainkan diberikan oleh orang asing yang mengadakan kontak dengan bangsa Àrya yang pertama kali menetap di lembah sungai Sindhu kemudian menyebar ke berbagai penjuru India dan berasimilasi dengan berbagai suku bangsa asli di anak benua tersebut. Hinduisme kemudian berkembang di Nusantara (Indonesia) termasuk Bali dengan warna luarnya sendiri.

3. Nama asli agama Hindu adalah Sanàtana Dharma (karena ajarannya bersifat abadi dan berlaku sepanjang masa). Nama lainnya adalah Vaidika Dharma, karena bersumber pada kitab suci Veda.

4. Karakteristik agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat-Nya, namun masih dalam koridor yang disebut Àdikara (disiplin diri) dan Iûþadevatà (aspek Tuhan Yang Maha Esa, yang dipuja dan sangat didambakan kasih dan karunia-Nya.

5. Dalam perkembangan agama Hindu dikenal adanya berbagai Sampradaya yang oleh orang Barat disebut Sekta, dan yang sangat dominan dan juga berpengaruh ke Indonesia adalah Úaiva,Vaiûóava dan Úakta sedang di Bali yang dominan adalah Úaiva Siddhanta (Tri Murti) yang sangat kental mendapat pengaruh Tantrik.

6. Budaya Bali merupakan ekspresi dari agama Hindu, semua aspek budaya Bali senantiasa diabdikan untuk kemuliaan agama Hindu, demikian pula sebaliknya agama Hindu senantiasa menjiwai semua aspek budaya tersebut. Hubungan antara agama dan budaya Bali sangat sulit dipisahkan, bagaikan jalinan tenun ikat Bali yang mempesona.


sumber: parisada
pustaka: Nehru, Jawaharlal. 1960. The Discovery of India. London, United Kingdom: Meridian Book
 
Back
Top