Menelusuri Misteri Kasus Kbc

Puri Wonodri

New member
Keberanian menciduk sejumlah petinggi negeri ini untuk dijadikan tersangka dalam kasus Karaha Bodas Company (KBC) agaknya merupakan harapan satu-satunya demi membongkar habis kasus yang hingga saat ini masih menyisakan misteri yang tak terungkap. Tetapi, mungkinkah ?

Bila ditelisik lebih jauh penyebab dasar terjadinya pertikaian antara KBC dengan Pemerintah Indonesia cq PT. Pertamina adalah karena Indonesia kalah posisi tawar. Betapa tidak. Mulai sebelum proyek ini lahir, hingga UNCITRAL memutuskan Pertamina harus membayar ganti rugi sebesar USD 261 juta atas klaim KBC, Indonesia selalu berada pada posisi yang sangat lemah. Demikian halnya ketika Mahkamah Agung AS memutuskan Pertamina kalah, serta merta rekening milik Pertamina di negeri Paman Sam itupun dibekukan otoritas AS.

Berangkat dari proses penandatangan kontrak antara KBC, perusahaan patungan yang ber home base di Cayman Island dengan Pertamina. Lantaran Pertamina tidak memasukkan klausul yang berkenaan dengan jaminan bagi KBC jika terjadi gangguan pada aset atau kasus-kasus kegagalan dan pelanggaran dalam menjalankan proyek seperti draf kontrak pertama yang diajukan, mereka terang-terangan menolaknya. Menyikapi penolakan tersebut dalam pra negosiasi, Pertamina pun memasukkan jaminan terhadap kepastian hukum dalam security interest.

Segera setelah segala kekurangan dalam draf kontrak yang diajukan Pertamina direvisi, akhirnya pada November 1994 kerjasama antara KBC dengan Pertamina ditegaskan dalam Joint Operation Contracts (JOC), menandai dimulainya pembangunan dua pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) sebesar 2 x110 megawatt (MW) di kawasan Bukit Karaha dan Telaga Bodas, Jawa Barat. Bersamaan itu pula KBC juga menandatangani Energy Sales Contracts (ESC) dengan PLN untuk penjualan listrik dari PLTPB Karaha Bodas selama 30 tahun seharga 8,46 sen dolar AS per KWh.

Pasca penandatangan JOC dan ESC inilah sesungguhnya awal dari terciptanya sebuah misteri yang tak berujungpangkal hingga tulisan ini diturunkan. Betapa tidak, diantara rentang waktu 1994-1997, kerja sama antara KBC, Pertamina, dan PLN sesungguhnya sudah mengindikasikan kejanggalan-kejanggalan. Dalam rapat gabungan antara ketiganya pada Desember 1996, terungkap fakta bahwa ternyata sumur-sumur KBC kering (dry hole). Praktis tak lagi produktif. Itu yang pertama. Kedua, pihak KBC juga melanggar batas waktu penyerahan Notice of Resource Confirmation (NORC) pada 31 Januari 1997 dan Notice of Intend to Develop (NOID) pada 30 April 1997. Anehnya, kejanggalan ini tidak mengusik pihak Pertamina dan PLN untuk mengambil tindakan supervisi apapun atau langkah-langkah hukum sesuai kontrak yang disepakati.

Hentakan baru terasa setelah pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1997 tanggal 20 September 1997, yang menunda pelaksanaan 70 proyek, termasuk PLTPB Karaha Bodas. Anehnya lagi, sepuluh hari berselang, pihak KBC justru memasukkan NORC dengan mempertimbangkan pengembangan pembangkit listrik 55 MW dan mengkonfirmasi keberadaan 75 MW total kapasitas pembangkit yang mungkin (probable capacity) diterima Pertamina. Alhasil, setelah pihak KBC melobi pejabat berwenang di Indonesia, proyek tersebut kembali diteruskan lewat penerbitan Keppres No. 47/1997 pada 1 November 1997. Benar-benar dahsyat lobi yang dilakukan KBC.

Bola terus menggelinding, pada medio Desember 1997, KBC kembali menyerahkan update NORC dan NOID sekaligus kepada Pertamina dan PLN. Celakanya, badai krisis ekonomi menghantam Indonesia. Akibatnya, Presiden kembali menerbitkan Keppres No. 05 tahun 1998 yang intinya menunda pelaksanaan proyek Karaha Bodas.

Penundaan ini membikin KBC seperti kebakaran jenggot. Maka pada 30 April 1998, KBC membawa kasus ini ke UNCITRAL di Swiss. Selang setahun setelah kasus itu bergulir, pada 30 September 1999 Badan Arbitrase Internasional itu menolak semua keberatan Pertamina atas gugatan KBC dan menerima semua klaim KBC sekaligus merekomendasikan agar kasus tersebut diproses lebih lanjut.

Waktu terus berjalan, tepatnya 18 Desember 2000, panel UNCITRAL mengeluarkan kesimpulan bahwa jika terjadi hal-hal di luar kontrol maka KBC dilindungi kontrak sehingga ia tidak bisa menanggung konsekuensinya di kemudian hari. Berpijak dasar inilah, pada 31 Desember 2000, UNCITRAL menyatakan KBC telah menderita kerugian investasi senilai USD 111,1 juta dan kehilangan potensi pendapatan sebesar USD 150 juta. Untuk itu, Pertamina harus membayar kerugian yang diderita KBC beserta denda berikut bunganya.

Dari sinilah awal mimpi buruk bagi Pertamina, PLN, dan Pemerintah Indonesia dimulai, sekaligus misteri yang menyelubungi kasus KBC makin menggelapkan harapan Indonesia. Memang, atas keputusan tersebut Pertamina mengajukan gugatan keberatan kepada Mahkamah Agung Swiss pada 1 Februari 2001. Tetapi, pada 24 April 2002 gugatan tersebut ditolak.

Tidak berhenti sampai disitu, di dalam negeri Pertamina berupaya membatalkan keputusan UNCITRAL tersebut. Hasilnya, pada 14 Maret 2002, PN Jakarta Pusat memenangkan Pertamina dan membatalkan keputusan UNCITRAL. Tetapi pihak KBC pun terus bergerilya mencari pengakuan dan penegakan hasil keputusan panel arbitrase di sejumlah negara, antara lain, Hong Kong, Singapura, Kanada, dan AS. Salah satunya, mereka berhasil melacak aset Pertamina di tujuh bank di New York, termasuk lima belas trust accounts di Bank of America (BoA), senilai lebih dari USD 500 juta.

Gerilya KBC semakin menggurita. Terbukti, KBC juga mendaftarkan gugatannya ke sejumlah pengadilan federal di AS. Di The United States District Court for The Southern District of Texas, hakim yang mengadili kasus ini, Nancy Atlas, pada 4 Desember 2001, menggugurkan berbagai alasan penolakan Pertamina dan mewajibkan mereka membayar USD 261,2 juta berikut bunga empat persen per tahun terhitung sejak 1 Januari 2001. Bahkan pada 22 Februari 2002 pengadilan ini mengeluarkan pernyataan yang memperkuat keputusan-keputusan pengadilan dimana kasus ini didaftarkan KBC bahwa BoA dan bank-bank lainnya diperbolehkan menyita aset-aset Pertamina. Sebelumnya, kasus yang juga didaftarkan di Pengadilan Federal Delaware, New York, dan California ini menegaskan permintaan KBC untuk menyita aset Pertamina di tujuh bank di New York untuk transaksi yang berlaku pasca keluarnya putusan UNCITRAL. Penyitaan baru akan berakhir setelah Pertamina membayar semua ganti rugi yang diklaim KBC.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kenapa Pemerintah Indonesia, Pertamina, dan PLN bisa kalah di pengadilan internasional. Menurut Koordinator Working Group on Power Sector Restructuring (WGPSR) Fabby Tumiwa, salah satu penyebabnya karena inkonsistensi kebijakan dan penegakan hukum yang lemah. Jika pemerintah tidak membuka-tutup proyek tersebut lewat penerbitan tiga keppres, KBC takkan punya dasar kuat untuk membawa kasus ini ke badan arbitrase. Lebih jauh Tumiwa melihat, Pertamina dan Pemerintah Indonesia ada indikasi tidak serius menangani kasus tersebut. ?Jika Pertamina dan Pemerintah serius memperjuangkan nasib uang rakyat di pengadilan arbitrase, akhir kasus KBC akan lain ceritanya,? tambahnya.

Kini, pilihan paling buruk adalah bersiap-siap membayar klaim yang diajukan KBC berikut denda dan bunganya sebesar USD 265 juta. Seperti yang dikemukakan oleh Dirut Pertamina, Arie Soemarno bahwa Pertamina telah menyiapkan dana untuk pembayaran klaim kepada KBC senilai USD 300 juta. Dana tersebut telah dianggarkan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan 2006 dan 2007. ?Sudah kami anggarkan untuk pembayaran (klaim Karaha Bodas),? ujarnya di Jakarta Kamis (25/1).

Ari menjelaskan, sesuai dengan keputusan Pengadilan New York, Amerika Serikat, Pertamina harus membayar klaim kepada Karaha Bodas. Namun, kata dia, saat ini tengah dilakukan gugatan di Cayman Island, tempat pendirian KBC. Sesuai dengan permintaan pengadilan Cayman Island, pembayaran klaim ditunda dulu, katanya. Menurut Ari, proses hukum yang dilakukan Pertamina dan pemerintah Indonesia selalu kalah di pengadilan Amerika. Sehingga tidak ada cara lain kecuali melakukan pembayaran sesuai dengan keputusan arbitrase internasional.

Sampai disini, kasus KBC tetap saja meninggalkan misteri yang tak terungkap menyusul indikasi para petinggi negeri ini yang terlibat mark up dan korupsi di balik kasus KBC itu sendiri.
#Puri-wartawan Tabloid Investigasi-Jakarta#
 
ya benar sekali ini mungkin akibat terlalu mudahnya membuat suatu kebijakan dan membatalkannya di kemudian hari, negara lg butuh uang banyak eh malah buat bayarin perusahaan asing gak jelas.hiks......
 
lg bikin thesis ttg force majeure clause di JOC dan ESC contract ny KBC~PErtamina.. makasih bgt ya pak, buat info nya, mmbantu skali buat ngertiin latar belakang kasus KBC v Pertamina..

matur nuhuuun..

merdeka! \(^_^)/
 
Back
Top