Anomali Iklim dan Banjir Jakarta
Hadi S Alikodra
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
Iklim bumi makin kacau akibat makin pekatnya gas rumah kaca (karbondioksida) di atmosfer. Dampaknya, musim panas makin menyengat, musim hujan tak terkendali. Di Jakarta setelah musim panas yang lama dan menyengat habis, datang musim hujan dengan curah hujan amat tinggi. Dampaknya, Jakarta pun tenggelam awal Februari lalu. Korban tewas mencapai 40-an orang. Kerugian akibat terhentinya kegiatan ekonomi sepekan di Jakarta (31 Januari-6 Februari 07) itu mencapai Rp 4,1 triliun rupiah.
Sebelumnya, pekan kedua Januari 2007, Eropa diamuk badai. Belanda, Jerman, dan Prancis tak berdaya. Badai berkecapatan 120 km per jam yang disertai hujan deras itu, memorak-porandakan rumah dan menghempaskan pohon-pohon besar yang menghiasai kota-kota cantik di tiga negara Eropa itu. Badai tersebut mengakibatkan kekacauan lalu lintas di benua itu. Di Belanda, misalnya, lalu lintas mengalami kemacetan sepanjang 500 km. Di Jerman dan Prancis, ratusan mobil tertimpa pepohonan. Kereta api yang menjadi sarana transportasi utama antarkota di Eropa pun tak bisa beroperasi karena takut terhempas badai. Semua aktivitas kehidupan pun nyaris lumpuh.
Korban tewas akibat amukan badai itu mencapai 27 orang dan ratusan orang lainnya cedera. Kerugian akibat bencana badai itu mencapai miliaran dolar AS. Konon, badai yang menghantam Eropa pekan lalu itu adalah badai terbesar yang pernah muncul di benua tua tersebut. Badai di Eropa itu, seakan melengkapi 'perjalanan badai' dari Samudera Pasifik ke Atlantik.
Sebelumnya dalam perjalanannya di Pasifik badai tersebut telah menghantam sejumlah negara seperti Filipina, Cina, Taiwan, Korea, Malaysia, dan Jepang. Korban tewas mencapai ribuan orang. Ratusan ribu rumah roboh dan tenggelam karena besarnya ombak laut yang tergiring bersama badai itu. Di Indonesia, badai telah menenggelamkan kapal Senopati Nusantara di Laut Jawa akhir Desember lalu dan menewaskan 200 orang lebih penumpangnya. Badai ini juga menghancurkan pesawat Adam Air di lepas pantai Sulawesi Barat dan hingga kini belum seorang pun penumpangnya yang berjumlah sekitar 100 orang ditemukan hidup.
Global warming
Kenapa ancaman banjir dan badai makin ke sini makin sering terjadi? Jawabnya klasik memang: yaitu akibat fenomena global warming (memanasnya suhu bumi) yang makin besar. Pemanasan suhu bumi yang makin besar ini linier dengan makin besarnya konsentrasi gas rumah kaca (karbon dioksida atau CO2) di atmosfer.
Fenomena pemanasan global yang sempat menjadi isu yang ramai diperdebatkan kebenarannya oleh para pakar klimatologi, kini tampaknya sulit dibantah kebenarannya. Bulan Juli tahun lalu, misalnya, sejumlah turis di Swiss menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana bongkahan es sebesar Empire State Building (sebuah gedung perkantoran dan pusat perdagangan amat besar berlantai 102 di New York AS) jatuh dari sisi gunung Eiger. Ribuan turis menyaksikan pemandangan alam yang indah tapi mencemaskan itu.
Dua hari setelah itu, seorang pakar geologi dari Zurich University, Swiss, melaporkan bahwa area yang tertutup es di Pengunungan Alpine telah menyusut 50 persen dalam 150 tahun terakhir. Mereka juga meramalkan jika temperatur bumi naik lima derajat fahrenheit, 80 persen glacier (timbunan es yang bergerak) di puncak pegunungan Alpine akan habis pada tahun 2100. Hilangnya glacier tersebut berakibat fatal sebab ia adalah sumber mata air untuk sungai-sungai besar di Eropa. Tak terbayangkan seandainya sumber mata air itu habis, Eropa akan jadi apa?
Global warming yang makin lama makin dahsyat itu, terpantau juga di Greenland --sebuah pulau yang tertutup es sepanjang tahun di Kutub Utara-- pada tahun 2006. Berdasarkan sebuah studi dari tahun 2003-2006, tercatat setiap tahun telah terjadi pencairan es sebesar 100 miliar ton. Kecepatan pencairan es di Greenland tersebut saat ini (2007) tiga kali lebih cepat ketimbang lima tahun sebelumnya. Barangkali, faktor pencairan es di Kutub Utara inilah yang punya kontribusi besar terhadaop kenaikan permukaan air laut belakangan ini.
Lantas, haruskah kita cemas menghadapi fenomena ini? Michael Oppenheimer dari Princeton University, AS, menyatakan bahwa fenomena tersebut jelas mencemaskan kita semua. Ini karena, "Anda tidak akan dapat mengembalikan es yang telah mencair tadi ke dalam bentuk semula." Kenaikan temperatur dan mencairnya es di Greenland adalah sebuah bukti tak terbantah bahwa bumi sedang menderita kenaikan suhu yang amat besar.
Kondisi ini bila dibiarkan akan mengubah sistem atmosfer bumi sedemikian rupa sehingga suhu udara bisa menyebabkan kenaikan permukaan air laut setinggi 13-20 inchi dibandingkan kondisi saat ini. Bila ini terjadi, ungkap Michael, maka inilah awal dari bencana global. Sejumlah negara kecil di Pasifik dan Atlantik akan tenggelam. Ribuan kota pantai di Asia, Eropa, dan Amerika akan terendam air laut. Kondisi ini, besar kemungkinan akan bersifat irreversible --tak akan bisa kembali seperti semula. Kematian peradaban pesisir di berbagai benua yang saat ini menjadi khasanah kebudayan yang amat menarik di dunia tidak akan terelakkan.
Seperti kita ketahui, salah satu penyebab global warming adalah kadar gas karbon dikosida di atmosfer yang berlebihan. Sumber terbesar gas ini berasal dari pembakaran fossil fuel seperti minyak tanah, premium, solar, batu bara, dan lain-lain. Semua itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi manusia. Dengan makin banyaknya penduduk dunia dari tahun ke tahun, otomatis kebutuhan energi pun makin bertambah. Saat ini, kebutuhan energi tersebut linier dengan konsumsi fossil fuel tadi.
Jika demikian persoalannya, adakah pemecahan? Jelas ada! Pertama, mengurangi pemakaian fossil fuel sebanyak-banyaknya. Misalnya, mengganti sumber energi dari fossil fuel dengan sumber energi matahari, panas bumi, angin, gelombang laut, dan energi nuklir. Jika sumber-sumber energi tersebut dimanfaatkan maksimal, niscaya udara makin bersih dan sedikit gas karbon dioksida. Ini akan mengakibatkan suhu bumi makin sejuk. Di negeri tropis, misalnya, sumber energi matahari dan angin jumlahnya tidak terbatas. Persoalannya, sejauh mana komitmen pihak-pihak paling otoritatif untuk melakukan reformasi bidang sumber daya energi tersebut?
Kedua adalah penghijauan kembali lahan-lahan di permukaan bumi, termasuk penggalakan reboisasi hutan. Makin tipisnya jumlah pepohonan di permukaan bumi, berakibat makin sedikitnya converter agent yang bisa mengubah gas karbon dioksida menjadi gas oksigen yang amat dibutuhkan makhluk hidup. Penghijauan --termasuk di wilayah tandus-- seharusnya menjadi proyek global untuk mengantisipasi datangnya global warming dengan segala implikasinya. Jika semua manusia di seluruh bumi bersatu untuk mengatasi fenomena global warming tersebut, niscaya ancaman bahaya mengerikan dapat dihindarkan. Persoalannya, maukah setiap negara dan bangsa bekerja sama untuk menyelamatkan bumi?
Ikhtisar
- Banjir di Jakarta, termasuk menjadi bagian dari kekacauan iklim yang disebabkan global warming (pemanasan global).
- Pemanasan telah menyebabkan miliaran ton es di Kutub Utara meleleh dan meningkatkan muka air laut.
- Gas karbon dioksida yang kian pekat di atmosfer menjadi penyebab utamanya.
- Perlu komitmen seluruh bangsa di dunia untuk segera membersihkan udara dari karbon dioksida, supaya pemanasan global bisa ditekan.