Renungan Waisak

spirit

Mod
3 Peristiwa dan 3 Racun Dalam Jiwa
Krisno Abiyanto Soekarno, VIVAnews

90100_ribuan_umat_budha_rayakan_tri_suci_waisak_2554_be_2010_di_candi_borobudur_300_225.jpg


Ribuan umat Buddha merayakan Waisak di Candi Borobudur (Antara/ Anis Efizudin)

Bila kita amati secara seksama, akhir-akhir ini tampak adanya kecenderungan yang mengkhawatirkan di dalam diri anak-anak muda kita, yakni keterlibatannya secara intens dalam tindakan kekerasan yang tidak saja membahayakan dirinya tetapi juga khalayak ramai. Keterlibatan mereka secara mendalam terhadap ideologi kekerasan yang bersumber pada keyakinan bahwa dirinya dalam keadaan teraniaya dan perjuangan untuk untuk membebaskan keadaan ini adalah dengan jalan kematian, baik bagi diri sendiri maupun objek yang dianggap sebagai penyebabnya. Setidaknya terdapat dua hal yang perlu kita kaji secara mendalam yakni pelakunya—rata-rata masih berusia muda—dan ideologi yang melatarbelakangi tindakannya.

Sudah menjadi kewajiban bagi kita umat beragama Buddha yang tidak lama lagi akan merayakan Hari Waisak untuk ikut serta memikirkan kondisi yang memprihatinkan ini. Sebagai murid Buddha, tentu hal ini tidak bisa dianggap remeh atau bahkan menganggap bahwa hal ini tidak ada urusannya dengan kehidupan kita. Sudah saatnya bagi kita umat beragama untuk bersama-sama memikirkan dan mencari solusi, karena masalah ini telah menjadi keprihatinan kita bersama sebagai anak bangsa. Harus terdapat perubahan mendasar dari sikap kehidupan keagamaan yang tadinya melulu memikirkan nasib diri sendiri, berubah menuju pada pengembangan keimanan yang lebih luas dan kearah yang lebih tinggi.

Pada umumnya, sebagai penganut agama kita datang ke tempat-tempat ibadah di kala jatuh sakit, mengalami masalah ekonomi, cinta, atau hubungan tak harmonis di dalam keluarga atau tempat kerja. Atau sebaliknya, kita menjadi jarang ke vihara karena merasa tidak ada masalah dengan kehidupan kita. Semuanya lancar-lancar saja, kalaupun ada masalah semua bisa diatasi dengan segala kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan. Jikalau sakit, pengobatan dan perawatan yang prima tersedia. Apalagi dengan kondisi perekonomian saat ini yang lebih kondusif membuat usaha relatif lebih mudah. Begitupun, dalam komunikasi tidak ada yang terlalu sulit untuk dijangkau. Kondisi mental dan fisik yang prima menyebabkan kita dapat mengeliminasi kesulitan, ketidak puasan dan penderitaan melalui gaya hidup nonreligius. Kekhawatiran bahkan bisa ditutup dengan kegiatan olah raga, entertainment, minuman keras, sex, obat-obatan, dlsb. Kita sedang dimabuk kenikmatan surgawi. Membuat kita menjadi terlena dan lupa bahwa semuanya ini hanyalah sementara, tidak kekal. Juga membuat kita lupa bahwa masih banyak yang harus kita pikirkan selain diri kita sendiri.

Kealpaan ini membuat manusia menjadi semakin egoistik dan tidak peduli dengan keadaan disekitarnya. Korupsi meraja lela, kekuasaan yang tidak mendengar, anti kritik, selalu komplein, mudah marah, dlsb. Sifat-sifat egoistik ini dalam beberapa kasus bahkan mengarah kepada tindakan kejam dalam melakukan perbuatan kriminal. Banyak orang saat ini—termasuk anak muda—yang melakukan tindakan kejahatan tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebagai keburukan dan mungkin tidak paham tentang nilai-nilai kebaikan dan keburukan. Mereka tidak tahu bahwa tindakan yang mereka buat adalah keburukan. Mereka tidak menyadari bahwa setiap tindakan keburukan akan memperoleh balasan keburukan pula. Ketidak tahuan akan validitas hukum sebab akibat ini mengundangorang untuk berbuat kejahatan. Kebaikan dann keburukan akan berhubungan dengan kebahagiaan atau penderitaan dirinya sendiri. Dengan memahami hukum sebab akibat ini kemungkinan dapat menurunkan tingkat kriminal dan kekerasan, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa keburukan dapat saja ditimbulkan atas ideologi yang disebarkan oleh pemimpin yang menolak hukum sebab akibat ini, yang mendorong kekerasan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah.

Shakyamuni Buddha melihat manusia berjalan diatas es yang tipis dan berada sangat dekat dengan bahaya. Beliau lahir di dunia ini dengan keprihatinan yang besar akan penderitaan yang dialami umat manusia. Maka terlihat betapa perjuangan hidupnya yang begitu keras untuk mencari sebab musabab yang membuat manusia menjadi begitu menderita. Pencerahan yang dialaminya di Bodhgaya dan dilanjutkan dengan pembabaran ajaran ke seluruh India untuk menyadarkan umat manusia tentang tiga aspek kebenaran—bahwa segala sesuatu bersifat tidak kekal(impermanen), tidak memiliki substansi (egolessness), dan nirvana sebagai pembebasan dari segala penderitaan—merupakan jalan agar manusia dapat terlepas dari hawa nafsu dan segala keterikatan. Bahkan hingga akhir hayatnya, beliau membesarkan hati manusia akan kekekalabadiaan diri-Nya dalam membimbing seluruh umat manusia agar dapat mencapai kebahagiiaan sejati sesuai dengan prasetya-Nya: “Membuat seluruh umat manusia mencapai kesadaran Buddha sama seperti diri Ku.”

Melalui tiga peristiwa dalam kehidupannya—kelahiran, pencerahan dan parinirvana—Buddha memperlihatkan kepedulian yang besar atas kemanusiaan. Buddha mendorong manusia untuk memperjuangkan yang terbaik bagi diri dan masyarakat disekitarnya. Apabila masyarakat berkembang dengan baik, kebahagiaan individu sudah pasti tercapai. Di dalam pembabaran ajaran dan perjumpaan-perjumpaan-Nya dengan Brahmana, pengusaha, bangsawan dan masyarakat awam, Shakyamuni selalu menekankan usaha pelepasan hawa nafsu dan keterikatan yang berasal dari ketiga racun: keserakahan, kemarahan dan kebodohan (ignorance). Tujuannya hanya satu, agar manusia mampu secara jernih mengembangkan kehidupan keagamaan yang tidak hanya ditujukan bagi keselamatan dirinya belaka(egoistik), melainkan juga aktif merombak kondisi masyarakat yang dipenuhi oleh hawa nafsu dan khayalan palsu (delusi). Suatu perubahan bentuk keimanan yang tadinya hanya terbatas self-oriented, menuju keimanan yang memikirkan kebahagiaan orang lain dan alam sekitar. Inilah makna pertumbuhan dalam keimanan kita setiap kali merayakan Hari Waisak.

Kelahiran dan Keberangkatan

Siddharta Gautama lahir di Taman Lumbini (500 SM) yang terletak di antara negara bagian Shakya dan Kosala. Ratu Maya, sebenarnya ingin melahirkan bayinya di Devadaha, ibukota Kosala, namun ketika ratu Maya berhenti sejenak dalam perjalanan karena tertarik dengan rimbunan bunga dan berusaha memetiknya dari pohon asoka, tiba-tiba merintih kesakitan. Tanpa persiapan sewajarnya, ia melahirkan di bawah pohon tersebut. Menurut legenda, seekor naga memberikan air hangat untuk mandi pertama bayi yang langsung dapat berdiri dan berjalan sebanyak tujuh langkah sambil berucap : “Akulah yang termulia, di surga dan di bumi.”

Raja Suddhodana dan seluruh penduduk di istana kerajaan bersuka cita, Sang raja mengundang Asita yang meramal apabila anak tersebut menetap di istana maka ia akan menjadi Chakravarti (Raja Pemutar Roda) dan bila meninggalkan istana akan menjadi guru agung; Buddha. Puas dengan ramalan Asita, sang raja member nama putranya Siddharta yang berarti “ Ia yang telah mencapai tujuan’” Nama yang mencerminkan seseorang yang memiliki karma baik. Seseorang yang telah melakukan banyak sebab-sebab baik pada masa kehidupan lampaunya dan menerima anugerah dari tindakan-tindakan sucinya. Kehidupan agung dimasa lampau-Nya menjadi sebab dari kelahirkan-Nya di kehidupan saat ini. Dalam pengertian inilah, diri-Nya “telah mencapai tujuan.”
Kehidupan di dunia tidak pernah mengenal kebahagiaan yang kekal. Di tengah-tengah perasaan suka cita atas kelahiran Siddharta, datanglah kepedihan. Ibunda-Nya, ratu Maya meninggal dunia tepat tujuh hari setelah kelahira-Nya. Beruntung, bibinya, Mahaprajapati Gautami bertindak sebagai ibu angkat. Diliputi oleh cinta dan welas asih, Siddharta tumbuh penuh dengan kenyamanan. Namun demikian, sang pangeran terlihat sedih tanpa ibu-Nya. Disamping itu, keadaan negeri Shakya yang berada di bawah pengaruh Kosala, membuat keadaan tidak pasti. Hal-hal ini mebuat Siddharta tidak tenang. Di usia sekitar lima belas tahun, Ia menyaksikan pertarungan sengit anta binatang. Pada festival pertanian, sekitar 500 kerbau digunakan untuk membajak sawah membuat serangga di baliik tanah bermunculan dan menjadi mangsa burung-burung kecil untuk pada akhirnya mati terbunuh dimangsa burung-burung yang lebih besar; predator.

Siddharta muda tumbuh menjadi seorang pangeran yang tampan dan memiliki pribadi yang mulia. Raja Suddhodhana yang berharap anaknya menjadi putra mahkota menyiapkan istana musim panas, hujan dan dingin. Meskipun setiap saat disuguhi dayang-dayang cantik yang pandai merangkai bunga, menari dan menyanyi , tetap tak dapat membuat-Nya senang: “ Aku begitu lemah di masa muda ku. Di rumah ayah ku terdapat beberapa kolam yang ditanami teratai berwarna putih, merah, kuning dan bunga lily air untuk menyenangkan diri ku. Tersedia pula dupa terbaik dari Kasi. Sorban,jubah, pakaian dalam dan pakaian sehari-hari ku adalah sutra terbaik dari Kasi. Siang dan malam, ketika aku berjalan, seorang berdiri di dekat ku memegang payung putih diatas kepala ku, melindungi ku dari terik matahari, dingin, hujan dan debu yang beterbangan. Tiga istana dibangun untuk ku: satu untuk musim panas, satu untuk musim dingin, dan satu untuk musim hujan. Sepanjang empat bulan di musim hujan, aku hidup di istana yang dibangun untuk musim itu, menikmati musik yang dimainkan oleh wanita-wanita cantik, dan aku tidak pernah bepergian. Di rumah ayah ku bahkan pelayan dan pekerja mendapat nasi putih dan daging”.

Untuk membuat putranya senang, raja Suddhodana menyiapkan empat perjalanan tamasya keluar dari istana melalui empat pintu gerbang yang justru membuat sang pangeran menyaksikan keadaan—orang tua renta, sakit dan mati—yang semakin membuat dirinya sedih, stress dan menguatkan tekadnya untuk mencari sumber dari penderitaan. Selanjutnya beliau berkata: “ Meskipun diri ku masih belia dan hidup di dalam kemewahan, aku sering terobsesi dengan pikiran bahwa banyak orang yang tidak peduli dengan masa lanjut usia, sakit dan kematian yang dialami manusia lainnya. Mereka menganggap persoalan yang dihadapi orang lain adalah bukan urusannya, mengabaikan bahwa dirinya juga akan mengalami masa tua, jatuh sakit dan kematian. Tapi aku menghubungkan penderitaan usia lanjut, sakit dan kematian orang lain dengan diri ku, dan ini menyebabkan diri ku menderita dan merasa malu dengan kebanggaan tentang kemudaan, kebugaran dan hidup.
Kesemuanya ini semakin menggambarkan pribadi sang pangeran yang tidak dapat menikmati kesenangan atas kelimpahan harta yang tersedia. Kesedihan ditinggal ibunda dan keadaan politik yang tak menentu dari suku bangsa Shakya , terlebih keharusan menjadi pewaris tahta, memainkan peranan penting dalam pembentukan watak-Nya. Kepedulian atas penderitaan umat manusia dan mahluk hidup lain—bahwa semua harus mengalami kelahiran, tua, sakit dan mati—dan perjuangan tanpa henti serta pertikaian untuk bertahan hidup, dimana yang kuat mengalahkan yang lemah, mendorong sang pangeran untuk menemukan sesuatu yang dapat membebaskan derita dan rasa tidak aman. Keinginan agung ini mempertebal tekad-Nya untuk meningggalkan kehidupan duniawi. Siddharta meninggalkan istana di kala usia belia dan kelimpahan harta, menanggalkan seluruh pakaian kebesarannya, mengenakan jubah kuning berangkat menuju selatan Magadha, menjadi seorang shramana.

Pencerahan dan Pembabaran Ajaran

Siddharta mengunjungi dua guru utama meditasi yang sangat terkenal di saat itu, Alara-Kalama dan Uddaka- Ramaputra. Meskipun berhasil mencapai keadaan tertinggi dari meditasi tanpa alam-bentuk, namun tetap tidak memberinya rasa tenang dari kegelisahan. Sepanjang dapat mempertahankan konsentrasi, tidak ada hal apapun yang dapat mengganggunya. Namun begitu gagal berkonsentrasi, diri-Nya kembali merasa khawatir dan menderita. Dari sudut pandang ini maka pembebasan sejati dari ikatan ilusi dan penderitaan hanya dapat dicapai melalui keadaan ketenangan absolute; kematian. Menemukan meditasi semacam ini tidak memenuhi harapan, Siddharta pergi menemui UddakapRamaputra. Namun kembali diri-Nya tidak menemuikan jalan keluar dalam mengatasi problema manusia walaupun ia telah mencapai keadan tertinggi dalam meditasi; pikiran eksis di antara ada dan tiada.

Kecewa dengan meditasi,Siddharta memutuskan untuk menjalankan kehidupan asketik. Berdiri dibawah terik sinar matahari India yang sangat ekstrim adalah salah satu metodenya. Memandangi matahari hingga membutakan mata. Ada juga cara berdiri dengan satu kaki serta satu tangan diatas kepala untuk waktu yang lama. Lainnya, hanya makan satu butir nasi satu hari atau satu minggu. Bahkan ada yang menjalani puasa tidak memakan apapun selama satu hingga tiga bulan. Alasan untuk menjalankan pertapaan ini berkaitan dengan konsep hubungan antara jasmani dan rohani. Pertapa asketis percaya bahwa penderitaan manusia disebabkan oleh ikatan antara rohani dengan daging. Selama ikatan ini tetap berlangsung maka rohani tak dapat terbebaskan. Penderitaan hanya dapat dihilangkan dengan melepas rohani dari ikatannya dengan daging dan benda-benda material. Tujuan asketik adalah melemahkan kekuatan jasmani atas rohani. Namun sejak rohani tak dapat benar-benar bebas secara absolut selama terdapat jasmani, maka kematian dan perusakan tubuh menjadi kesimpulan akhir.

Siddharta menjalani kehidupan asketik semacam ini bahkan dengan metode yang jauh lebih ekstrim hingga ambang batas kehidupan. Kehidupan asketik yang dijalani-Nya selama enam tahun, membuatnya menjadi sangat lemah dan yang terlihat hanya tinggal kulit dan tulang belulang. Ketika ia menyadari bahwa enam tahun penderitaan-Nya telah gagal menghasilkan apa yang diinginkan selain perusakan tubuh, Siddharta memutuskan untuk melepaskan kehidupan asketik. Ia lalu bersusah payah menuju tepian sungai untuk mandi dan meminum susu dari beras yang diberikan oleh Sujata, gadis desa setempat. Kesehatannya berangsur-angsur pulih. Kelima teman pertapa-Nya menganggap Siddharta telah gagal mencapai pencerahan karena telah mandi dan meminum susu beras pemberian Sujata, lalu pergi menuju Migadaya, Taman Rusa di Varanasi.

Siddharta telah membuktikan bahwa praktik meditasi maupun pertapaan asketik tidak dapat membawa seseorang dapat mencapai pencerahan. Manusia membutuhkan kebebasan dari penderitaan dan kesedihan di dalam kehidupan saat ini, di dunia ini. Meskipun keadaan ideal munkin tersedia setelah kehidupan ini, tetap tidak member I solusi atas penderitaan dan kegelisahan yang dialami saat kehidupan ini. Setelah kekuatan fisik-Nya pulih, ia duduk dibawah pohon assattha tidak jauh dari kota Gaya dan membuat prasetya untuk tidak bangkit sebelum mencapai pencerahan, meskipun itu harus berarti mati. Pada saat-saat pertama pencerahan, (sekitar pukul 18.00-22.00) beliau mencapai keadaan dimana dapat melihat kehidupan lampaunya. Di pertengahan (sekitar pukul 22.00-02.00) ia dapat melihat kehidupan dimasa mendatang. Pada saat final (pukul 02.00-04.00) diri-Nya lepas dari seluruh ikatan dan mencapai pencerahan tanpa ilusi. Beliau menjadi seorang Buddha. Dan sejak saat itu beliau disebut Shakyamuni, “arif bijaksana dari suku bangsa Shakya”.

Shakyamuni lalu mengunjungi kelima teman-teman pertapa di Taman Rusa, Varanasi (Benares), yang juga terkenal dengan sebutan Rishi-patana, “tempat berkumpulnya para pertapa.” Pembabaran ajaran pertama ini disebut Dhammacakkappavattana Sutta (Ceramah Pemutaran Roda Dharma) yang menunjukkan jalan langsung menuju kebahagiaan sejati, yakni Empat Kebenaran Mulia: (1) Kebenaran Tentang Dukkha, (2) Kebenaran tentang Asal Dukkha, (3) Kebenaran Tentang Akhir Dukkha—Nirvana, (4) Kebenaran Tentang Jalan Menuju Akhir Dukkha, yaitu: Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah jalan yang berisi segala sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan mulia, kejernihan pikiran dan pencapaian kebijaksanaan, yang menghindari ekstrim pemanjaan diri mupun penyiksaan diri. Kedelapan faktor Jalan Mulia ini dapat dibagi dalam tiga aspek sbb: Disiplin Moral (Sila): (1) Perkataan Benar, (2) Perbuatan Benar, (3) Penghidupan Benar; Pengembangan Bathin (Samadhi): (4) Pengupayaan Benar, (5) Penyadaran Benar, (6) Pemusatan Benar; Kebijaksanaan (Prajna): (7) Pandangan Benar, (8) Perniatan Benar.

Shakyamuni berkeliling mengunjungi hampir seluruh India untuk membabarkan ajaran-ajaran selama hampir lima puluh tahun. Ajaran-ajaran-Nya di kompilasi—yang terkenal dengan sebutan delapan puluh empat ribu ajaran—dan diwariskan hingga kini. Shakyamuni melihat bahwa hawa nafsu dan keterikatan-keterikatan telah membutakan umat manusia dari Hukum Kehidupan yang sesungguhnya bersemayam di dalam diri setiap insan. Nafsu-nafsu dan keterikatan ini secara khususnya termanifestasikan dalam pandangan yang menganggap diri sebagai sesuatu yang absolut, yang membuat mereka memandang dunia dan masyarakat secara egosentris. Disamping itu, beliau menegaskan bahwa segala fenomena eksis secara temporer dalam perubahan yang konstan. Sehingga pandangan yang mengagungkan materi menjadi suatu kesia-siaan. Kisah-kisah dibawah ini menceritakan bagaimana Shakyamuni “membuka mata” umat manusia yang tadinya terikat oleh hukum dunia, menuju Hukum Kehidupan Sejati.

Kisah Tentang "Pembajak Ladang"

Sekitar sepuluh tahun setelah pencerahan di Bodhgaya, Shakyamuni sedang berada di sebuah tempat bernama Gunung Selatan di kerajaan Magadha. Saat itu, Shakyamuni belum begitu dikenal di daerah tersebut. Seorang petani Brahmana bernama Bharadvaja, yang tinggal dan menggarap ladang bersama para pekerjanya sedang mempersiapkan ladangnya dengan lima ratus luku. Satu pagi, setelah bangun, berpakaian dan mengambil mangkuk, Shakyamuni datang ke ladang Bharadvaja, yang sedang membagikan makanan kepada para pekerjanya. Dengan mangkuk ditangan, Shakyamuni mendekatinya. Merasa terganggu dengan pendeta yang meminta-minta, Bharadvaja menukas, “Oh, Shramana, aku membajak lading-ladang ku, menyemai benih, dan hidup dari hasil panen ku. Daripada menyenangkan diri mu sendiri dan meminta-minta makanan, kamu juga seharusnya membajak, menanam, dan makan dari apa yang kamu peroleh dari keringat atas kerjamu sendiri.”

Meskipun perilaku semacam ini umum di dalam kehidupan sehari-hari, namun mengejutkan bahwa kata-kata semacam ini keluar dari seorang Brahmana, yang merupakan anggota dari kasta tertinggi pemimpin spiritual. Hal ini memperlihatkan bahwa Brahmana ini, sebagaimana yang lainnya saat itu, menekankan materi dan ekonomi diatas segalanya. Dengan harapan dapat memperbaiki perilaku salah tersebut, Shakyamuni berujar, “Brahmana, aku pun hidup dengan membajak ladang dan menanam benih.” Karena ia tidak paham dengan kata-kata ini, Bharadvaja berkata, “Tetapi, Shramana, aku tidak melihat peralatan tani mu, kuk, luku, mata bajak, galah, atau lembu jantan.” Disamping itu, anda mengatakan bahwa anda hidup dari membajak ladang dan menanam benih-benih. Apa yang anda maksudkan?”

Lalu Shakyamuni menjawab dengan syair, “ Keyakinan adalah benih ku. Pengupayaan benar adalah hujannya. Kebijaksanaan adalah luku ku; kesadaran adalah bajak ku; pikiran adalah kuk ku; pemikiran benar adalah mata bajak dan galah ku. Aku melindungi tubuh ku dan ucapan dari tindakan buruk. Aku membatasi jumlah makanan dan pakaian sesuai kebutuhan. Aku menggunakan kebenaran untuk mencabuti rumput-rumput ilusi, dan kelembutan sebagai pembebasan. Pengembangan spiritual adalah binatang beban ku, yang kutunggangi menuju keteduhan nirvana, dimana aku akan memiliki hal-hal yang tidak perlu disedihkan. Pembajakan mana yang pasti tidak dapat dielakkan menuju kepada suatu panen keabadian dan pembebasan dari segala penderitaan.”

Mendengar hal tersebut, sang Brahmana akhirnya memahami arti dari pembajakan dan pembenihan Shakyamuni. lalu mengisi mangkuk tembaga besar dengan susu dan nasi , mempersembahkannya kepada Shakyamuni dan berkata, “Gotama, makanlah ini, yang mana anda sebenarnya pembajak ladang yang sesungguhnya.” Di masa India kuno, orang dapat hidup dengan berdiri di depan pintu rumah-rumah untuk membacakan kalimat-kalimat dari tulisan suci. Bharadvaja memberikan Shakyamuni susu dan nasi dalam sebuah asumsi keliru bahwa ia membaca bait-bait syair untuk suatu profesi yang menghidupi.
Tetapi Shakyamuni menolak dan berujar, “Aku tidak memakan makanan yang dipersembahkan sebagai kompensasi dari pembacaan bait-bait. Yang mana hal tersebut bukanlah Hukum dari orang yang memahami sifat sesungguhnya dari segala sesuatu secara benar. Aku menolak makanan yang diberikan sebagai sebuah pertukaran. Makanan yang disediakan sebagai persembahan melalui pelaksanaan yang tulus adalah makanan sesungguhnya Buddha dari Hukum. Buddha sejati yang telah memiliki seluruh kebajikan, yang telah menghancurkan seluruh ilusi dan telah memasuki dunia keheningan, selayaknya diberi makanan yang berbeda dengan yang diperuntukan bagi pembacaan –pembacaan. Buddha memberikan ladang terunggul dari keberuntungan kepada siapapun yang memberikan persembahan tanpa pamrih.”

Pertukaran Pandangan (Colloquy)

Peternak Dhaniya , keluarganya, dan para asistennya hidup dalam keamanan perekonomian, hidup bahagia di tepian sungai Mahi, dimana mereka menggembalakan ternaknya. Rumahnya beratapkan genting yang kuat, tanpa khawatir bocor di musim hujan. Dengan tiadanya pengganggu yang dapat menyulitkan kehidupan mereka, suasana damai menyelimuti penggembalaan ternak dan menghasilkan susu terbaik. Anak sapnyai sehat dan tumbuh dengan baik. Dhaniya hidup harmonis dengan istrinya yang penurut, cantik dan setia. Anak-anaknya kuat dan sehat. Keadaan rumah tangga, termasuk orang-orang yang bekerja dengannya , menikmati hidup ideal dan penuh kebahagiaan,hingga suatu saat Shakyamuni datang untuk meminta makanan , menanyakan keadaan Dhaniya dan membabarkan Dharma.

Ketika Dhaniya mengatakan bahwa rumahnya beratapkan genting yang baik dan api yang menghangatkan dinyalakan, Shakyamuni menjaawab, “Rumahku tak memiliki atap, dan api ilusi telah dipadamkan.” Ketika Dhaiya mengatakan bahwa ia memiliki anak-anak sapi, susu sapi, sapi betina, sapi hamil dan sapi jantan sebagai pimpinan ternak, Shakyamuni membalas, “Aku tidak memiliki harta seperti anak sapi; aku tidak memiliki ilusi yang menyilaukan seputih air susu sapi; Aku tidak memiliki akumulasi karma seperrti anak sapi yang masih dalam kandungan; Aku tak memiliki nafsu seperti sapi betina; dan aku tidak memiliki pekerjaan seperti sapi jantan yang menjadi pimpinan ternak.” Dhaniya lalu mengatakan bahwa dirinya memiliki tiang pancang yang kuat dan tali tambang baru yang ditarik agar ternak-ternak tidak berlarian. Untuk hal ini, Shakyamuni menukas, “Aku telah memotong segala ikatan ilusi seperti sapi jantan; menghancurkan segala nafsu seperti gajah dan tidak akan masuk ke dalam rahim kembali.”

Setelah pertukaraan pekerti semacam ini, Dhaniya dan istrinya memutuskan untuk melepaskan keterikatan pada duniawi dan memasuki kehidupan keagamaan. Pada saat itu, Mara, sang dewi iblis muncul dan berujar, “Orang yang memiliki anak akan dibahagiakan oleh mereka. Orang yang memiliki ternak akan dibahagiakan oleh mereka. Cinta semacam ini adalah kebahagiaan tertinggi yang didambakan manusia. Tanpanya, tiada kebahagiaan.” Untuk menjaga tekad Dhaniya dalam melepaskan kehidupan duniawi, Shakyamuni berkata, “Orang yang memiliki anak akan mengalami kesedihan dalam hidup. Orang yang memiliki ternak akan mengalami kesedihan dalam hidup. Cinta semacam ini adalah kesedihan tertinggi yang dimiliki manusia. Tanpanya, tiada kesedihan.”

Kisah Tentang Para Bangsawan Muda

Dalam perjalanan dari Varanasi (Benares) menuju Uruvelva di Magadha, Shakyamuni memasuki hutan yang teduh dan duduk bermeditasi. Saat itu, tiga puluh bangsawan muda dengan para istrinya sedang bercengkerama diantara mereka di hutan tersebut. Salah seorang diantaranya masih lajang dan seorang wanita tuna susila telah didapatkan untuknya.

Ketika semuanya sedang berasyik masyuk, wts itu mencuri perhiasan emas, perak, permata mereka dan kabur melarikan diri. Ketika mereka menyadari hal tersebut, mereka bergegas mencarinya. Melihat Shakyamuni sedang duduk bersila di bawah pohon, mereka menanyakan kemungkinan beliau melihatnya. Ia menjawab dengan bertanya mengapa mereka mencarinya. Setelah mendengar penjelasan tersebut, Shakyamunni berujar, “Mana yang lebih penting, mencari wanita itu atau mencari dirimu sendiri?”.. Mereka menjawab bahwa mencari diri sendiri adalah jauh lebih penting. Lalu Shakyamuni berkata, “Duduklah, akan Ku ajarkan Hukum (Dharma) untuk menemukan dirimu.” Mereka mendengarkan pembabaran Dharma langsung dari Sang Buddha dan sungguh berbahagia. Mereka memohon untuk dapat bergabung melepas kehidupan duniawi dan akhirnya diterima sebagai anggota Ordo Buddhis saat itu.

Tiga kisah, “pembajak ladang” yang terdapat di dalam Sutra Samyuktagama, kisah tentang pertukaran pandangan (colloquy) antara Shakyamuni dengan Dhaniya, serta kisah para bangsawan muda adalah beberapa contoh yang mengena tentang berbagai macam perihal perumpamaan-perumpamaan yang digunakan Shakyamuni untuk membimbing umat manusia melepaskan segala keterikatannya. Buddha menginginkan umat manusia membuang belenggu tujuan hidup yang tak bernilai. Ia mencoba menyadarkan umat manusia bahwa penderitaan muncul karena keterbelengguan pada ikatan-ikatan di luar diri kita. Dengan tidak menyadari sifat ketidak-kekalan benda-benda itu semua, manusia cenderung dengan mudah kehilangan dirinya dalam pusaran keaneka ragaman hal-hal disekitar mereka. Mereka membayangkan bahwa benda-benda tersebut akan membawa kepuasan. Apabila sesuatu yang diingini akhirnya menjadi miliknya, mereka ingin memegang untuk selama-lamanya. Padahal, segala sesuatu di dunia ini hanyalah bersifat sementara dan tidak kekal. Segera dan secepat mereka kehilangan, kekecewaan justru timbul lebih menyakitkan.

Kekayaan, reputasi, kekuasaan politik-ekonomi, tidak dapat membawa kepuasan langgeng dan seringkali terbukti justru hanya menyebabkan lebih banyak ketidak bahagiaan seseorang dan lainnya. Buddha mengajarkan bahwa tujuan-tujuan semacam ini semuanya adalah palsu dan karena tidak ada sesuatu apapun yang abadi di dunia ini, telah menyimpangkan kita dari tujuan sejati kehidupan. Tujuan-tujuan yang membawa kita ke dalam perlombaan keserakahan yang berlebihan, dimana hanya seorang atau segelintir orang saja yang dapat memenangkannya. Bahkan sekalipun telah diperoleh, biasanya tetap gagal untuk memuaskan. Kondisi itu hanya bersifat merangsang nafsu yang lebih berkobar lagi.

“Membuang seluruh keterikatan” disini bukanlah berarti lalu kita menjalani hidup yang kaya dan penuh keberisian ini tanpa ikatan sema sekali. Tidak ada yang salah dengan keterikatan kepada keluarga, pekerjaan, masyarakat, negara bahkan kehidupan itu sendiri. Ikatan-ikatan itu bersifat membangun dan membawakan kegembiraan dan arah kepada kehidupan kita.

Buddha menekankan pembuangan seluruh keterikatan karena umat manusia pada masa kehidupan beliau saat itu lebih mudah terdorong oleh bisikan hatinya dan cenderung terhanyutkan oleh hawa nafsu. Dengan demikian, “membuang seluruh keterikatan” seharusnya diinterpretasikan sebagai “membedakan secara wajar” atas hal-hal mana yang merupakan keterikatan yang wajar. Adalah sesuatu yang mustahil untuk membuang keterikatan seseorang kepada hal-hal di dunia ini. Membuang seluruh keterikatan berarti penyangkalan atas kehidupan itu sendiri. Kita dapat bertahan hidup justru melalui berbagai keterikatan dan hawa nafsu. Sudah barang tentu banyak ketidak bahagiaan telah diakibatkan oleh nafsu-nafsu yang tak terkendalikan, tetapi untuk membuang segala-galanya akan menjadi sebuah keterikatan pula. Pandangan yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban dan ikatan materi, seluruh keterlibatan kita di dunia ini, saat ini, adalah salah, merupakan sesuatu yang berlebihan dan mustahil.

Kecakapan untuk membeda-bedakan menuntut setiap individu untuk menyumbangkan kearifan dan watak yang kuat untuk mengendalikan keterikatan. Dalam Sutra Enam Paramitha dinyatakan, “Jadilah guru dari hatimu, jangan jadikan hati sebagai gurumu.” Dengan demikian, pelaksanaan ajaran Buddha untuk “membuang segala keterikatan,” memungkinkan seseorang membentuk watak yang kuat semacam itu, sehingga mampu mengenali dirinya yang sejati, menjadi guru dari hati. Membuat diri kita memperoleh kearifan untuk menentukan mana nafsu-nafsu yang berguna dan yang destruktif.

Masuk Nirvana

Shakyamuni wafat di usia delapan puluh tahun. Selain tubuh yang melemah, tidak dapat dipungkiri bahwa diri-Nya mengalami kesedihan yang mendalam dengan meninggalnya Shariputra dan Maudgalyayana, dua orang murid terkemuka. Tahun-tahun terakhir-Nya dihabiskan di Gridhrakuta, Rajagiha-Magadha. Dalam perjalanan terakhir,beliau mengunjungi desa Pataliputra yang nantinya menjadi ibukota Magadha. Beliau menyeberangi sungai Ganga dan tiba di Vaishali, ibukota suku bangsa Vrijji. Di tempat ini, Ambapali mempersembahkan hutan pohon mangga kepada Buddha. Sesudahnya beliau menuju Beluva, di pinggiran kota Vaisali untuk menghabiskan retreat musim hujan terakhir kalinya. Setelah sembuh dari sakit, Shakyamuni berjalan kembali dengan rombongan dan ketika tiba di desa Pava, Mala, beliau kembali jatuh sakit sesaat setelah menyantap makanan yang diberikan oleh Chunda, pandai besi desa setempat. Sejarah mencatat sakitnya disertai dengan pendarahan dan diare. Meskipun demikian beliau tetap melanjutkan perjalanan dan tiba di Kushinagara. Di bawah pohon sala, Shakyamuni berbaring dengan topangan bagian tubuh sebelah kanan dan kepala menghadap Utara, mengucapkan kata-kata terakhirnya dan meninggal dunia.

Di saat-saat terakhir hidup-Nya, di bawah pohon sala d Upavattana, di tepian Sungai Hiranyavati beliau memberi wejangan terakhir kepada Sangha (kumpulan Bhikksu) dan berujar, “ Kalian tidak boleh berpikir bahwa kata-kata gurumu telah tiada atau kalian ditinggalkan tanpa seorang guru. Sila dan ajaran yang telah kubabarkan haruslah menjadi gurumu.” Kata kata akhir lainnya adalah: “Oleh karenanya, kalian haruslah menjadi pelita bagi dirimu sendiri. Jadikan dirimu sebagai perlindungan. Jangan mencari perlindungan diluar dirimu sendiri. Peganglah Dharma sebagai sebuah pelita dan jangan mencari perlindungan kepada apapun selain dirimu sendiri.” Peninggalan Shakyamuni diterima oleh suku bangsa Mallas dari Kushinagara dan di kremasi tujuh hari kemudian. Abunya dibagi menjadi delapan bagian, dan diberikan kepada Ajatashatru, raja Magadha, kepada kaum Licchavis dari suku bangsa Vaishali, suku bangsa Shakya dari Kapilavastu dan lainnya. Stupa-stupa di bangun untuk menyemayamkan relik-relik-Nya (salira). Stupa-stupa juga dibangun untuk menyemayamkan kendaran untuk upacara kremasi , termauk abu dari api. Sepuluh stupa dibangun di seluruh bagian India.

Selamat Hari Raya Waisak.
 
Back
Top