Wanita-Wanita Terkemuka Dalam Sejarah Islam

Dipi76

New member
Ruqayyah binti Muhammad SAW: Sang Pemilik Cahaya


Ruqayyah dilahirkan sekitar 20 tahun sebelum Hijrah. Ia adalah putri kedua Rasulullah SAW dan Khadijah Al-Kubra. Sebelum masa kenabian Muhammad SAW, Ruqayyah dinikahkan dengan Utbah bin Abu lahab. Sebenarnya hal ini sangat tidak disukai oleh Khadijah, karena ia sangat mengetahui perilaku ibu Utbah, Ummu Jamil binti Harb, yang terkenal berperangai buruk dan jahat. Ia khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya tersebut.

Dan ketika Rasulullah diangkat menjadi Nabi, maka Abu Lahablah, orang yang paling memusuhi Rasulullah dan Islam. Abu Lahab kerap menghasut orang-orang Makkah agar memusuhi Nabi dan para sahabat. Begitu pula istrinya, Ummu Jamil, yang senantiasa berusaha mencelakakan Rasulullah dan memfitnahnya.

Atas perilaku Abu lahab dan permusuhannya yang keras terhadap Rasulullah, maka Allah menurunkan firman-Nya: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut." (QS Al-Lahab: 1-5)

Setelah ayat ini turun, Abu Lahab berkata kepada anaknya, "Hubungan kita terputus jika kau tidak menceraikan anak perempuan Muhammad."

Ruqayyah masuk Islam bersamaan ketika Ibunya Khadijah juga memilih Islam. Setelah itu Utsman bin Affan menikahinya di Makkah. Hati Ruqayyah pun berseri-seri dengan pernikahannya ini, karena Utsman adalah seorang Muslim yang beriman teguh, berbudi luhur, tampan, kaya raya, dan dari golongan bangsawan Quraisy.

Setelah pernikahan itu, penderitaan kaum Muslimin bertambah berat, dengan tekanan dan penindasan kaum kafir Quraisy. Ketika penderitaan kaum Muslimin bertambah berat, termasuk keluarga Rasululah, maka dengan berat hati Nabi mengizinkan Utsman beserta keluarganya dan beberapa Muslim lainnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah.

Rombongan muhajirin ke Habasyah ini membawa 11 orang wanita. Ini berarti bahwa wanita Muslim adalah bagian dari dakwah dan jihad di jalan Allah SWT. Mereka meninggalkan kesenangan hidup berupa harta, anak dan keluarga serta negeri demi Allah.

Anas bin Malik meriwayatkan, Utsman bin Affan keluar bersama istrinya, Ruqayyah, putri Rasulullah SAW menuju negeri Habasyah. Lama Rasulullah SAW tidak mendengar kabar kedua orang itu. Kemudian datang seorang wanita Quraisy berkata, "Wahai Muhammad, aku telah melihat menantumu bersama istrinya."

Nabi SAW bertanya, "Bagaimanakah keadaan mereka ketika kau lihat?"

Wanita itu menjawab, "Dia telah membawa istrinya ke atas seekor keledai yang berjalan perlahan, sementara ia memegang kendalinya."

Maka Rasulullah SAW bersabda, "Allah menemani keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah laki-laki pertama yang hijrah membawa istrinya sesudah Luth AS."

Setibanya di Habasyah, mereka memperoleh perlakuan yang sangat baik dari Raja Habasyah. Mereka hidup tenang dan tenteram, hingga datanglah berita bahwa keadaan kaum Muslimin di Makkah telah aman.

Mendengar berita tersebut, disertai kerinduan kepada kampung halaman, maka Utsman memutuskan bahwa kafilah Muslimin yang dipimpinnya itu akan kembali lagi ke Makkah. Mereka pun kembali. Namun apa yang dijumpai berbeda dengan apa yang mereka dengar ketika di Habasyah.

Pada masa itu, mereka menyaksikan keadaan kaum Muslimin yang mendapatkan penderitaan lebih parah lagi. Pembantaian dan penyiksaan atas umat Islam semakin meningkat. Sehingga rombongan ini tidak berani memasuki Makkah pada siang hari. Ketika malam telah menyelimuti kota Makkah, barulah mereka mengunjungi rumah masing-masing yang dirasa aman.

Ruqayyah pun pulang ke rumahnya, melepas rindu terhadap orang tua dan saudara-saudaranya. Namun ternyata ibunya, Khadijah, telah wafat. Ruqayyah dilanda kesedihan yang sangat mendalam. Tak lama kemudian, kaum Muslimin kembali hijrah ke Madinah. Ruqayyah juga ikut hijrah bersama suaminya, Utsman, sehingga dia menjadi wanita yang hijrah dua kali.

Tak berapa lama setelah mereka tinggal di Madinah, bergema seruan Perang Badar. Para sahabat bersiap-siap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah binti Rasulullah SAW diserang sakit. Rasulullah pun memerintahkan Utsman bin Affan untuk tetap tinggal menemani dan merawat istrinya.

Namun maut menjemput Ruqayyah ketika Rasulullah SAW masih berada di medan Badar. Ruqayyah wafat pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah. Kemudian berita wafatnya Ruqayyah ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah ke Badar. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah SAW berkata, "Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Maz’un."

Menjelang pemakaman Ruqayyah, kaum Muslimin di Badar meraih kemenangan. Berita kemenangan kaum Muslimin ini dibawa pula oleh Zaid bin Haritsah. Ketika memasuki ke kota Madinah, Rasulullah disambut dengan berita pemakaman Ruqayyah.

Ketika Ruqayyah wafat banyak wanita di Madinah menangis sedih, sehingga membuat Umar bin Al-Khathab mengambil cemetinya untuk menghentikan tangisan mereka.

Namun Rasulullah SAW mengambil cemeti yang ada di tangan Umar, seraya bersabda, "Wahai Umar, biarkanlah mereka menangis. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan syetan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari syetan."

Fathimah, adik Ruqayyah, duduk di bibir liang kubur kakaknya di samping Rasulullah SAW dan menangis. Melihat putrinya menangis, Rasulullah mengusap air mata Fathimah yang menetes dengan ujung pakaian beliau.

Anas bin Malik bertutur, "Kami melihat prosesi pemakaman Ruqayyah binti Rasulullah SAW. Beliau duduk di atas kuburannya, kemudian kulihat kedua matanya berlinang air mata. Kemudian beliau bertanya, 'Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tidak melakukan hubungan suami istri semalam?' Abu Talhah menjawab, 'Saya.' Lalu, Rasulullah SAW berkata, 'Turunlah ke liang kuburnya.' Kemudian Abu Thalhah turun ke liang kuburnya."


Sumber:
Republika
A'lamu An-Nisa



-dipi-
 
Zainab binti Muhammad SAW: Keteguhan Hati Seorang Istri

Zainab dilahirkan ketika Rasulullah SAW berusia 30 tahun. Ketika dia beranjak dewasa dan mencapai umur pernikahan, Halah binti Khuwailid meminta pada saudaranya, Khadijah binti Khuwailid (istri Rasulullah), agar Zainab kawin dengan anaknya, Abul Ash bin Rabi’. Rasulullah SAW kemudian menikahkan Abul Ash dengan Zainab. Tak lama kemudian Abul Ash bin Rabi' memboyong Zainab ke rumahnya.

Khadijah pergi menemui kedua suami istri yang saling mencintai itu dan mendoakan agar keduanya mendapatkan berkah. Kemudian dia melepas kalungnya dan mengalungkannya ke leher Zainab sebagai hadiah perkawinan.

Perkawinan itu berlangsung sebelum turun wahyu kepada ayahnya, Nabi SAW. Ketika wahyu telah turun kepada Rasulullah SAW, beliau mengajak Abul Ash untuk memeluk Islam, namun dia menolak dan memilih tetap menjadi seorang musyrik. Sementara Zainab memilih masuk Islam dan memeluk agama Allah. Ia tetap dalam keislamannya sedang suaminya tetap dalam kekafiran, sehingga tiba masanya Nabi untuk berhijrah.

Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, pasukan Quraisy berangkat menuju Badar untuk memerangi Rasulullah dan umat Islam. Di antara mereka terdapat Abul Ash bin Rabi', bukan untuk menyatakan keislamannya, tetapi untuk memerangi Rasulullah.

Perang pun berkecamuk dan dimenangkan oleh kaum Muslimin. Sebagian besar tentara Quraiys tewas dan sebagian lagi tertawan, termasuk Abul Ash. Para tawanan pun digiring ke Madinah oleh kaum Muslimin.

Kemudian kaum Quraisy mengutus orang untuk menebus para tawanan. Zainab pun mengirimkan uang tebusan untuk menebus suaminya, Abul Ash bin Rabi'. Di antara uang yang dikirimkan Zainab terselip seuntai kalung pemberian ibunya ketika ia menikah dulu.

Ketika Rasulullah SAW melihat kalung tersebut, beliau bersedih hati dan berkata, "Jika kalian tidak keberatan melepaskan tawanan dan mengembalikan harta miliknya, maka lakukanlah."

Para sahabat menjawab :"Baiklah, wahai Rasulullah."

Kemudian mereka melepaskan Abul Ash dan mengembalikan harta milik Zainab. Abul Ash berjanji kepada Rasulullah SAW bahwa ia akan membebaskan Zainab dan mengembalikannya kepada beliau di Madinah.

Ketika Abul Ash dilepaskan dan tiba di Makkah, Nabi SAW mengutus Zaid bin Haritsah dan seorang dari kalangan Anshar untuk mewakilinya. Beliau berpesan, "Pergilah kalian hingga berada di daerah Ya’jaj—sebuah tempat di dekat Makkah—hingga Zainab melewati kalian berdua. Maka hendaklah kalian menemaninya hingga kalian berdua datang padaku dengan membawanya!"

Abul Ash sangat berterima kasih kepada istrinya yang berbakti dan mulia itu. Maka ia pun berkata, "Kembalilah kepada ayah mu, wahai Zainab."

Abul Ash telah memenuhi janjinya kepada Rasulullah SAW untuk membiarkan Zainab kembali padanya. Ia tak kuasa menahan tangis dan tak dapat mengantarkan istrinya ke tepi dusun di luar Makkah, di mana telah menunggu Zaid bin Haritsah dan seorang laki-laki Anshar.

Abul Ash meminta saudaranya, Kinanah bin Rabi', untuk mengantarkan Zainab. Abul Ash berpesan pada Kinanah, "Saudaraku, tentulah engkau mengetahui kedudukannya dalam jiwaku. Aku tidak menginginkan seorang wanita Quraisy di sampingnya dan engkau tentu tahu bahwa aku tidak sanggup meninggalkannya. Maka temanilah dia menuju tepi dusun, di mana telah menungggu dua utusan Muhammad. Perlakukanlah dia dengan lemah lembut dalam perjalanan dan perhatikanlah dia sebagaimana engkau memerhatikan wanita-wanita terpelihara. Lindungilah dia dengan panahmu hingga anak panah yang penghabisan."

Setelah menyelesaikan persiapan, Kinanah bin Rabi' menyerahkan seekor unta kepada Zainab, lalu dinaikinya. Kinanah mengambil busur dan anak panahnya, kemudian keluar membawa Zainab di waktu siang. Zainab duduk di dalam sekedup, sementara Kinanah menuntun untanya.

Kabar tentang kepergian Zainab menemui Muhammad SAW, ayahnya, terdengar oleh beberapa orang Quraisy sehingga mereka keluar untuk mengejarnya. Beberapa saat kemudian mereka melihat Zainab di suatu lembah yang disebut Dzi Thuwa. Orang yang pertama kali menyusulnya adalah Hubar bin Al-Aswad dan Nafi’ bin Abdul Qais Al-Fahri. Hubar menakut-nakutinya dengan tombak agar ia kembali ke Makkah. Zainab masih berada di atas untanya, pada saat itu dia sedang hamil. Ketika dia kembali ke Makkah, dia mengalami keguguran.

Melihat saudara iparnya diperlakukan demikian, Kinanah marah dan menyiapkan panahnya. "Demi Allah, tidak ada seorang pun yang mendekati diriku kecuali aku tancapkan anak panah padanya."

Mendengar hal tersebut orang-orang menjadi gentar. Tak lama kemudian Abu Sufyan bersama rombongan Quraisy datang dan berkata pada Kinanah, "Hai laki-laki, tahanlah panahmu hingga aku berbicara kepadamu."

Maka Kinanah pun menahan panahnya. Abu Sufyan datang menghampirinya dan berkata, "Tindakanmu tidak tepat. Engkau keluar membawa wanita secara terang-terangan di hadapan orang banyak. Sesungguhnya hal itu menunjukkan kehinaan yang menimpa kita akibat musibah dan bencana yang telah kita alami sebelumnya. Sesungguhnya hal itu menunjukkan kelemahan kita. Demi umurku, kami tidak perlu mencegahnya untuk pergi kepada ayahnya. Kami tidak ingin membalas dendam, tetapi kembalikan wanita itu."

Tatkala suasana agak reda, Kinanah membawa Zainab pada waktu malam, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan temannya. Keduanya pergi mengantarkan Zainab kepada Rasulullah SAW. Suami istri itu pun berpisah.

Beberapa saat sebelum terjadi penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah), Abul Ash berangkat ke luar kota Makkah untuk berdagang ke negeri Syam. Dia dipercaya sebagai orang yang penuh amanah dengan harta yang dititipkan padanya dari para pembesar Quraisy untuk diperdagangkan olehnya.

Ketika selesai berdagang, dia mendekati sebuah rombongan kafilah dan kemudian bertemu dengan pasukan Rasulullah SAW yang menyergap mereka dan mengalahkan mereka. Sehingga membuat kafilah tersebut lari tunggang langgang.

Teringat akan Zainab dengan cinta kasih dan kesetiaannya, Abul Ash memasuki kota Madinah pada waktu malam dan memohon kepada Zainab agar melindungi dan membantunya untuk mengembalikan hartanya. Maka Zainab pun melindunginya.

Ketika waktu Subuh tiba Rasulullah SAW keluar untuk melaksanakan shalat. Saat takbiratul ihram, tiba-tiba Zainab berteriak di barisan perempuan, "Wahai manusia, aku telah melindungi Abul Ash bin Rabi'. Dia dalam lindungan dan jaminanku."

Rasulullah SAW menyelesaikan shalatnya, lalu beliau menemui orang banyak dan bertanya, "Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?"

"Ya," jawab mereka.

Beliau bersabda, "Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, aku belum pernah melakukan sesuatu hingga aku mendengar apa yang telah kalian dengar bersama bahwa ada orang yang memberikan sesuatu yang semestinya dimiliki oleh kaum Muslimin."

Kemudian beliau masuk menemui putrinya dan berbicara kepadanya, "Wahai putriku, muliakanlah tempat ini dan jangan sampai dia kembali kepadamu, karena engkau tidak halal baginya selama dia masih musyrik."

Nabi SAW terkesan melihat kesetiaan putrinya kepada suaminya yang ditinggalkan dan dia putuskan hubungan syahwat dengannya karena perintah Allah SWT. Di samping itu, Zainab pun masih tetap memberinya kebaktian, kesetiaan dan pertolongan; kebaktian sebagai wanita Muslim, kesetiaan sebagai teman dan pertolongan sebagai manusia.

Kemudian Nabi SAW mengutus orang kepada pasukan yang merampas harta Abul Ash. Beliau berkata, "Sesungguhnya kalian telah mengetahui kedudukan orang ini terhadap kami. Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian berbuat baik kepadanya dan mengembalikan hartanya, maka kami menyukai hal itu. Jika kalian menolak, maka itu adalah fai' dari Allah yang diberikan-Nya kepada kalian dan kalian lebih berhak atasnya."

Mereka berkata, "Kami akan mengembalikannya kepada Abul Ash."

Beberapa orang di antara mereka berkata, "Hai Abul Ash, maukah engkau masuk Islam dan mengambil harta benda ini, karena semua ini milik orang-orang musyrik?"

Abul Ash menjawab,"Sungguh buruk awal keislamanku, jika aku mengkhianati amanahku."

Maka mereka mengembalikan harta itu kepadanya demi kemuliaan Rasulullah SAW dan sebagai penghormatan kepada Zainab. Abul Ash pun kembali ke Makkah dengan membawa hartanya dan harta orang banyak.

Setelah mengembalikan harta kepada pemiliknya masing-masing, Abul Ash berdiri dan berkata, "Wahai kaum Quraisy, apakah masih ada harta seseorang di antara kalian padaku?"

Mereka menjawab, "Tidak. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Kami telah mendapati kamu seorang yang jujur dan mulia."

Abul Ash berkata, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Demi Allah, tiada yang menghalangi aku masuk Islam di hadapannya (Rasulullah SAW), ke cuali karena aku khawatir mereka menyangka aku ingin makan harta kalian. Setelah Allah menyampaikannya kepada kalian dan aku selesai membagikannya, maka aku masuk Islam."

Abul Ash pun keluar dari Makkah, hijrah menuju Madinah dengan mendapat petunjuk iman dan keyakinan. Suami istri yang saling mencintai itu pun bertemu untuk kedua kalinya setelah lama berpisah.

Zainab telah menunaikan kewajiban dan menyelesaikan urusan dunianya ketika menyadarkan laki-laki yang dicintainya serta memenuhi hak suaminya sesuai dengan kadar cintanya kepada suami. Tidak lama setelah pertemuan itu, Zainab meninggal dunia pada tahun ke-8 Hijriyah.

Rasulullah SAW sangat sedih atas kepergiannya. Zainab meninggalkan dunia dengan kenangan terbaik. Dia menjadi contoh terbaik dalam hal kesetiaan istri, keikhlasan cinta dan kebenaran iman.



Sumber:
A’lamu An-Nisa



-dipi-
 
Khadijah binti Khuwailid: Sang Wanita Agung


Khadijah dilahirkan pada tahun 68 sebelum Hijriyah, di sebuah keluarga yang mulia dan terhormat. Dia tumbuh dalam suasana yang dipenuhi dengan perilaku terpuji. Ulet, cerdas dan penyayang merupakan karakter khusus kepribadiannya. Sehingga masyarakat di zaman Jahiliyah menjulukinya sebagai At-Thahirah (seorang wanita yang suci).

Selain itu, Khadijah juga berprofesi sebagai pedagang yang mempunyai modal sehingga bisa mengupah orang untuk menjalankan usahanya. Kemudian Khadijah akan membagi keuntungan dari perolehan usaha tersebut. Rombongan dagang miliknya juga seperti umumnya rombongan dagang kaum Quraisy lainnya.

Lalu, suatu saat dia mendengar tentang Rasulullah SAW, sesuatu yang menarik perhatian Khadijah tentang kejujuran, amanah, dan kemuliaan akhlak beliau.

Pada saat itu, Abu Thalib berkata pada keponakannya, Muhammad SAW, “Aku adalah orang yang tidak mempunyai harta sedangkan kebutuhan zaman semakin hari semakin mendesak. Umur telah kita lalui dengan sia-sia tanpa ada harta dan perniagaan. Lihatlah Khadijah, dia mampu mengutus beberapa orang untuk menjalankan niaganya, sehingga mereka mendapatkan hasil dari barang yang diniagakan. Andai engkau datang kepadanya (untuk menjalankan niaganya) dengan keutamaanmu dibandingkan yang lainnya, tentu tidak akan ada yang menyaingimu, terutama sekali dengan kesucianmu.”

Kemudian Khadijah memberikan pekerjaan kepada Rasulullah agar menjalankan barang dagangannya ke negeri Syam dengan ditemani anak bernama Maisarah. Beliau diberi modal yang cukup besar dibandingkan lainnya. Rasulullah menerima pekerjaan tersebut dan disertai Maisarah menuju kota Syam.

Sesampainya di negeri tersebut beliau mulai menjual barang dagangannya, dan kemudian hasil dari penjualan tersebut beliau belikan barang lagi untuk dijual di Makkah. Setelah misi dagangnya selesai, beliau bergabung dengan kafilah kembali ke Makkah bersama Maisarah. Keuntungan yang didapatkan Rasulullah sungguh berlipat ganda, sehingga Khadijah menambahkan bonus untuk beliau dari hasil penjualan tersebut.

Sesampainya di Makkah, Maisarah menceritakan perilaku baik Rasulullah yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Khadijah merasa tertarik dengan cerita tersebut dan segera mengutus Maisarah untuk datang pada Rasulullah. Dan menyampaikan pesannya untuk beliau. “Wahai anak pamanku, aku senang kepadamu karena kekerabatan, kekuasaan terhadap kaummu, amanahmu, kepribadianmu yang baik, dan kejujuran perkataanmu.” Kemudian Khadijah menawarkan dirinya kepada Rasulullah.

Rasulullah menceritakan perihal ini kepada para pamannya. Tidak lama kemudian Hamzah bin Abdul Muthalib bersama Rasulullah datang pada Khuwailid bin Asad, bermaksud meminang putrinya itu untuk Rasulullah.

Kemudian Khuwailid berkata, “Dia itu kuda yang tidak dicocok hidungnya.” (Maksudnya, seorang yang mulia).

Rasulullah kemudian menikahi Khadijah dan memberinya dua puluh unta muda. Saat itu Khadijah berumur 40 tahun dan Rasulullah berumur 25 tahun. Dialah perempuan pertama yang dinikahi Nabi SAW dan beliau tidak menikah dengan siapa pun kecuali setelah Khadijah meninggal dunia. Dari Khadijah lahirlah Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah.

Saat menerima risalah kenabian, Khadijah merupakan orang pertama yang percaya kepada Allah dan Rasul beserta ajaran-ajaran-Nya. Nabi Muhammad pun tidak menghiraukan berbagai ancaman dan propaganda yang datangnya dari kaum musyrikin. Karena disampingnya terdapat sang kekasih pilihan Allah yang dengan setia mendampingi dan memperkuat aktifitas dakwahnya, sehingga terasa ringan beban yang diemban dan ringan pula menghadapi cobaan apa pun yang dilakukan oleh kaumnya.

Setelah menerima wahyu pertama di Gua Hira, Rasulullah kembali ke rumah dengan perasaan takut seraya berkata kepada Khadijah, ”Selimuti aku! Selimuti aku!” Maka Khadijah menyelimutinya hingga hilang perasaan takutnya itu. Beliau menceritakan semua yang telah terjadi. “Aku khawatir pada diriku,” kata Rasulullah.

Khadijah menjawab, “Tidak perlu khawatir, Allah tidak akan pernah menghinakanmu, sesungguhnya engkau orang yang menjaga tali silaturrahmi, senantiasa mengemban amanah, berusaha memperoleh sesuatu yang tiada, selalu menghormati tamu dan membantu orang-orang yang berhak untuk dibantu.”

Khadijah mengajak suaminya menemui Waraqah bin Naufal, sepupunya yang memeluk agama Nasrani di zaman Jahiliyah dan menulis buku Injil dengan bahasa Ibrani. “Dengarkan sepupuku, kata-kata dari keponakanmu ini!” kata Khadijah.

“Wahai keponakanku, apa yang engkau lihat?” tanya Waraqah pada Muhammad SAW. Rasulullah menceritakan tentang apa yang telah dilihatnya.

Waraqah berkata, “Ini adalah Malaikat yang telah Allah turunkan kepada Nabi Musa. Andai aku dapat bertahan, aku berharap masih hidup ketika kaummu mengusirmu.”

Rasulullah bertanya, “Kenapa mereka mengusirku?”

“Tidak seorang pun yang datang dengan sesuatu sebagaimana yang kau emban ini kecuali dimusuhi oleh kaumnya. Jika aku masih hidup sampai pada harimu, tentu aku akan menolongmu dengan sungguh-sungguh,” jawabnya.

Waraqah tidak sempat terlibat dalam aktifitas dakwah Nabi, karena keburu meninggal dunia dan tidak sempat mendengarkan ajaran wahyu yang diturunkan pada Muhammad SAW.

Rasulullah dan Khadijah tetap berdiam di Makkah dan melakukan shalat secara rahasia dengan kehendak Allah. Khadijah memang sangat dicintai dan dihormati oleh Rasulullah. Beliau juga tidak pernah berselisih dengan apa yang dikatakan Khadijah pada beliau, terutama pada saat sebelum wahyu turun.

Bahkan walau Khadijah telah tiada, Rasulullah selalu menyebut-nyebutnya dalam setiap kesempatan, dan tidak bosan-bosan memujinya. Sehingga Aisyah, Ummul Mukminin, merasa cemburu. Sampai suatu saat, Aisyah berkata pada Rasulullah, “Allah telah mengganti wanita tua itu.”

Tentu saja Rasulullah tersinggung dengan ucapan Aisyah ini, hingga ia berkata pada dirinya, “Ya Allah, hilangkanlah perasaan marah Rasulullah terhadapku dan aku berjanji untuk tidak lagi menjelek-jelekkan Khajidah.”

Aisyah pernah berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-isrti Rasulullah kecuali pada Khadijah. Walaupun aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Rasulullah sering menyebutnya setiap saat. Ketika beliau memotong kambing, tak lupa beliau sisihkan dari sebagian daging tersebut untuk kerabat-kerabat Khadijah. Ketika aku katakan, seakan-akan tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah. Beliau berkata, sesungguhnya dia telah tiada dan dari rahimnya aku dapat keturunan.”

Aisyah berkata, “Dulu Rasulullah SAW setiap keluar rumah, hampir selalu menyebut Khadijah dan memujinya. Pernah suatu hari beliau menyebutnya sehingga aku merasa cemburu. Aku berkata, ‘Apakah tiada orang lagi selain wanita tua itu. Bukankah Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik?’ Lalu, Rasulullah marah hingga bergetar rambut depannya karena amarah dan berkata, ‘Tidak, demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik darinya. Dia percaya padaku di saat semua orang ingkar, dan membenarkanku di kala orang-orang mendustakanku, menghiburku dengan hartanya ketika manusia telah mengharamkan harta untukku. Dan Allah telah mengaruniaiku dari rahimnya beberapa anak di saat istri-istriku tidak membuahkan keturunan.’ Kemudian Aisyah berkata, ‘Aku bergumam pada diriku bahwa aku tidak akan menjelek-jelekannya lagi selamanya.”

Khadijah, seorang tangan kanan Rasulullah yang senantiasa membantu beliau dalam menjalankan dakwah dan menyebarkan ajaran-ajarannya, meninggal pada tahun ke-3 sebelum Hijrah di kota Makkah pada usia 65 tahun. Di saat ajal menjemputnya, Rasulullah menghampiri Khadijah sembari berkata, “Engkau pasti tidak menyukai apa yang aku lihat saat ini, sedangkan Allah telah menjadikan dalam sesuatu yang tidak engkau kehendaki itu sebagai kebaikan.”

Saat pemakamannya, Rasulullah turun ke liang lahat dan dengan tangannya sendiri memasukkan jenazah Khadijah. Wafatnya Khadijah merupakan musibah besar, di mana setelahnya diikuti berbagai musibah dan peristiwa yang datangnya secara beruntun. Rasulullah SAW memikul beban dengan penuh ketabahan dan kesabaran demi mencapai ridha Allah SWT.



Sumber:
Republika
A’lamu An-Nisa karya Abdul Badi’ Shaqar



-dipi-
 
Aisyah binti Abu Bakar: Ummul Mukminin yang Istimewa


Seorang perempuan periwayat hadits terbesar pada masanya. Dia juga terkenal sebagai seorang yang cerdas, fasih, dan mempunyai ilmu bahasa yang tinggi. Dia merupakan salah seorang terpenting yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran ajaran-ajaran Islam.

Dia dilahirkan di Makkah kira-kira pada tahun kedelapan sebelum Hijriyah. Ketika Khadijah meninggal dunia, Rasulullah merasa amat sedih hingga dirinya merasa khawatir. Kemudian, saat tekanan kesedihan mereda beliau berusaha mengalihkan perhatian dengan mengunjungi rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berkata, “Wahai Ummu Ruman, jagalah Aisyah anak perempuanmu itu dengan baik, dan peliharalah dia!”

Oleh karena ucapan Rasulullah ini, Aisyah mempunyai kedudukan istimewa dalam keluarganya. Sejak Abu Bakar masuk Islam hingga masa hijrah, Rasulullah tak pernah lupa mengunjungi rumah Abu Bakar dan keluarganya.

Rasulullah menikahi Aisyah dan memberinya 400 dirham. Hal tersebut terjadi di Makkah pada bulan Syawal tiga tahun sebelum Hijrah. Pada saat itu Aisyah masih berumur tujuh tahun. Namun Rasulullah baru membangun bahtera rumah tangga dengan Aisyah ketika dia sudah berumur sembilan tahun di Madinah, pada bulan Syawal tahun pertama Hijrah. Aisyah adalah seorang wanita yang paling beruntung yang dipunyainya, dan paling dicintainya diantara istri-istri Rasul yang lain.

Bahkan saking cintanya Rasulullah saw pada Aisyah, beliau mendoakannya dengan doa, “Ya Allah, ampunilah Aisyah dari dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, yang tersembunyi dan yang terlihat.”

Aisyah juga amat mencintai Rasulullah SAW. Pada suatu ketika, Nabi saw datang padanya dan berkata, “Aku akan menawarkan padamu suatu perkara, kau tidak perlu terburu-buru untuk memutuskannya hingga kau berdiskusi dengan kedua orang tuamu.”

Aisyah bertanya, “Tentang apa ini, ya Rasulullah?”

Kemudian Nabi SAW membacakan, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab: 28-29)

Aisyah berkata, “Lalu untuk apa kau menyuruhku berunding dengan kedua orang tuaku, padahal aku telah tahu. Demi Allah, kedua orang tuaku tidak akan menyuruhku untuk berpisah darimu. Bahkan aku telah memutuskan untuk memilih Allah, Rasul-Nya dan akhirat.” Nabi merasa gembira dengan ucapan Aisyah itu dan merasa takjub.

Kecintaan besar yang dinikmati Aisyah tentu saja merupakan faktor pemicu pada sebagian orang untuk merasa iri dan cemburu. Sehingga mereka melemparkan tuduhan pada wanita suci ini, kemudian Allah membebaskan dirinya dari segala tuduhan tersebut, dan kisah itu termaktub dalam Al-Quran. Setelah kejadian itu, kedudukan Aisyah semakin bertambah mulia dan Rasulullah SAW semakin bertambah cinta padanya.

Ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah ketiga menggantikan Utsman, Aisyah terlibat dalam gerakan orang-orang yang menuntut balas atas pembunuhan khalifah kedua itu. Sesuatu yang belum dilakukan oleh pemerintahan Ali. Konflik inilah yang kelak dikenal dengan Perang Jamal (unta).

Pada saat terjadi pertempuran, pasukan Aisyah kalah. Setelah itu, Ali memerintahkan Muhammad bin Abu Bakar, saudara Aisyah, untuk mengantarkan Ummul Mukminin. Muhammad mengantar Aisyah ke rumah Abdullah bin Khalaf Al-Khuza’i, salah seorang yang gugur dalam pertempuran hari itu. Kemudian Ali menyiapkan segala sesuatu, berupa tunggangan, perbekalan, dan makanan untuk Aisyah.

Pada hari Aisyah hendak meninggalkan kota Basrah, Ali datang padanya dan berdiri di sampingya. Banyak pula orang yang datang, lalu Aisyah keluar menemui mereka untuk mengucapkan salam perpisahan. Aisyah berkata, “Wahai anak-anakku, kita saling menegur satu sama lain dengan santun dan sopan untuk mencari kebenaran, maka janganlah kalian saling bermusuhan satu sama lainnya yang dapat menimbulkan perpecahan. Sungguh demi Allah, apa yang terjadi antara diriku dan Ali di masa lalu merupakan sesuatu yang terjadi antara perempuan dan kawan karibnya. Sesungguhnya bagi diriku merupakan teguran dari orang-orang yang terpilih.”

Ali menambahkan, “Wahai manusia, benar ucapan Aisyah, demi Allah apa yang disampaikannya merupakan kebenaran yang sesungguhnya. Apa yang telah terjadi antara diriku dan dirinya sebagaimana yang telah diucapkannya. Sesungguhnya dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan akhirat.”

Ketika Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib terbunuh, berita duka tersebut sampai ke Madinah. Kesedihan melanda kota Madinah, persis saat kesedihan mereka menghadapi wafatnya Rasulullah SAW. Aisyah juga teramat sedih dan berlinang air mata, bukan tangisan yang dibuat-buat.

Keesokan harinya, dikatakan Aisyah pergi menuju makam Rasulullah. “Wahai Rasulullah, dan juga para sahabatmu,” kata Aisyah, “Aku datang membawa berita duka padamu. Orang yang paling kau sayangi, orang yang selalu kau ingat sepanjang hidupmu, orang yang paling mulia di sisimu telah terbunuh. Demi Allah, orang yang mempunyai istri terbaik diantara para wanita itu telah terbunuh. Demi Allah, orang yang beriman dan memegang teguh amanah telah wafat. Sungguh diriku merasa sedih dan banyak orang yang menangis karena kepergiannya.”

Aisyah juga dikenal sebagai pembawa bendera dalam bidang keilmuan dan pengetahuan di masanya. Seakan-akan dia lampu terang yang menyinari para ahli ilmu dan penuntut ilmu. Bahkan sahabat Nabi saw datang padanya untuk menanyakan tentang ilmu yang masih sulit dimengerti dan beberapa masalah keilmuan, dia memberikan jawaban yang memuaskan dengan tenang dan teliti. Suatu jawaban yang tidak mudah diberikan kecuali oleh orang yang sudah mencapai tahap keilmuan yang tinggi.

Aisyah juga terhitung salah seorang yang keilmuannya melampaui banyak orang lainnya dalam hal Al-Qur’an, hadits, fiqh, syair, cerita-cerita Arab, hari-hari mereka dan nasab mereka.

Menurut perhitungan, diantara orang-orang yang menghapal hadits dari para sahabat lebih dari seratus tiga puluh orang, lelaki dan perempuan. Dan orang yang paling banyak hapalannya diantara mereka ada tujuh orang; Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.

Aisyah meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Fatimah Zahra, Sa’ad bin Abi Waqash, Hamzah bin Amr Al-Aslami, Judzamah binti Wahab, sekitar 2.210 hadits. Oleh karena itu, Aisyah termasuk salah seorang periwayat hadits yang paling banyak.

Peringkatnya di bawah prestasi Abu Hurairah yang meriwayatkan 5.394 hadits, dan tepat di bawah Abdullah bin Umar bin Khattab yang meriwayatkan 2.638 hadits. Aisyah berada di atas prestasi Ibnu Abbas yang meriwayatkan 1.660 hadits. Setelah itu Jabir bin Abdullah Al-Anshari yang meriwayatkan 1.540 hadits, dan dia berada di atas Abu Sa’id yang meriwayatkan 1.170 hadits.

Dari dulu Aisyah dikenal sebagai orang yang jujur, banyak beribadah, tahajud, dan berpuasa. Aisyah juga dikenal sebagai orang yang pemalu. Ketika dia masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah dan Abu Bakar dia tidak perlu memakai hijab, karena dua orang tersebut adalah suami dan ayahnya. Namun ketika Umar bin Khattab dikubur di sebelah keduanya, dia tidak lagi membuka hijabnya karena malu kepada Umar bin Khathab.

Aisyah wafat pada 17 Ramadhan tahun 57 H, ada juga yang mengatakan tahun 58 H, di Madinah, dalam usia 66 tahun. Dia menginginkan agar dikuburkan pada malam hari. Orang-orang Anshar berkumpul, dan tiada satu malam yang pernah mereka saksikan sebelumnya dengan lautan manusia yang mengiringi jenazah Aisyah pada malam itu.

Aisyah dikuburkan di Baqi’ dan dishalatkan oleh Abu Hurairah yang menjadi imam. Ada lima orang yang turun ke dalam liang kuburnya; Abdullah dan Urwah (keduanya anak Zubair), Qasim dan Abdullah (keduanya anak Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq), dan Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq.



Sumber:
A’lamu An-Nisa karya Abdul Badi’ Shaqar




-dipi-
 
Hafshah binti Umar: Pemilik Mushaf Pertama


Hafshah dilahirkan saat kaum Quraisy merenovasi Ka’bah, lima tahun sebelum Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul oleh Allah. Kemudian dinikahi oleh Khunais bin Jadzafah. Hafshah menyertai suaminya hijrah ke Madinah. Lalu, suaminya itu syahid saat mengikuti perang Badar bersama Rasulullah.

Setelah Hafshah menjadi janda, Umar bin Khattab menemui Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah menjadi istrinya. Namun Utsman berkata, “Aku tidak membutuhkan seorang wanita.”

Kemudian Umar menemui Abu Bakar, lalu menawarkan Hafshah padanya untuk dijadikan istri. Akan tetapi Abu Bakar terdiam membisu, hingga membuat Umar marah padanya.

Kemudian Umar mengadukan hal itu pada Rasulullah saw. “Tidakkah mengherankan, aku telah menawarkan Hafshah pada Utsman tapi dia malah menolak tawaranku itu,” kata Umar.

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Allah telah memilihkan pasangan bagi Utsman seorang perempuan yang lebih baik dari anakmu, dan pasangan bagi anakmu lebih baik dari Ustman.”

Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya. Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegernbiraan tampak pada wajahnya.

Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah rnenyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.”

Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayyah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki Dzun Nuraini (pemilik dua cahaya).

Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda, seorang mujahidah dan muhajir. Rasulullah saw menikahi Hafshah pada tahun ketiga Hijriyah, dengan memberinya mahar 400 dirham, dan pada saat itu umurnya baru 20 tahun.

Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun rnengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar juga meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan.

Rasulullah pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka.

Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.“ (QS Al-Ahzab: 28-29)

Rasulullah menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar. Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istri beliau.

Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khathab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.”

Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.”

Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya.”

Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak.

Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar.

Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri-istrinya. Dan memang benar, Rasulullah tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum Muslimin. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.

Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.

Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antara kaum Muslimin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembaiatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.”

Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan baiat.

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, A1-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihapal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus. Hafshah juga meriwayatkan sekitar 60 hadits dari Rasulullah dan Umar bin Khattab. Sekelompok sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadits darinya.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghapal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan rnelawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khathab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer.

Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintahkan Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga wafatnya.

Hafshah meninggal dunia di Madinah pada tahun 45 Hijriyah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa ia wafat pada tahun keempat puluh tujuh pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dia dimakamkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.



Sumber:
A'lamu An-Nisa
Republika



-dipi-
 
Shafiyah binti Hay: Istri Nabi Keturunan Nabi

Dia seorang yang utama, cerdas dan amat lembut yang mempunyai kecantikan luar biasa, dimuliakan dan mempunyai derajat nasab yang tinggi. Bahkan garis keturunannya sampai pada Nabi Harun AS.

Sebelumnya dia menikah dengan Salam bin Musykam Al-Qarzhi kemudian dipisah. Lalu dia menikah dengan Kinanah bin Rabi bin Abu Al-Haqiq Al-Nadzri, kemudian suaminya itu terbunuh pada peristiwa Khaibar.

Ketika Rasulullah mendapatkan kemenangan dan masuk ke dalam Qamus, Hushni bin Abu Al-Haqiq mendatangi Rasulullah SAW dengan membawa Shafiyah binti Hay. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau memerintahkan pada Shafiyah untuk melangkah di belakangnya. Kemudian beliau melemparkan selendangnya pada Shafiyah. Kaum Muslimin mengerti bahwa itu pertanda bahwa Rasulullah SAW telah memilih Shafiyah untuk dirinya.

Dalam sebuah riwayat yang lain disebutkan bahwa Rasulullah ketika mengumpulkan tawanan Perang Khaibar, Dahyah datang pada Rasul, kemudian berkata, “Berilah padaku seorang budak perempuan dari para tawanan.”

Rasulullah berkata, “Pergilah dan ambillah seorang budak perempuan!”

Kemudian Dahyah mengambil Shafiyah binti Hay, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia seorang sayyidah (wanita terhormat) dari Bani Quraizhah dan Bani Nadzir yang cocok buatmu.”

Kemudian Rasulullah SAW berkata, “Ambillah seorang budak perempuan selain dirinya!”

Ketika Shafiyah mengunjungi Rasulullah, beliau berkata padanya, “Ayahmu masih saja seorang Yahudi yang keras kepala dan sangat memusuhi diriku, sehingga Allah mencabut nyawanya.”

Shafiyah menimpali, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman dalam kitab-Nya: “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

Rasulullah berkata padanya, “Pilihlah menurut kemauan dirimu, bila kau memilih Islam, aku akan menjamin dirimu dengan diriku. Apabila kau memilih menjadi seorang Yahudi, semoga aku melepaskan dirimu dan mengembalikanmu bergabung dengan kaummu.”

“Wahai Rasulullah,” jawab Shafiyah, “Aku telah mencintai Islam, dan aku percaya padamu sebelum kau menyerukan hal tersebut padaku. Aku telah menjadi orang yang bergabung dengan dirimu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di kaum Yahudi. Aku tidak mempunyai ayah ataupun saudara. Sedangkan engkau memberikan pilihan antara kafir dan Islam. Tentu saja Allah dan Rasul-Nya lebih aku cintai dari pada dilepaskan dalam keadaan kafir.”

Maka Rasulullah memperistri Shafiyah. Ketika Rasulullah kembali dari pertempuran Khaibar dan turut serta membawa Shafiyah bersama beliau, Shafiyah dititipkan di salah satu rumah Haritsah bin Nu’man.

Kemudian beberapa wanita kalangan Anshar mendengar berita tersebut, mereka mendengar tentang kecantikan Shafiyah, sehingga banyak orang yang datang padanya. Aisyah, Ummul Mukminin, juga datang mengunjunginya dengan mengenakan cadar.

Aisyah masuk ke dalam dan berkenalan dengannya. Ketika Aisyah keluar, Rasulullah juga keluar dan berkata padanya, “Bagaimana menurutmu, wahai Aisyah?”

Aisyah menjawab, “Aku melihat seorang perempuan Yahudi.”

“Janganlah kau mengatakan hal semacam itu, wahai Aisyah. Sesungguhnya dia telah masuk Islam dan baik pula keadaan Islamnya,” kata Rasulullah.

Suatu ketika Shafiyah menangis terisak karena mendengar perkataan Hafshah, Ummul Mukminin, yang mengatakan dirinya seorang peranakan Yahudi. Ketika Rasulullah SAW mengunjungi Shafiyah dan melihatnya menangis, beliau bertanya, “Mengapa engkau menangis?”

Shafiyah menjawab, “Hafshah binti Umar berkata padaku bahwa aku adalah peranakan Yahudi.”

Nabi SAW berkata, “Sesungguhnya kau adalah keturunan nabi, dan pamanmu juga berasal dari keturunan nabi. Sungguh dirimu berada di garis keturunan nabi.”

Kemudian Rasulullah berkata Hafshah, “Bertakwalah pada Allah, wahai Hafshah!”

Pada saat Nabi SAW menderita sakit, para istrinya berkumpul di tempat Aisyah, rumah di mana Nabi meninggal dunia. Kemudian Shafiyah berkata, “Demi Allah, Wahai Nabi Allah, sungguh aku senang sekali menemani dirimu dan selalu mendampingimu.”

Kemudian terdengar istri-istri Nabi mengejeknya. Rasulullah memberikan penjelasan pada mereka, lalu berkata, “Kalian ini bergumam.”

Mereka berkata, “Karena apa, wahai Rasulullah?”

Nabi berkata, “Karena ejekan kalian terhadap sahabat kalian tadi. Demi Allah, dia benar-benar tulus dan jujur.”

Suatu ketika, sejumlah orang berkumpul di dalam kamar Shafiyah, kemudian mereka melakukan dzikir kepada Allah dan membaca Al-Quran dan bersujud. Kemudian Shafiyah memanggil mereka. Seorang budak perempuan Umar bin Khattab juga datang pada Shafiyah.

Ketika pulang ia berkata kepada Umar, “Sesungguhnya Shafiyah menyukai hari Sabtu dan masih menyambung tali silaturrahmi dengan Yahudi.”

Umar lalu mengutus budak perempuan itu untuk menanyakan tentang hal tersebut? Shafiyah menjawab, “Adapun hari Sabtu, sungguh aku tidak menyukainya sejak Allah telah menggantikan buat diriku hari Jum’at. Sedangkan mengenai Yahudi, sesungguhnya aku sempat berada di tengah-tengah mereka dengan penuh kasih sayang, maka aku menyambung tali silaturrahmi dengan mereka.”

Kemudian dia berkata pada budak perempuan itu, “Apa yang membuatmu melakukan hal itu?”

Si budak menjawab, “Syetan.”

Lalu Shafiyah berkata, “Pergilah, kau telah bebas!”

Shafiyah meriwayatkan sekitar sepuluh hadits dari Rasulullah SAW, dan beberapa orang meriwayatkan darinya. Di antara mereka Yazid bin Mu’tab, Ishaq bin Abdullah bin Harits, dan Muslim bin Shofwan. Shafiyah meninggal dunia pada zaman kekhalifahan Muawiyah tahun 50 H, atau di riyawat lain pada 52 H. Dan ada pula yang meriwayatkan dia meninggal pada tahun 36 H.



Sumber:
A’lamu An-Nisa karya Abdul Badi’ Shaqar



-dipi-
 
Saudah binti Zam’ah: Wanita yang Gemar Sedekah


Saudah adalah wanita pertama yang dinikahi Nabi SAW sesudah Khadijah. Ia menemani Rasulullah selama kurang lebih tiga tahun sehingga beliau berumah tangga dengan Aisyah. Saudah termasuk salah seorang wanita utama pada zamannya.

Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Saudaah dinikahi oleh sepupunya yang dikenal dengan Sakran bin Amr. Ketika masuk Islam dan membaiat Rasulullah, suaminya juga turut serta masuk Islam bersamanya, dan berhijrah bersama-sama menuju bumi Habasyah.

Ketika suami Saudah meninggal, Khaulah binti Hakim datang kepada Rasulullah SAW. "Wahai Rasulullah, maukah anda menikah?"

"Dengan siapa?" tanya beliau.

"Dengan Saudah binti Zam’ah, karena dia telah beriman padamu dan mengikutimu." Jawab Khaulah.

Rasulullah kemudian berkata, "Baiklah, pinanglah dirinya buatku!"

Setelah itu, Khaulah segera beranjak menuju Saudah. "Kebaikan dan berkah apa
yang dimasukkan Allah kepadamu, wahai Saudah?" kata Khaulah ketika mereka bertemu.

Saudah balik bertanya karena tidak tahu maksudnya, "Apakah itu, wahai Khaulah?"

Khaulah menjawab, "Rasulullah SAW mengutus aku untuk meminangmu."

Saudah berkata dengan suara gemetar, "Aku berharap engkau masuk kepada ayahku dan menceritakan hal itu kepadanya."

Dan ayahnya yang sudah tua, sedang duduk-duduk santai. Khaulah memberinya salam, lalu si ayah berkata, "Apakah kau datang melamar pagi-pagi, siapakah dirimu?"

"Saya Khaulah binti Hakim," jawabnya.

Lalu ayah Saudah menyambutnya. Kemudian Khaulah berkata padanya, "Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib meminang anak perempuanmu."

Ayah Saudah berkata, "Muhammad adalah seorang yang mulia. Lalu apa yang dikatakan oleh sahabatmu (Rasulullah)?"

"Dia menyukai hal itu," jawab Khaulah.

Kemudian ayah Saudah berkata, "Sampaikan padanya (Muhammad) agar datang ke sini!"

Kemudian Rasulullah SAW datang padanya dan menikahi Saudah.

Dari Ibnu Abbas diceritakan bahwa Nabi SAW meminang Saudah yang sudah mempunyai lima anak atau enam anak yang masih kecil-kecil. Saudah berkata, "Demi Allah, tidak ada hal yang dapat menghalangi diriku untuk menerima dirimu, sedang kau adalah sebaik-baik orang yang paling aku cintai. Tapi aku sangat memuliakanmu agar dapat menempatkan mereka, anak-anakku yang masih kecil, berada di sampingmu pagi dan malam."

Rasulullah SAW berkata padanya, "Semoga Allah menyayangi kau, sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah mereka yang menunggangi unta, sebaik-baik wanita Quraisy adalah yang bersikap lembut terhadap anak di waktu kecilnya dan merawatnya untuk pasangannya dengan tangannya sendiri."

Pernikahan Nabi SAW dengan Saudah dilaksanakan pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian dan setelah kematian Khadijah di Makkah. Dikatakan dalam riwayat lain tahun kedelapan Hijrah dengan mahar sekitar 400 dirham. Rasulullah kemudian mengajaknya berhijrah ke Madinah.

Setelah Saudah semakin tua, dia mengetahui kedudukan Aisyah di mata Rasulullah. Dia berkata, "Wahai Rasulullah, aku memberikan jatah satu hari untukku pada Aisyah, agar engkau dapat bersamanya dalam satu hari itu."

Ketika bersama Saudah, Nabi menerima ayat tentang hijab dan hal itu dikarenakan istri-istri Nabi SAW keluar pada malam hari menuju ke dataran tinggi di bukit-bukit. Kemudian Umar bin Al-Khathab berkata pada Nabi SAW, "Wahai Nabi, berilah perintah agar istri-istrimu berhijab."

Namun, tidak jua Nabi melakukan apa yang disarankan Umar. Kemudian ketika Saudah keluar pada malam hari untuk menunaikan makan malam, dan dia adalah seorang wanita yang cukup tinggi. Kemudian Umar memanggilnya dan berkata, "Wahai Saudah, sekarang kami tahu itu engkau untuk memberi motivasi agar memanjangkan hijab yang kau kenakan." Kemudian Allah menurunkan ayat hijab.

Saudah dikenal sebagai orang yang suka bersedekah. Umar bin Khathab pernah mengirim sekantung penuh dengan dirham padanya. Kemudian Saudah bertanya, "Apa ini?"

Mereka berkata, "Dirham yang banyak."

Lalu Saudah berkata, "Dalam kantung seperti setandang kurma, wahai jariyah, yakinkan diriku." Kemudian dia membagi-bagikan dirham tadi.

Aisyah berkata, "Bahwa sebagian isteri-isteri Nabi SAW berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang paling cepat menyusulmu ?" Nabi SAW menjawab, "Yang terpanjang tangannya di antara kalian." Kemudian mereka mengambil tongkat untuk mengukur tangan mereka. Ternyata, Saudah adalah orang yang terpanjang tangannya di antara mereka. Kemudian kami mengetahui, bahwa maksud dari panjang tanganya adalah suka sedekah. Saudah memang suka memberi sedekah dan dia yang paling cepat menyusul Rasulullah di antara kami." (HR Syaikhain dan Nasai)

Saudah juga memiliki akhlak yang terpuji. Aisyah, Ummul Mukminin, pernah berkata, "Tiada seorang pun yang lebih aku kagumi tentang perilakunya selain Saudah binti Zam’ah yang sungguh hebat."

Saudah meriwayatkan sekitar lima hadits dari Rasulullah SAW. Dan beberapa sahabat turut meriwayatkan darinya seperti, Abdullah bin Abbas, Yahya bin Abdullah bin Abdurrahman bin Sa’ad bin Zarah Al-Anshari. Abu Daud dan Nasa’i juga menggunakan periwayatan darinya.

Saudah wafat di Madinah pada bulan Syawal tahun 54, pada masa kekhalifahan Muawiyah.

Ketika mendengar Saudah meninggal dunia Ibnu Abbas bersujud. "Rasulullah SAW berkata, bila kau melihat suatu ayat, maka bersujudlah kalian, dan ayat yang paling agung daripada emas adalah para istri Nabi SAW," kata Ibnu Abbas.



Sumber:
A’lamu An-Nisa karya Abdul Badi’ Shaqar
Republika



-dipi-
 
Asma’ binti Yazid bin Sakan: Duta Kaum Muslimah


Nama lengkapnya adalah Asma’ binti Yazid bin Sakan bin Rafi’ bin Imri’il Qais bin Abdul Asyhal bin Haris Al-Anshariyyah. Ia adalah seorang ahli hadits yang utama dan seorang mujahidah agung.

Asma' adalah sosok yang cerdas, kuat agamanya, argumentasinya mumpuni, dan mempunyai kemampuan retorika yang baik. Ia mendapat julukan "Khatibah An-Nisa" (sang orator wanita).

Salah satu keistimewaan Asma’ adalah kepekaan indranya, kejelian perasaannya serta ketulusan hatinya. Sebagaimana wanita-wanita Islam lain yang telah lulus dalam madrasah nubuwah, ia tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina. Bahkan ia adalah seorang wanita pemberani, tegar, dan menjadi teladan di sejumlah medan perang.

Suatu ketika ia datang menemui Rasulullah SAW yang sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Kemudian dia berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah seorang utusan kaum wanita yang datang padamu. Sesungguhnya Allah mengutusmu bagi para lelaki dan wanita seluruhnya secara sama. Maka kami beriman padamu dan Tuhanmu. Dan kami kaum wanita merasa terkungkung dan terpencil dalam rumah-rumah kaum lelaki, sebagai pelampiasan hawa nafsu kaum lelaki, dan mengandung anak-anak kalian."

Asma' melanjutkan, "Dan kalian wahai kaum lelaki, telah diutamakan atas kami kaum wanita, dengan diwajibkan melakukan shalat Jum’at dan shalat berjamaah. Mengunjungi orang sakit, melayat orang mati, dan berhaji setelah melakukan haji. Dan lebih afdhal dari itu, kalian juga diwajibkan jihad fi sabilillah."

Ia menambahkan, "Sesungguhnya seorang lelaki dari golongan kalian bila keluar karena suatu kebutuhan atau sebagai seorang mujahid, kami harus menjaga harta kalian dan mencuci baju kalian, merawat anak-anak kalian. Apakah kami tidak bisa bersama kalian untuk memperoleh pahala dari berbagai keutamaan ibadah yang kalian lakukan itu"?

Rasulullah kagum mendengar uraian tersebut lalu berpaling kepada para sahabat dan berkata, "Apakah kalian pernah mendengar perkataan seorang wanita yang lebih baik darinya yang mengadukan permasalahannya dalam urusan agamanya?"

"Wahai Rasulullah, sebelumnya kami tidak pernah menyangka bahwa ada perempuan yang mendapat petunjuk seperti ini," jawab mereka.

Kemudian Nabi berpaling menghadap Asma', lalu bersabda, "Pahamilah wahai perempuan, dan ajarkanlah pada para wanita di belakangmu. Sesungguhnya amal wanita bagi suaminya, meminta keridhaan suaminya, mengikuti apa yang disetujui suaminya setara dengan amal yang dikerjakan oleh kaum lelaki seluruhnya."

Mendengar jawaban Rasulullah SAW, Asma' merasa sangat gembira lalu beranjak pergi.


Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Asma’ mengenakan dua gelang emas yang besar, maka Nabi SAW bersabda, “Tanggalkanlah kedua gelangmu wahai Asma’, tidakkah kamu takut jika Allah mengenakan gelang kepadamu dengan gelang dari neraka?”

Tanpa ragu-ragu dan tanpa argumentasi, ia mengikuti perintah Rasulullah, melepaskan gelangnya dan meletakkan di depan beliau. Setelah itu Asma’ aktif dalam majelis Rasulullah, mendengar hadits-hadits beliau dan bertanya tentang segala persoalan yang menjadikannya paham urusan agama.

Dia pulalah yang bertanya kepada Rasulullah tentang tata cara thaharah (bersuci) bagi wanita yang selesai haidh. Asma' memiliki kepribadian yang kuat dan tidak malu untuk menanyakan sesuatu yang hak. Oleh sebab itu, ia dipercaya oleh kaum Muslimah sebagai wakil (duta) mereka untuk berbicara dengan Rasulullah tentang persoalan-persoalan yang mereka hadapi.

Suatu ketika, terbetik keinginan yang kuat di dada Asma' untuk ikut andil dalam jihad. Hanya saja kondisi ketika itu tidak memungkinkan untuk merealisasikannya. Akan tetapi, setelah tahun 13 Hijriyah, ia turut serta dalam Perang Yarmuk.

Pada perang ini, para wanita Muslimah banyak yang ikut ambil bagian, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah, "Mereka berperang dengan perang besar-besaran hingga para wanita turut berperang di belakang mereka dengan gagah berani.”

Dalam bagian lain Ibnu Katsir menuliskan, “Para wanita menghadang mujahidin yang lari dari kecamuk perang dan memukul mereka dengan kayu dan melempari mereka dengan batu. Adapun Khaulah binti Tsa’labah bersyair:
Wahai kalian yang lari dari wanita yang bertakwa
Tidak akan kalian lihat tawanan
Tidak pula perlindungan
Tidak juga keridhaan

Dalam perang besar ini, Asma’ binti Yazid menyertai pasukan Muslimin bersama wanita-wanita mukminat lain yang berada di belakang para mujahidin. Mereka mencurahkan segala kemampuan dengan membantu mempersiapkan senjata, memberikan minum bagi para mujahidin dan mengobati korban luka-luka. Ia dan kaum Muslimah lainnya memompa semangat juang kaum Muslimin.

Namun tatkala perang berkecamuk dan suasana panas membara, Asma’ lupa kalau dirinya adalah seorang wanita. Ketika pasukan musuh menyerbu, ia tak mau berdiam diri. Karena tidak mendapatkan apa-apa yang di dekatnya selain sebatang tiang kemah, maka ia mengambilnya sebagai senjata lalu berbaur dengan barisan pasukan.

Ia turung gelanggang menerjang musuh-musuh Allah, dan berhasil membunuh sembilan orang tentara Romawi. Usai perang tersebut, Asma’ pulang membawa luka di sekujur tubuhnya. Namun Allah SWT menghendakinya masih hidup. Asma' wafat 17 tahun pasca Perang Yarmuk, setelah mempersembahkan segala kebaikan bagi umat.

Asma' meriwayatkan sekitar 81 hadits dari Rasulullah SAW, beberapa orang juga meriwayatkan hadits darinya. Selain itu, beberapa orang juga memakai hadits yang diriwayatkan olehnya seperti Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Muhajir bin Abu Muslim, dan Syahru bin Hausyab.



Sumber:
An-Nisa Haula Ar-Rasul
Kompas




-dipi-
 
Hindun binti Utbah, Pejuang Perang Yarmuk

Hindun binti Utbah termasuk di antara golongan perempuan yang baik dan cantik. Terkenal banyak ide, cerdas, fasih, pintar berbahasa, pandai dalam ilmu sastra dan juga bersyair. Dia juga mahir dalam menunggang kuda dan mempunyai kematangan jiwa yang mantap. Ia dinikahi oleh Abu Sufyan bin Harb.

Ketika terjadi Perang Badar, beberapa orang terbunuh seperti Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah dan Walid bin Utbah. Mereka yang meninggal itu adalah keluarga dekat Hindun. Ketika menerima kabar tersebut dia menangisi kematian mereka.

Pada saat Perang Uhud, Abu Sufyan ikut keluar dan menjadi salah seorang panglima pasukan Makkah. Dia berperang bersama Hindun yang tergabung dalam 15 orang wanita lainnya. Ketika dua pasukan berhadapan dan semakin berdekatan, Hindun berdiri di kalangan para wanita yang bersamanya, kemudian mereka mengambil gendang dan mulai menabuhnya di barisan belakang pasukan untuk memberi semangat.

Usai pertempuran, Hindun dan beberapa wanita yang bersamanya terdiam, lalu menghitung-hitung jumlah korban yang terbunuh dari pihak Muslimin. Mereka mendapatkan telinga dan hidung yang banyak. Dia mengambil beberapa potong telinga dan hidung kaum Muslimin sebagai gelang kaki, dan kalung.

Hindun juga merobek perut Hamzah, paman Rasulullah dan mengeluarkan hatinya, lalu mengunyahnya. Namun dia tidak mampu menelannya, sehingga memuntahkannya.

Berita ini kemudian disampaikan pada Rasulullah SAW. Nabi SAW bersabda, "Kalau saja dia menelannya, tentu dia tidak akan tersentuh api neraka, karena Allah mengharamkan bagi neraka untuk menyentuh bagian daging Hamzah sedikit pun."

Pada saat peristiwa Fathu Makkah (pembukaan kota Makkah) dengan masuknya pasukan kaum Muslimin secara damai di Kota Suci itu, Hindun menjadi salah seorang yang masuk Islam. Keislamannya ini dilakukan dengan baik.

Hal itu pernah dikatakannya pada Abu Sufyan, "Aku ingin menjadi pengikut Muhammad.

"Bukankah aku lihat kau kemarin begitu membencinya," kata Abu Sufyan.

"Sesungguhnya aku sebelumnya tidak pernah melihat orang yang beribadah pada Allah itu dengan benar hingga apa yang kusaksikan tadi malam. Demi Allah, mereka betah berdiri, ruku’ dan sujud."

"Jika kau tetap dengan keputusanmu maka laksanakanlah, pergilah membawa seorang dari kaummu untuk menemanimu," kata Abu Sufyan.

Kemudian Hindun berangkat menemui Rasulullah untuk berbaiat. Ia datang dengan menyamar menggunakan cadar, merasa takut bila kemudian Rasulullah menangkapnya setelah mengenal suaranya.

Saat itu banyak pula pria—termasuk Abu Sufyan—dan wanita yang datang berbaiat. Rasulullah didampingi oleh para sahabatnya.

Hindun berkata, "Wahai Rasulullah, segala puji bagi Allah yang telah menurunkan agama yang menjadi pilihan-Nya, agar dapat bermanfaat bagi diriku. Semoga Allah memberi rahmat-Nya padamu, wahai Muhammad. Sesungguhnya aku wanita yang telah beriman kepada Allah dan membenarkan apa yang disampaikan Rasul-Nya."

Rasulullah saw berkata, "Selamat datang bagimu."

"Demi Allah," kata Hindun, "Tiada sesuatu pun di muka bumi ini penduduk yang berdiam di tenda-tenda lebih aku cintai dari mereka selalu bersama dengan tendamu. Dan sungguh aku telah menjadi bagian dari itu. Dan tidak ada di muka bumi ini penduduk yang berdiam di tenda-tenda lebih aku cintai dari mereka yang selalu ingin dekat denganmu."

"Dan sebagai tambahan, bacakanlah pada kaum wanita Al-Qur'an. Kau harus bersumpah setia bahwa selamanya kau tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun," pesan Rasulullah SAW.

"Demi Allah, sesungguhnya kau berhak menyuruh apa pun pada kami, apa yang diperintahkan pada kaum lak-laki dan kami akan menaatinya."

"Janganlah kau mencuri!"

"Demi Allah, jika aku memakai harta kepunyaan Abu Sufyan karena suatu keperluan, aku tidak tahu, apakah itu halal atau tidak?" tanya Hindun.

Rasulullah saw bertanya, "Benarkah kau Hindun binti Utbah?"

"Benar, saya Hindun binti Utbah, maka maafkanlah apa yang telah berlalu."

Kemudian Nabi bersabda, "Janganlah kau berzina!"

"Wahai Rasulullah, apakah budak yang telah bebas dianggap berzina?"

"Janganlah kalian bunuh anak-anakmu!"

"Sungguh kami telah merawat mereka sejak kecil dan mereka terbunuh pada Perang Badar setelah dewasa. Engkau dan mereka lebih tahu itu."

Umar bin Khathab tertawa mendengar jawaban Hindun. Nabi melanjutkan, "Janganlah kalian menyebarkan fitnah dan membuat berita bohong!"

"Demi Allah, sesungguhnya memelihara fitnah itu benar-benar perbuatan yang buruk dan merupakan perbuatan yang sia-sia."

"Dan janganlah kalian berbuat maksiat padaku terhadap perbuatan yang makruf!"

Hindun berkata, "Kami duduk di majelis ini bukan untuk berbuat maksiat terhadapmu dalam hal makruf."

Rasulullah SAW kemudian berkata pada Umar bin Khathab, "Baiat mereka semua, wahai Umar. Dan mintalah ampunan Allah bagi mereka!"

Umar lalu membaiat mereka. Rasulullah SAW tidak berjabat tangan dengan para wanita itu, dan tidak pula menyentuhnya kecuali wanita-wanita yang benar-benar dihalalkan oleh Allah bagi dirinya atau wanita yang menjadi muhrimnya.

Setelah menjadi Muslimah yang ahli ibadah; rajin shalat malam dan berpuasa. Ia sangat konsisten dengan status barunya tersebut sampai tiba saat yang membawa kegelapan bagi seluruh bumi ini, yaitu wafatnya Rasulullah SAW.

Hindun sangat terpukul, hatinya nyaris hancur, karena merasa terlalu lama dirinya memusuhi Rasulullah dan baru saja bisa menerima Islam. Namun demikian, ia tetap mempertahankan keislamannya dengan baik. Ia tetap menjadi seorang ahli ibadah dan menjaga janji setia yang pernah diucapkannya di hadapan Rasulullah.

Dalam Perang Yarmuk, Hindun mempunyai peran yang sangat besar. Ibnu Jarir berkata, ”Pada hari itu, kaum Muslimin bertempur habis-habisan. Mereka berhasil menewaskan pasukan Romawi dalam jumlah yang sangat besar. Sementara itu, kaum wanita menghalau setiap tentara Muslim yang terdesak dan mundur dari medan laga. Mereka berteriak, ’Kalian mau pergi ke mana? Apakah kalian akan membiarkan kami ditawan oleh pasukan Romawi?’ Siapa pun yang mendapat kecaman yang pedas seperti itu, pasti kembali menuju kancah pertempuran.”

Tentara Muslim yang sebelumnya hampir melarikan diri, kemudian bertempur kembali membangkitkan semangat pasukan yang lain. Mereka benar-benar terbakar oleh kecaman pedas yang diteriakkan oleh kaum wanita, terutama Hindun binti Utbah. Dalam suasana seperti itu, Hindun menuju barisan tentara sambil membawa tongkat pemukul tabuh dengan diiringi oleh wanita-wanita Muhajirin. Ia membaca bait-bait syair yang pernah dibacanya dalam Perang Uhud.

Tiba-tiba pasukan berkuda yang berada di sayap kanan pasukan Muslim berbalik arah, karena terdesak musuh. Melihat pemandangan tersebut, Hindun berteriak, ”Kalian mau lari ke mana? Kalian melarikan diri dari apa? Apakah dari Allah dan surga-Nya? Sungguh, Allah melihat yang kalian lakukan!”

Hindun juga melihat suaminya, Abu Sufyan, yang berbalik arah dan melarikan diri. Hindun segera mengejar dan memukul muka kudanya dengan tongkat seraya berteriak, ”Engkau mau ke mana, wahai putra Shakhr? Ayo, kembali lagi ke medan perang! Berjuanglah habis-habisan agar engkau dapat membalas kesalahan masa lalumu, saat engkau menggalang kekuatan untuk menghancurkan Rasulullah.”

Zubair bin Al-’Awwam yang melihat semua kejadian itu berkata, ”Ucapan Hindun kepada Abu Sufyan itu mengingatkanku kepada peristiwa Perang Uhud, saat kami berjuang di depan Rasulullah SAW.”

Pada masa pemerintahan Umar bin Khathab, setelah Hindun memberikan segala kemampuannya untuk membela agama yang agung ini, tibalah saat baginya untuk beristirahat. Ia meninggal di atas tempat tidurnya, pada hari di mana Abu Quhafah—ayahanda Abu Bakar Ash-Shiddiq—juga meninggal.

Hindun meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah SAW. Beberapa orang meriwayatkan darinya seperti, Muawiyah bin Abu Sufyan (anaknya) dan Aisyah Ummul Mukminin.


Sumber:
Republika
A'lamu An-Nisa



-dipi-
 
Arwa Binti Abdul Muthalib, Pembela Rasulullah


Arwa binti Abdul Muthalib adalah bibi Rasulullah SAW. Ia adalah putri Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad. Arwa masuk Islam di Makkah dan turut hijrah ke Madinah.

Sebelum masuk Islam, dia juga mendukung Nabi SAW. Disebutkan juga bahwa anaknya, Kalib bin Umair, masuk Islam di Darul Arqam bin Abu Al-Arqam Al-Makhzumi.

Usai masuk Islam, Kalib mengunjungi ibunya, Arwa binti Abdul Muthalib, kemudian berkata, "Aku mengikuti Muhammad dan masuk Islam karena Allah."

"Sungguh benar jika kau mendukung dan membantu sepupumu Muhammad. Demi Allah, kalau saja kita mampu apa yang dilakukan oleh para lelaki itu mendukungnya, tentu kita akan mengikutinya dan membelanya," kata ibunya.

"Lalu apa lagi yang menghalangimu untuk masuk Islam, dan mengikuti Muhammad. Padahal saudaramu Hamzah telah juga masuk Islam?"

"Aku sedang melihat apa yang diperbuat oleh saudara-saudara perempuanku, kemudian aku akan menjadi salah seorang dari mereka."

"Maka sesungguhnya aku memintamu karena Allah, agar kau mau datang pada Muhammad, masuk Islam, membenarkannya dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah," pinta Kalib.

Kemudian Arwa masuk Islam dan termasuk salah seorang yang mendukung Nabi SAW. Ia juga mengajak anaknya untuk menolong Rasulullah SAW dan mengerjakan apa yang diajarkan oleh beliau.

Pernah suatu kali Abu Jahal dan beberapa pembesar Quraiys bersikap keras hingga menyakiti Nabi SAW. Kalib bin Umair sengaja datang ke tempat Abu Jahal dan memukulnya dengan keras di kepalanya, kemudian orang-orang yang ada di sekitar Abu Jahal segera meringkusnya dan memegangnya kuat-kuat. Kemudian Abu Lahab mendekatinya hingga melepaskannya.

Kemudian kejadian itu, mereka berkata kepada Arwa, "Apakah kau tidak melihat anakmu si Kalib itu sekarang menjadi kasar berdekatan dengan Muhammad?"

Arwa menjawab, "Aku melihat bahwa beberapa hari ini dia semakin baik setelah dia mengisi harinya dengan selalu membela sepupunya Muhammad. Sungguh Muhammad membawa ajaran yang benar dari sisi Allah."

"Apakah kau juga telah menjadi pengikut Muhammad?" tanya mereka.

"Benar," jawab Arwa.

Kemudian sebagian mereka keluar menemui Abu Lahab dan memberi kabar tentang keislaman Arwa. Menerima kabar tersebut, Abu Lahab beranjak menemui Arwa dan berkata, "Sungguh mengherankan dirimu ini, hai Arwa. Mengapa kau menjadi pengikut Muhammad dan kau tinggalkan agama Abdul Muthalib?"

"Memang seperti itulah keadaannya," kata Arwa. "Maka cobalah kau dukung keponakanmu itu,bantu dan bela dirinya. Bila dia memberikan suatu ajaran, maka kau punya dua pilihan, apakah kau masuk ke dalam Islam bersamanya atau kau tetap memegang agamamu itu. Apabila dia yang benar, maka aku minta maaf karena telah memilih masuk ke dalam golongan keponakanmu Muhammad."

"Kami mempunyai kekuasaan dan kekuatan besar di Arab yang secara bersama-sama menentang kedatangan agama baru," kata Abu Laha lalu beranjak pergi.

Arwa begitu sedih dengan kematian Nabi SAW, hingga dia menulis puisi:
Wahai Rasulullah, bukankah kau harapan kami
Kehadiranmu bagi kami adalah kebaikan
Dan jangan kau biarkan menjadi kering
Setiap detak jantungku hanya mengingat Muhammad
Dan betapa kesedihan menahan rindu
Terkumpul dalam diriku setelah kau tiada, wahai Nabi.

Arwa binti Abdul Muthalib meninggal dunia sekitar tahun 15 Hijriyah.



Sumber:
Republika
A'lamu An-Nisa' karya Abdul Badi’ Shaqar





-dipi-
 
Amah binti Khalid, Baju Sutra Hadiah Rasulullah


Kedua orang tuanya adalah orang Quraisy yang termasuk generasi awal kaum beriman di kalangan para sahabat Rasululah SAW. Kedua orang tuanya termasuk orang-orang pertama yang merespons dakwah Rasulullah SAW, kemudian mendapat petunjuk melalui petunjuk beliau dan merupakan batu bata pertama di bangunan agama yang lurus ini.

Ketika sekelompok orang Quraisy berbondong-bondong untuk menjadi penganut agama yang mulia ini, di antara adalah Khalid bin Sa’ad bin Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abu Manaf bin Qusyai dan istrinya Umainah binti Khalaf bin As’ad bin Amir Al-Khuzaiyah. Kedua orang mulia dan terhormat inilah orang tua Amah.

Ketika beragam siksa mulai menimpa kaum Mukminin dan bermacam penganiayaan mendera mereka, Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk hijrah ke Habasyah. Di Habasyah, kaum Mukminin mendapatkan keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan.

Khalid dan istrinya pun berangkat ke Habasyah dengan berpegang teguh pada kesabaran. Di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah ialah Utsman bin Affan bersama istrinya, Ruqaiyah binti Muhammad SAW.

Khalid dan istrinya menceritakan kisah keislaman keduanya kepada putri mereka. Amah binti Khalid mendengar kisah menarik kedua orang tuanya dengan serius. Kisah tersebut membekas dan terpatri di hati Amah binti Khalid yang masih kecil.

Suatu ketika Amah kecil bertanya kepada ayahnya, "Ayah, kapan engkau masuk Islam?"

Khalid bin Sa'ad mendekap putrinya ke dadanya, sambil berkata, "Aku termasuk orang-orang yang pertama kali diberi kenikmatan iman. Orang yang masuk Islam bersamaku ialah pamanmu dari jalur aku, Amr bin Sa'ad. Dia sekarang ada bersamaku di Habasyah sedang hidup enak karena perlindungan Najasyi. Namun pamanmu dari jalurku yang lain, Aban bin Sa'ad, belum masuk Islam hingga sekarang."

Amah binti Khalid bertanya kepada ayahnya tentang nasib kakeknya, Abu Uhaihah, “Ayah, bagaimana dengan kakekku? Apakah Allah memberinya petunjuk untuk masuk Islam ataukah tetap berada pada kekafirannya?"

"Putriku, kakekmu tetap berada pada kekafiran dan kesombongannya," jawab Khalid bin Sa'ad, penuh kecintaan seorang ayah. "Kakekmu meninggal dunia dalam keadaan kafir. Sungguh aku selamat dengan Islam dan mengikuti Nabi Muhammad SAW."

Kaum Muhajirin dari Makkah menetap di Habasyah selama sepuluh tahun lebih, sedangkan Amah binti Khalid hanya hidup beberapa tahun di sana. Setelah itu, kaum Muhajirin kembali ke Madinah. Mereka pun bertemu Rasulullah SAW di Khaibar. Beliau berhasil menaklukkan Khaibar pada tahun ketujuh Hijriyah. Rasulullah kemudian memberi bagian rampasan perang kepada kaum Muhajirin dari Habasyah. Setelah itu, mereka pulang ke Madinah di bawah pimpinan Rasulullah SAW.
Di Madinah, putri-putri sahabat yang lahir di Habasyah mendapatkan perhatian dan asuhan Rasulullah SAW. Amah binti Khalid termasuk putri-putri sahabat yang belajar kepada Rasulullah SAW, mendapatkan kehormatan agung di sisi beliau, dan menjadi sahabiyah beliau. Amah binti Khalid ternasuk putri sahabat dan shahabiyah. Amah binti Khalid dikenal dengan nama panggilan Ummu Khalid. Ia dipanggil seperti itu, ketika Rasulullah SAW mengenakan pakaian baru kepadanya.

Sungguh Rasululah SAW amat memerhatikan putri dan putra sahabat dan menyayangi mereka. Itu sebagai salah satu bentuk penghargaan kepada salah seorang dari orang tua mereka, atau kedua orang tua mereka. Amah binti Khalid termasuk orang yang dihormati Rasulullah SAW. Beliau juga menghormati kedua orang tua Amah dan mengetahui bahwa keduanya masuk Islam sejak dulu dan berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dalam riwayat Bukhari disebutkan, suatu ketika para sahabat membawa beberapa pakaian yang di dalamnya terdapat baju yang diberi garis-garis (dengan sutra atau wol) kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau bersabda, "Menurut kalian, siapa yang paling layak kita beri pakaian ini?"

Orang-orang diam, kemudian Rasululah SAW bersabda, "Bawa kemari Ummu Khalid."

Ummu Khalid pun dibawa ke hadapan Nabi SAW, kemudian beliau mengenakan pakaian tersebut kepadanya dengan tangan beliau langusng, sambil bersabda, "Kenakan pakaian ini hingga lusuh, kenakan pakaian ini hingga lusuh!"

Di antara makna perkataan tersebut ialah semoga hidup Amah binti Khalid panjang, hingga pakaian yang dikenakan Nabi SAW tersebut lusuh.

Di antara yang membuat Amah binti Khalid termasuk wanita-wanita mulia dan mempunyai kedudukan di antara para sahabat ialah karena ia termasuk salah seorang dari putri-putri sahabat yang meriwayatkan hadits dari Nabi SAW. Amah binti Khalid meriwayatkan tujuh hadis dari Rasulullah SAW.

Bukhari meriwayatkan dua hadits Amah binti Khalid. Ada dua orang di antara para penulis sunan yang meriwayatkan haditsnya, yaitu Abu Dawud dan Nasa'i. Mereka yang meriwayatkan hadis dari Amah binti Khalid adalah Sa'ad bin Amr bin Sa'ad bin Al-Ash, yang tidak lain adalah anak pamannya dari jalur ayah, Amr. Begitu juga Musa bin Uqbah, Ibrahim bin Uqbah, Karib bin Sulaim, Al-Kindi, dan lain-lain.

Ketika Amah binti Khalid menginjak usia dewasa, ia dinikahi pendekar Islam dan kepala keluarga Zubair bin Awwam, yang merupakan sahabat setia Rasulullah SAW. Dari hasil pernikahannya dengan Zubair bin Awwam, Amah binti Khalid mempunyai dua anak laki-laki; Umar dan Khalid. Amah binti Khalid dipanggil dengan anaknya yang bernama Khalid tersebut sehingga namanya menjadi Ummu Khalid. Kedua anaknya termasuk anak-anak para sahabat terbaik dan tabi’in terbaik pula. Ia sendiri juga salah satu putri-putri sahabat dan istri-istri para sahabat terbaik.

Amah binti Khalid merupakan salah seorang putri sahabat yang berumur panjang. Hal ini tidak lepas dari keberkahan doa Rasululah SAW, ketika beliau mengenakan pakaian yang bergaris-garis sutra tidak lama setelah kedatangannya dari Habasyah.

Ibnu Hajar berkata, "Ummu Khalid (Amah binti Khalid) hidup lama sekali, yakni hidup hingga zaman Musa bin Uqbah."

Sedasngkan Adz-Dzahabi berkata, "Ia hidup hampir 90 tahun. Saya berpendapat bahwa Amah binti Khalid adalah shahabiyah yang terakhir meninggal dunia, karena ia hidup hingga zaman Sahl bin Sa'ad."


Sumber:
Republika



-dipi-
 
Asma’ binti Abu Bakar, Pemilik Dua Ikat Pinggang

Asma' binti Abu Bakar adalah salah seorang wanita mulia yang turut serta dalam hijrah ke Madinah. Dia dikenal sebagai wanita terhormat yang menonjol dalam kecerdasannya, kemuliaan diri, dan kemauannya yang kuat. Ia dilahirkan pada 27 tahun sebelum Hijrah. Asma' lebih tua sepuluh tahun dari Aisyah Ummul Mukminin, saudara perempuannya. Dia juga saudara kandung Abdullah bin Abu Bakar.

Asma' binti Abu Bakar mendapat julukan "Dzatin Nithaqain" (Pemilik Dua Ikat Pinggang), karena dia mengambil ikat pinggangnya, lalu memotongnya menjadi dua. Kemudian yang satu dia gunakan untuk sufrah (bungkus makanan untuk bekal) Rasulullah SAW, dan yang lain sebagai pembungkus qirbahnya pada waktu malam, ketika Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash- Shiddiq keluar menuju gua.

Penduduk Syam mengolok-olok Ibnu Zubair dengan julukan "Dzatin Nithaqain" ketika mereka memeranginya. Maka Asma' bertanya kepada putranya itu, Abdullah bin Zubair, "Mereka mengolok-olokkan kamu?"

Abdullah menjawab, "Ya."

Maka Asma' berkata, "Demi Allah, dia benar."

Ketika Asma' menghadap Al-Hajjaj, dia berkata, "Bagaimana engkau mengolok-olok Abdullah dengan julukan Dzatin Nithaqain? Memang aku mempunyai sepotong ikat pinggang yang harus dipakai oleh orang perempuan dan sepotong ikat pinggang untuk menutupi makanan Rasulullah SAW."

Asma’ telah masuk Islam sejak di Makkah setelah 17 orang lainnya masuk Islam sebelum dirinya. Dia juga ikut membai’at (mengucapkan janji setia) Nabi SAW dan beriman dengan apa yang diajarkan padanya. Imannya kokoh pengamalan Islamnya baik.

Di antara tanda keislamannya yang baik, suatu ketika Qatilah binti Abdul Uzza mengirimkan pada anak perempuannya, Asma' binti Abu Bakar Ash-Shiddiq—Abu Bakar telah menceraikan Qatilah pada masa jahiliyah—beberapa hadiah, kismis (anggur kering), mentega dan anting-anting. Namun dia menolak menerima hadiah yang diberikan dan tidak mengizinkan ibunya masuk ke dalam rumah.

Kemudian dia beranjak menuju Aisyah dan berkata, "Wahai Aisyah, tanyakanlah pada Rasulullah SAW tentang hal ini?"

Kemudian Rasulullah saw mengatakan agar Asma menerima hadiah itu dan mempersilakan ibunya masuk ke dalam rumah.

Abu Bakar pernah membawa seluruh hartanya ketika hijrah bersama Rasulullah SAW, yang berjumlah sekitar 5.000 atau 6.000 dirham. Kemudian kakek Asma', Abu Quhafah, datang kepadanya. Abu Quhafah adalah seorang tuna netra.

Abu Quhafah berkata, "Demi Allah, sungguh aku lihat dia (Abu Bakar) telah menyusahkan kalian dengan hartanya, sebagaimana dia telah menyusahkan kalian dengan dirinya."

Asma' berkata, "Sekali-kali tidak, wahai Kakek. Beliau telah meninggalkan kebaikan yang banyak bagi kita."

Kemudian Asma' mengambil batu-batu dan meletakkannya di sebuah lubang tempat biasanya Abu Bakar (ayahnya) menyimpan harta. Setelah itu, Asma' menutupinya dengan selembar kain. Ia kemudian memegang tangan kakeknya (Abu Quhafah) dan berkata, "Wahai kakek, letakkan tanganmu di atas uang ini."

Abu Quhafah meletakkan tangannya di atas kain itu dan berkata, "Tidaklah mengapa jika dia tinggalkan ini bagi kalian, maka dia telah berbuat baik. Ini sudah cukup bagi kalian."

Padahal sebenarnya, Abu Bakar sama sekali tidak meninggalkan apa-apa pada keluarganya. Tapi Asma' melakukan hal itu untuk menenangkan hati kakeknya.

Asma’ menikah dengan Zubair bin Awwam, seorang yang tidak mempunyai harta benda, tidak pula kekuasaan, atau sesuatu lainnya kecuali kudanya. Maka Asma' mengurus kuda itu, menyediakan makanan dan memberinya minumannya.

Suatu ketika Zubair bersikap keras terhadapnya, maka Asma' datang kepada ayahnya dan mengeluhkan hal itu. Abu Bakar berkata, "Wahai anakku, bila seorang perempuan mempunyai seorang suami yang saleh kemudian meninggal, dan si perempuan tidak lagi menikah setelahnya, keduanya akan dikumpulkan oleh Allah di surga."

Suatu saat, Asma mengunjungi Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, di rumahku tidak terdapat apa pun kecuali sesuatu yang diberikan oleh Zubair. Bolehkah aku memberikan (menyedekahkan) sesuatu yang sedikit itu kepada orang yang mengunjungi rumahku?"

Nabi SAW menjawab, "Berikanlah (bersedekahlah) sesuai kemampuanmu dan jangan menahannya agar tidak ditahan pula suatu pemberian terhadapmu."

Tentang kedermawanan Asma' ini, Abdullah bin Zubair (putranya) berkata, "Tidaklah kulihat dua orang wanita yang lebih dermawan daripada Aisyah dan Asma'. Kedermawanan mereka berbeda. Adapun Aisyah, sesungguhnya dia suka mengumpulkan sesuatu, hingga setelah terkumpul semua, dia pun membagikannya. Sedangkan Asma', dia tidak menyimpan sesuatu untuk besoknya."

Asma' juga turut serta dalam Perang Yarmuk bersama suaminya, Zubair bin Awwam, dan menunjukkan keberaniannya. Dia membawa sebilah belati dalam pasukan Said bin Ash di masa fitnah, lalu meletakkannya di balik lengan bajunya.

Orang bertanya kepadanya, "Apa yang kau lakukan dengan membawa pisau ini?"

Asma' menjawab, "Jika ada pencuri masuk, maka akan kutusuk perutnya."

Asma’ meriwayatkan sekitar 58 hadits dari Rasulullah SAW, riwayat lain mengatakan 56 hadits. Bukhari dan Muslim sepakat terhadap 14 hadits. Sedangkan 4 hadits lainnya diriwayatkan oleh Bukhari sendirian, sedangkan Muslim juga meriwayatkan sejumlah yang diriwayatkan Bukhari. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa hadits-hadist Asma yang sudah ditakhrij mencapai 22 hadits. Di antara yang telah disepakati Bukhari dan Muslim sebanyak 13 hadits. Selain itu, Bukhari meriwayatkan 5 hadits dan Muslim meriwayatkan 4 hadits.

Asma' juga dikenal sebagai penyair dan pengarang prosa, mempunyai logika berpikir yang baik dan jelas. Ketika suaminya, Zubair bin Awwam, dibunuh oleh Amru bin Jarmuz Al-Mujasyi'i di Wadi As-Siba' (5 mil dari Basrah) ketika kembali dari Perang Jamal, Asma' melantunkan sebait syair:
Esok datang Ibnu Jarmuz dengan seekor kuda penuh semangat
Di hari kegembiraan meski tanpa nyanyian
Wahai Amru, bila kau perhatikan, tentu kau dapatkan
Jangan sembrono, hingga menggetarkan hati
Jangan kau biarkan tanganmu sembarangan
Karena ibumu akan kehilanganmu
Bila kau terbunuh, jadilah seorang yang muslim
Semoga terbebas dari siksaan yang telah dijanjikan

Dan ketika putranya, Abdullah bin Zubair, terbunuh ia berujar:
Tiada bagi kekuasaan Allah yang tidak mungkin terjadi
Setelah suatu kaum membunuh
antara zam-zam dan maqam Ibrahim
Mereka terbunuh oleh kekeringan yang mencekik
Membusuk, dengan berbagai penyakit dan kusta


Asma' mempunyai jiwa yang dermawan dan mulia tidak pernah menunda sesuatu hingga esok hari. Pernah suatu ketika dia jatuh sakit, kemudian dia segera membebaskan (memberikan) seluruh harta yang dipunyainya. Dulu dia pernah berkata pada anak-anak dan keluarganya, "Berinfaklah kalian, dan bersedekahlah, dan jangan kau menunda keutamaan. Jika kalian menunda keutamaan, kalian tidak akan pernah mendapatkan keutamaan. Dan jika kalian memberi sedekah, kalian tidak akan kehilangan."

Kata-kata Asma' kepada putranya menunjukkan kepada kita tentang makna-makna yang luhur. Suatu saat putranya, Abdullah, datang menemuinya. Saat itu Asma' dalam keaadan buta dan sudah berusia 100 tahun.

Abdullah berkata kepada ibunya, "Wahai Ibu, bagaimana pendapatmu mengenai orang yang telah meninggalkanku, begitu juga keluargaku."

Asma' berkata, "Jangan biarkan anak-anak kecil Bani Umayyah mempermainkanmu. Hiduplah secara mulia dan matilah secara mulia. Demi Allah, sungguh aku berharap akan terhibur mengenaimu dengan baik."

Kemudian Abdullah keluar dan bertempur hingga ia mati terbunuh. Konon, Al-Hajjaj berkata kepada Asma' setelah Abdullah terbunuh, "Bagaimanakah engkau lihat perbuatanku terhadap putramu?"

Asma' menjawab, "Engkau telah merusak dunianya, namun dia telah merusak akhiratmu."

Asma' wafat di Makkah dalam usia 100 tahun, sedang giginya tetap utuh, tidak ada yang tanggal. Ia juga tidak pikun.



Sumber:
Republika
A'lamu An-Nisa' karya Abdul Badi’ Shaqar




-dipi-
 
Fatimah binti Muhammad SAW, Wanita Penghulu Surga


Dia adalah putri yang orang-orang mulia, baik dari pihak ayah atau ibunya. Ayahnya adalah Nabi terakhir, pemimpin dan suri tauladan kaum Muslimin; Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Ibunya, Khadijah binti Khuwailid, Ummul Mukminin yang bergelar Al-Kubra, sosok yang agung; salah seorang wanita penghulu surga.

Fatimah dilahirkan beberapa saat sebelum Muhammad SAW diutus menjadi seorang Rasul. Ia mendapat gelar Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlak, adab, hasab dan nasab. Ia juga mendapatkan julukan Az-Zahra, yang cemerlang.

Fatimah adalah putri bungsu Rasulullah SAW—kakak-kakaknya adalah Ummu Kultsum, Ruqayyah dan Zainab—dan yang paling beliau cintai. Rasulullah pernah berkata tentang putri terkasihnya itu, "Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku." (Ibnu Abdil Bar dalam Al-Isti'aab)

Fatimah dikenal sebagai seorang wanita termulia di dunia pada masanya. Dia seorang wanita yang mempunyai pertalian darah kenabian dan keturunan seorang yang terpilih, anak perempuan manusia yang termulia, Rasulullah SAW. Dia adalah ibu dua anak yang mulia; Hasan dan Husein.

Keluarga Fatimah-lah yang disebut Ahlul Bait oleh Rasulullah SAW. Az-Zubair bin Bukar mengatakan, keturunan Zainab telah tiada dan telah sah riwayat, bahwa Rasulullah SAW menyelimuti Fatimah dan suaminya serta kedua putranya dengan pakaian seraya berkata, "Ya Allah, mereka ini adalah ahli baitku. Maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya." (Siyar A'laamin Nubala')

Menurut Ibnu Abdil Bar, Ali bin Abi Thalib menikahinya setelah Perang Uhud. Kemudian Fatimah melahirkan Hasan dan Husein, Muhsinan, Ummi Kultsum, dan Zainab.

Ali berkata, "Aku menikahi Fatimah, sementara kami tidak mempunyai alas tidur selain kulit domba untuk kami tiduri di waktu malam dan kami letakkan di atas unta untuk mengambil air di siang hari. Kami tidak mempunyai pembantu selain unta itu."

Ketika Rasulullah SAW menikahkan Fatimah, beliau mengirimkan seekor unta, selembar kain, bantal kulit berisi ijuk, dua alat penggiling gandum, sebuah timba dan dua kendi. Fatimah menggunakan alat penggiling gandum itu hingga melecetkan tangannya dan memikul qirbah (tempat air dari kulit) berisi air hingga berbekas di dadanya. Walau merupakan putri manusia termulia, namun Fatimah tak memiliki seorang pelayan. Ia mengerjakan sendiri semua urusan rumah tangganya.

Tatkala Ali mengetahui banyak hamba sahaya telah datang kepada Nabi SAW, ia berkata kepada Fatimah, "Alangkah baiknya bila engkau pergi kepada ayahmu dan meminta pelayan darinya."

Kemudian Fatimah datang kepada Nabi SAW. Beliau bertanya, "Ada apa, wahai putriku?"

Fatimah menjawab, "Aku datang untuk memberi salam kepadamu." Ia merasa malu untuk meminta kepada ayahandanya, lalu pulang.

Keesokan harinya, Nabi SAW yang datang ke rumahnya dan bertanya, "Apakah keperluanmu?"

Fatimah diam. Ali lalu berkata, "Aku akan menceritakannya kepadamu, wahai Rasululllah. Fatimah menggiling gandum dengan alat penggiling hingga melecetkan tangannya dan mengangkut qirbah berisi air hingga berbekas di dadanya. Ketika hamba sahaya datang kepadamu, aku menyuruhnya agar menemui dan meminta pelayan darimu, yang bisa membantunya guna meringankan bebannya."

Kemudian Nabi SAW bersabda, "Demi Allah, aku tidak akan memberikan pelayan kepada kamu berdua, sementara aku biarkan perut penghuni Shuffah merasa kelaparan. Aku tidak punya uang untuk nafkah mereka, tetapi aku jual hamba sahaya itu dan uangnya aku gunakan untuk nafkah mereka."

Nabi SAW amat menyayangi dan memuliakannya. Keutamaan dan kebaikannya amat banyak, dia adalah seorang yang sabar, taat menjalankan agama, baik, bersikap qana’ah, dan selalu bersyukur kepada Allah.

Pernah suatu ketika Rasulullah SAW marah kepada Ali dan membela Fatimah ketika ada seseorang yang menyampaikan pada beliau bahwa Ali hendak meminang anak perempuan Abu Jahal.

Kemudian Rasul berkata: Demi Allah, jangan kau kumpulkan anak perempuan Nabi Allah dengan anak perempuan musuh Allah, karena Fatimah merupakan bagian dariku. Aku akan merasa ragu apa yang dirasakannya ragu, dan aku akan merasa tersakiti bila dia merasa sakit.

Ali pun meninggalkan niatnya untuk meminang putri Abu Lahab untuk menjaga perasaan Fatimah. Dia tidak jadi menikahinya. Baru setelah Fatimah meninggal dunia, Ali menikah lagi.

Fatimah juga termasuk seorang mujahidah yang turut berjihad di medan perang, termasuk di Uhud. Ketika wanita-wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin, Fatimah pun turut serta. Ketika bertemu Nabi SAW yang terluka, ia memeluk dan mencuci luka-luka ayahnya dengan air, sehingga darah semakin banyak yang keluar. Tatkala melihat hal itu, Fatimah kemudian mengambil sepotong tikar, lalu membakar dan membubuhkannya pada luka Rasulullah sehingga melekat dan darahnya berhenti keluar. (HR Tirmidzi)

Selain itu, Fatimah juga membantu kaum Muslimin yang lain, di antara tikaman tombak dan sabetan pedang, serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin. Ia memberikan pengobatan, menyediakan air minum bagi para prajurit, dan mempersiapkan urusan logistik pasukan Muslimin.

Ummul Mukminin Aisyah mengatakan, suatu saat istri-istri Nabi SAW berkumpul di tempat beliau. Lalu datang Fatimah sambil berjalan, sedang jalannya mirip dengan jalan ayahandanya. Ketika Nabi SAW melihatnya, beliau menyambut Fatimah seraya berkata, "Selamat datang, putriku."

Kemudian beliau mendudukkan Fatimah di sebelahnya, lalu dia berbisik-bisik. Tiba-tiba Fatimah menangis dengan suara keras. Melihat kesedihannya, Nabi SAW berbisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fatimah tersenyum.

Setelah Rasulullah pergi, Aisyah berkata kepada Fatimah, "Rasulullah SAW telah berbisik kepadamu secara khusus di antara istri-istrinya, kemudian engkau menangis. Apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu?"

Fatimah menjawab, "Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasulullah SAW."

Ketika Rasulullah SAW telah wafat, Aisyah kembali bertemu Fatimah dan berkata, "Aku mohon kepadamu, demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah kepadaku apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu waktu itu?"

Fatimah pun menjawab, "Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa bacaan Al-Qur'an Rasulullah sekali dalam setahun, dan sekarang dia memerika bacaannya dua kali. 'Maka kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahuluimu,' kata Rasulullah. Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku, 'Wahai Fatimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin wanita-wanita Mukmin atau umat ini? Maka aku pun tertawa seperti yang engkau lihat."

Ketika menjelang wafatnya Rasulullah dan sakitnya bertambah berat, Fatimah berkata, "Alangkah beratnya, wahai Ayah."

Nabi SAW menjawab, "Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini."

Pada saat Nabi wafat, Fatimah merasa amat sedih dan menangis sambil berkata, "Wahai ayahku, kepada Jibril kami sampaikan berita duka ini. Wahai ayahku, semoga Allah mengabulkan semua permintaan. Wahai ayahku, hanya surga Firdaus tempat yang layak."

Setelah wafatnya sang ayah, Fatimah berpikir akan mendapatkan harta warisan, sehingga dia datang pada Abu Bakar dan meminta harta warisan Rasulullah. Abu Bakar memberitahukan padanya bahwa dia mendengar Nabi SAW bersabda, "Kami tidak meninggalkan warisan, tidak pula meninggalkan harta."

Fatimah merasa kesal pada Abu Bakar kemudian berdiam diri di rumahnya. Ketika ia jatuh sakit, Abu Bakar datang minta izin untuk menjenguknya. Ali pun menemui istrinya dan berkata, "Wahai Fatimah, ini Abu Bakar datang meminta izin untuk bisa menjengukmu."

"Apakah kau senang bila aku memberinya izin?" tanya Fatimah.

"Tentu, aku senang," jawab Ali.

Kemudian Fatimah memberikan izin pada Abu Bakar untuk menjenguknya. Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku tidak meninggalkan rumah, harta, keluarga dan kerabat kecuali mencari keridhaan Allah, Rasul-Nya, dan keridhaan kalian, Ahlul Bait."

Fatimah Az-Zahra wafat sekitar 15 bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ia telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam "Shahihain" diriwayatkan satu hadits darinya yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits dari Fatimah juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud.

Ibnul Jauzi berkata, "Kami tidak mengetahui seorang pun di antara putri-putri Rasulullah SAW yang lebih banyak meriwayatkan darinya selain Fatimah."




Sumber:
A'lamu An-Nisa
An-Nisaa' Haula Ar-Rasul
Republika




-dipi-
 
Back
Top