Falsafah Kehidupan Jawa

Status
Not open for further replies.

spirit

Mod
052409_0548_falsafatjaw1.jpg

KEBUDAYAAN Jawa adalah kebudayaan yang unik. Orang Jawa konon terkenal karena sikapnya yang rendah hati, murah senyum, suka mengalah, sungkan dan taat pada pimpinan. Sebagaian budi pekerti Jawa sudah menjadi ceriman bangsa Indonesia secara keseluruhan. Banyak istilah-istilah yang biasa kita dengar yang menjadi cirri khas kebudayaan Jawa. Mungkin kalian pernah mendengar ‘Nerimo ing Pandum’, ‘Adigang, Adigung, Adiguna’ atau ‘Ambeg Utamo, Andap Ashor’? Itu adalah sebagian ajaran falsafat Jawa dalam kehidupan.

Beberapa falsafat itu antara lain:

Narimo ing pandum :: Accept the challenges of life with enthusiasm | Menerima segala rintangan dengan ikhlas

Gusti iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan :: God is close, yet untouched by your body; God is near, yet beyond the reach of mind | Tuhan itu dekat meski kita tubuh kita tidak dapat menyentuhnya dan akal kita dapat menjangkaunya

Ala lan becik iku gegandhengan, Kabeh kuwi saka kersaning Pangeran :: Good and bad exist together, such is the will of the Lord | Kebaikan dan kejahatan ada bersama-sama, itu semua adalah kehendak Tuhan

Natas, nitis, netes :: From God we come, in God we live, and unite God we return | Dari Tuhan kita ada, bersama Tuhan kita hidup, dan bersatu dengan Tuhan kita kembali

Alam iki sejatining Guru :: Nature is the true Master | Alam adalah guru yang sejati

Golek sampurnaning urip lahir batin lan golek kusumpurnaning pati :: All of us are responsible for our well being here and salvation hereafter | Kita bertanggung jawab untuk mencari kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat

Manungsa mung ngunduh wohing pakarti :: Pain and pleasure, both are the result of one’s own doings | Kehidupan manusia baik dan buruk adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri

Asih, asah, asuh :: live life loving, educating and caring for one another | Hidup penuh kasih, belajar dan peduli kepada sesama

Kudu rukun marang tonggo teparo :: Live in peace and harmony with your neighbors | Hidup bertentangga harus senantiasa rukun dan damai

Eling, mawas diri, waspada :: Live consciously, know yourself, and keep aware | Hidup dengan penuh kesadaran, pahami diri sendiri dan tetap waspada

Budha, budhi :: The enlightened beings live their enlightenment | Mereka yang hidupnya tercerahkan akan meninggalkan pencerahan bagi yang lain

Heneng, Hening :: One who is at peace inside, shall be at peace outside | Kedamaian di dalam hati akan mengantarkan pada kedamaian hidup

Ora kena nglarani :: Do not hurt anybody | Jangan melukai orang lain

Rela lan legawa lair trusing batin :: Be honest and true in all you do | Ikhlas lahir batin

Urip kang utama, mateni kang sempurna :: Live life doing good, and you shall find fulfillment in death | Selama hidup kita melakukan perbuatan baik maka kita akan menemukan kebahagiaan di kehidupan selanjutnya

Kawula mung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang sukmo :: Fulfill your duties and responsibilities leave the rest to God | Lakukan yang kita bisa, setelahnya serahkan kepada Tuhan.

Tansah ajeg mesu budi lan raga nganggo cara ngurangi mangan lan turu :: Control over senses, sleeping and eating habits, this is the key to healthy and peaceful life | Kurangi makan dan tidur yang berlebihan agar kesehatan kita senantiasa terjaga

Adigang, adigung, adiguno :: Don’t you be arrogant on account of physical strength, social status, academic background, and the like | Jaga kelakuan, jangan somobong dengan kekuatan, kedudukan, ataupun latarbelakangmu

Ambeg utomo, andhap asor :: Be first in learning, but never show off | Selalu menjadi yang utama tapi selalu rendah hati

Aja mbedakake marang sapadha-padha :: Appreciate the differences, for they are natural | Hargai perbedaan, jangan membeda-bedakan sesame manusia

Mohon, mangesthi, mangastuti, marem :: Pray for guidance and ability to harmonise your thoughts with your speech and action; so you can serve follow human beings effectively and live contentedly | Selalu meminta petunjuk Tuhan untuk meyelaraskan antara ucapan dan perbuatan agar dapat berguna bagi sesame

Memayu hayuning pribadi; memayu hayuning kulawarga; memayu hayuning sesama; memayu hayuning bawana :: Do good unto yourself; your family; fellow living beings, and the entire world | berbuat baik bagi diri sendiri, keluarga, sesame manusia, makhluk hidup dan seluruh dunia.




Posted by Yasir Alkaf
yasiralkaf.wordpress.com
 
Filsafat yg saat ini mulai dilupakan, tergerus modernisasi dan kapitalisme barat. Bahkan orang yg memilih mempelajari pengetahuan ttg budaya mlh ditertawakan dan disepelekan.
 
Itulah sebabnya aku mencari pasangan berdarah jawa :) suka banget sama falsafahnya


Btw falsafah disini mengajarkan tata krama juga gak? pengen lebih tau deh ;)
 
Megha, hampir semua falsafah sdh mengatur ttg tatakrama. Romo Frans malah membedakan sikap hidup (etika) menjd 2 norma kerukunan dan norma hormat. Yg udh mencakup didlmnya semua falsafah diatas. @nizhami, mknya gw blg nih falsafah udh terlupakan pdhal penting bgt krn merupakan bag dr adat dan budaya kita. Orang2 menganggap falsafah itu cm membw kemunduran dan bikin orang jawa terlihat bodoh dan mudah ditindas.
 
Kalo aku bilang sih falsafah2 itu masih lestari dan dipraktekkan, hanya saja kita nggak sadar sudah mempraktekkannya...
Makna lestari itu terlalu abstrak untuk didefinisikan dengan jelas....

Aku sendiri melihatnya ada beberapa falsafah jawa yang sudah nggak cocok pada saat ini, bukan hanya karena perkembangan jaman tapi juga dengan perkembangan budaya jawa modern itu sendiri...

Falsafah jawa ini aku pelajari semenjak aku belum bersekolah, aku lebih tahu falsafah ini dibandingkan dengan filosofi dari China yang darahnya juga mengalir didalam tubuhku, aku lebih akrab dengan filsafat2 jawa dibandingkan dengan apa yang disebut falsafah Pancasila yang bisa dikatakan nggak pernah aku pelajari, aku juga lebih nyaman dengan falsafah jawa ini dibandingkan dengan falsafah2 marxis dan komunis yang hampir seluruh teman bermain dan bersekolahku menganutnya ... Tapi semakin lama aku bisa mengambil kesimpulan bahwa ada hal2 tertentu yang udah nggak cocok lagi dengan jaman ini, yang mau nggak mau namanya jaman itu pasti akan berkembang....

Falsafah2 ini secara historis berkembang pada masa Jawa dikuasai oleh Mataram and the gank, baik itu melalui serat2 semacam pepak boso jowo dan sapolo boso ataupun tutur tinular ...
Dalam sebuah diskusi sejarah dan budaya di UI aku pernah mengutarakan bahwa filsafat2 jawa itu tumbuh dan dimunculkan karena orang jawa masih setengah hati menerima suatu ajaran baru (baca: Islam & Kristen) yang masuk ke dalam budaya mereka, sehingga timbullah suatu 'self defense' kultural yang pada akhirnya memunculkan beberapa ajaran yang katanya bersumber dari jawa asli, padahal kalo aku melihat nggak ada itu ajaran jawa asli karena jauh sebelumnya jawa itu dipenuhi dengan budaya budha dan hindu...

Beberapa falsafah jawa masih ada yang sesuai dan bisa dipraktekkan hingga saat ini, tapi ada juga beberapa falsafah yang udah nggak sesuai lagi, ini biasanya yang mengatur mengenai hubungan bawahan dan junjungan...

Di jaman Mataram and the gank, falsafah2 ini bisa berjalan dengan sangat baik karena kondisi masyarakatnya terdiri dari kawula alit dan junjungan, rakyat jelata dan bangsawan, wong cilik dan priyayi dll...

Aku kasih contoh hal yang umum... Falsafah 'Mikul dhuwur mendem jero'...

'Mikul dhuwur' artinya memikul/menjunjung setinggi2nya.... Makna yang terkandung di dalamnya adalah hendaknya setiap anggota keluarga, suku, bangsa, atau jenis kumpulan manusia lainnya untuk menjunjung tinggi nama baik kelompok atau pimpinannya di muka umum. Hal ini bisa diartikan dengan mengekspos dan menghormati keunggulan kelompok/pemimpin di depan khalayak ramai....Ribuan contoh akan kita temukan tentang usaha suatu negara untuk menjunjung tinggi martabat rakyat atau pemimpinnya. Tentu masih ingat dengan gelar Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Pembangunan, Panglima Besar, dll...

Frasa 'mendem jero' kira-kira arti konotasinya memendam/mengubur sedalam2nya.... Memendam/menutupi segala keburukan, aib, dan kelemahan...dalam konotasi negatif bisa dimaknai menutupi kekurangan yang seharusnya diketahui orang, yang seharusnya transparan...

Nah itu adalah salah satu contoh yang udah nggak cocok di masa sekarang, di mana seorang pemimpin bukan lagi seorang yang mendapatkan wahyu gusti, dimana dia tidak bisa tercela dan dicela (baca: kritik)...

So, konklusinya adalah kita masih bisa banyak belajar dari falsafah2 jawa untuk diterapkan dalam kehidupan sehari2, tapi ada juga falsafah yang seharusnya ditinggalkan karena memang sudah nggak sesuai dengan perkembangan jaman....



-dipi-
 
Yup bnr bgt. Memang ada bbrp falsafah yg tdk sesuai ato dgn kt lain krg cocok diterapkan aplg di zaman ini, pengaruh hindu-budha (kasta) udh pasti menjd pengaruh utama adanya falsafah jawa. Msknya islam jg mempengaruhi perubahan makna falsafah itu. Menurut gw adanya perubhan itu mlh membuktikan klo sbnrnya budaya jawa itu bersifat flexible meski gak bnr2 meninggalkan akar budayanya sendiri. Makanya klo ada yg blg budaya jawa tuh kolot (statis) itu cm penilaian orang2 yg gak memahami budaya jawa. Dan yg bikin sebel klo bcr budaya tp dikaitkan dgn agama, capek meladeninya.
 
Megha, hampir semua falsafah sdh mengatur ttg tatakrama. Romo Frans malah membedakan sikap hidup (etika) menjd 2 norma kerukunan dan norma hormat. Yg udh mencakup didlmnya semua falsafah diatas. @nizhami, mknya gw blg nih falsafah udh terlupakan pdhal penting bgt krn merupakan bag dr adat dan budaya kita. Orang2 menganggap falsafah itu cm membw kemunduran dan bikin orang jawa terlihat bodoh dan mudah ditindas.

wahh saya tidak menganggapnya penting, sekaligus juga tidak membodohkan mereka. klo memang hanya adat sih gak masalah, karena saya pikir kebudayaan atau agama² lain juga mengajarkan hal² seperti ini, hanya beda bahasa saja.


Kalo aku bilang sih falsafah2 itu masih lestari dan dipraktekkan, hanya saja kita nggak sadar sudah mempraktekkannya...
Makna lestari itu terlalu abstrak untuk didefinisikan dengan jelas....

Aku sendiri melihatnya ada beberapa falsafah jawa yang sudah nggak cocok pada saat ini, bukan hanya karena perkembangan jaman tapi juga dengan perkembangan budaya jawa modern itu sendiri...

Falsafah jawa ini aku pelajari semenjak aku belum bersekolah, aku lebih tahu falsafah ini dibandingkan dengan filosofi dari China yang darahnya juga mengalir didalam tubuhku, aku lebih akrab dengan filsafat2 jawa dibandingkan dengan apa yang disebut falsafah Pancasila yang bisa dikatakan nggak pernah aku pelajari, aku juga lebih nyaman dengan falsafah jawa ini dibandingkan dengan falsafah2 marxis dan komunis yang hampir seluruh teman bermain dan bersekolahku menganutnya ... Tapi semakin lama aku bisa mengambil kesimpulan bahwa ada hal2 tertentu yang udah nggak cocok lagi dengan jaman ini, yang mau nggak mau namanya jaman itu pasti akan berkembang....

Falsafah2 ini secara historis berkembang pada masa Jawa dikuasai oleh Mataram and the gank, baik itu melalui serat2 semacam pepak boso jowo dan sapolo boso ataupun tutur tinular ...
Dalam sebuah diskusi sejarah dan budaya di UI aku pernah mengutarakan bahwa filsafat2 jawa itu tumbuh dan dimunculkan karena orang jawa masih setengah hati menerima suatu ajaran baru (baca: Islam & Kristen) yang masuk ke dalam budaya mereka, sehingga timbullah suatu 'self defense' kultural yang pada akhirnya memunculkan beberapa ajaran yang katanya bersumber dari jawa asli, padahal kalo aku melihat nggak ada itu ajaran jawa asli karena jauh sebelumnya jawa itu dipenuhi dengan budaya budha dan hindu...

Beberapa falsafah jawa masih ada yang sesuai dan bisa dipraktekkan hingga saat ini, tapi ada juga beberapa falsafah yang udah nggak sesuai lagi, ini biasanya yang mengatur mengenai hubungan bawahan dan junjungan...

Di jaman Mataram and the gank, falsafah2 ini bisa berjalan dengan sangat baik karena kondisi masyarakatnya terdiri dari kawula alit dan junjungan, rakyat jelata dan bangsawan, wong cilik dan priyayi dll...

Aku kasih contoh hal yang umum... Falsafah 'Mikul dhuwur mendem jero'...

'Mikul dhuwur' artinya memikul/menjunjung setinggi2nya.... Makna yang terkandung di dalamnya adalah hendaknya setiap anggota keluarga, suku, bangsa, atau jenis kumpulan manusia lainnya untuk menjunjung tinggi nama baik kelompok atau pimpinannya di muka umum. Hal ini bisa diartikan dengan mengekspos dan menghormati keunggulan kelompok/pemimpin di depan khalayak ramai....Ribuan contoh akan kita temukan tentang usaha suatu negara untuk menjunjung tinggi martabat rakyat atau pemimpinnya. Tentu masih ingat dengan gelar Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Pembangunan, Panglima Besar, dll...

Frasa 'mendem jero' kira-kira arti konotasinya memendam/mengubur sedalam2nya.... Memendam/menutupi segala keburukan, aib, dan kelemahan...dalam konotasi negatif bisa dimaknai menutupi kekurangan yang seharusnya diketahui orang, yang seharusnya transparan...

Nah itu adalah salah satu contoh yang udah nggak cocok di masa sekarang, di mana seorang pemimpin bukan lagi seorang yang mendapatkan wahyu gusti, dimana dia tidak bisa tercela dan dicela (baca: kritik)...

So, konklusinya adalah kita masih bisa banyak belajar dari falsafah2 jawa untuk diterapkan dalam kehidupan sehari2, tapi ada juga falsafah yang seharusnya ditinggalkan karena memang sudah nggak sesuai dengan perkembangan jaman....



-dipi-

di tempatku ada banyak orang dengan sekte kejawen, yang selalu saja bikin saya uring²an wkwkwkwk,,, bukan hanya falsafah²nya yang memang perlu di apgret tapi "kata mbah² saya dulu" itu lo,,,, semisal budaya hitung²an weton, atau larangan di bulan suro seperti sekarang dll,, yang bagiku klo budaya yang notabene adalah sebuah 'kebiasaan sosial' trus dibumbui dengan keyakinan meyakinkan tapi bertentangan dengan keyakinan yang saya yakini, maka hal sudah ndak masuk di kepala saya. :mad:) :mad:) :mad:) :mad:)

padahal kalo aku melihat nggak ada itu ajaran jawa asli karena jauh sebelumnya jawa itu dipenuhi dengan budaya budha dan hindu...

nice,,,, =b= =b= =b=
 
di tempatku ada banyak orang dengan sekte kejawen, yang selalu saja bikin saya uring²an wkwkwkwk,,, bukan hanya falsafah²nya yang memang perlu di apgret tapi "kata mbah² saya dulu" itu lo,,,, semisal budaya hitung²an weton, atau larangan di bulan suro seperti sekarang dll,, yang bagiku klo budaya yang notabene adalah sebuah 'kebiasaan sosial' trus dibumbui dengan keyakinan meyakinkan tapi bertentangan dengan keyakinan yang saya yakini, maka hal sudah ndak masuk di kepala saya. :mad:) :mad:) :mad:) :mad:)
Itu yang aku bilang bahwa orang Jawa jaman dulu masih setengah hati dalam menerima ajaran/budaya baru...
Bisa dikatakan sinkretisme yang terjadi itu cuma setengah hati dan secara sadar atau nggak sadar self-defense kultural itu muncul...

Kejawen itu mungkin salah satu contohnya...

Secara antropologis, kejawen itu sudah tentu berbau spiritual dan bisa digolongkan sebagai sebuah agama tertentu (bisa kita golongkan sebagai sebuah agama lokal), tapi para penganutnya nggak pernah mau mengakui bahwa kejawen itu adalah sebuah agama karena mereka lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai2 yang dibarengi dengan sejumlah tindakan2 layaknya ibadah (dalam bahasa jawanya disebut laku)...

Nah kejawen yang beragama Islam, Kejawen yang beragama Katolik, Kejawen yang beragama Kristen itulah yang aku maksud sebagai self-defense kultural... Mau melangkah ke depan tapi nggak mau meninggalkan yang dibelakang....

Memang nggak semua ajaran kejawen seperti itu, karena ada juga yang sangat reaktif terhadap agama, misalnya Kejawen Sabdopalon....



-dipi-
 
Itu yang aku bilang bahwa orang Jawa jaman dulu masih setengah hati dalam menerima ajaran/budaya baru...
Bisa dikatakan sinkretisme yang terjadi itu cuma setengah hati dan secara sadar atau nggak sadar self-defense kultural itu muncul...

Kejawen itu mungkin salah satu contohnya...

Secara antropologis, kejawen itu sudah tentu berbau spiritual dan bisa digolongkan sebagai sebuah agama tertentu (bisa kita golongkan sebagai sebuah agama lokal), tapi para penganutnya nggak pernah mau mengakui bahwa kejawen itu adalah sebuah agama karena mereka lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai2 yang dibarengi dengan sejumlah tindakan2 layaknya ibadah (dalam bahasa jawanya disebut laku)...

Nah kejawen yang beragama Islam, Kejawen yang beragama Katolik, Kejawen yang beragama Kristen itulah yang aku maksud sebagai self-defense kultural... Mau melangkah ke depan tapi nggak mau meninggalkan yang dibelakang....

Memang nggak semua ajaran kejawen seperti itu, karena ada juga yang sangat reaktif terhadap agama, misalnya Kejawen Sabdopalon....



-dipi-

dan saat ini yang menerapkan Islam-Jawa secara nasional mungkin si hijau N*, yang mungkin ini juga karena peran dari sebagian wali songo, terlebih Sunan Kalijaga sebagai proses akulturasi Islam dan 'kebiasaan lama', sehingga sekarang apa yang seharusnya 'hanya' sebuah budaya diyakini sebagai bentuk ibadah Islam.

btw, sebelum ada Hindu Budha, penduduk jawa ini bergama apa ya? animisme dinamisme? >:l
 
Ya, sebelum hindu budha masuk ke Jawa, kepercayaan yang dianut adalah animisme dan dinamisme...
Tepatnya pada masa meghalitikum atau zaman batu besar, di mana pada jaman ini banyak ditemukan benda2 yang digunakan untuk memuja arwah leluhur semacam menhir, dolmen ataupun punden berundak....



-dipi-
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top