Menjadi Guru, Pilihan atau Terpaksa ?

agen_pale

New member
Menjadi Guru, Pilihan atau Terpaksa?​

Selasa, 24 Mei 2011 | 03:06 WIB


Siapa bilang profesi guru membosankan? Lupakan anggapan menjadi guru itu tidak keren dan ketinggalan zaman. Apalagi kalau ada yang menyebut profesi guru tidak penting.

Menjadi guru itu asyik, bisa menularkan ilmu bagi orang lain. Apalagi saat murid-murid yang diajar bisa menerima dan mengerti materi yang diberikan. Hati ini rasanya senang luar biasa.

Itulah pengalaman Okta Paulina (21), mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Sanata Dharma Yogyakarta. Jujur saja, kata Okta, semula dia memilih jurusan itu bukan dari keinginan sendiri.

Gara-gara sampai menjelang lulus SMA, dia belum juga mempunyai gambaran akan mengambil jurusan kuliah apa, lalu keluarga memberinya saran. Orangtua menyarankan Okta mengambil pendidikan keguruan.

”Menurut mereka, kalau sekolah keguruan itu masa depannya jelas,” tuturnya.

Walau mengiyakan saran orangtua, sebenarnya Okta belum berkeinginan menjadi guru. Masuk ke FKIP Sanata Dharma, ujar Okta, bukan lantas berarti dia harus menjadi guru.

”Saya hanya menyerap ilmunya dan ingin terjun ke dunia komunikasi atau menjadi guide. Kalau buat jadi guru sih ada di urutan terakhir,” ujarnya sambil tertawa.

Perjalanan kuliah pun dimulai, lama-kelamaan Okta menikmati mata kuliah latihan mengajar. Apalagi kini pada semester enam, dia mendapat mata kuliah Micro Teaching. Di luar dugaan, Okta mulai menyukai dunia mengajar. ”Ternyata aku menikmati mengajar, ternyata asyik juga lho,” tuturnya.

Mengajar ternyata bukan sesuatu yang membosankan seperti perkiraan awal Okta. Sebaliknya, mengajar malah menjadi sesuatu yang sangat menantang. Dia harus menghadapi murid dengan berbagai karakter. Ia juga mesti mampu menggunakan metode yang sesuai agar materi pelajaran tersampaikan dengan baik.

Okta mencoba menerapkan metode mengajar yang diperoleh di bangku kuliah, juga saat memberi les privat di luar kampus. ”Awal praktik mengajar aku merasa enggak enak semua, grogi dan tegang. Eh, lama-lama ternyata asyik, apalagi kalau murid mengerti yang kita ajarkan, benar-benar puas,” papar Okta.

Sesuai cita-cita

Sedangkan Savitri Arizona (20), mahasiswi semester empat Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) bercerita, keputusannya menimba ilmu pada jurusan pendidikan itu sesuai dengan cita-citanya.

”Aku memang pengin jadi dosen bahasa asing. Ini sudah panggilan hati,” katanya mantap.

Sejak ia masih SMA, sudah terpikir keinginan mengajar. Keinginan itu timbul dari kesadaran bahwa ilmu yang dia miliki akan bermanfaat bila dibagikan kepada orang lain.

”Sekecil apa pun ilmu, yang mungkin saja buat kita bukan apa-apa, tetapi untuk orang lain bisa jadi malah bermanfaat,” ungkapnya.

Maka, tanpa ragu Savitri langsung mendaftar ke FKIP. Begitu yakin terhadap pilihannya, dia memasukkan formulir pendaftaran melalui dua jalur sekaligus, yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan jalur umum.

”Saya cuma daftar ke keguruan, enggak punya keinginan lain sih,” ujar anak bungsu dari dua bersaudara ini. Savitri lalu memilih jurusan pendidikan bahasa Jepang. Dia memang tertarik dengan bahasa asing, termasuk bahasa Jepang.

Apalagi saat masih di bangku SMA, dari semua mata pelajaran, nilai tertingginya berasal dari bahasa Jepang. ”Bahasanya menarik, jadi saya suka,” kata Savitri yang kemudian juga tertarik dengan budaya Jepang.

Gadis kelahiran Surabaya itu bertekad menjadi pengajar, setelah lulus kelak. Cita-cita mengajar sudah tertanam sejak dulu, kini dia berusaha mewujudkannya.

Meski belum pasti, dia berencana untuk langkah awal nanti menjadi pengajar siswa SMA. Dia akan berusaha mencari pengalaman sebanyak mungkin di sini, mulai dari menerapkan cara mengajar sampai bagaimana mengetahui karakter setiap murid.

”Kalau sudah banyak pengalaman, saya ingin menjadi dosen di kampus negeri. Menjadi pegawai negeri sipil (PNS) itu masa depannya terjamin,” kata Savitri menambahkan.

Menjadi PNS

Callixtus Fedy Purnawan (23), mahasiswa semester delapan Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, juga memastikan kelak akan menjadi pengajar.

Ilmu yang dia miliki dirasakan cukup sebagai bekal untuk mengajar, mulai dari tingkat SD sampai SMA. ”Kalau bisa sih, maunya saya jadi PNS dan bisa mengajar di Kabupaten Semarang,” ungkapnya.

Seperti Okta, pilihan pada jurusan yang dijalaninya kini berkat saran dari orangtua. Maklum, ayah dan ibu Fedy, panggilannya, berlatar belakang guru. Mereka menyarankan si anak pun menjadi guru karena menginginkan masa depan anaknya jelas.

Menurut orangtua Fedy, jurusan pendidikan kepelatihan olahraga mempunyai potensi menjanjikan (mendapat pekerjaan). Oleh karena itulah, mereka menganjurkan Fedy memilih jurusan tersebut.

”Saya kan orang Jawa, kalau orang Jawa itu manut wong tua iku apik (mengikuti keinginan orangtua itu pasti baik),” tutur Fedy yang berkeinginan mengajar olahraga di tingkat SD.

Adanya anjuran dan keinginan mengikuti saran orangtua membuat Fedy melupakan minatnya semula menekuni bidang teknik mesin. Pilihan masuk Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga memang melenceng jauh dari minatnya semula, tapi dia tidak menyesal. ”Terus terang dulu saya belum tertarik, tapi setelah dijalani jadi suka juga,” ujarnya.

Makin dalam mempelajari kepelatihan olahraga, Fedy merasakan ketertarikannya pada bidang ini semakin besar. Arah hidupnya pun jelas, ia akan menjadi guru olahraga. Apalagi dengan menjadi guru, terbayang kehidupan yang teratur.

”Saya suka segala hal yang teratur, misalnya mulai masuk jam tujuh pagi dan pulang jam dua siang,” Fedy beralasan.

Saat masih duduk di bangku SMA, dia mengaku bercita-cita bisa bepergian ke berbagai tempat di dunia. Namun, keinginan itu memudar, berganti dengan kesungguhan terhadap pilihan yang akan dijalaninya kelak, yakni menjadi guru olahraga.

”Menjadi guru olahraga itu seru, saya masih bisa sesering mungkin main basket. Saya suka basket, jadi untuk praktik kerja lapangan pun, saya memilih menjadi pelatih basket di klub-klub di luar kampus,” ungkapnya.

Mungkin kiasan ”tak kenal maka tak sayang” berlaku di sini. Menjadi guru mungkin bukan cita-cita sebagian orang, tetapi bila ditekuni, keasyikannya pun tak kalah dari bidang keilmuan lainnya. (Fabiola Ponto)


sumber
 
nah kalau den pale sendiri bagaimana, pilihan atau terpaksa? :D

Ditunggu jawabannya pertanyaan diatas den... xixiixiixi...

Hemm.. Pak Pres dan den Jaka..

Kalau aku sih emang dari masa-masa SMP dan SMA udah mulai tertarik dengan profesi Guru ini, dan semua itu emang murni panggilan dari hati, karena pada prinsipnya bagi saya secara pribadi berbagi ilmu itu adalah sesuatu yang sangat mengasyikkan, saya dari dulu percaya pada nasehat kedua orang tua saya, bahwa sesuatu harta yang tak akan pernah habis itu adalah ILMU yang berguna walaupun setiap hari di bagikan kepada orang lain , malah sebaliknya semakin banyak engkau berbagi dengan orang lain maka semakin banyak pula yang akan kita dapatkan dari orang lain

So mungkin karena kata-2 orangtua saya tersebut yang membuat saya akhirnya berkeinginan menjadi seorang guru... dan syukurlah samapai saat ini saya sangat menikmati profesi ini dengan berbagai tantangan dan rintangannya... >8|:D
 
guru itu pilihan lah... kalau terpaksa ga mungkin bisa mengajar dengan baik... dan kalau terpaksa kalau brgitu semua orang bisa jadi guru dong? :)
 
pilihan, karena dari pada cuma di rumah dan kill the time dengan internet/tv, kan mending mengajar..

terpaksa, karena butuh pemasukan lebih..
 
Back
Top