Pasukan Kamikaze: Pengorbanan Tertinggi Sebuah Perjuangan.

Dipi76

New member
kamikaze.jpg


Tidak ada pengorbanan yang lebih tinggi dari seseorang yang menyerahkan nyawanya untuk sebuah perjuangan. Apakah itu perjuangan untuk keluarga, sahabat, atau negaranya. Dalam sejarah peperangan di sejumlah negara, kita tentu sering mendengar tentang pengorbanan jenis ini. Namun, sepanjang sejarah peradaban manusia, tampaknya tak ada yang seradikal seperti yang dilakukan pilot-pilot muda Jepang.

Kamikaze (secara harafiah berarti "angin dewa") adalah sebuah istilah bahasa Jepang yang berasal dari nama angin topan dalam legenda yang disebut-sebut telah menyelamatkan Jepang dari invasi Mongol pada tahun 1281.

"Kamikaze" dalam bahasa Inggris umumnya merujuk kepada serangan bunuh diri yang dilakukan awak pesawat Jepang pada akhir kampanye Pasifik Perang Dunia II terhadap kapal-kapal laut Sekutu sementara "kamikaze" dalam bahasa Jepang hanya merujuk kepada angin topan tersebut.

Dalam bahasa Jepang, istilah yang digunakan untuk memanggil unit-unit pelaku serangan-serangan bunuh diri tersebut adalah tokubetsu kogeki tai, yang secara harafiah berarti "unit serangan khusus." Ini biasanya disingkat menjadi tokkotai. Pada Perang Dunia II, skuadron-skuadron bunuh diri yang berasal dari Angkatan Laut Kekaisaran Jepang disebut shinpu tokubetsu kogeki tai, di mana shinpu adalah bacaan on-yomi untuk karakter kanji yang sama yang membentuk perkataan kamikaze.

Jika pengorbanan nyawa yang terjadi di sejumlah negara hanya dilakukan seorang atau sekelompok pejuang dalam keadaan terdesak, dalam sejarah peperangan Jepang di Pasifik (1944), mereka siap mengorbankan nyawa dalam unit-unit khusus yang telah dipersiapkan dengan taktik menabrakkan pesawat yang mereka kemudikan ke kapal-kapal perang Amerika.

Pasukan kamikaze bernama Tokkotai ini sejatinya dibentuk oleh Laksamana Madya Tokijiro Ohnisi, Panglima Armada Udara Pertama yang membawahi seluruh kekuatan udara Jepang di Filipina. Ia mengaku mendapat perintah dan kepercayaan dari Markas Besar Kekaisaran Jepang untuk mendukung Armada Kedua Jepang yang akan memukul mundur kekuatan Amerika. Kekuatan Amerika harus diberi “perlakuan khusus” karena telah menjebol garis pertahanan utama Jepang di Pasifik, yakni di Nugini dan Kepulauan Mariana.

Kesatuan udara kamikaze, bentukan Ohnisi akan lebih dulu menghantam armada kapal induk Amerika agar kekuatan udara AL AS tak mengganggu serangan armada laut Jepang. Pertempuran yang akan menentukan posisi Jepang di Asia Pasifik ini akan digelar di Formosa (kini Taiwan), Kepulauan Ryukyu dan tanah Jepang. Operasi militer yang dimulai 18 Oktober 1944 ini sendiri diberi nama Sho, yang artinya adalah kemenangan.

Sho benar-benar memukau. Tentara AS amat terkesima menyaksikan serangan nekad yang sulit dinalar ini. Bagaimana tidak? Para pilot muda kamikaze itu dengan beraninya menukik untuk kemudian menabrakkan pesawat-pesawat mereka ke kapal-kapal perang AS. Setiap pesawat rata-rata membawa bom seberat 250 kg. Pasukan kamikaze juga “mengirim” bom-bom terbang yang dikendalikan pilot. Menurut Ohnisi, hanya dengan cara inilah efektivitas kekuatan udara negerinya akan ada pada tingkat maksimal.


Kamikaze_zero.jpg

Sebuah kamikaze, pesawat Mitsubishi Zero, yang akan menabrak USS Missouri.


Kamikaze pertama dilakukan oleh Laksamana Madya Masafumi Arima, komandan Armada Udara ke-26 pada 15 Oktober 1944. Tatkala memimpin 100 pembom tukik Yokosuka D4Y, is tiba-tiba menukikkan pesawatnya ke arah kapal induk USS Franklin. Kapal itu pun hancur. Pangkat Arima kemudian dinaikkan setingkat menjadi Laksamana.


Arima_Masafumi.jpg

Masafumi Arima


Hingga kini, seberapa besar jumlah kapal perang yang berhasil dihancurkan pasukan kamikaze masih menjadi perdebatan sejumlah pihak. Menurut catatan AU AS, Jepang setidaknya telah melancarkan 2.800 serangan kamikaze dan menenggelamkan 34 kapal perang. Kamikaze juga telah merusak 368 kapal, membunuh 4.900 pelaut, serta melukai 4.800 orang lainnya.

Meski sudah melawan mati-matian, Jepang toh tak bisa menepis kekalahan. Bom atom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 benar-benar mengandaskan ambisi Jepang yang ingin menguasai Asia Pasifik. Rakyat Indonesia sendiri tak akan pernah melupakan kekejaman Jepang yang selalu ingin disebut Pemimpin Asia, Pelindung Asia dan Cahaya Asia itu.

Sukar dinalar Kekalahan, dalam tradisi dan kebudayaan Jepang, ternyata merupakan fakta yang amat memalukan. Secara turun temurun orang Jepang seperti sudah mewarisi watak untuk pantang menerima kekalahan. Dalam pekerjaan dan cita-cita, mereka akan berusaha merengkuhnya dengan gigih. Sementara dalam bertempur, mereka akan berusaha menundukkan musuh-musuhnya hingga titik darah terakhir.

Pada saat yang sangat kritikal, tentara Jepang kerap dirasuki semangat Bushido: loyal dan menjunjung tinggi kehormatan sampai mati. Inilah yang luar biasa dan tak dimiliki bangsa-bangsa lain. Semangat ini merupakan warisan utama dari tradisi Samurai – para pejuang yang menjadi pendahulu mereka. Mereka berjuang demi kehormatan bangsa dan Kaisar, kalau perlu sampai menyerahkan nyawa.

Bushido adalah buah keyakinan, dan yang namanya keyakinan memang sukar dinalar. Itu sebab, hanya kesima dan guman tak masuk akal saja yang muncul jika kita ingin memahami keyakinan yang mendasari keberanian untuk mengorbankan nyawa itu. Ketika semangat kamikaze sudah merasuk ke dalam jiwa, tindakan mereka seolah tak lagi masuk akal.

Semangat bushido tumbuh, hidup dan dipelihara di lingkungan Samurai, kelompok pejuang kelas menengah atas yang rela mengorbankankan nyawa demi mempertahankan budaya dan kekuasaan Kaisar. Bagi mereka, Kaisar adalah titisan Dewa Matahari yang harus dijaga keberadaannya. Mereka akan berjuang habis-habisan dengan seluruh skill dalam berlaga. Meski kaum Samurai hanya hidup antara tahun 905 hingga pengujung abad ke-12, semangatnya masih tertanam dalam sanubari kebanyakan orang Jepang, hingga sekarang.

Selain didasari semangat Bushido, keberanian mengorbankan nyawa juga dilandasi sentimen nasionalisme akibat ketaatan yang amat tinggi terhadap Shinto, agama yang dianut hampir seluruh orang Jepang. Shinto juga menanamkan pegangan hidup agar menaruh hormat kepada negara dan Kaisar. Lewat Shinto mereka menyakini, bahwa dengan mengorbankan nyawa, roh akan menjadi “eirei” atau penjaga negara.

Nama pasukan kamikaze yang gugur di medan tugas akan diabadikan di Kuil Yasukuni. Penganut Shinto yang fanatik akan merasa terhormat jika namanya diabadikan di kuil ini, karena Yasukuni merupakan satu-satunya kuil di Jepang yang dikunjungi Kaisar. Kaisar akan mengunjunginya dua kali dalam setahun.

Meski begitu, toh ada juga sekolompok orang Jepang yang memandang keyakinan itu amat berlebihan atau mengada-ada. Tsuneo Watanabe Redaksi harian Yomiuri Shimbun, misalnya, menganggap bahwa cerita tentang pilot-pilot muda yang mau melakukan serangan kamikaze dengan gagah berani dan bahagia melakukannya sebagai bohong belaka. Mereka lebih meyakini semua itu dilakukan dengan keterpaksaan. Mereka adalah pemuda Jepang yang tersesat di “rumah pembantaian”.

“Mereka tertunduk, sebagian tak sanggup berdiri, sehingga harus dipaksa masuk ke dalam kokpit,” ungkap Watanabe, mengisahkan penderitaan pilot-pilot muda yang direkrut masuk ke dalam kesatuan udara kamikaze.

Saburo Sakai, salah satu aces kenamaan Jepang dari masa Perang Pasifik, bahkan termasuk orang yang memandang miris pasukan ini. Terlebih karena sebagian dari pilot-pilot muda itu adalah murid-muridnya sendiri. Ia tak habis pikir, mengapa pimpinan Tentara Jepang sampai membentuk pasukan bunuh diri.

Di mata Saburo Sakai yang tutup usia pada tahun 2000 akibat serangan jantung, kamikaze adalah blunder tentara Jepang. Hingga di penghujung usianya, dia mengaku kecewa dan masih sering membayangkan wajah murid-muridnya yang gugur dengan cara yang konyol itu. “Pimpinan Tentara Jepang telah berbohong bahwa para pilot kamikaze telah menyerahkan diri secara sukarela. Mereka berbohong.” Menurutnya, kamikaze memang bisa digunakan sebagai serangan kejut, dan ini memang merupakan salah satu taktik perang. Namun taktik seperti ini hanya efektif jika dilakukan sekali, dua kali, atau tiga kali. Tetapi jika dilakukan sampai sepuluh bulan, kamikaze sudah sangat berlebihan. Tak akan ada artinya lagi. Kaisar Hirohito sebenarnya harus menghentikan serangan ini.

Apa pun itu, meski akhirnya ditentang sekali pun, kamikaze tetap menjadi legenda yang selalu hidup. Yang tak pernah terlupakan, meski lawan yang diahadapi adalah negara superhebat yang memiliki berbagai keunggulan dan tak pernah habis diceritakan.


Sumber:
"(Review of) No Surrender: German and Japanese Kamikazes" Bill Gordon, 2005.
Wikipedia
Sejarahperang.com
Divine Thunder: The life and death of the Kamikazes, Bernard Millot, 1971.




-dipi-
 
Last edited:
Awal Terbentuknya Satuan Kamikaze

Mabalacat adalah sebuah kota kecil di Luzon, Filipina, sekitar 80 km barat daya Manila. Di dekat kota ini terdapat lapangan terbang yang dijadikan pangkalan Grup Udara 14e-201 AL Jepang. Pada sore 19 Oktober 1944, pangkalan udara Mabalacat mendadak didatangi oleh Laksamana Madya Takijiro Ohnishi, panglima baru Armada Udara Pertama, yang membawahi seluruh kekuatan udara AL Jepang di Filipina. Padahal dia baru dua hari tiba dari Tokyo untuk memulai jabatan barunya ini. Dia diterima oleh perwira eksekutif 201 Commander Asaichi Tamai dan perwira staf senior Kolonel Rikihei Inoguchi, karena komandan 201 Kolonel Sakae Yamamoto tengah bertugas ke Manila. Kedua pewira ini heran dan bertanya-tanya, apa gerangan yang membawa Ohnishi ke Mabalacat?

5a1.jpg

Takijiro Ohnishi


Kepada kedua perwira ini, Ohnishi langsung meminta diantar ke markas pangkalan. “Saya kemari karena ada sesuatu yang amat penting untuk kita bicarakan,” katanya singkat. Setiba di markas, tiga perwira lain dipanggil ikut bergabung. Masing-masing Chuichi Yoshioka, Perwira staf dari Flotila Udara Ke-26, dan dua pemimpin skadron dari Grup Udara 201, Letnan Masanobu Ibusuki dan Letnan Ryo Yokoyama.

Komandan 201 Yamamoto yang pergi ke Manila karena dipanggil oleh Ohnishi belum juga tiba. Rupanya di jalan mobilnya dan mobil Ohnishi sempat berpapasan, namun keduanya saling tidak menyadari. Ohnishi buru-buru ke Mabalacat karena tidak sabar menunggu tibanya Yamamoto di Manila. Mengetahui komandannya justru yang datang ke pangkalan, maka begitu tiba di Manila ia minta disiapkan sebuah pesawat agar cepat tiba di Mabalacat. Tetapi sial, begitu mengudara pesawat Zero-nya rewel hingga terpaksa mendarat di persawahan.

Di markas pangkalan, Ohnishi duduk berenam mengelilingi sebuah meja di ruangan lantai dua. Dia memandangi wajah anak buahnya satu persatu, seolah-olah ingin membaca pikiran masing-masing. Suasana hening itu baru pecah ketika ia mulai membuka suara. “Seperti kalian ketahui, situasi peperangan makin genting. Munculnya armada Amerika yang kuat di Teluk Leyte telah dikonfirmasi. Sehingga nasib Kekaisaran kita, kini tergantung dari pelaksanaan Operasi Sho,” katanya.

Operasi bersandi Sho atau `Kemenangan’ ini dirancang Jepang setelah garis pertahanan utamanya di Pasifik seperti Nugini (Papua) dan Kepulauan Mariana ditembus oleh AS. Jepang memperkirakan Filipina akan jadi sasaran berikut, tanpa menutup kemungkinan Formosa (Taiwan), Kepulauan Ryukyu, dan bahkan tanah Jepang sendiri juga menjadi sasaran. Mana pun yang pertama akan diinvasi oleh Amerika, rencana Sho menegaskan wilayah itu harus dijadikan “ajang pertempuran yang menentukan”. Seluruh kekuatan pertahanan Jepang yang ada harus dikerahkan ke wilayah tersebut tanpa kecuali. Kapan operasi ini diaktifkan, sepenuhnya diserahkan kepada Mabes Umum Kekaisaran. Ternyata pada 18 Oktober 1944 pukul 17.01, Mabes telah memutuskan Sho diaktifkan menyusul kuatnya ancaman invasi Amerika di Leyte.

Laksamana Ohnishi menegaskan, untuk memukul mundur Amerika dikerahkan Armada Kedua Jepang pimpinan Laksamana Takeo Kurita yang tengah menuju Leyte. Sedangkan tugas Armada Udara Pertama yang dipimpinnya adalah memberikan perlindungan udara bagi Kurita. “Untuk melaksanakan tugas ini, kita harus menghantam armada kapal induk musuh. Setidaknya membuat mereka terkapar selama satu minggu, sehingga kekuatan udaranya tidak bakalan mengganggu armada laut kita,” katanya.

6_0002a.jpg

Penerbang kamikaze siap lepas landas.
Kota Mabalacat , Pampanga, Tarlac yang merupakan tempat bagi
Pangkalan Udara Grup Udara 201 AL Jepang menjadi sejarah sendiri bagi Jepang.
Di kota inilah untuk pertama kali muncul ide
agar dibentuk unit Kamikaze atau kekuatan khusus
yang diyakini akan sanggup menghadang
kekuatan Sekutu yang tidak lama lagi mendarat di Filipina.



Waktu satu minggu tanpa ancaman pesawat dari kapal induk Amerika diperlukan, karena armada Kurita sendiri tidak disertai kapal induk, namun oleh dua kapal tempur kembar terbesar, Yamato dan Musashi. Apabila armada Jepang yang kuat ini dengan aman berhasil mencapai Teluk Leyte, dapat dibayangkan betapa kapal-kapal pengangkut pasukan Amerika akan dibantai oleh armada Kurita.

Ohnishi menyimpulkan bahwa Tokyo kini menggantungkan harapannya kepada Armada Udara Pertama. “Sho berarti kemenangan. Tetapi apabila Armada Udara Pertama sampai gagal, maka Operasi Kemenangan ini akan berbalik menjadi kekalahan yang tak mungkin diperbaiki lagi,” tambahnya. Ia mengatakan, dalam Operasi Sho rencananya Armada Udara Kedua di Formosa akan dipindahkan ke Filipina. Mereka akan membantu Armada Udara Pertama, yang jumlah pesawatnya tinggal sedikit akibat intensif nya gempuran udara Amerika di seantero Filipina.

Mendengar apa yang disampaikan panglima barunya, kelima perwira semakin merasa ada sesuatu lebih penting yang akan dimunculkan. Sebab tidaklah mungkin apabila Ohnishi jauh-jauh datang dari Manila hanya untuk mengulang mengenai perkembangan situasi maupun tugas yang harus dilakukan pasukan udaranya. Para perwira ini menantikan apa lagi yang akan disampaikan oleh Ohnishi. Mereka berpikir keras bagaimana mampu melaksanakan misi memukul armada kapal induk Amerika. Jumlah pesawat mereka yang sedikit harus berhadapan dengan kekuatan udara musuh yang begitu besar. Mereka berharap Ohnishi akan menyampaikan jawaban cerdas atas situasi sulit yang dihadapi.

Sesudah terdiam beberapa saat, maka Ohnishi dengan raut serius berkata, “Menurut pendapat saya, hanya ada satu cara untuk menjamin kekuatan kita akan efektif hingga tingkat maksimal. Yaitu kita harus mengorganisasikan unit-unit serangan bunuh diri dengan pesawat-pesawat tempur Zero yang dipersenjatai bom 250 kilogram. Masing-masing pesawat harus menabrakkan diri ke pesawat induk musuh…. Bagaimana pendapat kalian?”

Mata Laksamana Ohnishi dengan tajam memandangi kelima perwira satu-persatu. Tak seorang pun yang angkat bicara. Mereka hanya mengingat bahwa taktik semacam ini pernah dipakai oleh pilot AL Jepang dalam pertempuran udara melawan pesawat pengebom Amerika yang besar-besar. Yaitu dengan menyerempetkan pesawatnya atau dalam kondisi tertentu bahkan menabrakkan diri ke pesawat musuh. Sejumlah pilot AL pun juga pernah menyuarakan taktik serupa terhadap kapal induk musuh. Apalagi tahun 1944 para pilot Jepang harus menghadapi kekuatan yang kian tak imbang. Sehingga semakin banyak dari mereka yang tidak berhasil kembali lagi ke pangkalannya. Karena itu daripada jatuh atau hilang sia-sia, mungkin lebih baik mati tetapi sekaligus dengan menghancurkan musuh.

Akhirnya kesenyapan dipecah oleh Asaichi Tamai “Yoshioka, seberapa efektifkah pesawat dengan bom 250 kilo ditabrakkan ke geladak kapal induk?”. Setelah berpikir sesaat, perwira staf ini pun menjawab bahwa cara itu memang memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengenai sasaran daripada dengan pengeboman konvensional. Kerusakan yang ditimbulkan pun juga lebih parah sehingga membutuhkan waktu berhari-hari untuk memperbaiki geladak.

Tamai sebetulnya sudah tahu jawaban tersebut. Tetapi dia sengaja bertanya hanya untuk melepaskan suasana tegang. Dia lalu menyampaikan kepada Laksamana Ohnishi, bahwa sebagai perwira eksekutif dia tidak dapat memutuskan persoalan segenting itu. “Saya harus menanyakan dulu kepada komandan grup Kapten Yamamoto,” tambahnya. Namun Ohnishi menjawab bahwa dia telah berbicara via telepon dengan Yamamoto yang sedang dirawat di Manila karena kakinya patah akibat pendaratan darurat Zeronya. “Dia menyerahkan segala sesuatunya kepadamu. Pendapatmu adalah pendapatnya,” kata Ohnishi pendek.

Mereka yang hadir pun memandang Tamai, menunggu apa yang akan dikatakannya. Tetapi cukup lama Tamai merenung dan membisu, sampai akhirnya meminta kepada Laksamana agar diizinkan untuk berpikir sejenak dengan tenang. Tamai lalu menggamit Letnan Ibusuki untuk ikut ke ruang kerjanya. Mereka mendiskusikan berbagai kemungkinan reaksi dan sikap para pilot terhadap taktik serangan bunuh diri.

Beberapa waktu kemudian, Tamai bergabung kembali. Kepada Ohnishi dia melaporkan hasil diskusinya dengan Ibusuki. “Dipercaya oleh komandan kami dan disertai rasa penuh tanggung jawab, saya menyatakan setuju sepenuhnya dengan pendapat Laksamana. Grup Udara 201 akan melaksanakan usulan tersebut. Izinkan saya bertanya, apakah laksamana menyerahkan kepada kami untuk melakukan sendiri pembentukan satuan penyerang tersebut?”

Kapten Rikihei Inoguchi yang di kemudian hari menuliskan kesaksiannya, menyatakan ingat betul akan ekspresi Laksamana Ohnishi sewaktu mendengar laporan Tamai. Tampak kelegaan pada wajahnya, namun juga terbersit kemuraman karena rasa sedih. Dia pun cuma mengangguk tanpa satu kata pun sewaktu menjawab pertanyaan Tamai. Artinya, dia menyerahkan pembentukan satuan bunuh diri itu kepada 201 sendiri. Tak lama kemudian Ohnishi minta diri untuk beristirahat, dan pertemuan bersejarah di markas 201 di Mabalacat itu pun berakhir.

9.jpg

Profil komandan satuan serang unit kamikaze 201,
Letnan Yukio Seki, yang dikenal sehagai pilot tempur handal.


Begitu Laksamana Ohnishi meninggalkan ruangan tersebut, maka Tamai malam itu pun langsung bekerja. Pikirannya dipenuhi dengan gambaran tentang kondisi 201 serta para personelnya. Selaku perwira pelaksana 201, dia mengenal semua pilotnya. Bahkan banyak dari mereka sudah dikenalnya sejak masih dalam pendidikan. Para pilot muda itu tergabung dalam Grup Udara 201 dari Armada Udara Pertama AL Jepang dalam bulan Agustus 1944. Mereka baru merampungkan latihan dasar pada Oktober 1943 sewaktu dimasukkan ke dalam Grup Udara 263 di Jepang, untuk menjalani latihan terbang tempur. Pelatihan baru berjalan separuh tatkala pada Februari 1944 mereka mendadak diperintahkan ke Kepulauan Mariana di Pasifik untuk tugas tempur.

Begitulah, dari Tinian, Palau, hingga Yap mereka terus bertempur, menghadapi lawan yang begitu kuat dan berpengalaman. Banyak dari para pilot muda itu yang gugur atau hilang di Pasifik. Mereka yang tersisa pada bulan Agustus ditarik ke Filipina dan dimasukkan ke 201. Namun para pilot muda itu kini sudah merasakan pengalaman dan kegetiran pertempuran yang sesungguhnya. Mereka juga terinspirasi oleh Tamai dari masa pendidikan hingga sama-sama merasakan beratnya tugas di Pasifik. Tamai selalu menyemangati pilot muda bagai anak-anaknya sendiri, dan merekapun sebaliknya menganggap Tamai sebagai panutan, bahkan sebagai pengganti orangtua mereka. Karena itu bagi Tamai, tugas menyampaikan taktik baru serangan udara bunuh diri kepada mereka terasa bagai beban yang berat sekali. Setelah berkonsultasi dengan para komandan skadron, maka malam itu dia pun memanggil semua pilot untuk berkumpul. Jumlahnya 23 orang. Tamai menjelaskan perkembangan situasi perang terakhir, dan kemudian dengan berhati-hati dia menyampaikan apa yang baru saja diusulkan oleh Ohnishi.

Ternyata penjelasannya disambut dengan antusias oleh para pilot. Tamai tidak menyangka reaksi yang begitu spontan. Tangan-tangan diangkat ke atas disertai sorak-sorai gembira. Moril dan semangat orang-orang muda ini terasa begitu tinggi. Kapten ini berusaha menyembunyikan rasa harunya seraya berpesan agar semua itu sungguh-sungguh dirahasiakan. Pertemuan pun bubar dan para pilot kembali ke barak dengan berbagai pikiran masingmasing.

Tengah malam Tamai kembali ke ruang perwira, menyampaikan hasil pertemuan dengan para pilot. “Mereka semuanya masih muda-muda sekali. Meski saya tidak bisa membaca apa yang ada dalam hati mereka, tetapi saya tak akan lupa wajah-wajah mereka yang menunjukkan tekad kuat. Mata mereka pun bersinar-sinar. Mereka tentu berpikir, inilah saatnya untuk membalaskan rekan-rekan mereka yang gugur di Kepulauan Mariana, Palau dan Yap. Sikap seperti itu sangat wajar dan alami dalam hati kaum muda,” kata Tamai.

Para perwira kini yakin bahwa satuan serangan bunuh diri segera dapat dibentuk. Tetapi siapa yang akan diserahi memimpin kesatuan ini? Untuk menentukannya tidaklah mudah, karena untuk memimpin satuan baru yang khusus ini diperlukan perwira terbaik, dalam karakter maupun kemampuannya. Semua sependapat pemimpin kesatuan ini haruslah perwira lulusan akademi AL. Mereka juga menilai Naoshi Kanno adalah orang yang tepat. Namun letnan ini kebetulan sedang ditugaskan bersama sejumlah pilot untuk mengambil pesawat Zero yang baru keluar dari pabrik guna diterbangkan ke Filipina.

Kanno sebetulnya telah menolak ditugaskan ke Jepang, karena dia merasa front baru di Filipina segera pecah dan ia harus terjun langsung menghadapi musuh. Reputasinya sebagai pilot andal dikenal di antara rekannya. Kisahnya menjatuhkan sebuah pengebom berat B-24 Liberator di sekitar Pulau Yap terbilang unik. Dia berusaha merontokkan pesawat Amerika itu dengan tembakan dari Zero-nya, namun tak perrnah berhasil. Akhirnya dia melakukan taktik baru dengan menyerempetkan baling-baling pesawatnya ke rudder atau kemudi pesawat di ekor B-24. Kanno nekat menghadapi musuhnya dari depan sembari menghindari tembakan maupun baling-baling lawannya. Baru pada putaran ketigalah dia berhasil. Bomber Amerika itu pun jauh ke laut. Tetapi serempetan itu membuatnya kehilangan kesadaran beberapa saat hingga akhimya dia berhasil mendaratkan pesawatnya yang rusak cukup berat.

Akhirnya karena Kanno tidak di tempat, para perwira 201 setuju menunjuk Letnan Yukio Seki, yang dinilai memiliki kelebihan dibandingkan rekan-rekannya. Segera di tengah malam itu Seki dipanggil, dan Tamai pun dengan mata berkaca-kaca menjelaskan maksudnya. Perwira muda yang baru satu bulan datang dari Formosa itu menutup muka dengan tangan, terdiam tanpa gerak untuk beberapa waktu. Para perwira di sekelilingnya menahan napas, merasa tegang. Akhirnya Seki pelan-pelan mengangkat kepalanya sambil mengusap rambutnya seraya berkata : “Komandan, anda mutlak harus mengizinkan saya melaksanakan tugas tersebut.” Suaranya tenang dan meyakinkan. “Terima kasih,” jawab Tamai lega.

11.jpg

Salah satu ritual para penerbang kamikaze sebelum
melancarkan misi bunuh dirinya adalah berdoa dan merenung
sambil memegang bendera malahari terbit Jepang.
Para pilot meyakini misinya merupakan tindakan mulia
dan terhormat demi membela bangsa dan tanah air.


Dengan setujunya Yukio Seki menjadi pimpinan unit khusus tersebut, maka kesatuan serangan bunuh diri atau Tokkotai ini pun terbentuk sudah. Namun mengingat ini merupakan kesatuan khusus, maka para perwira pun memikirkan nama yang akan diberikan. Inoguchi mengusulkan bagaimana jika dinamakan Shimpu, yang merupakan cara lain membaca aksara yang berarti kamikaze atau angin dewata. “Itu bagus. Akhirnya kita siap menghembuskan angin dewata bersamanya,” kata Tamai menanggapi.

Subuh 20 Oktober, terbentuknya kesatuan khusus serangan bunuh diri itu pun dilaporkan kepada Ohnishi, yang mengurung diri dalam kegelapan di salah satu kamar markas 201. Dengan persetujuannya maka langsung dibuat pengumuman resmi yang ditandatanganinya. Pokok pengumuman ini adalah “…terbentuknya sebuah korps khusus penyerang, yang akan menghancurkan atau melumpuhkan kekuatan kapal induk musuh di perairan timur Filipina, jika mungkin sebelum 25 Oktober. Korps ini dinamai Kesatuan Serang Shimpu, yang terdiri dari 26 pesawat tempur, dimana separuhnya bertugas melaksanakan misi penabrakan diri, dan lainnya melakukan tugas pengawalan. Kesatuan ini dibagi dalam empat kelompok : Shikisima, Yamato, Asahi, dan Yamazakura. Komandan kesatuan serang ini adalah Letnan Yukio Seki.

Kini para pilot 201 tinggal menunggu instruksi selanjutnya, kapan harus melancarkan serangannya. Tamai meminta mereka beristirahat cukup terlebih dulu. Seki sendiri menuju tempat tidurnya dengan ingatan kepada ibunya yang sudah menjanda serta istri yang baru dinikahinya beberapa bulan berselang.


Sumber:
The Divine Wind, karangan Rikihei Inoguchi (1959)
Sejarahperang.com





-dipi-
 
Takijiro Ohnishi, si Penggagas Kamikaze


Laksamana Jepang penggagas serangan bunuh diri kamikaze ini lahir di Hyogo pada tahun 1891. Dia lulus dari Akademi AL tahun 1912, dan sejak awal perwira muda ini sudah memperoleh pelatihan untuk merintis penerbangan AL, antara 1915 hingga 1918. Sehingga tidak heran apabila Takijiro Ohnishi dalam kariernya di AL, lebih banyak berhubungan dengan kekuatan udara AL Jepang. Selama dua tahun ditempatkan di Inggris dan Perancis sebagai resident officer(1918-20), Ohnishi banyak mengamati dan belajar tentang pembangunan kekuatan udara AL kedua negara Eropa tadi.

Sekembalinya di Jepang, dia menjadi instruktur di Sekolah Udara AL di Kasumiga Ura, kemudian diangkat sebagai komandan Kesatuan Udara AL di Sasebo (1926). Dari pangkalan udara AL di darat, Ohnishi tahun 1928 dipindahkan ke kapal induk Hosho, untuk memimpin sayap udara di kapal ini. Selanjutnya dia pernah menjadi staf Armada Ketiga yang bermarkas di Shanghai, yang waktu itu (1932) mulai dikuasai Jepang. Dia aktif dalam perencanaan serangan udara terhadap berbagai sasaran di China. Tahun 1935 Ohnishi termasuk perwira AL yang gigih mengusulkan agar kapal induk dimasukkan sebagai unsur pokok kekuatan serang dalam armada, karena dia percaya sekali dengan potensi kekuatan udara kapal induk.

Takijiro Ohnishi dengan pangkat laksamana muda awal 1941 diangkat sebagai Kastaf Armada Udara Kesebelas. Bersama Commander Minoru Genda dan pemikir AL lainnya, Ohnishi terlibat dalam studi rahasia tentang kemungkinan penyerangan terhadap Pearl Harbor, yang kemudian jadi dilaksanakan pada 7 Desember 1941. Begitu perang pecah, maka pasukan udaranya melancarkan rangkaian serangan yang menghancurkan kekuatan udara Amerika di Filipina.

Selanjutnya sebagai laksamana madya, tahun 1943 dia ditugasi memimpin Armada Udara Pertama di Filipina pada Oktober 1944, dengan tugas utama menggagalkan invasi Amerika. Dalam posisi memegang komando inilah, Laksamana Ohnishi dapat mewujudkan gagasannya mengenai pembentukan resmi kesatuan khusus serangan bunuh diri atau kamikaze untuk melawan serbuan Amerika di Teluk Leyte. Dalam mendesakkan gagasan tersebut, Ohnishi dipengaruhi sekali oleh campuran antara kepercayaan mistis dan perhitungan praktis akan kemungkinan hasilnya. Kultus atau filosofi mengenai Bushido yang dianutnya, mengajarkan tentang kesetiaan mutlak, kepatuhan, serta pengorbanan diri. Dan itulah yang menjiwai kamikaze.

Harakiri

Perwira tinggi AL ini termasuk yang berpegang teguh pada sikap untuk berperang sampai mati. Ketika pada Mei 1945 diangkat sebagai Wakil Kastaf dari Staf Umum AL Kekaisaran, maka Ohnishi mendukung keras dilanjutkannya perang, padahal kondisi jelas menunjukkan Jepang kehabisan harapan. Karena itu tatkala mendengar siaran takluknya Jepang yang disampaikan Kaisar pada 15 Agustus, dia pun bunuh diri pada pagi-pagi 16 Agustus, setelah malam harinya mengundang sejumlah perwira stafnya untuk jamuan perpisahan di kediamannya.

Pagi itu ajudannya dikabari bahwa Laksamana Ohnishi telah melakukan harakiri, ritual bunuh diri. Ajudan bergegas ke rumah laksamana, dan menemukannya dalam keadaan sekarat namun masih sadar. Ohnishi telah menyobek perutnya dan kemudian berusaha memotong lehernya sendiri. Namun tampaknya kurang berhasil karena dia tidak memiliki tenaga lagi. Dia melarang ajudan untuk mencari pertolongan medis maupun membantunya mempercepat kematian. Dengan sengaja dia membiarkan diri menderita sampai saat kematiannya tiba pada senja hari pukul 18.00.

Menjelang melakukan ritual harakiri, Ohnishi sempat menuliskan pesan terakhirnya, yang antara lain menyatakan pujian dan penghargaannya terhadap jiwa-jiwa para pilot kamikaze. “Mereka bertempur dan gugur secara gagah berani, dengan kepercayaan terhadap kemenangan akhir kita. Dalam kematian, saya berharap dapat berdamai dengan kegagalan saya dalam ikut mencapai kemenangan, dan saya mohon maaf terhadap jiwa para penerbang yang telah gugur serta keluarga mereka yang berduka. Saya harapkan kaum muda Jepang menemukan moral dalam kematian saya….”

Diperkirakan sekitar 2.550 sorti penerbangan serangan bunuh diri kamikaze dilakukan dari 25 Oktober 1944 sampai berakhirnya perang 15 Agustus 1945. Sebanyak 363 serangan kamikaze menemui sasaran atau nyaris mengenai tetapi tetap menimbulkan kerusakan pada kapal yang diserang. Dari serangan itu, tak kurang dari 71 kapal Sekutu dikirim ke dasar laut atau pun hancur tak mungkin diperbaiki lagi. Lebih dari 6.600 personel Sekutu dilaporkan terbunuh akibat serangan kamikaze.


kk12.jpg

Ohnishi tiba di Mabalacat.
Tampak sejumlah tentara Jepang menyambutnya.




kk3.jpg

Asisten Ohnishi membacakan penyerahan Jepang
kepada Sekutu dan disusul harakiri Onishi keesokan harinya.




Sumber:
Sejarahperang.com




-dipi-
 
OHKA, Bunga Sakura yang Menakutkan


kk.jpg


Kamikaze yang resmi dibentuk Laksdya Takijiro Ohnishi pada 20 Oktober 1944, dalam kenyataannya bukanlah hanya terdiri dari pesawat terbang bermuatan bom yang ditabrakkan pilotnya ke kapal perang musuh. AL Jepang juga menyiapkan bom terbang, berupa roket bermuatan peledak. Bom terbang ini dijatuhkan dari sebuah pesawat pengebom. Begitu lepas dari pesawat induknya, mesin roket akan menyala dan melesatkan roket ke arah sasaran. Pengendalinya seorang pilot, karena sistem kendali radio waktu itu masih dalam pengembangan

Seorang letnan muda AL bernama Shohichi Ota dikenal sebagai pencetus gagasan bom terbang ini. Ia berpikir, hasil serangan bunuh diri dengan senjata ini akan jauh lebih besar dibanding pesawat terbang bermuatan bom. Sebab kecepatan roket lebih tinggi dan muatan peledaknya pun lebih besar. Ota diketahui berusaha keras `menjual’ gagasannya kepada atasannya. Pada suatu hari pertengahan 1944, ia datang ke Laboratorium Riset Aeronautik AL dan menemui pimpinan bagian perancangan “Pesawat Masa Depan”, Letkol Tadano Mild, seorang perwira teknik yang andal.

k_0002a.jpg

Profil Ohka yang merupakan born terbang bertenaga roket
yang dikendalikan seorang pilot. Sejumlah pesawat pengebom Jepang,
Mitsubishi G4M2, yang bisa berfungsi sebagai penggendong Ohka
sebelum diluncurkan ke target musuh.


Dalam pertemuan yang dihadiri pimpinan laboratorium Laksamana Misao Wada dan beberapa perwira peneliti lainnya, Letda Oka menjelaskan konsep bom roketnya yang dapat dilepaskan dari sebuah pengebom serang Betty dari Mitsubishi. Propelan roket ini adalah kondensasi hydrogen peroxide dan hydrated hydrogen. Bahan bakar cair yang dikembangkan Mitsubishi ini telah dimanfaatkan AD Jepang guna mengembangkan roketnya. Ota mengatakan propelan ini pun dipakai Jerman untuk roket Komet. Tetapi Mild tak terkesan. “Ini orang pasti tolol. Beginikah yang ia sebut sebagai senjata baru?” pikir Mild.

Dikendalikan pilot

Mild lalu bertanya mengenai sistem pengendaliannya, namun Letnan Ota tidak segera menjawab dan malah tampak agak gelisah. Mild pun mengulang pertanyaannya, dengan menerangkan bahwa yang ia maksud adalah peralatan untuk memastikan bahwa roket akan tepat mengenai sasarannya. Ota lalu mengangguk dan menyahut. “Seseorang yang berada di dalamnya.” Mild tak percaya dengan apa yang ia dengar. “Apa,” teriaknya bercampur antara tidak percaya dan marah. “Kamu benar-benar idiot. Kita tidak akan pernah membuat barang semacam itu,” tambah Mild.

Wajah Ota memerah, tetapi berusaha tenang. Dia lalu mengingatkan betapa posisi Jepang dalam perang ini semakin mencemaskan. Musuh menguasai udara, dan Jepang tidak mungkin menghentikan kekuatan invasi musuh hanya dengan cara konvensional. “Rencana saya adalah menghancurkan armada kapal induk musuh dengan menabrakkan diri guna membalikkan situasi. Ini vital buat kelangsungan hidup negara kita. Karena itu kita harus membuat senjata ini”.

Perdebatan sengit itu berakhir ketika Letkol Mild bertanya kepada Ota. “Kamu menyarankan senjata ini ditabrakkan ke sasaran, tetapi siapa yang akan memilotinya.” Langsung Letnan Ota menjawab, “Tentu saja saya yang akan melakukan.” Seusai pertemuan, Mild curiga bahwa Laksmana Wada selaku pimpinan laboratorium riset AL diam-diam telah mendukung gagasan Ota, dan bahkan akan merekomendasikannya kepada jajaran lebih tinggi di Mabes AL.

k_0003a.jpg

Profil Ohka dalam kondisi utuh dan ditempatkan
di museum Smithsonian, AS.
Ohka Model 22 ini dibawa dari Jepang pada Desember 1945
dan baru masuk Smithsonian tahun 1948.


Ternyata benar. Wada meneruskan gagasan Ota kepada Departemen Aeronautik AL, yang langsung menindaklanjutinya. Akhirnya hal ini sampai ke kalangan pimpinan Staf Umum Mabes AL. Mereka tertarik karena senjata ini mungkin memang berguna dalam Operasi Sho yang akan dilancarkan untuk menahan invasi Amerika. Pertengahan Agustus 1944 keluar instruksi kepada Laboratorium Riset Aeronautik AL agar memulai produksi percobaan bom roket yang diberi nama sandi Maru Dai. Maru artinya lingkaran, dan Dai yang juga bisa dibaca sebagai “0″, adalah untuk menghormati penemunya, Shoichi Ota. Mild pun menyerah.

Bunga ceri yang meledak

Bom terbang ini dirancang memiliki panjang 6,07 m, tinggi 1,16 m, dan rentang sayap 5,12 m. Roket sayap beratnya 140 kg, roket pada badan 360 kg, dan badan pesawat sendiri 440 kg. Bahan peledaknya mencapai 1.200 kg, sehingga berat seluruh bom terbang ini 2.140 kg. Berbagai uji coba secara intensif dilakukan, termasuk oleh Tadano Mild, perwira teknik yang semula menentang keras roket untuk serangan bunuh diri tersebut.

Satu-satunya soal pada Maru Dai adalah jarak jelajahnya, paling banter hanya mencapai 60 km. Padahal jarak terbang pesawat Amerika untuk melindungi kapal perangnya mencapai 90 km. Ini berarti sebelum cukup mendekati sasaran, pesawat pengebom pembawa Maru Dai dapat diserang oleh pesawat patroli musuh. Karena itu tak ada jalan lain, pesawat pengebom Jepang harus mampu menembus patroli pesawat Amerika, serta mencapai jarak hanya 25-30 km dari sasaran untuk melepaskan bom terbangnya. Untuk itu diperlukan pesawat pemburu guna melindungi. Awal September, dari fasilitas laboratorium AL yang dijaga keras kerahasiaannya, muncul dua pesawat bom roket yang telah selesai dibuat.

Keduanya khusus untuk uji coba terbang, dan diberi nama resmi Ohka atau “Bunga Ceri yang Meledak”. Pada kedua sisi hidungnya, digambari bunga ceri berwana merah muda atau pink. Uji terbang dengan dilepas dari pengebom Betty dinyatakan berhasil, termasuk sebuah Ohka yang mampu didaratkan kembali oleh pilotnya. Namun ada juga pilot yang tewas ketika gagal melakukan pendaratan. Setelah rangkaian uji coba, bulan November mulai dilakukan latihan bagi para calon penerbangnya.

Korps Dewa Guntur

Para pilot yang tergabung dalam Korps Dewa Guntur (Thunder Gods Corps) ini dipimpin Kolonel Motoharu Okamura, yang sejak awal terlibat dalam program pengembangan Ohka serta pembentukan korps penerbangnya. Okamura sejak pertengahan 1944 selalu mengusulkan cara serangan khusus terhadap armada Amerika. Istilah ‘serangan khusus’ ini adalah sekadar untuk menghaluskan kata `serangan bunuh diri. Januari 1945 datang utusan Kaisar ke pangkalan korps, menyatakan penghargaan atas semangat para pilotnya yang ketika itu sudah lebih dari 150 orang.

Selanjutnya korps disebar, antara lain ke Jepang bagian selatan juga ke pangkalan di Taiwan dan Shanghai. Markas besar korps ini di pangkalan udara Konoya di Kyushu, Jepang bagian selatan. Korps saat itu selain sudah memiliki 162 Ohka dan 72 pesawat induknya, juga mendapat 108 pesawat Zero tipe Z-Serang khusus untuk serangan bunuh diri. Sementara itu persiapan invasi musuh semakin terasa. Pesawat Amerika terus melakukan pengintaaian dan serangan terhadap berbagai sasaran di Jepang, termasuk mulai memakai pengebom strategis B-29.

Tanggal 17 Maret, Laksdya Matome Ugaki selaku Panglima Armada Udara Kelima AL menerima laporan adanya armada musuh yang mendekati Kyushu. Ugaki terus memantau. Pada dinihari 18 Maret ia memerintahkan menyiapkan serangan all-out. Tetapi hari itu tak kurang dari 1.460 pesawat Amerika mendahului menyerang. Seusai serangan itu, Ugaki meminta Korps Dewa Guntur melakukan aksi pertamanya. Namun gempuran hebat Amerika datang lagi, sehingga rencana Jepang berkamikaze dengan mengoperasikan Ohta pun gagal.

Tugas yang Gagal

Baru pada 21 Maret datang perintah resmi untuk misi pertama Korps Dewa Guntur. Persiapan segera dilakukan, dan Letnan Kentaro Mitsuhashi beserta 14 pilotnya melakukan tugas pertama menyerang dengan bom terbang. Mereka memotong kuku dan rambut, menaruhnya dalam kotak kayu bersama surat perpisahan bagi orangtua masing-masing.

k_0005a.jpg

Sejumlah pilot andalan dari Korps Dewa Guntur
sedang berpose di depan pesawat Zero.
Tugas sebagai pilot kamikaze yang diyakini sebagai
wahana untuk menjaga kehormatan bangsa dan nasionalisme tidak menyebabkan mereka takut mati tapi justru dilaksanakan
dengan penuh kebanggaan.


Upacara pelepasan dilakukan, dihadiri Laksamana Ugaki, sementara komandan korps Kolonel Okamura terbata-bata mengucapan selamat jalan kepada 15 anak buahnya. Pada giliran Mitsuhashi untuk berbicara, ia hanya mengatakan, “Saya tidak punya kata-kata lain untuk disampaikan. Marilah kita mati bersama-sama.”

Serangan bunuh diri pertama dengan “ledakan bunga ceri” ternyata gagal. Pilot pesawat Zero pengawal yang berhasil kembali dengan pesawatnya penuh lubang peluru menuturkan, bahwa mereka disergap oleh sekitar 50 pesawat Amerika. Sehingga dalam tempo 10 menit, sembilan pesawat induk Betty dan dua pengebom lain khusus untuk tugas serangan bunuh diri, rontok dari udara. Pesawat Zero pengawal berusaha melawan, tetapi kalah dan harus berpencar. Beberapa Betty terpaksa membuang Ohta mereka sebelum waktunya, agar lebih lincah menghindari serangan pesawat musuh. Pilot Zero tadi melaporkan pada akhirnya tersisa empat Betty, yang kemudian terlihat terbang rapat sayap ke sayap dan bersama-sama menukik ke laut.

Meskipun pada debutnya gagal total, tetapi serangan dengan Ohka terus berlangsung. Hasilnya pada umumnya kurang sesuai seperti yang diharapkan. Sehingg Amerika pun bahkan mengejek senjata Jepang itu dengan sebutan Baka atau ‘Gila’. Akhirnya pada 22 Agustus atau satu minggu setelah takluknya Jepang, Korps Dewa Guntur dibubarkan atas perintah Armada Udara Kelima AL yang telah ditinggalkan oleh panglimanya Laksamana Ugaki. Dia telah melakukan serangan bunuh diri terakhir ke arah Okinawa dengan pesawat pengebom-tukik pada 15 Agustus. Komandan korps Kolonel Okamura sibuk membakari dokumen korpsnya. “Segala apa yang pernah kita buat dan jalankan, kini tinggallah jadi sejarah,” ujarnya.

Nasib Shoichi Ota, penemu Ohka, sesudah perang berubah misterius. Ada yang menyebutkan ia sebetulnya bukanlah penemu senjata bom terbang tersebut, melainkan hanya boneka yang diperalat oleh sementara tokoh AL. Mereka ini malu dan takut apabila diketahui sebagai penggagas serangan bunuh diri dengan bom terbang. Laporan lain menyebutkan Ota bersembunyi dan menyamar menjadi penduduk desa dengan berganti nama. Ada pula yang mengatakan ia pernah pinjam uang dari para mantan anggota Korps Dewa Guntur, tetapi lalu menghilang. Usaha melacaknya untuk keperluan sebagai sumber sejarah tidak pernah berhasil hingga sekarang.


Sumber:
Sejarahperang.com



-dipi-
 
Back
Top