Hari Anti Tembakau Sedunia

spirit

Mod
Tembakau, TBC, dan Kemiskinan
Selasa, 31 Mei 2011 Darwis SN

nosmokingsymbol2.jpg

Memperingati Hari Anti Tembakau Sedunia, 31 Mei, ada fenomena yang masih mengkhawatirkan terkait posisi Indonesia, yang hingga kini masih menempati urutan ketiga dalam daftar negara dengan angka kasus TBC terbanyak di dunia setelah India dan China. Setiap tahun penderita TBC di Indonesia bertambah 500.000 orang. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan usia dan nomor satu dari golongan infeksi. Sementara Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2008 menunjukkan bahwa di Indonesia, TBC merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah stroke.

Fakta ironis lainnya, Indonesia masih menghadapi kenyataan sebagai negara lima besar pengonsumsi rokok dunia. Berkaitan dengan kebiasaan merokok, ada yang aneh dengan bangsa ini. Jika bangsa-bangsa lain menunjukkan tren menurun, di Indonesia yang masih dililit problem ekonomi, justru memperlihatkan kenaikan. Lebih celaka lagi, biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk konsumsi rokok jauh lebih besar dibandingkan anggaran kesehatan per kapita.

Jumlah perokok aktif di Indonesia naik dari 22,5% pada 1990-an menjadi 60% dari jumlah penduduk tahun 2000. WHO memperkirakan bahwa 59% pria berusia di atas 10 tahun di Indonesia telah menjadi perokok harian. Diperkirakan, konsumsi rokok Indonesia setiap tahun mencapai 199 miliar batang rokok atau urutan ke-5 setelah RRC (1.679 miliar batang), AS (480 miliar), Jepang (230 miliar), dan Rusia (230 miliar). Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi rokok di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 44,1% dan jumlah perokok mencapai 70% penduduk Indonesia.

Yang lebih menyedihkan lagi, 60% di antara perokok adalah kelompok berpenghasilan rendah. Prevalensi merokok di Indonesia paling tinggi ditemukan pada penduduk laki-laki berusia 15 tahun ke atas, yang tidak tamat sekolah dan tidak tamat SD. Statistik Kesehatan 2001 juga menunjukkan, lebih banyak perokok ditemukan di pedesaan daripada di perkotaan. Tingginya konsumsi merokok dipercaya bakal menimbulkan implikasi negatif yang sangat luas, tidak saja terhadap kualitas kesehatan, tetapi juga menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi. Wakil WHO di Indonesia menyebutkan, masyarakat miskin adalah kelompok masyarakat yang paling menjadi korban dari industri tembakau. Karena, menggunakan penghasilan mereka untuk membeli sesuatu yang justru dapat membahayakan kesehatan mereka.

Masih menurut WHO, rata-rata orang Indonesia menggunakan 15% uangnya untuk membeli rokok. Biaya yang harus dikeluarkan seorang perokok tiap tahunnya tentu sangat besar. Dengan asumsi sehari rata-rata seorang perokok menghabiskan sebungkus rokok dengan harga Rp 6.000 per bungkus, dalam sebulan ia harus mengeluarkan uang Rp 180.000 dan dalam setahun Rp 2.160.000. Uang sebanyak itu bisa kita hemat jika kebiasaan merokok dikurangi. Selain kita bisa memiliki cadangan uang yang bisa digunakan untuk keperluan lain (pendidikan anak, misalnya). Mengurangi kebiasaan merokok juga sangat menyehatkan, terutama sehat dari penyakit yang berhubungan dengan paru-paru dan jantung.

Mengapa merokok memperburuk tuberkulosis? Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah "membuang" infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan nafas (airway resistance) dan menyebabkan "mudah bocornya" pembuluh darah di paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat me-"makan" bakteri pengganggu.

Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan. Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sintesa elastase dan menurunkan produksi antiprotease sehingga merugikan tubuh kita. Pemeriksaan canggih seperti gas chromatography dan mikroskop elektron lebih menjelaskan hal ini dengan menunjukkan adanya berbagai kerusakan tubuh di tingkat bio molekuler akibat rokok.

Dan, ketika TBC dikaitkan dengan kemiskinan, WHO menyebutkan bahwa sebagian besar penderita TBC adalah golongan miskin dan penduduk yang tinggal di pemukiman padat. Data WHO yang menyatakan, 95% dari angka kematian akibat TBC setiap tahun berada di negara berkembang yang relatif miskin. Ini menjadi pertanda bahwa TBC terkait erat dengan masalah kemiskinan.

Fenomena tersebut membuahkan kekhawatiran bakal terbentuknya lingkaran penderita TBC. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa 75% penderita TBC pun adalah mereka yang berusia produktif. Dengan terganggunya produktivitas kerja akibat penyakit ini, maka bukan tidak mungkin penderita TBC akan kehilangan pekerjaannya. Jika ini terjadi, maka sumber nafkah keluarga dan investasi masa depan keluarga itu akan hilang. Jika dalam sebuah keluarga terdapat usia produktif yang menderita TBC maka mereka akan kehilangan 20-30% pendapatan rumah tangga. (Depkes, 2007)

Kalau hal itu dibiarkan berlangsung maka keluarga tersebut bisa semakin terpuruk dalam kemiskinan dan berakibat kekurangan gizi dan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Kekurangan gizi pada anak-anak akan mengantarkan pada kondisi yang sangat rentan untuk tertular berbagai penyakit, di antaranya TBC. Dari sinilah terbentuk lingkaran penderita TBC. Jika ini terjadi kita khawatir apa yang disebut lost generation alias generasi yang hilang akan menimpa bangsa ini.

Penulis adalah alumnus University of Adelaide Australia.


sumber: suarakarya-online.com
 
Perokok Dirazia
31/05/2011 12:52 Rozaq Asyhuri

110531brokok.jpg

Klaten: Petugas keamanan Rumah Sakit Umum Pusat Suraji Tirto Negoro, Klaten, Jawa Tengah, merazia pengunjung yang tetap nekat merokok, Selasa (31/5). Meski berbagai peringatan larangan merokok sudah terpasang, namun masih saja ada pengunjung yang kedapatan merokok. Petugas memberi peringatan dan rokok yang diisap diminta untuk dimatikan.

Penyisiran terhadap perokok di rumah sakit ini dilakukan dalam rangka Hari Anti Tembakau Sedunia yang jatuh hari ini. Razia seperti ini sebenarnya sudah rutin dilakukan mengingat rumah sakit merupakan kawasan bebas rokok.

Masyarakat yang kedapatan merokok mengaku tidak tahu menahu tentang hari anti tembakau. Sementara kebiasaan merokok tetap dilakukan karena sudah kecanduan rokok, sehingga sulit untuk meninggalkan meski berada di kawasan bebas rokok.

sumber: Liputan6.com
 
bokap misa aja ngerokok hari ini baru liat berita katanya, jadi gak tau kalau sekarang hari anti tembakau

Coba nanti kita lihat, dipe masih ngerokok nggak di rumah....:))



-dipi-
k Dipe ngerokok ya, waa gak heran sih :D
kalau k Dipi ngerokok gak?
 
klo di pedesaan rokok itu sudah jadi budaya yang sangat sulit untuk dihilangkan, bahkan klo ada kondangan yang disediakan adalah rokok, bukan makanan kecil.
untunglah saya dah brenti rokok.. hehehe
 
Aduuh daku dilarang dokter untuk berenti merokok, jadi terpaksa deh masih merokok juga hari ini.
Sedih deh. Keterlaluan dokternya. >:'(

=b==b=
==================
Tembakau khan gak bolehh hari ini,,
jadi klo nyimenk gak apa2 donk
mendingan putuss pacar dripda putus rokok..
 
gue sangat anti dengan para perokok

gue pernah mau berkelahi dengan perokok

ketika gue menegor nya dan dia menatap gue

langusng gue tatap juga

secara sesama orang sumatra tahu sendiri sama sama muda panas
 
Back
Top