manajemen waktu

d4n1el

New member
Kita harus mengaitkan waktu dengan bijaksana. Sementara banyak orang hanya mengaitkan waktu dengan pengetahuan, Alkitab mengaitkan 3 hal: waktu, bijaksana, dan etika (time, wisdom and virtue). Paulus berkata, "Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada." (Kolose 4:5). Di sini waktu digabungkan dengan bijaksana dan etika. Demikian pula di dalam Efesus 5:16 waktu digabungkan dengan etika: "Tebuslah waktu yang ada, karena zaman ini adalah zaman yang jahat." (KJV: 'Redeeming the time, because the days are evil.'). Di dalam Alkitab kita melihat ada kaitan-kaitan tertentu yang tidak terlalu nyata, tetapi kalau kita selidiki (analisa), kita melihat kaitan itu penting sekali. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang mengenal kesucian Tuhan Allah dan takut akan Dia, seorang yang mengetahui bagaimana menegakkan hidup yang beretika dan hidup suci di hadapan Allah. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang mengetahui bagaimana menggunakan waktu dengan baik untuk memuliakan Tuhan. Seorang yang menghargai waktu dan mencintai waktu adalah seorang yang mengisi waktu (hidup)nya dengan etika yang sesuai dengan etika ilahi.



Dan seorang yang mengenal Tuhan adalah seorang yang mengetahui bahwa kesementaraannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Allah yang kekal. Kiranya Tuhan memberikan kekuatan dan kesadaran kepada setiap kita untuk baik-baik memakai salah satu harta yang paling penting yang kita miliki, yakni waktu hidup kita.



Waktu, Kesementaraan, dan Kekekalan

Apakah kesementaraan berkaitan dengan kekekalan? Jikalau kesementaraan berkaitan dengan kekekalan, di manakah kaitannya? Mungkinkah manusia mengerti mengenai kekekalan sejak di dalam kesementaraan atau dunia sekarang ini? Dan apa perlunya kita memikirkan soal kekekalan?



Alkitab merupakan buku yang penuh kelimpahan kebenaran dan rahasia memperoleh bijaksana. Di dalam Alkitab kita dapat menemukan hal-hal yang belum pernah dan tidak mungkin dipikirkan oleh filsuf-filsuf yang paling pandai sekalipun, prinsip-prinsip yang tidak pernah bisa dimengerti sekaligus oleh manusia seumur hidupnya yang singkat. Karena firman Tuhan berasal dari bijaksana yang kekal, maka tidak heran kalau di dalam kesementaraan kita tidak dapat mengertinya secara tuntas; kita hanya dapat mengertinya sebagian. Betapa celaka dan bodohnya orang yang mengejek, mengeritik, dan menghakimi firman Tuhan karena tidak mengertinya secara keseluruhan. Berapa panjangkah hidup kita? Alkitab berkata, "Tujuh puluh tahun, dan kalau kuat delapan puluh tahun, dan yang menjadi kebanggaan kita hanyalah keluhan, kesukaran, dan penderitaan." (Mzm. 90:10). Adakah manusia yang tidak pernah mencucurkan air mata, mengeluh, dan mengalami patah hati di dalam sepanjang hidupnya? Tidak ada! Janganlah kita menjadi orang Kristen, hamba Tuhan maupun jemaat, yang hanya mementingkan ayat-ayat Alkitab yang berkata kalau ikut Tuhan pasti hidup lancar, enak, dan kaya. Itu adalah konsep yang sangat sempit. Alkitab mengajarkan kita jauh daripada itu: Kalau kita mengerti rahasia kebenaran sebagai pangkal atau dasar hidup kita masing-masing dan kita mempunyai sumber bijaksana yang kekal, maka kita akan dapat menghadapi segala kesulitan kalau Tuhan memberikan penindasan itu kepada kita. Pada harihari Tuhan menindas kita, kita pun dapat bersuka cita. Pada waktu Tuhan membolehkan kita mengalami kesulitan, kecelakaan, dan segala malapetaka, apakah yang menjadi kekuatan kita menghadapinya? Apakah rahasianya kita boleh mengalahkan semua itu dan tetap menang di dalam hidup kita yang singkat di dunia ini? Yakni pengertian yang seimbang, stabil, dan utuh akan kebenaran Tuhan.



Kita perlu mempunyai iman yang benar kepada Tuhan, sehingga sewaktu di dalam kesementaraan kita sudah menikmati kekekalan, dan kita mempunyai kelonggaran untuk membagi waktu kita dengan baik, sehingga hidup kita tidak dihamburkan dengan sia-sia. Banyak orang sampai pada saat menjelang kematiannya baru sadar bahwa mereka sudah membuang waktu terlalu banyak. Beberapa orang dari Eropa pergi ke Afrika. Di tengah-tengah padang belantara yang panas mereka menjumpai suatu danau kecil. Di dekat danau itu banyak batu-batuan dan mereka menemukan sebilah papan bertuliskan: "Yang mengambil batu akan menyesal. Yang tidak mengambil batu juga akan menyesal." Seorang di antara mereka tidak menggubris perkataan itu. Tetapi, seorang lainnya terus memikirkan apa arti tulisan itu.



"Kalau saya membawa batu-batu itu saya akan tahu bagaimana menyesal karena membawanya. Kalau saya tidak membawa, juga akan menyesal, tetapi dengan penyesalan yang berbeda." Akhirnya dia memutuskan untuk membawa sedikit batu-batu itu dan menyuruh yang lainnya tidak usah membawanya. Ada juga orang yang tidak menggubris kalimat itu dan bermain-main berlomba melemparkan batu-batu itu ke tengah danau, dan menganggap mereka tidak akan menyesal karena tidak memikirkan kalimat itu lebih jauh. Setelah kembali ke Eropa mereka menyuruh ahli batu-batuan untuk menyelidiki batu yang dibawa itu. Setelah diselidiki ternyata batu-batu itu adalah semacam Safir yang dari luar nampaknya jelek, tetapi di dalamnya merupakan permata yang sangat indah dan mahal. Yang tidak membawa batu itu menyesal karena tidak membawanya. Tetapi, yang membawa pun akhirnya juga menyesal, karena tidak membawa lebih banyak.



Di dalam cerita itu batu-batu mengilustrasikan waktu. Bisakah kita membawa waktu ke dalam kekekalan, ke dalam surga? Kesementaraan mungkinkah berkaitan dengan kekekalan? Kalau kita bisa mengaitkan kedua hal ini berarti kita orang yang berbijaksana. Bagaimana menyimpan kekekalan di dalam kesementaraan, dan bagaimana membawa kesementaraan ke dalam kekekalan; ini merupakan suatu bijaksana yang luar biasa. Orang-orang biasa hanya menganggap kekal adalah kekal dan sementara adalah sementara. Banyak orang waktu diajak percaya kepada Yesus Kristus untuk menerima hidup kekal sering mengutip perkataan Konfusius:

"Mengenai hidup sekarang saja kita tidak mengerti, mengapa berani bicara tentang sesudah mati?" Banyak orang hanya mau memikirkan tentang hidup sekarang, dan tidak mau memikirkan tentang hidup sekarang, dan tidak mau pikir apa-apa tentang sesudah mati bagaimana; yang penting bagaimana menggarap hidup yang sekarang, mengenai yang akan datang tidak perlu dipedulikan. Ini salah satu sikap manusia yang paling umum di dalam dunia. Mereka tidak pernah memikirkan kemungkinan mengaitkan kekekalan dengan kesementaraan; bagaimana menyimpan kekekalan di dalam kesementaraan dan bagaimana membawa kesementaraan ke dalam kekekalan. Mengenai hal ini ada perbedaan yang terlalu besar antara binatang dan manusia. Binatang dicipta di dalam kesementaraan dan hanya mempunyai esensi kesementaraan itu saja. Tetapi, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan di dalam kesementaraan dengan dibubuhi esensi kekekalan, karena manusia telah dicipta menurut peta dan teladan Allah yang kekal. Kita adalah makhluk yang bersifat kekekalan; itulah sebabnya kita sering mendapat kesulitan untuk membagi waktu kita dengan baik, sehingga hidup kita tidak dihamburkan dengan sia-sia. Banyak orang sampai kadang-kadang mengeluh di dalam tubuh yang bersifat sementara. Kita merasa kesal pada waktu melihat wajah dan kulit tubuh kita menjadi kisut. Manusia berusaha untuk senantiasa awet muda, tetapi ini sesuatu yang mustahil. Faktanya kita semakin hari semakin bertambah tua. Rasa kesal karena mengetahui diri kita bertambah tua dan semakin digeser oleh waktu itu timbul dari suatu perasaan kita memiliki kekekalan. Kalau kita tidak memiliki kekekalan, kita tidak akan mempunyai ketidakpuasan dan kesadaran yang negatif terhadap eksistensi kita yang berada di dalam proses waktu yang menggeser kita menjadi tua. Waktu kita mengetahui barang yang kita sayangi rusak, waktu melihat orang-orang yang kita cintai sakit dan meninggal dunia, dan waktu menyadari kita harus menjadi tua, kita merasa susah sekali. Kita merasa tidak senang melihat segala perubahan itu, karena perubahan menggerogoti ketidakberubahan, kekekalan diancam oleh kesementaraan. Semua itu menimbulkan kerisauan yang tidak habishabisnya di dalam hati (hidup) kita.



Mungkinkah kekekalan berada di dalam kesementaraan? Dan mungkinkah kesementaraan dibawa ke dalam kekekalan? Alkitab menjawab: "Mungkin!" Bukan saja mungkin, tetapi memang harus demikian. Pada waktu yang sudah ditentukan, Allah menciptakan segala sesuatu dengan baik. Lalu Allah memberikan kekekalan di dalam hati manusia. Setelah manusia dibentuk dari debu tanah yang merupakan faktor yang sementara, Allah membubuhi kekekalan ke dalamnya. Karena kekekalan itu berada di dalam diri kita, maka kita mempunyai konsep sejarah, kita memiliki ambisi melawan dan melintasi, bahkan menguburkan sejarah. Tetapi setelah dosa berada (masuk) di dalam sejarah manusia, kesementaraan dan kekekalan tidak mempunyai kaitan yang normal, sehingga terjadi distorsi-distorsi; kadang-kadang kita susah sekali untuk hidup secara sukses. Ini bukan saja terjadi di dalam diri orang-orang ateis atau mereka yang berada di dalam filsafat-filsafat agama lain, tetapi juga di dalam diri orang-orang Kristen yang hidup rohaninya belum beres; mereka selalu mengalami konflik-konflik kesementaraan dan kekekalan di dalam jiwa mereka. Yesus Kristus pernah memberikan suatu perumpamaan untuk memberikan pengertian hubungan antara kesementaraan dengan kekekalan. Ada seorang bendahara yang tidak jujur (baca Luk. 16:1-9). Bendahara yang tidak jujur itu tahu bahwa tidak lama lagi dia akan dipecat dari kedudukannya. Dia juga tahu, banyak orang berhutang kepada tuannya. Maka, cepat-cepat dia memberikan surat reduksi (keringanan) hutang kepada mereka. Setelah dipecat dari kedudukannya, orang-orang yang dulu pernah mendapatkan pertolongan dari si bendahara itu menerimanya dengan baik. Perumpamaan ini bukan untuk mengajarkan supaya kita meneladani ketidakjujuran dari si bendahara itu. Titik pusat perumpamaan ini adalah si bendahara itu mempunyai kebijaksaan yang luar biasa, yaitu dia mengetahui bagaimana memakai uang yang bersifat sementara untuk mempersiapkan nasibnya yang kemudian. Inti ajaran perumpamaan ini adalah bagaimana mengaitkan kesementaraan dengan kekekalan. Sudahkah kita mempersiapkan kekekalan pada waktu kita masih berada di dalam kesementaraan? Bagaimanakah caranya?



Kematian bagaikan sehelai pintu, menurut perkataan terakhir Sokrates, yang membawa manusia menuju kepada kekekalan. Kematian adalah semacam pintu yang memisahkan, seperti penyeberangan, atau perbatasan dari kesementaraan kepada kekekalan. Orang yang bijaksana adalah orang yang betul-betul mengetahui bagaimana menerima kekekalan sementara berada di dalam kesementaraan; yang bisa membawa sesuatu yang bernilai kekal menuju ke dalam wilayah kekekalan pada waktu mereka masih berada di dalam wilayah kesementaraan. Sehingga di dalam waktu sementara ini mereka menikmati hidup yang kekal, dan di dalam kekekalan mereka menikmati karya yang dikerjakan di dalam kesementaraan. Di dalam surga tidak ada orang yang menyesal karena menerima Yesus Kristus. Waktu kita menerima Yesus Kristus kita menyesali akan dosa-dosa dan segala perbuatan kita yang melawan kehendak Allah dan yang telah menjauhkan kita dari Dia; ini disebut penyesalan yang tidak mendatangkan penyesalan (unregretable regret) menurut istilah Alkitab. Setelah kita menerima Yesus Kristus di dalam hati kita, kita akan tenang hidup di dalam dunia; dunia yang sementara tidak lagi mengancam kita, sekalipun kita bisa menjadi tua, sakit, bahkan mengalami kematian dan dikuburkan. Kita sudah mempunyai kekekalan di dalam kesementaraan. Kekekalan yang dicipta oleh Tuhan sudah tidak mempunyai arah setelah manusia jatuh ke dalam dosa, tetapi kekekalan ditebus oleh Yesus Kristus mempunyai arah yang tidak pernah berubah. Setelah kita menerima Yesus Kristus, Paulus menghimbau: "Persiapkanlah dirimu untuk kekekalan."



Di dalam kesementaraan mengandung kekekalan dan di dalam kekekalan mengandung kesementaraan. Di dalam waktu hidup kita yang sementara kita menuju kepada kekekalan; apakah yang kita persiapkan untuk itu? Kalau kita hanya melihat dunia sekarang ini dan menikmati segala sesuatu di dalam hidup kita, seolah-olah sesudah mati hidup kita selesai, apakah bedanya kita dengan segala macam binatang? Marilah kita mempersiapkan kekekalan selama kita berada di kekekalan kita akan mengingat kembali dan menikmati apa yang sudah kita lakukan di dalam kesementaraan. Orang yang bisa mengaitkan kesementaraan dengan kekekalan, dan sebaliknya, adalah orang yang bijaksana. Namun, berapa banyak orang yang pada saat-saat terakhir hidupnya, selangkah sebelum menuju kekekalan, baru sadar bahwa mereka telah salah jalan selama didalam kesementaraan, tetapi tidak ada waktu lagi untuk kembali. Pada saat langkah terakhir di dalam kesementaraan dan harus menuju kepada kekekalan itu mereka mendadak menjadi orang yang bijaksana. Sudah beberapa buku diterbitkan khusus untuk memberitahukan suara-suara yang tercetus dari orang-orang yang berada di tepi kekekalan; salah satu yang penting berjudul "The Voices From The Edge of Eternity" ? Suarasuara Dari Tepi Kekekalan. Di tepi perbatasan antara kesementaraan dan kekekalan itu barulah banyak orang yang sadar; salah seorang di antaranya adalah John Stuart Mill (1806-1873), seorang filsuf Inggris. Dia adalah seorang penganut Utilitarianisme yang hanya mementingkan akan keuntungan dan kebahagiaan hidup di dunia; salah satu motto mereka yang terkenal adalah mencari kebahagiaan sebesar mungkin untuk sebanyak mungkin manusia. Banyak orang, bahkan orang Kristen, secara sadar ataupun tidak, telah terjerumus ke dalam filsafat (pandangan) yang salah ini. Di dalam pandangan ini mayoritas akan menentukan nilai, padahal kadang-kadang kebenaran bukan berada di pihak mayoritas melainkan minoritas dan akhirnya mengalami penganiayaan, tetapi Dia mempunyai kebenaran. Di dalam hidupnya John Stuart Mill selalu berkata, "I never believe in God, in Satan, in heaven, in hell; but only my wife" --Saya tidak percaya akan Allah, setan, surga, neraka; hanya percaya akan istri saya. Namun, sebelum meninggal dia sempat menulis tiga tesis, di antaranya mengatakan: "Sebenarnya Yesus Kristus merupakan nilai yang tertinggi." Salah seorang lainnya adalah Thomas Scott, politikus dari Inggris. Sebelum menghembuskan nafas terakhir dia berkata: "I never belief in heaven and hell before, but now I believe both, yet it's too late" --Saya tidak percaya ada surga dan neraka, tetapi sekarang saya percaya akan keduanya, namun terlambat. Tidak ada waktu baginya untuk bertobat. Marilah kita mengaitkan hari-hari hidup kita yang pendek di dalam kesementaraan dengan nilai kekekalan menurut janji Tuhan.



Apakah yang bisa kita kerjakan di dalam dunia yang bisa dibawa ke dunia sana? Apa yang bisa kita kerjakan di dalam dunia sementara yang bisa diingat di dalam kekekalan, kerjakan segiat mungkin. Tetapi tidak perlu kita terlalu mencurahkan perhatian, pikiran, dan tenaga terhadap apa yang tidak bersifat kekal. Biarlah hati dan pikiran kita terkonsentrasi hanya terhadap hal-hal yang bernilai kekal, termasuk di dalam penggunaan uang. Penilaian yang berbijaksana berkaitan dengan pengertian antara bagaimana mengharmoniskan kekakalan di dalam kesementaraan dan kesementaraan di dalam kekekalan; dengan ini kita bisa menuju kepada esensi yang bertahan. Demikian juga di dalam pelayan, pekerjaan, dan segala ucapan-ucapan kita. Kita jangan terlalu banyak memakai waktu untuk memikirkan rencana-rencana yang akan gugur untuk mengucapkan hal-hal yang terus menerus berubah. Tetapi kita harus memusatkan pikiran serta tenaga kita untuk mengerjakan hal-hal yang bernilai, untuk kekekalan, dan untuk kehendak Allah. Dengan demikian kita menjadi orang yang bijaksana.



Jikalau hari ini kita harus berjumpa dengan Tuhan, dan kita harus mempertanggungjawabkan di hadapan-Nya hari-hari yang diberikan kepada kita, siapakah kita? Sudahkah kita mempersembahkan waktu-waktu kita, harta, tenaga, talenta, pikiran, kekuatan, kesehatan, dan segala milik kita di atas mezbah Tuhan?
 
Back
Top