Kajian Jum'at

DD202KZ

New member
Bismillah.

Insya Allah kami akan mengadakan Kajian Jum'at pada thread ini dengan mengangkat tema yang berbeda setiap pekannya.
Jadi, ini merupakan kegiatan rutin forum Islam di Indonesiaindonesia.com ini.
Untuk pertemuan perdana ini, kami memilih tema "Keutamaan Hari Jum'at", sebagai pembuka kegiatan ini.
Adapun alasan mengapa kami memilih hari Jum'at, adalah karena hari Jum'at merupakan hari raya tiap pekan bagi umat Muslim.
Apa yang kami sampaikan berikut insya Allah berasal dari Al Qur'an dan As Sunnah.
Semua kebenaran di dalamnya adalah berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan adapun jika di dalamnya terdapat kesalahan, itu merupakan kesalahan dari diri kami. Kami memohon ampunan atas kekhilafan tersebut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Mari kita mulai pembahasan kita dengan terlebih dahulu membaca doa membuka majelis.

Alhamdulillaahi nasta’iinuhu wa nastaghfiruhu wa na’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa wa min sayyiaati a’maalinaa may yahdillaahu falaa mudhillalahu wa may yudh-lil falaa haa diyalah.
Asyhadu allaa ilaaha illaloohu wahdahu laa syariikalah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuuluhu laa nabiyya ba’dah.
Allahumma sholli wasallim wa baarik ‘ala muhammadin wa ‘ala aaalihi wa ash-haabihi ajma’iin.


Artinya: "Segala puji milik Allah. Kami memohon pertolonganNya, dan mohon ampun kepada Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diriku dan keburukan amalku.
Barang siapa yang diberi petunjuk Allah maka tidak ada siapapun yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan Allah maka tidak ada siapapun yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku mengesakanNya dan tidak mempersekutukanNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hambaNya dan rosulNya, tidak ada nabi setelah dia.
Ya Allah, berikan sholawat, salam dan kebaikan atas nabi Muhammad, keluarganya dan sahabatnya."




KEUTAMAAN HARI JUM'AT


Bismillaahirrahmaanirrahiim...

Berbahagialah wahai kaum muslimin, Allah telah menganugerahkan kepada kita sebuah hari yang di dalamnya memiliki banyak berkah. Itulah hari Jum'at. Hari Jum'at ini adalah hari raya kita tiap pekan. Banyak sekali keutamaan-keutamaan hari Jum'at dibandingkan hari lainnya. Berikut adalah uraian keutamaan-keutamaan hari Jum'at lengkap dengan dalilnya:



1. Allah menjadikan hari Jum'at sebagai hari yang paling utama.

Dari Abu Lubabah bin Ibnu Mundzir radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hari jum’at adalah penghulu hari-hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari jum’at ini lebih mulia dari hari raya Idul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari jum’at terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari jum’at juga Adam dimatikan, di hari jum’at terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari jum’at pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari jum’at.” (HR. Ahmad)

Dari hadits di atas, diuraikan beberapa peristiwa besar yang terjadi pada hari Jum'at, yaitu:
1. Adam 'Alaihis Salam diciptakan pada hari Jum'at.
2. Adam 'Alaihis Salam diturunkan ke bumi pada hari Jum'at.
3. Adam 'Alaihis Salam dimatikan pada hari Jum'at.
4. Pada hari Jum'at terdapat waktu yang mustajab untuk berdoa, selama doa tersebut bukanlah sesuatu yang haram.
5. Hari kiamat terjadi pada hari Jum'at.

Selain kelima peristiwa besar di atas, pada hadits tersebut juga menerangkan bahwa semua malaikat, baik yang berada dekat dengan Allah, di bumi dan di langit, semuanya dikasihi pada hari Jum'at.



2. Hari Jum'at merupakan hari raya tiap pekan untuk kaum Muslimin.

Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Hari ini adalah hari besar yang Allah tetapkan bagi ummat Islam, maka siapa yang hendak menghadiri shalat Jum'at hendaklah mandi terlebih dahulu ......". (HR. Ibnu Majah)

Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata, “Allah menyesatkan orang-orang sebelum kami pada hari Jum’at, Yahudi pada hari Sabtu, dan Nasrani pada hari Ahad, kemudian Allah mendatangkan kami dan memberi petunjuk pada hari Jum’at, mereka umat sebelum kami akan menjadi pengikut pada hari kiamat, kami adalah yang terakhir dari penghuni dunia ini dan yang pertama pada hari kiamat yang akan dihakimi sebelum umat yang lain.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

Allah menetapkan hari Jum'at sebagai hari raya tiap pekan bagi umat Muslimin, di mana Allah memalingkan umat-umat sebelumnya darinya. Dan pada hari kiamat kelak, kaum muslimin adalah yang paling pertama dihisab (dihitung amalannya) sebelum kaum-kaum lainnya, seperti halnya urutan hari raya mereka, yakni Jum'at, Sabtu, dan Ahad. Wallahu a'lam.



3. Terdapat waktu yang mustajab untuk berdoa di dalamnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebut hari Jum’at lalu beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu. (HR. Bukhari Muslim)

Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:

a. Waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai pelaksanaan Shalat Jum’at

Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata padanya, “Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari Jum’at?” Lalu Abu Burdah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’” (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi rahimahullah menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.

b. Batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘Ashar

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Hari Jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘Ashar.” (HR. Abu Dawud)

Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau mengatakan bahwa, “Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”



4. Dosa-dosa seseorang akan diampuni dari hari Jum'at ke hari Jum'at berikutnya.

Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)



5. Hari tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala menampakkan diri kepada hamba-Nya yang beriman di Surga.


Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu 'anhu dalam mengomentari ayat: "Dan Kami memiliki pertambahannya" (QS.50:35) mengatakan: "Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jum'at".



6. Orang yang berjalan untuk shalat Jum'at akan mendapat pahala untuk tiap langkahnya, setara dengan pahala ibadah satu tahun shalat dan puasa.



Aus bin Aus Radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, kemudian bersegera berangkat menuju masjid, dan menempati shaf terdepan kemudian dia diam, maka setiap langkah yang dia ayunkan mendapat pahala puasa dan shalat selama satu tahun, dan itu adalah hal yang mudah bagi Allah". (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah).



7. Wafat pada malam hari Jum'at atau siangnya adalah tanda husnul khatimah, yaitu dibebaskan dari fitnah (azab) kubur.

Diriwayatkan oleh Ibnu Amru , bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:"Setiap muslim yang mati pada siang hari Jum'at atau malamnya, niscaya Allah akan menyelamatkannya dari fitnah kubur". (HR. Ahmad dan Tirmizi, dinilai shahih oleh Al-Bani).
 
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia [berada] dalam kesukaran/kesusahan” [QS al-Balad [90]:4]

Tak sedikit orang yang lupa akan perputaran waktu termasuk nama hari. Apalagi untuk memahami makna hari.

Makna dan Keistimewaan Hari Jumat

Jum’at adalah hari keenam dalam seminggu atau sepekan. Dalam literatur Arab, Jum’at [al-jumu’ah] juga terkadang digunakan untuk arti minggu [al-usbû’]. Jumat, yang secara utuh diserap dari kata Arab-Qur’ani, berasal dari akar kata jama’a-yajma’u-jam’an, artinya: mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menjumlahkan, dan meng-gabungkan.

Al-Jum’ah artinya: persatuan, persahabatan, kerukunan [al-ulfah], dan pertemuan [al-ijtima]. Meski secara umum dan keseluruhan semua hari – termasuk Jum’at – dalam seminggu itu bisa dikatakan sama atau tidak ada bedanya; namun hari Jum’at bagi kaum umatan muslimatan [kaum Muslimin/Muslimat], dipastikan memiliki keistimewaan tersendiri. Sama halnya dengan keistimewaan Sabtu bagi orang-orang Yahudi, dan Minggu untuk kawan-kawan Nasrani.

Bagi umat Islam, yang masih sempat atau sengaja menyempatkan diri untuk merenungkan makna-makna hari, paling sedikit didasarkan pada alasan utama tentang kebesaran hari Jum’at:

Pertama, satu-satunya nama hari yang dijadikan nama surat dalam Al-Qur’an ialah Jum’at, dalam kaitan ini surat al-Jumu’ah [62] yang terdiri atas: 11 ayat, 180 kata, dan 748 huruf. Di luar Jum’at, tak ada hari lain yang dijadikan nama surat dalam Al-Qur’an. Bahkan pada umumnya disebutkan pun tidak dalam Al-Qur’an. Kalaupun ada nama hari lain yang disebut dalam Al-Qur’an, bahkan penyebutannya beberapakali, namun hari tersebut tak dijadikan nama surat. Padahal, pengabadian sesuatu sebagai nama surat dalam Al-Qur’an, dipastikan menjadi simbol bagi kelebihan se-suatu.

Kedua, berbeda dengan enam hari lainnya yang diposisikan sebagai ‘anggota-anggota’ hari, Jum’at dijuluki se-bagai penghulu atau pemimpin hari. Gelar sayyid al-usbû’ [Pemimpin Minggu] atau saayid al-ayyâm [penghulu hari], mengisyaratkan hal itu. Paling tidak secara simbolis.

Ketiga, berlainan dengan kewajiban shalat [maktûbah] di hari-hari lain yang bisa dilakukan seorang diri [munfarid] sungguhpun tetap diimbau dengan sangat [sunnah mu’akkadah] untuk dilakukannya secara berjamah [bersama- sama], pelaksanaan shalat Jum’ah sesuai nama-nya, wajib dilaksanakan secara berjamaah. Bahkan ada di antara imam mazhab fikih yang mematok jumlah minimal jamaah shalat Jum’ah sebanyak 40 orang dewasa. Pensyariatanpelaksanaan shalat Jum’at harus dilakukan secara berjamaah, dipastikan memiliki nilai-nilai positif tersendiri. Paling tidak dalam rangka mempererat tali silaturrahmi, persaudaraan, persatuan dan kesatuan umat Islam.

Keempat, bagi kaum Muslimin, hari Jum’at dipastikan memberikan penambah pengetahuan tentang keagamaan, di samping merupakan hari-hari pemupukan persaudaraan keagamaan [ukhuwwah ad-dîniyyah] secara internal. Penyampaian khutbah Jum’at oleh ahli-ahli ke-Islam-an dan umumnya disampaikan orang-orang yang sejatinya menyandang predikat saleh, akan memberikan peningkat-an kecerdasan bagi umat Islam. Baik itu kecerdasan intelektualdengan kecerdasan spiritual. Paling tidak bagi mereka yang selalu mengikuti jamaah shalat Jum’at.

Kelima, banyak riwayat [hadits] yang menyebutkan kelebihan Jum’at dibandingkan dengan hari lain, terutama berkenaan dengan berbagai macam dzikir dan amalan-amalan tertentu yang memiliki nilai lebih dibandingkan dengan hal serupa atau bahkan sama tetapi dilakukan di hari lain.

Selain itu, bagi kaum pekerja, hari Jum’at memiliki suasana yang berbeda dibanding empat hari kerja lain. Jam kerja terasa pendek karena ada beberapa kegiatan di luar aktivitas kerja. Di pagi hari, sebagian instansi pemerintah atau kantor swasta menggelar senam pagi bersama. Selesai senam, baru saja ganti pakaian dan masuk kerja, sebentar kemudian sudah menjelang shalat Jum’at, semua aktivitas dihentikan untuk melaksanakannya.

Suasana yang berbeda di hari Jum’at tentu sangat dirasakan kaum muslim. Bagi muslim laki-laki diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jum’at berjamaah. Karena itu mereka memenuhi masjid-masjid atau tempat melaksanakan shalat Jum’at yang lain. Ada siraman rohani, penyejuk iman dari khatib Jum’at.

Sebenarnya, tak hanya shalat Jum’at saja yang menjadikan Jum’at sebagai hari istimewa bagi kaum muslim. Jum’at juga menjadi hari besar yang berulang setiap pekannya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw: “Hari ini adalah hari besar yang Allah tetapkan bagi umat Islam, maka siapa yang hendak menghadiri shalat Jum’at hendaklah mandi terlebih dahulu…” [HR. Ibnu Majah].

Perbandingan hari Jum’at dengan enam hari lain seperti perbandingan bulan Ramadhan dengan sebelas bulan lain. Karena itu bersedekah di hari Jum’at lebih mulia dibanding sedekah di hari-hari yang lain.

Langkah menuju ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at dihitung sebagai pahala. Aus bin Aus At-Thaqafi ra menyebutkan bahwa ia mendengar sendiri Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mandi pada hari Jum’at, kemudian bersegera berangkat menuju masjid, dan menempati shaf terdepan, kemudian dia diam, maka setiap langkah yang dia ayunkan mendapat pahala puasa dan shalat selama satu tahun, dan itu adalah hal yang mudah bagi Allah”. [HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah].

Keistimewaan lain, pada hari Jum’at ada suatu waktu jika seseorang memohon dan berdoa kepada Allah, maka niscaya doa dan permohonan itu akan dikabulkan [disebut waktu mustajab]. Bukhari dan Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah: “Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.” Mengenai kapan tepatnya waktu mustajab tersebut, para ulama berbeda pendapat. Di antara perbedaan itu ada dua pendapat yang paling kuat. Pertama, waktu yang mustajab itu saat duduknya imam sampai pelaksanaan shalat Jum’at. Pendapat ini dikuatkan Imam Nawawi. Sedangkan pendapat yang kedua menyebutkan batas akhir waktu tersebut hingga setelah ‘Ashar. Pendapat yang kedua ini dikuatkan Imam Ibnu Qayyim.

Hari Jum’at juga merupakan hari pengampunan dosa. Kaum muslim yang melaksanakan shalat Jum’at dan menyimak dan kecerdasan emosional, maupun kecerdasan moral dan dan bahkan kecerdasan sosial. Lebih-lebih lagi khutbah yang disampaikan khatib, akan diampuni dosa-dosanya sampai Jum’at berikutnya, asal ia tak melaksanakan dosa besar. Berkenaan dengan ini Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, berminyak atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar [menuju masjid], dan dia tidak memisahkan dua orang [yang sedang duduk berdampingan], kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan [dengan seksama] ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni [dosa-dosanya yang terjadi] antara Jum’at tersebut dan Jum’at berikutnya.” [HR. Bukhari]. Namun tak benar jika hal ini digunakan sebagai dalih untuk melakukan kesalahan atau dosa selama seminggu ke depan karena sudah diampuni dosanya dengan shalat Jum’at. Tak ada dosa kecil jika dilakukan berulang-ulang.

Yang lebih istimewa lagi adalah hari Jum’at merupakan Yaumil Mazid, hari saat Allah menampakkan diri kepada kaum mukminin di surga nanti. Allah berfirman:

“Mereka di dalam surga memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya” [QS 50:35]

Adab dan Sunnah Hari Jum’at

Ada beberapa yang wajib dan sunnah untuk dilaksanakan kaum muslim di hari Jum’at. Yang paling utama adalah kewajiban muslim laki-laki untuk melaksanakan shalat Jum’at. Shalat ini bisa dilaksanakan di masjid-masjid atau tempat ibadah yang lain asalkan memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan.

Mengenai kewajiban tersebut disebutkan Allah dalam Al-Qur’an:

“Wahai orang-orang yang ber-iman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui” [QS 62:9]

Selain firman Allah dalam Surah al-Jumuah tersebut, ada beberapa hadits Rasulullah saw yang menegaskan kewajiban melaksanakan shalat Jum’at bagi muslim laki-laki. Hadits-hadits tersebut antara lain:

“Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at atau kalau tidak, Allah akan menutup hati mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai.” [HR. Muslim].

Rasulullah bersabda:

“Shalat Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjama’ah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang yang sakit.” [HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih].

Sebagai pengingat agar kita tak lupa dan agar shalat Jum’at kita lebih sempurna pelaksanaannya perlu disampaikan beberapa adab dalam melaksanakan shalat Jum’at. Ketika waktu shalat Jum’at tiba, kita dianjurkan untuk datang ke masjid atau tempat ibadah lebih awal. Karena, pahala orang yang datang lebih awal lebih besar dibanding orang yang datang saat akhir. Perumpamaannya, seseorang yang datang di awal waktu, seperti orang yang berkorban dengan seekor unta, berikutnya seperti berkorban sapi, kambing, ayam, dan yang terakhir seperti bersedekah dengan sebutir telur. Batas akhir datang ke masjid saat shalat Jum’at adalah ketika khatib sudah duduk di mimbar, karena malaikat-malaikat pencatat amal manusia yang berada di setiap pintu masjid menutup buku catatannya dan mendengarkan khutbah.


dari berbagai sumber
 
Amalan-Amalan yang Disunnahkan pada Hari Jum'at


1. Membaca Surah Al Kahfi

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, dia akan disinari cahaya antara dia dan Ka’bah.” (HR. Ad Darimi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul Jami’ no. 6471)

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. An Nasa’i dan Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul Jami’ no. 6470)


2. Membaca Surah As Sajdah dan Al Insan pada shalat Shubuh hari Jum’at.

Dalam Shahihain, dari Ibnu 'Abbas radliyallah 'anhuma, Nabishallallahu 'alaihi wasallam membaca dalam shalat Fajar (Shubuh) hari Jum'at: Aliif Laam Miim Tanziil (Surat al-Sajdah) pada rakaat pertama dan pada rakaat kedua membaca Surat al-Insan." (HR. Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)

Hikmahnya, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Taimiyah, bahwa kedua surat yang mulia ini mengandung perkara yang sudah dan akan terjadi pada hari Jum'at berupa penciptaan Adam dan disebutkan hari kiamat serta kejadian yang ada di dalamnya. (Zaadul Ma'ad :1/375)

Catatan penting:

1. Ada sebagian orang yang menyangka maksudnya adalah menghususkan shalat ini dengan sujud tambahan, yang diistilahkan dengan sujud Jum'at. Jika imam mereka tidak membaca surat ini, maka mereka akan membaca surat lain yang di dalamnya terdapat sujud sajdah. Ini adalah keliru, yang benar bahwa sujud ini dilakukan sebagai penyerta bukan sebagai tujuan sehingga seseorang sengaja untuk membacanya.
2. Tidak dianjurkan membaca ayat sajdah lainnya, berdasarkan kesepakatan para imam. Karenanya, jika ditakutkan orang-orang jahil akan menyangka bahwa membaca ayat sajdah adalah wajib atau shalat Shubuh semakin afdhal dengan melakukan sujud tilawah, maka imam dianjurkan agar tidak kontinyu membacanya (membiasakannya/terus-menerus melaksanakannya). Ini merupakan pendapat Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah, dan muridnya Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma'ad :1/375.



3. Dianjurkan memperbanyak shalawat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pada malam jum'at dan siang harinya.

Diriwayatkan dari Aus bin Aus radliyallah 'anhu, Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling afdhal adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan, dan pada hari itu juga ditiup sangkakala dan akan terjadi kematian seluruh makhluk. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat di hari Jum'at, karena shalawat akan disampaikan kepadaku."

Para shahabat berkata: "Ya Rasulallah, bagaimana shalawat kami atasmu akan disampaikan padamu sedangkan kelak engkau telah lebur dengan tanah?"

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad para Nabi." (HR. Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan al Hakim dengan sanad yang shahih)


Hal ini juga didasarkan pada hadits Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Perbanyaklah shalawat kepadaku pada pada hari Jum'at dan malam Jum'at. Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kalim niscaya Allah bershalwat kepada sepuluh kali." (HR. al Baihaqi dalam Sunan Kubranya dan dinytakan oleh Syaikh al Albani dalam ash Shahihah, sanadnya shalih).

Imam Syafi'i rahimahullah menyatakan bahwa beliau menyukai untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kapan saja, sedangkan pada hari Jum'at dan malamnya sangat disukai oleh beliau. (Al-Umm, Imam Syafi'i: 1/237)



4. Memperbanyak Doa dan Harapan Bertepatan dengan Waktu Mustajab

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallah 'anhu, dia bercerita: "Abu Qasim (Rasululah) shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya pada hari Jum'at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya." Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, yang kami pahami, untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat)." (Muttafaq 'Alaih)

Abu Burdah bin Abi Musa al-'Asy'ari bercerita: "Abdullah bin Umar pernah berkata kepadaku: 'apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyampaikan hadits dari Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam mengenai satu waktu yang terdapat pada hari Jum'at?' Aku (Abu Burdah) menjawab, "Ya, aku pernah mendengarnya berkata, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saat itu berlangsung antara duduknya imam sampai selesainya shalat." (HR. Muslim)



sumber: www.e-arrahman.com
 
sip10.jpg


Apakah Seorang Musafir wajib shalat Jumat?

Salah satu syarat wajibnya shalat Jum'at adalah bertempat tinggal atau berdomisili di negerinya sendiri. Bukan orang yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah sebagaimana kaum Badui) dan sedang dalam bepergian (bersafar). Hal ini sebagaimana yang dicantumkan para fuqaha' dalam kitab-kitab mereka dan diamalkan kaum muslimin generasi awal dan belakangan. (Minhaaj al-Muslim, Abu Bakar Jabir al-Jazaairi: 194)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Setiap kaum yang berdomisili tetap dengan mendirikan bangunan yang berdekatan, tidak berpindah-pindah, baik pada musim hujan atau kemarau yang di tempat tersebut dilaksanakan shalat Jum'at, maka mereka wajib mengerjakan shalat Jum'at. Bangunan mereka itu didirikan dengan bahan yang biasa berlaku, yakni dari tanah kering, kayu, bambu, pelepah, atau yang lainnya; dan sesungguhnya bagian-bagian bangunan dan materinya tidak berpengaruh dalam pensyari'atan tersebut. Dasar pokoknya adalah mereka harus bertempat tinggal tetap, bukan seperti orang berkemah yang kebanyakan mereka mencari kayu dan berpindah-pindah tempat. . . . Demikian itu merupakan medzhab jumhur ulama." (Fatawa Ibni Taimiyah: XXIV/166-167; Dinukil dari kitab Shalah al-Mukmin, -Ensiklopedi shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah-, DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, hal. 331)

Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Orang-orang badui (pedalaman) tidak berkewajiban menunaikan shalat Jum'at karena mereka biasa berpindah-pindah tempat (nomaden). Kewajiban itu gugur dengan kebiasaan mereka tersebut. Dengan demikian orang-orang yang menetap di suatu tempat dan tidak berpindah-pindah maka mereka termasuk penduduk negeri." (Fatawa Ibni Taimiyah: XXIV/169; dinukil dari kitab Shalah al-Mukmin, -Ensiklopedi shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah-, DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, hal. 331)


Orang-orang badui (pedalaman) tidak berkewajiban menunaikan shalat Jum'at karena mereka biasa berpindah-pindah tempat (nomaden).


Demikian yang berlaku atas musafir (orang dalam perjalanan). Mereka tidak berkewajiban menunaikan shalat Jum'at. Hal tersebut, oleh Fuqaha', didasarkan pada beberapa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menyebutkan dengan sangat jelas dan tegas. Di antaranya:

Hadits marfu' dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ عَلَى مُسَافِرٍ جُمُعَةٌ

"Musafir tidak wajib melaksanakan Jum'at." (HR. Thabrani dengan isnad yang dhaif sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafidz Ibnul Hajar dalam Bulughul Maram, no. 438)

Hadits marfu' dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu,

خَمْسَةٌ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ الْمَرْأَةُ ، وَالْمُسَافِرُ ، وَالْعَبْدُ وَالصَّبِيُّ ، وَأَهْلُ الْبَادِيَةِ

"Lima golongan yang tidak wajib melaksanakan shalat Jum'at: wanita, musafir, hamba sahaya, anak kecil, dan orang badui (pedalaman yang hidupnya nomaden)." (HR. Thabrani dalam al-Mu'jam Al-Aussath dan di dalamnya terdapat Ibrahim bin Hammad yang oleh al-Daaruquthni didhaifkan)

Pada ringkasnya, hadits-hadits yang menerangkan dengan gamblang perihal tidak wajibnya shalat Jum'at bagi musafir statusnya lemah. Namun, hadits-hadits tersebut dikuatkan dengan Sunnah Fi'liyah (amaliyah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Bahwa beliau pernah melakukan banyak perjalanan, di antaranya melaksanakan umrah tiga kali selain umrah hajinya, menunaikan haji Wada', dan berangkat perang lebih dari 20 kali. Namun, tidak ada ketarangan yang shahih bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat Jum'at dan shalat 'Ied saat dalam perjalanan. Bahkan, riwayat menyebutkan kalau beliau menjama' (mengumpulkan) dua shalat -Dhuhur dan Ashar- di seluruh perjalanan beliau. Begitu juga saat hari Jum'at, beliau shalat dua raka'at, sama seperti hari-hari lainnya. Hari 'Arafah sewaktu Haji Wada' bertepatan dengan hari Jum'at, tetapi beliau tetap mengerjakan shalat Dhuhur.

Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, dari Jabir radliyallah 'anhu, "Ketika sampai di perut lembah pada hari 'Arafah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam singgah lalu menyampaikan khutbah kepada orang-orang. Setelah beliau selesai berkhutbah, Bilal mengumandangkan adzan dan iqamah. Selanjutnya beliau menunaikan shalat Dhuhur. Setelah itu, Bilal mengumandangkan Iqamah lalu beliau menunaikan shalat 'Ashar." (HR. Muslim no. 1218)


. . . saat hari Jum'at, beliau shalat dua raka'at, sama seperti hari-hari lainnya. Hari 'Arafah sewaktu Haji Wada' bertepatan dengan hari Jum'at, tetapi beliau tetap mengerjakan shalat Dhuhur.


Ini merupakan nash yang sangat jelas, gamblang, dan shahih, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak menunaikan shalat Jum'at ketika dalam perjalanan (safar). Beliau hanya melaksanakan shalat Dhuhur.

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: "Keterangan yang dapat dijadikan dalil gugurnya kewajiban shalat Jum'at bagi musafir yaitu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam beberapa kali perjalanan -sudah tentu- pernah ada yang bertetapan dengan hari Jum'at. Tetapi tidak ada keterangan yang sampai pada kami bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at sementara beliau dalam perjalanan. Bahkan keterangan yang pasti menunjukkan bahwa beliau melaksnakan shalat Dhuhur di Padang Arafah pada saat hari Jum'at. Tindakan ini merupakan bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi seorang musafir." (Al-Ausath: 4/20)

Terdapat juga keterangan-keterangan dari shahabat yang menguatkannya. Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik radliyallahu 'anhu menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka'at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum'at (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah:1/442, Ibnul Munzdir dalam al-Ausath: 4/20 dengan sanad yang shahih)

Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma berkata, "Tidak ada shalat Jum'at bagi Musafir." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah: 1/442, Ibnul Munzdir: 4/19, dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 3/184 dengan sanad yang shahih)

Kapan Musafir Tidak Wajib Melaksanakan Shalat Jum'at

Musafir tidak lagi wajib melaksanakan shalat jum'at semenjak dia keluar dari negerinya sampai ia kembali lagi. Dia tidak wajib melaksanakan Jum'atan ketika di tengah perjalanannya, ketika sampai di tempat tujuannnya yang tidak diniatkan untuk bermukim di sana hingga dia kembali ke rumahnya.

Jika dia sendirian, di tidak wajib untuk mendirikan jum'atan sendirian. Dan jika tetap mendirikan dan melaksanakan Jum'atan dengan sendirian, menurut pendapat empat madzhab, shalat Jum'atnya tidak sah dan dia wajib melaksanakan shalat dhuhur.

Dia juga tidak wajib ikut berjum'atan dengan penduduk negeri yang dilaluinya. Namun, jika dia bergabung dengan jama'ah suatu masjid di suatu negeri/daerah, maka sudah mencukupinya. Artinya dia tidak lagi berkewajiban melaksanakan shalat Dhuhur.

Sesungguhnya musafir memiliki keringanan yang tidak dimiliki kelompok lain. Jika dia sampai di suatu negeri lalu mendengar adzan, baik untuk shalat jama'ah atau jum'at, sedangkan dia merasa berat untuk mendatanginya, atau ingin beristirahat karena ngantuk, atau ada kesibukan, maka dia memiliki udzur (alasan) untuk tidak mendatangi panggilan adzan tersebut yang tidak dimiliki oleh orang yang muqim, walau dia buta.

Apabila Berniat Tinggal Sampai Beberapa Pekan

DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam kitabnya Shalah al-Mukmin (diterjemahkan: Ensiklopedi Shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah) menjelaskan, "Jika seorang musafir mengumpulkan waktu masa tinggalnya sehingga melarangnya melakukan qashar shalat, dan juga dia tidak disebut sebagai penduduk tetap suatu negeri, seperti penuntut ilmu atau pedagang yang bermukim untuk menjual barang dagangannya atau membeli sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali dalam waktu yang cukup lama, maka terdapat dua pendapat menurut Madzhab Hambali:

Pertama, dia harus menunaikan shalat Jum'at berdasarkan keumuman ayat Al-Qur'an dan dalil-dalil berita yang mewajibkan shalat Jum'at kecuali kepada lima golongan: orang sakit, musafir, wanita, anak kecil, dan hamba sahaya. Musafir yang bermukim selama waktu yang melarang dirinya mengqashar shalat tidak termasuk lima golongan di atas.

Kedua, dia tidak wajib menunaikan shalat Jum'at, karena dia bukan penduduk yang menetap. Sedangkan tinggal menetap menjadi salah satu syarat wajib shalat Jum'at. Selain itu, karena dia tidak berniat bermukim di negeri itu untuk selamanya sehingga dia serupa dengan penduduk badui yang menempati suatu kampung selama musim kemarau dan berpindah pada waktu musim hujan. (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah: III/218)"

Kemudian DR. Sa'id al Qahthani merinci tentang shalat Jum'atnya musafir yang bermukim dalam rentang waktu yang menghalangi dirinya untuk mengqashar shalat dan juga tidak berniat bermukim dengan dua kesimpulan yang dikuatkannya:

1. Jika para musafir bermukim selama waktu yang melarangnya mengqashar shalat di tempat yang tidak dilaksanakan shalat Jum'at, maka mereka tidak wajib menunaikan shalat Jum'at. Sebabnya, karena mereka seperti musafir dan penduduk badui. Sedangkan shalat Jum'at hanya diwajibkan bagi orang yang tinggal menetap.

2. Jika mereka bermukim di suatu tempat yang didirikan shalat Jum'at oleh penduduk setempat, maka disyariatkan baginya untuk mengerjakan shalat Jum'at bersama mereka. Di dalam kitab Al-Inshaf, Imam al-Mawardi menrajihkannya seraya berkata, "Madzhab yang benar adalah bahwa shalat Jum'at itu wajib dia kerjakan bersama orang lain." (Al-Inshaf fi Ma'rifah al-Raajih min al-Khilaf: V/170) Demikian pula yang difatwakan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz di dalam Majmu' Fatawanya: XII/376-377) sumber
 
SEBAB-SEBAB LEMAH IMAN


Sesungguhnya, penyakit lemah iman itu memiliki banyak sebab, diantaranya iyalah:


1. Menjauhi Kondisi Keimanan dalam Waktu yang Lama

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS. Al Hadid:16)

Ayat di atas menunjukkan bahwa jauh dari kondisi keimanan dalam waktu yang lama akan mengakibatkan timbulnya lemah iman dalam hati.

Sebagai contoh, seseorang meninggalkan saudaranya seiman dalam waktu yang cukup lama (karena suatu hal), maka ia akan kehilangan kondisi keimanan yang sebelumnya dinikmatinya. Karena kondisi keimanan ini yang melahirkan kekuatan hati. Seorang mukmin akan lemah jika ia hanya mengandalkan dirinya sendiri, dan akan menjadi kuat jika ia bersama dengan saudaranya yang seiman.


2. Menjauhi Teladan yang Baik

Kalau yang diteladani adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan para sahabat beliau, niscaya akan membawa kita pada ketaatan. Dan jika sebaliknya, yang diikuti dan diteladani bukanlah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, para sahabat beliau, ulama, dan shalihin, tetapi para artis, selebritis, para pemain bola, dan lainnya, tentu saja akan menggiring kita pada permainan dunia, kelalaian, dan kemaksiatan.


3. Menjauhi dari Menuntut Ilmu Agama

Tidak menuntut ilmu agama dan tidak berinteraksi dengan (membaca) kitab-kitab atau buku-buku kaum salaf atau buku-buku keimanan yang dapat menghidupkan hati adalah salah satu penyebab lemah iman.

Kitab yang paling utama untuk dipelajari adalah Kitabullah (Al Qur'anul Karim) dan kitab-kitab hadits, lalu kitab atau buku para ulama yang berpengalaman dalam memberikan nasihat dan pandai dalam memaparkan aqidah yang benar dengan metode yang dapat menghidupkan hati.

Penyebab lemah iman ini pengaruhnya sangat jelas, terutama bagi orang-orang yang mempelajari berbagai disiplin ilmu yang tidak berhubungan (atau bahkan bertentangan) dengan agama Islam, misalnya ilmu filsafat, ilmu sosial, hukum, ekonomi sekuler, dan berbagai disiplin ilmu lain yang memang sengaja dibuat untuk jauh dari ajaran Islam.


4. Berada di Tengah-tengah Pelaku Maksiat

Suka bergaul (berteman) dengan orang-orang yang sering berlaku maksiat kepada Allah (baik berupa meninggalkan perintah Allah maupun melangggar larangan-Nya) akan membuat kita 'ketularan'. Paling tidak, kita akan menganggap 'biasa' dengan perbuatan maksiat itu. Karena seringnya kita berada di tengah-tengah mereka, sehingga hati akan tumpul dan tidak merasa kalau itu adalah maksiat. Ini sering terjadi karena kita sudah 'terbius' oleh berbagai kemaksiatan itu. Orang yang dibius tidak akan merasa sakit meskipun dicubit, dipukul, bahkan diiris atau ditusuk. Begitulah keadaan kita dewasa ini, telah dibius dengan berbagai tontonan kemaksiatan di depan mata kita, baik di tengah-tengah masyarakat maupun melalui media massa. Lingkungan seperti ini membuat hati tertimpa penyakit, yakni hati menjadi keras.


5. Sibuk dengan Urusan Harta Dunia, Istri, dan Anak-anak

"Celakalah orang-orang yang diperbudak oleh dinar dan dirham (harta dunia), qathifah (kain selimut yang ada rendanya) dan khamishah (pakaian wol yang bergaris), jika diberi rela dan jika tidak diberi tidak rela." (HR Bukhari, 2820)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Cukuplah untuk salah seorang kamu dari dunia ini, seperti seukuran bekal bagi seorang pengendara." (HR Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah, 30098)

Maksud dari hadits yang diatas: cukuplah ia mengambil seperlunya saja.

Kenyataan ini nampak jelas sekarang ini, budaya konsumerisme, tamak terhadap harta dan berusaha sekuat tenaga untuk menumpuk kenikmatan dunia sudah menggejala di masyarakat kita.

Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS Al Anfal:28)

Ayat di atas memerintahkan kita untuk berhati-hati dalam masalah anak dan harta, jangan sampai karena anak dan harta kita menjadi lupa mengingat Allah, tidak peduli halal atau haram; karena memang mereka sering menjadi fitnah.

Tentang harta, sekali lagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Sesungguhnya setiap umat itu akan terkena fitnah, dan fitnah umatku adalah harta." (HR Turmudzi, 2374)

Terlalu memperhatikan harta akan merusak dan membahayakan agama, melebihi bahayanya serigala yang menerkam sekelompok kambing. Demikianlah yang disampaikan Rasulullah dalam hadits Turmudzi.


6. Mengikuti Hawa Nafsu dan Panjang Angan-angan

"Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (QS Al Hijr:3)

Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata:
"Sesungguhnya, sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu. Adapun orang yang mengikuti hawa nafsunya maka ia akan terhalang mengikuti kebenaran, dan orang yang panjang angan-angannya akan melupakan akhirat." (Fathul Bari, 11/236)

Mengikuti hawa nafsu akan menyeret seseorang ke dalam kesesatan, menyimpang dari kebenaran, dan jauh dari ketaatan. Sedangkan panjang angan-angan akan melahirkan kemalasan melakukan ketaatan, menunda-nunda taubat, cinta dunia, lupa akhirat, dan kekerasan hati. Karena kelembutan dan kesucian hati hanya akan terwujud jika teringat akan mati, kubur, pahala, siksa, dan keadaan pada hari kiamat.


7. Berlebih-lebihan dalam Hal Makan, Tidur, Begadang, Berbicara dan Bergaul dengan Orang Lain

Banyak makan akan membuat pikiran menjadi beku, badan berat melaksanakan ketaatan kepada Allah dan menyuburkan jalan setan dalam tubuh manusia.

Berlebih-lebihan dalam perkataan akan mengakibatkan kekerasan hati.

Berlebih-lebihan dalam pergaulan akan mengakibatkan seseorang terhalang untuk mengevaluasi dirinya sendiri, tidak dapat menyendiri untuk introspeksi.

Banyak tertawa akan membunuh kehidupan yang ada dalam hati. Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Janganlah banyak tertawa, karena tertawa akan mematikan hati." (HR Ibnu Majah, 4284)

Demikian pula dengan waktu yang tidak diisi dengan ketaatan kepada Allah, akan melahirkan hati yang keras membatu, tidak lagi memiliki sensitivitas terhadap berbagai peringatan yang datang dari Al Qur'an maupun nasihat-nasihat keimanan.

Kita memohon kepada Allah, semoga Allah membersihkan hati kita dan melindungi diri kita dari segala kejahatan diri kita dan hawa nafsu.
Aamiin.


Sumber:
Majalah Qiblati Edisi 08 tahun VI
 
Back
Top