Wanita-Wanita Terkemuka Dalam Sejarah Islam

Ummu Kultsum binti Muhammad SAW, Sang Pemilik Cahaya

Ummu Kultsum adalah putri ketiga Rasulullah SAW dan Khadijah Al-Kubra, setelah Zainab dan Ruqayyah. Karena jarak yang tidak terlalu jauh, Ummu Kultsum dan kakaknya Ruqayyah bagaikan anak kembar. Mereka gemar melakukan segala sesuatu bersama-sama, bermain, hingga tidur pun di atas satu tikar.

Ruqayyah dan Ummu Kultsum adalah dua orang saudara yang perjalanan hidup mereka hampir sama. Mereka berdua terlahir dari ibu bapak yang sama, suami mereka pun kakak beradik yang namanya mempunyai arti yang sama; Utbah dan Utaibah, mempunyai mertua yang sama, masuk Islam pada hari yang sama, bercerai pada hari yang sama, dan setelah perceraian itu, mereka mempunyai suami yang sama pula.

Kedekatan dua bersaudara ini tentu mudah dipahami. Selisih usia yang cukup dekat dan juga sifat dan rupa yang juga sama, membuat mereka sangat dekat satu sama lain. Masa kecil mereka lalui bersama. Dan ketika Zainab, kakak tertua menikah dengan Abul Ash, sudah banyak pemuda pemuda Makkah yang ingin meminang Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Sebelum datang masa kenabian, Ruqayyah disunting oleh seorang pemuda bernama Utbah, putra Abu Lahab bin Abdul Muththalib. Sementara Ummu Kultsum menikah dengan Utaibah bin Abi Lahab, saudara Utbah. Namun, pernikahan itu tak berlangsung lama.

Berawal dengan diangkatnya Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul, menyusul kemudian turunnyaa surat Al-Lahab yang berisi cercaan terhadap Abu Lahab. Maka Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil, menjadi berang. Mereka meminta kedua putranya agar menceraikan putri-putri Rasulullah. “Haram jika kalian berdua tidak menceraikan kedua putri Muhammad!” Ummu Jamil mengancam.

Kembalilah dua putri yang mulia ini dalam keteduhan naungan ayah bundanya, sebelum sempat dicampuri suaminya. Bahkan dengan itulah Allah menyelamatkan mereka berdua dari musuh-musuh-Nya. Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun masuk Islam bersama ibunda dan saudari-saudarinya.

Allah SWT memberikan ganti yang jauh lebih baik. Ruqayyah disunting oleh seorang sahabat mulia, Utsman bin Affan. Ketika Ruqayyah meninggal dunia, maka Utsman menikahi Ummu Kultsum yang belum terjamah oleb Utaibah, pada bulan Rabi’ul-Awwal tahun ke-3 Hijriyah. Dan keduanya baru berkumpul pada bulan Jumadits-Tsani.

Mereka hidup bersama sampai Ummu Kultsum meninggal dunia tanpa mendapatkan seorang anak pun. Ummu Kultsum meninggal dunia pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriyah.

Rasulullah berkata, "Seandainya aku mempunyai sepuluh orang putri, maka aku akan tetap menikahkan mereka dengan Utsman."

Ummu Kultsum adalah seorang wanita yang cantik. la senang memakai jubah sutra yang bergaris. Pada hari wafatnya, jenazahnya dimandikan oleh Asma’ binti Umais dan Shafiyah binti Abdul Muthalib. Jenazahnya ditempatkan di atas sebuah keranda yang terbuat dari batang pohon palem yang baru dipotong.

Dan pada saat penguburannya, Rasulullah duduk di dekat kuburan Ummu Kultsum dengan berlinang air mata. Jasad Ummu Kultsum dibawa turun ke liang lahat oleh Ali bin Abi Thalib, Al-Fadhl bin Al-Abbas, Usamah bin Zaid serta Abu Thalhah Al-Anshari.


Sumber:
A'lamu An-Nisa
Republika




-dipi-
 
Mariyah Al-Qibthiyah, Dicemburui Para Ummul Mukminin


Mariyah Al-Qibthiyah adalah seorang budak Kristen Koptik yang dikirimkan oleh Raja Mesir, Muqauqis, sebagai hadiah kepada Nabi Muhammad SAW. Muqauqis menolak tawaran Rasulullah untuk masuk Islam.

Rasulullah SAW mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru sang raja agar memeluk Islam. Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam. Justru dia mengirimkan tiga orang budak; Mariyah, Sirin (saudara Mariyah), dan Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah, termasuk keledai dan kuda putih (bughlah).

Di tengah perjalanan Hatib dapat merasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan tentang Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan tersebut.

Rasulullah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya beliau dengan budak-budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit.

Banyak sumber Muslim mengatakan bahwa Rasulullah kemudian memerdekakan dan menikahi Mariyah, namun ini tidak jelas apakah ini fakta historis atau apologi historis. Masalah lain, budak tidak secara otomatis merdeka karena masuk Islam, sehingga hal ini tidak begitu jelas mengapa Mariyah harus dimerdekakan jika dia siap diislamkan. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa Mariyah hanya seorang selir.

Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.

Imam Al-Baladziri berkata, "Sebenarnya, ibunda Mariyah adalah keturunan bangsa Romawi. Mariyah mewarisi kecantikan ibunya sehingga memiliki kulit yang putih, berparas cantik, berpengetahuan luas, dan berambut ikal."

Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu, sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid. Mariyah tidak dikategorikan sebagai istri dalam beberapa sumber paling awal, seperti dalam catatan Ibnu Hisyam dalam Sirah Ibnu Ishaq.

Kehadiran Mariyah ternyata membuat kedua istri Rasulullah, Hafsah dan Aisyah, berkonspirasi karena cemburu. Sehingga turunlah firman Allah: "Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula." (QS At-Tahrim: 3-4)

Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah Al-Kubra. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayyah meninggal dunia.

Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati.

Pada bulan Dzulhijjah tahun ke-8 Hijriyah, Mariyah melahirkan bayinya. Rasulullah kemudian memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim AS. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah dengan gembira.

Rasulullah mengaqiqahkan Ibrahim dengan menyembelih dua ekor domba yang besar, mencukur rambut bayi dan bersedekah kepada fakir miskin dengan harta senilai perak yang seukuran dengan timbangan rambut Ibrahim yang telah dicukur. Ibrahim kemudian disusui oleh seorang istri tukang pandai besi yang bernama Abu Saif yang tinggal di perbukitan Madinah.

Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man Al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.”

Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”

Beberapa orang dari kalangan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali bin Abi Thalib menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.

Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam—ketika sakit Ibrahim bertambah parah—dengan perasaan sedih Nabi bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”

Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda, “Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim. Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”

Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah SAW mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.

Kematian Ibrahim bertepatan dengan gerhana matahari. Orang-orang lalu menghubungkan kematiannya dengan gerhana, namun Rasulullah meluruskan. "Gerhana bulan dan matahari tidak terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang," sabda beliau.

Setelah Rasulullah SAW wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab. Khalifah Umar sendiri yang menyalati jenazah Ummul Mukminin Mariyah, dan kemudian dimakamkan di Baqi’.



Sumber:
Republika



-dipi-
 
Kematian Ibrahim bertepatan dengan gerhana matahari. Orang-orang lalu menghubungkan kematiannya dengan gerhana, namun Rasulullah meluruskan. "Gerhana bulan dan matahari tidak terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang," sabda beliau.

pantas aja sering terjadi mitos di masyarakat
 
Ummu Haram, Syahid di Pulau Siprus

Nama lengkapnya Ummu Haram binti Mulhan bin Khalid bin Zaid bin Haram. Ia adalah seorang sahabat wanita yang selalu ikut berangkat bersama pejuang Muslim dan sempat mengikuti beberapa kali pertempuran. Ia sempat ikut dalam penaklukan Siprus bersama suaminya, Ubadah bin Shamit, dan syahid di tempat itu.

Ummu Haram adalah saudara Ummu Sulaiman, bibi Anas bin Malik, pembantu Rasulullah SAW. Ummu Haram dan kedua saudaranya—Ummu Sulaim dan Haram—ikut dalam Perang Badar dan Uhud. Dan kedua-duanya syahid pada perang Bi’r Ma’unah.

Ummu Haram termasuk wanita yang terhormat, ia memeluk Islam dan berbaiat kepada Nabi SAW serta ikut berhijrah. Rasulullah memuliakan Ummu Haram dan pernah berkunjung ke rumahnya dan istirahat sejenak di sana. Ummu Haram dan Ummu Sulaim adalah bibi Rasulullah, apabila dihubungkan dengan sepersusuan ataupun dikaitkan dengan nasab, sehingga menjadi halal menyendiri keduanya.

Anas bin Malik pernah berkata, "Rasulullah masuk ke rumah kami, yang mana tidak ada yang di dalam melainkan saya, ibuku (Ummu Sulaim) dan bibiku Ummu Haram. Beliau bersabda, 'Berdirilah kalian, aku akan shalat bersama kalian.' Maka beliau shalat bersama kami pada saat bukan waktu shalat wajib."

Ummu Haram bercita-cita dapat menyertai peperangan bersama mujahidin yang menaiki kapal untuk menyebarkan dakwah dan membebaskan manusia dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Allah saja. Akhirnya, Allah mengabulkan keinginannya dan mewujudkan cita-citanya.

Anas bin Malik menuturkan, apabila Rasulullah SAW pergi ke Quba’, beliau mampir ke rumah Ummu Haram. Kemudian Ummu Haram menyediakan makanan untuk beliau. Rasulullah bersandar di dinding kemudian tertidur. Tidak beberapa lama kemudian beliau bangun lalu tertawa.

Ummu Haram bertanya, "Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?"

Beliau bersabda, "Sekelompok manusia dari kelompokku, mereka berperang di jalan Allah dan berlayar di lautan sebagaimana raja-raja di atas pasukannya atau laksana para raja yang memimpin pasukannya."

"Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk golongan mereka," pinta Ummu Haram.

"Engkau termasuk golongan para pelopor," kata Rasulullah.

Tatkala dinikahi oleh Ubadah bin Shamit, mereka keluar untuk berjihad bersama ke Siprus. Di sanalah Ummu Haram syahid ketika terlempar dari hewan yang ditungganginya. Ia kemudian dikubur di sana. Ketika itu pemimpin pasukan adalah Muawiyah bin Abu Sufyan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 27 Hijriyah.

Ummu Haram termasuk salah satu dari keluarga mulia yang setia terhadap prinsip yang dipegangnya. Ia mencurahkan segala kemampuannya untuk menyebarkan Islam, dan tidak mengharapkan sesuatu selain ridha Allah SWT.

Ummu Haram meriwayatkan lima hadits dari Rasulullah SAW. Beberapa orang juga meriwayatkan hadits darinya. Di antara mereka adalah Ummu Hakim binti Zubair, Anas bin Malik, Atha bin Yasar, dan suaminya, Ubadah bin Shamit.



Sumber:
Republika
A'lamu An-Nisa
An-Nisa Haula Ar-Rasul



-dipi-
 
Khansa binti Amr, Ibunda Para Syuhada

Khansa terkenal dengan julukan "Ibunda Para Syuhada". Ia dilahirkan pada zaman jahiliyah dan tumbuh besar di tengah suku bangsa Arab mulia, yaitu Bani Mudhar. Sehingga banyak sifat mulia yang terdapat dalam dirinya.

Ia adalah seorang yang fasih, mulia, murah hati, tenang, pemberani, tegas, tak kenal pura-pura dan suka berterus terang. Selain keutamaan itu, ia pun pandai bersyair. Ia terkenal dengan syair-syairnya yang berisi kenangan kepada orang-orang tercinta yang telah tiada. Terutama kepada kedua orang saudara lelakinya, yaitu Muawiyah dan Sakhr yang telah meninggal dunia.

Khansa sering bersyair tentang kedua saudaranya itu sehingga ia ditegur oleh Umar bin Khathab. Umar pernah bertanya kepada Khansa, "Mengapa matamu bengkak-bengkak?"

"Karena aku terlalu banyak menangisi pejuang-pejuang Mudhar yang terdahulu," jawab Khansa.

Umar berkata, "Wahai Khansa, mereka semua ahli neraka."

"Justru itulah yang membuatku lebih kecewa dan sedih lagi. Dahulu aku menangisi Sakhr atas kehidupannya, sekarang aku menangisinya karena ia ahli neraka."

Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Azis As-Sulami. Dari pernikahan itu ia mendapatkan empat orang anak laki-laki. Melalui pembinaan dan pendidikan tangannya yang dingin, keempat anak lelakinya ini tumbuh menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Dan Khansa sendiri terkenal sebagai ibu para syuhada. Hal itu karenakan dorongannya terhadap keempat anak lelakinya yang telah gugur sebagai syahid di medan Perang Qadisiyah.

Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan sengit di rumah Khansa. Di antara keempat putranya saling berebut kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling menunjuk yang lain untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh-musuh Allah. Rupanya perdebatan mereka itu terdengar oleh Khansa.

Maka Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata, "Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan. Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain dia, sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang lelaki dan seorang perempuan yang sama. Tidak pantas bagiku untuk mengkhianati ayahmu, atau membuat malu pamanmu, atau mencoreng arang di kening keluargamu."

Khansa berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah. Majulah paling depan, niscaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat, negeri keabadian. Sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Inilah kebenaran sejati, maka berperanglah dan bertempurlah sampai mati. Wahai anakku, carilah maut niscaya kalian dianugerahi hidup."

Pemuda-pemuda itu pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan musuh, sehingga banyak yang tewas di tangan mereka. Akhirnya mereka pun satu per satu gugur sebagai syahid. Ketika Khansa mendengar kematian dan kesyahidan putra-putranya, sedikit pun ia tak merasa sedih.

Bahkan ia berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan mempertemukanku dengan mereka dalam naungan rahmat-Nya yang luas."

Khansa wafat pada permulaan pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, pada tahun ke-24 Hijriyah.



Sumber:
101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni



-dipi-
 
Ummu Sulaim, Dipinang dengan Islam


Nama aslinya adalah Syahlah binti Mulhan bin Khalid bin Zaid bin Haram. la berasal dari kaum Anshar yang dari Bani Khuzrajiah. la merupakan salah seorang dari orang-orang yang mula-mula masuk Islam.

Saudara laki-lakinya adalah Abdullah bin Haram yang dianggap sebagai salah satu Qura’ (penghapal Al-Qur’an) yang syahid di Bi’r Maunah.

Saat dipinang oleh Abu Thalhah, Ummu Sulaim berkata kepadanya, "Demi Allah, tak ada satu pun alasan yang bisa membuatku menolak lamaranmu itu. Namun sangat disayangkan sekali, engkau adalah seorang kafir, sedang aku adalah seorang Muslim. Oleh karena itu, aku tak mungkin menikah denganmu. Seandainya engkau bersedia masuk Islam, itu akan aku anggap sebagai mas kawinku. Dan aku takkan meminta selain dari itu."

Mendengar perkataan itu, Abu Thalhah bersedia masuk Islam, dan keislamannya itu dianggap sebagai mahar bagi Ummu Sulaim.

la pernah datang kepada Rasulullah agar anaknya yang bernama Malik bin Anas bisa menjadi pembantu beliau. Rasulullah SAW menerima tawaran itu. Akhirnya, Malik bin Anas mengabdikan dirinya kepada Rasulullah selama sepuluh tahun.

Di saat anaknya meninggal dunia, Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, "Janganlah kalian membicarakan anak Abu Thalhah, sebelum aku sendiri mulai membicarakannya!"

Pada saat Abu Thalhah pulang, Ummu Sulaim segera menyediakan makan dan minum, serta melayani suaminya sebaik mungkin. Setelah Abu Thalhah merasa kenyang dan puas atas pelayanan istrinya itu, Ummu Sulaim pun berkata kepadanya, "Wahai Abu Thalhah, apabila ada sebuah kaum memamerkan kepada ahli bait tentang aib mereka, dan menuntut ahli bait juga harus memamerkan aib mereka, maka apakah ahli bait berkewajiban mencegah rencana mereka itu?"

"Tidak!" jawab Abu Thalhah.

"Itulah yang menimpa anakmu sekarang ini," kata Ummu Sulaim.

Mendengar perkataan istrinya, Abu Thalhah naik pitam. "Tinggalkan aku dan jangan engkau datang lagi ke sini tanpa membawa berita tentang keadaan anakku itu!"

Kemudian datanglah Rasulullah kepada mereka dan menanyakan permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di antara kedua suami istri tersebut. Setelah mengetahui apa terjadi, beliau pun berkata, "Semoga Allah senantiasa memberikan kalian berdua berkah atas aib seseorang yang berusaha kalian tutup-tutupi."

Ummu Sulaim mempunyai peran yang sangat nyata pada saat terjadi Perang Uhud. la selalu membawa sebuah pisau besar dan sekaligus berperan sebagai juru medis. la selalu menyediakan minum bagi orang-orang yang sedang berperang. la bahkan turut serta dalam Perang Hunain, walaupun saat itu dalam keadaan hamil.

Anas, putranya menuturkan bahwa Ummu Sulaim selalu menghunus sebuah pisau besar dalam keadaan mengandung. Melihat tingkah laku istrinya, Abu Thalhah berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim senantiasa menghunus sebuah pisau besar."

Kemudian Nabi bertanya kepada Ummu Sulaim tentang tujuannya membawa sebuah pisau besar pada saat mengandung.

"Pisau besar ini aku tujukan untuk merobek perut orang-orang musyrik di saat berdekatan denganku nanti. Sebab mereka pasti mendekatiku pada saat aku melahirkan di medan perang nanti," jawab Ummu Sulaim.

Mendengar perkataan itu, Rasulullah pun tertawa senang.



sumber:
An-Nisa Haula Ar-Rasul
Republika



-dipi-
 
Zainab binti Abu Salamah, Wanita Ahli Fiqih

Nama lengkapnya Zainab binti Abu Salamah Al-Makhzumiyah. Ia adalah seorang wanita yang menguasai hadits dan fiqih. Bahkan termasuk salah seorang yang paling menguasai fiqih pada zamannya di Madinah.

Dia meriwayatkan sekitar tujuh hadits Rasulullah SAW. Beberapa orang juga meriwayatkan hadits darinya, seperti Abu Ubaidah bin Abdullah bin Zam’ah, Muhammad bin Atha, Urak bin Malik, Hamid bin Nafi’, Urwah bin Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman, dan Zainal Abidin Ali bin Husein.

Ketika anak-anak Zainab binti Abu Salamah terbunuh, Hasan pernah berkata, "Demi Allah, tidak selamat seorang pun diantara mereka dan sungguh telah terbunuh dua anak Zainab binti Abu Salamah, sedangkan dia (Zainab) merupakan anak yang pernah diasuh Rasulullah SAW."

Ketika jenazah kedua anaknya didatangkan di hadapannya. Zainab berkata, "Demi Allah, sesungguhnya musibah pada kalian berdua sungguh amat besar. Padahal kehilangan salah seorang dari mereka berdua sudah merupakan kejadian besar."

Hasan memberikan isyarat pada yang lain, dan merasa tidak tenang. "Zainab kemudian duduk di rumahnya. Aku hanya berharap agar rahmat tercurah padanya," kata Hasan.

Zainab meninggal dunia pada tahun 73 Hijriyah.


Sumber:
A’lamu An-Nisa karya Abdul Badi’ Shaqar


-dipi-
 
Zainab binti Ali, Sang Pembela Saudara

Ia adalah eorang wanita mulia yang mempunyai logika berpikir yang jernih, banyak ide, fasih dan juga menguasai ilmu bahasa.

Zainab binti Ali bin Abi Thalib adalah cucu pertama Rasulullah SAW dari putrinya, Fatimah Az-Zahra. Dia terkenal karena keberanian dan dukungannya terhadap Husain, kakaknya yang syahid di medan Karbala. Ia juga melindungi seluruh keluarga Husain beberapa bulan setelahnya, ketika mereka dipenjara oleh dinasti Umayyah.

Zainab dilahirkan sebelum kakeknya, Rasulullah SAW wafat. Sekitar lima tahun sebelum Rasulullah menghadap Ilahi.

Dia adalah anak ketiga pasangan Ali dan Fatimah—setelah Hasan dan Husain—dengan jarak kelahiran sekitar satu tahun antara setiap anak. Kelahirannya diikuti oleh saudara perempuannya, Ummu Kultsum.

Zainab menikah dengan anak pamannya atau sepupunya, Abdullah bin Ja’far. Dia melahirkan beberapa orang anak seperti Muhammad, Ali, Abbas, Ummi Kultsum dan ‘Aunal Akbar. Dia juga sering menceritakan tentang ibunya, Fatimah binti Muhammad SAW dan Asma binti Umais.

Zainab juga meriwayatkan beberapa hadits. Beberapa orang juga meriwayatkan hadits yang berasal darinya, seperti Muhammad bin Amru, Atha bin As-saib, dan Fathimah binti Husain bin Ali.

Di antara beberapa perkataan Zainab yang dikenal adalah, "Barangsiapa yang menginginkan makhluk menjadi syafaat (mediator) baginya menuju keridhaan Allah, maka hendaklah dia sering-sering memuji Allah (dengan ucapan alhamdulillah). Tidakkah kau mendengar perkataan mereka 'sami'a Allahu liman hamidah' (Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya) kemudian Allah meringankan qudrah-Nya yang akan menimpamu. dan merasa malu untuk menurunkan cobaan lebih besar karena kedekatan-Nya padamu."

Zainab meninggal dunia pada tahun 65 Hijriyah, dan dikuburkan di Qanathir As-Siba’, Mesir. Kini makamnya banyak dikunjungi peziarah. Bahkan namanya dijadikan nama sebuah masjid di Mesir, Masjid Sayyidah Zainab. Pada tahun 1173 H bangunan masjid tersebut direnovasi.


Sumber:
Republika


-dipi-
 
Ummu Ruman, Sang Bidadari Surga


Nama lengkapnya Zainab binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin Iqab bin Udzainah bin Sabi’ bin Duhman bin Al-Harits bin Ghanm bin Malik bin Kinanah. Namun ia lebih dikenal dengan panggilan Ummu Ruman. Ia adalah istri Abu Bakar Ash-Shiddiq, salah seorang manusia terbaik setelah Rasulullah SAW.

Sebelum Islam datang, Ummu Ruman adalah istri Abdullah bin Al-Harits bin Sakhbarah. Dari perkawinannya dengan Abdullah, ia dikarunia seorang putra bernama Ath-Thufail. Mereka tinggal di As-Surah.

Tak lama kemudian Abdullah membawa istrinya ke Makkah untuk tinggal di sana. Sebagaimana kebiasaan para pendatang kala itu yang bersekutu dengan para pembesar Makkah yang dapat melindunginya. Begitu pun dengan Abdullah bin Al-Harits, ia bersekutu dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Sayang, Abdullah tidak dikarunia Allah SWT dengan umur panjang. Ia meninggal setelah setahun tinggal di Makkah. Abu Bakar kemudian menikahi Ummu Ruman dan merawat Ath-Thufail. Ummu Ruman pun menjadi istri kedua Abu Bakar.

Dari istri pertamanya, Abu Bakar memiliki dua orang anak, yaitu Asma' dan Abdullah. Dari pernikahan dengan Ummu Ruman, Abu Bakar pun mendapat dua orang anak, yaitu Aisyah (Ummul Mukminin) dan Abdurrahman. Selisih usia Asma' dan Aisyah sepuluh tahun. Ummu Ruman menyatukan Ath-Thufail, Asma', Abdullah, Aisyah, dan Abdurrahman dalam asuhannya.

Ketika Abu Bakar, suaminya, masuk Islam, Ummu Ruman juga memeluk Islam. Ia termasuk salah seorang Assabiqunal Awwalun (kelompok pertama yang masuk Islam). Semua anaknya mengikuti jejaknya masuk Islam, kecuali Abdurrahman. Dengan demikian, rumah Ummu Ruman adalah rumah kedua yang berada dalam naungan Islam setelah rumah Rasulullah SAW.

Berbagai macam siksaan yang dilakukan kafir Quraisy kepada kaum Muslimin di Makkah juga menimpa Ummu Ruman. Apalagi ia aktif bahu-membahu dengan suaminya, menyelamatkan orang-orang yang telah memeluk Islam ketika itu dari gangguan kafir Quraisy.

Sebagai ibu, Ummu Ruman sangat disiplin dan berhasil mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang istri, ia sangat menghormati hak-hak suaminya. Dan ia adalah seorang wanita yang menepati janji lagi bijak. Sifat-sifat mulia itu terekam dalam peristiwa ketika Rasulullah SAW meminang Aisyah.

Ketika Khadijah telah wafat, Khaulah binti Hakim –istri Utsman bin Mazh’un—datang menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, tidakkah engkau menikah lagi?"

Beliau berkata, "Dengan siapa?"

"Apabila engkau mau, engkau dapat menikahi seorang gadis, atau seorang janda," kata Khaulah.

"Siapakah gadis tersebut?"

"Putri hamba Allah yang paling engkau cintai di muka bumi, Aisyah binti Abu Bakar."

"Lalu siapakah janda tersebut?"

"Saudah binti Zam’ah. Ia telah beriman kepadamu dan mengikuti segala yang engkau ucapkan."

Rasulullah berkata, "Kalau begitu pergilah kepada keduanya, dan sebutkan namaku kepada mereka."

Khaulah kemudian datang ke rumah Abu Bakar. Dan ketika masuk ia berkata, "Wahai Ummu Ruman, kebaikan dan keberkahan apakah yang dicurahkan Allah kepada kalian?"

"Apakah itu?"

"Rasulullah SAW mengutusku meminang Aisyah untuk beliau."

"Kalau begitu, tunggulah sampai Abu Bakar pulang," kata Ummu Ruman.

Setelah Abu Bakar tiba, Khaulah menyampaikan maksud Rasulullah SAW. Setelah mendengan kabar itu, Abu Bakar berkata, “Tunggu sebentar.” Abu Bakar pun keluar rumah.

Ketika kembali, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, "Pergilah kepada Rasulullah, undang beliau kemari!"

Khaulah pun pergi menjemput Rasulullah SAW. Tak lama kemudian Abu Bakar menikahkan Rasulullah dengan putrinya, Aisyah.

Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah mendapat perintah untuk berhijrah. Beliau meminta Abu Bakar untuk menemaninya. Abu Bakar segera menyampaikan hal itu kepada istrinya, Ummu Ruman.

Berita itu tidak membuat Ummu Ruman takut, meski ia harus tetap tinggal di Makkah bersama dengan anak-anaknya di bawah ancaman bahaya yang mungkin terjadi. Ummu Ruman justru berkata, "Sesungguhnya keluarga Rasulullah SAW harus menjadi teladan kita."

Tak lama setelah sang suami hijrah bersama Rasulullah SAW, Ummu Ruman pun menyusul bersama keluarganya dan keluarga Rasulullah. Ketika tiba di Madinah, Ummu Ruman berkata kepada suaminya, "Wahai Abu Bakar, tidakkah engkau mengingatkan Rasulullah SAW tentang perkara Aisyah?"

Maka Abu Bakar segera berangkat menemui Rasulullah dan berkata, "Tidakkah engkau ingin menggauli keluargamu, ya Rasulullah?"

Di Madinah Aisyah berkumpul dengan Rasulullah dan menjadi pendamping hidup beliau bersama dengan Ummul Mukminin yang lain.

Hubungan Rasulullah SAW dan Aisyah mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Peristiwa ini juga dirasakan oleh Ummu Ruman, ibu Aisyah. Pada tahun keenam Hijriyah, kaum munafikin menghembuskan fitnah yang menyerang kehormatan dan kemuliaan Aisyah. Peristiwa ini dikenal dengan Hadits Ifk, berita dusta. Namun akhirnya Allah SWT sendiri yang menegaskan kesucian Aisyah, sementara para penyebar kabar dusta itu mendapatkan hukuman yang setimpal.

Setelah peristiwa itu—juga di tahun keenam Hijriyah—Ummu Ruman wafat karena sakit yang dideritanya. Rasulullah SAW ikut turun ke dalam kuburannya dan berdoa di sana. Beliau bersabda, "Barangsiapa yang ingin melihat wanita bidadari surga, hendaklah melihat Ummu Ruman."

Ummu Ruman dikenal sebagai salah seorang periwayat hadits Rasulullah. Dia juga dikenal sebagai seorang wanita yang taat dan selalu beribadah. Sebagai seorang perawi, dia meriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah saw dan juga meriwayatkan dari Masruq. Beberapa imam hadits menggunakan hadits yang diriwayatkannya, salah satunya Imam Bukhari.


Sumber:
Republika


-dipi-
 
Laila Al-Ghifariyah, Juru Rawat di Medan Perang


Laila Al-Ghifariyah adalah seorang mujahidah (pejuang wanita) yang keluar berperang bersama Rasulullah SAW dalam beberapa peperangan. Tugasnya mengobati orang-orang yang terluka dan merawat orang-orang sakit.

Ketika Ali bin Abu Thalib keluar ke Bashrah untuk mencegah terjadinya perang saudara, Laila Al-Ghifariyah ikut bersamanya. Dia datang pada Aisyah dan berkata, "Apakah kau pernah mendengar Rasulullah saw bersabda tentang Ali?"

Aisyah berkata, "Ya, Ali pernah datang mengunjungi Rasulullah SAW. Saat itu beliau sedang duduk bersamaku. Kemudian dia duduk di antara kami berdua. Kemudian aku berkata pada Ali, apakah kau tidak menemukan tempat yang lebih luas dari ini?"

Rasulullah saw berkata, "Wahai Aisyah, biarkanlah saudaraku ini. Sesungguhnya dia adalah orang yang pertama kali menerima Islam dan manusia yang paling akhir menjagaku. Dia adalah orang pertama yang berjumpa denganku pada hari kiamat."

Laila termasuk sahabat wanita yang meriwayatkan hadits dari Nabi SAW. Beberapa orang sahabat juga meriwayatkan hadits darinya.


Sumber:
A'lamu An-Nisa karya Abdul Badi’ Shaqar
Republika




-dipi-
 
Ummu Kultsum binti Abu Bakar, Putri Khalifah yang Dipinang Khalifah


Ia merupakan salah seorang wanita utama pada zamannya. Pernah dipinang oleh Umar bin Khathab, namun tidak jadi dinikahinya.

Awalnya, dikarenakan ada seorang lelaki Quraisy yang berkata pada Umar bin Khathab, "Maukah kau menikahi Ummu Kultsum binti Abu Bakar. Kau bisa menjaga kemuliaannya setelah Abu Bakar meninggal dan menggantikannya dalam keluarganya?"

Umar menjawab, "Boleh, aku suka itu. Pergilah kau pada Aisyah dan sebutkan apa yang kumaksud (meminang Ummi Kultsum). Lalu kembalilah padaku dengan jawabannya!"

Kemudian datanglah seorang utusan pada Aisyah dengan membawa pesan Umar. Aisyah menjawab apa yang ditanyakan Umar, dan berkata, "Sungguh suatu kemuliaan."

Tak lama berselang, Mu'irah bin Sya’bah datang dan melihat Aisyah gelisah. "Ada apa denganmu, wahai Ummul Mukminin?" tanyanya.

Aisyah menceritakan apa yang terjadi barusan tentang seorang utusan Umar yang hendak meminang Ummu Kultsum. "Dia (Ummu Kultsum) baru saja menjalani hidupnya. Dan aku ingin bersikap lemah lembut pada anak ini. Aku khawatir dengan sikap Umar yang keras terhadapnya."

"Aku akan menyampaikannya pada Umar, sebagai utusanmu," kata Mu’irah.

Dia pun berangkat ke tempat Umar, lalu berkata, "Semoga anda hidup damai dan diberkahi dengan banyak anak. Aku baru saja berkunjung dari Aisyah dan aku mendengar anda meminang Ummi Kultsum."

"Ya, benar demikian adanya," jawab Umar.

"Bukankah kau orang yang keras dalam bersikap terhadap keluargamu, wahai Amirul Mukminin," kata Mu'irah. "Dan orang yang hendak anda pinang ini masihlah anak yang berumur kecil. Dia masih belum tahu apa-apa. Bila suatu saat kau bersikap kasar padanya, tentu dia akan berteriak menangis. Dan hal itu tentu akan membuatmu khawatir. Aisyah juga akan merasa sakit perasaannya. Mereka akan teringat Abu Bakar, lalu mereka menangis. Sehingga musibah akan terus berlangsung pada keluarga mereka, yang masanya saling berdekatan di setiap harinya.

"Kapan kau datang dari Aisyah dan katakanlah jujur padaku!"

"Baru saja."

"Aku tahu mereka tidak suka padaku. Mereka menginginkan agar aku mencabut apa yang telah aku minta tadi. Dan Sungguh aku memaafkan mereka," kata Umar.

Mu’irah kembali kepada Aisyah dan mengatakan kabar yang barusan diperolehnya dari Umar. Dan Umar tetap berpegang pada pendapatnya. Dia tidak jadi meminang Ummu Kultsum.

Beberapa orang meriwayatkan hadits dari Ummu Kultsum binti Abu Bakar, seperti saudara perempuannya, Aisyah Ummul Mukminin; anaknya, Ibrahim bin Abdurrahman bin Abu Rabi’ah bin Abdullah Al-Anshari; Talhah bin Yahya bin Talhah, dan Mughirah bin Hakim As-Shaghani. Dan beberapa imam juga meriwayatkan haditsnya, di antara mereka Muslim dan Tirmizi.


Sumber:
A’lamu An-Nisa karya Abdul Badi’ Shaqar




-dipi-
 
Back
Top