Skandal Pertama Orde Baru - Pembunuhan Massal di Purwodadi

Dipi76

New member
princen.jpg


MAMIK tak tahan lagi memendam rahasia. Setiap malam mimpi buruk selalu datang menghampiri. Bayangan orang-orang menjerit kesakitan menjelang ajal membuatnya tak tenang. Sebagai seorang Katolik yang taat, Mamik memutuskan mengakui dosanya kepada pastor di Gereja Purwodadi, Romo Wignyosumarto. Dalam hitungan hari, kabar itu sampai ke telinga Poncke Princen, mantan tentara Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia dan bergiat sebagai pejuang hak azasi manusia.

Kisahnya berawal pada Februari 1969, ketika Poncke, Cees dan Henk pergi mengunjungi Purwodadi, Jawa Tengah. Ketiganya berhasil menemui Romo Wignyosumarto, pastor gereja Katolik Purwodadi yang menceritakan tentang pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI. Romo Wignyosumarto mendengar informasi itu dari Mamik, seorang anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan 50 orang lebih anggota dan simpatisan PKI.

Kepada Poncke, Romo Wignyo bercerita kalau Mamik mengalami trauma dan merasa berdosa karena turut membunuh 50 orang anggota dan simpatisan PKI. Terdorong rasa bersalah, Mamik memberikan pengakuan dosa. Kemungkinan, atas dasar kemanusiaan, Romo Wignyo ambil resiko melanggar etika membocorkan informasi itu kepada Poncke. Nasib malang menimpa Mamik. Pada 5 Maret 1969, sebulan setelah Poncke jumpa pers, tentara Kodim 0717/Purwodadi menangkap Mamik. Setelah itu tak diketahui lagi bagaimana riwayatnya.

Atas informasi Romo Wignyo, Princen, Cees dan Henk mengunjungi seluruh kamp tahanan yang ada di Grobogan. Di Kuwu, ia menemukan bukti kuat adanya pembunuhan terhadap sekitar 860 orang tahanan di sana. Poncke dan kedua kawannya mengumpulkan kesaksian dari penduduk sekitar yang mengetahui adanya pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI. Dalam otobiografinya Poncke mengatakan, “orang-orang yang ditangkap pada aksi pembersihan telah dibunuh dengan cara memukul kepala para korban dengan batangan besi. Ini dilakukan pada malam hari setelah kereta api ke Yogya lewat.”

Tapi mendadak hati Poncke bimbang. Dia harus memilih antara kawan atau rakyat Indonesia yang dicintainya. “Aku berada dalam pilihan sulit. Kalau berita itu sampai dimuat lebih dulu dalam koran Belanda, dan kemudian baru pers internasional, maka kami Komisi Hak-Hak Manusia, bisa dituduh tidak berbuat apa-apa dan tutup mulut karena takut,” kata Poncke dalam otobiografinya, Kemerdekaan Memilih. Komisi Hak-Hak Manusia yang dimaksud Poncke adalah Lembaga Hak-Hak Azasi Manusia, di mana dia duduk sebagai Wakil Ketua II.

Kebimbangan menerpanya karena dia berjanji kepada Cees van Caspel dan Henk Kolb, dua wartawan Belanda sahabatnya itu, untuk mengangkat kasus pembunuhan massal di Purwodadi sebagai berita ekslusif di De Haagsche Courant, koran tempat mereka bekerja. Namun sebelum berita turun di Belanda, Poncke putar haluan, memutuskan untuk membuka skandal terbesar di awal berdirinya rezim Orde Baru itu di hadapan wartawan nasional di Jakarta.

Pilihan untuk membuka insiden itu bukannya tanpa resiko. Dia sadar betul siapa yang dihadapinya. Tapi bagi pria yang bernama asli Johannes Cornelius Princen itu, pilihan hidup beresiko sudah dia tempuh sejak muda: memutuskan disersi dari dinas ketentaraan Belanda untuk bergabung dengan gerilyawan republikein; mendirikan Liga Demokrasi oposan Presiden Sukarno dan dipenjara karena aksinya itu. Maka ketika keluar dari penjara Orde Lama, dia kembali berdiri tegak menghadapi tiran baru sedang garang-garangnya menindas siapa pun yang menghalangi mereka.

Poncke nekat membeberkan temuannya di Purwodadi ke hadapan para wartawan di Jakarta pada Selasa, 26 Februari 1969. Gayung bersambut. Keesokan harinya, Rabu, 27 Februari 1969, Harian KAMI yang dikelola oleh Nono Anwar Makarim cum suis menurunkan berita pembunuhan itu di bawah judul: “Purwodadi Dalam Ketakutan”. Dalam keterangan persnya Poncke mengungkapkan bahwa Dandim 0717/ Purwodadi Letkol. Tedjo Suwarno berperan penting dalam peristiwa tersebut. Pernyataan Tedjo Suwarno,“lebih baik kalian (masyarakat) membersihkan (komunis) sendiri daripada saya yang membersihkannya,” diperkirakan menjadi pendorong utama terjadinya kekerasan di Purwodadi.

Kodim Purwodadi sendiri, atas perintah Kodam Diponegoro, menjalankan operasi penumpasan PKI melalui Operasi Kikis I (periode 4 Juli – Desember 1967) dan Kikis II (peiode 27 Juni – 7 Juli 1968). Dalam dua gelombang operasi itu, ribuan orang ditangkap dan disekap di beberapa kamp penahanan yang tersebar di wilayah kabupaten Grobogan.

Selang beberapa hari setelah tersiarnya kabar pembunuhan massal di Purwodadi, banyak petinggi Angkatan Darat waktu itu, seperti Panglima AD Jend. M. Panggaben dan Pangdam Diponegoro Mayjen. Surono berlomba-lomba menyatakan bantahannya. Bahkan Poncke dituduh sebagai agen komunis. Menghadapi tuduhan itu Poncke balas menyerang mengatakan bahwa tuduhan itu tak berdasar karena pada masa Sukarno, di saat PKI ada di atas angin, dia justru menjadi lawannya. “Saya bukan seorang sentimentalis naif,” begitu kata Poncke.

Cees dan Henk yang gagal membuat berita Purwodadi ekslusif akhirnya tetap mengangkat kasus itu di De Haagsche Courant. Hasil reportase Cees dan Henk ternyata membawa dampak yang cukup besar. Berita itu menyulut reaksi dan gelombang protes dari masyarakat internasional, khususnya di Belanda terhadap rezim Orde Baru.

Surat kabar Belanda Trouw edisi 19 April 1969 menyiarkan “surat terbuka” dari Comite Indonesie (Komite Indonesia) yang keberatan dengan niat jalinan kerjasama Belanda-Indonesia karena dengan demikian melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia. Di lain pihak pemimpin kelompok Indonesianis terkemuka, Dr. J.M. Pluvier menyatakan bahwa pemerintah Soeharto bertanggung jawab atas penangkapan terhadap orang-orang kiri dan diskriminasi terhadap golongan Cina.

Bola salju yang menggelinding sejak peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi terungkap semakin membesar. Dalam rangka lustrum Universitas Katolik Nijmegen, pada tanggal 17 April 1969 diselenggarakan sebuah ceramah dengan mengundang Menteri Keuangan RI, Drs. Frans Seda sebagai penceramah. Begitu Frans Seda naik ke pangung untuk mulai berceramah, Y. van Herte seorang mahasiswa menyela dan bertanya perihal peristiwa pembunuhan massal anggota PKI selama bulan Oktober 1965. Frans menyanggupi untuk menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan ceramah terlebih dahulu. Ternyata mereka menolak dan meminta pertanggungjawaban Frans atas pembunuhan massal di Indonesia. Akibatnya suasana menjadi kacau, bahkan Frans Seda diteriaki sebagai Moordenaar dan lafaard..!. Akhirnya ceramah dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan Aula Universitas lewat pintu belakang.

Prof. Dr. W.F. Wertheim, seorang Indonesianis yang juga menjadi salah satu anggota komite Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan Majalah Vrije Nederland juga menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah Belanda bagi pemerintah Soeharto. Dalam wawancara lain dengan sebuah stasiun TV di Belanda, Wertheim kembali menegaskan, “tidak ada kerjasama” dengan rezim yang membiarkan pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga 100.000 orang tahanan politik. Pemerintah Orde Baru yang dibuat berang oleh pernyataan Wertheim, kemudian melarangnya mengunjungi Indonesia.

Posisi pemerintah Orde Baru semakin terpojok dengan terungkapnya kasus pembunuhan massal di Grobogan. Kasus Purwodadi yang dibongkar oleh Poncke telah menorehkan aib bagi Orde Baru di awal kekuasaannya. Tidak tanggapnya rezim Soeharto terhadap kasus Grobogan menimbulkan reaksi keras di luar negeri. Prof. Dr. Ernest Utrecht, dalam sebuah diskusi di Universitas Nijmegen, Belanda, mengatakan bahwa “Repelita is onzin” (Repelita adalah omong kosong). Ia mengatakan bahwa bantuan kepada Indonesia adalah sama dengan imperialisme ekonomi yang membawa Indonesia memasuki Kapitalisme Barat. Kejatuhan Soekarno membawa angin segar bagi masuknya pemodal asing, karena Soeharto yang baru saja memegang kendali pemerintahan selama dua tahun telah mengambil serangkaian langkah-langkah untuk merealisasikan program perbaikan ekonomi dan memulihkan stabilitas politik dalam satu paket, dan stabilitas politik dijadikan prasyarat bagi landasan pembangunan ekonomi.

Bukan hanya pers Belanda, pers Thailand juga mengangkat kasus pembunuhan massal di Purwodadi sebagai berita, sehingga perhatian khalayak diarahkan ke Indonesia. Akibatnya Kedutaan Besar RI di Bangkok menjadi sasaran hujatan dan kritik pedas dari berbagai kalangan, baik dari pemerintah maupun organisasi sosial lainnya di Bangkok. Kasus Purwodadi nampaknya berdampak lebih jauh daripada yang diperkirakan. Soeharto yang merasa terganggu oleh peristiwa itu, akhirnya membatalkan kunjungannya ke sejumlah negara Eropa yang sejatinya akan dilakukan pada medio April 1969. Ia memutuskan baru akan mengunjungi Eropa termasuk Belanda tahun 1970.

Berbeda dengan publik di Belanda, reaksi pers Amerika terhadap pembunuhan massal terbesar sesudah Perang Dunia ke II itu dingin-dingin saja. Bahkan semenjak awal tersiar kabar penghancuran PKI di Indonesia, Majalah Time edisi 5 Juli 1966 menuliskan hal itu sebagai “berita terbaik bagi dunia Barat selama bertahun-tahun di Asia”.



Credit to Bonnie Triyana - Majalah Historia




-dipi-
 
Orde Baru Tutupi Skandal Purwodadi

Dua bulan menjadi kontroversi di media massa, kasus pembunuhan massal di Purwodadi lenyap begitu saja.


SEJAK diungkapnya kasus Purwodadi oleh Poncke Princen, muncul berbagai pendapat pro dan kontra. Menurut Poncke, jumlah korban pembantaian mencapai dua ribu orang yang tersebar di beberapa daerah di wilayah Grobogan. Bahkan menurutnya dalam satu malam pernah terjadi pembunuhan terhadap 850 orang sekaligus. Banyak pihak yang meragukan keterangan Poncke, namun tak sedikit pula yang berada di pihaknya.

Sebagian aktvis di luar negeri, khususnya di Belanda, mengutuk keras aksi kejahatan itu. Prof. Jan Pluvier, guru besar sejarah Asia Tenggara, kolega Wertheim dalam wawancara pada Maret 2007 lampau di kediamannya di Heideweg No 5, Soest, Belanda mengatakan keterlibatannya dalam gerakan menentang Orde Baru berangkat dari solidaritasnya kepada rakyat Indonesia yang ditindas oleh Suharto. “Saya mendengar berita tentang pembunuhan massal itu dan saya menentang Suharto yang menginjak-injak kemanusiaan,” kata dia.

Berbeda dengan Jan Pluvier, Wertheim dan para Indonesianis lain yang umumnya mengecam rezim Orde Baru, Presiden World Veteran Federation (WVF) W. Ch. J.M. van Lanschot justru memperlihatkan sikap mendukung Orde Baru. Ia datang ke Indonesia disertai dua orang redaktur majalah Elsevier, Martin W. Duyzings dan Drs. A. Hoogendijk. Dalam kunjungannya itu, mereka menemui Menteri Penerangan Budiardjo. Mereka sepakat bahwa tidak ada gunanya membesar-besarkan kasus Purwodadi.

Dunia Barat, pascapergolakan politik 1965 dan transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, semakin gencar mendekati Indonesia. Ekonomi yang porak-poranda akibat situasi politik dalam negeri yang tidak stabil selama tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno menjadi alasan utama bagi pemerintah Soeharto untuk mengundang investasi luar negeri ke Indonesia. Undang-undang Penanaman Modal Asing No. 1/1967 diberlakukan untuk melempangkan jalan masuk modal asing. Tim ekonomi yang dipimpin oleh Menko Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono IX gencar melakukan lobi ke luar negeri.

Sebuah iklan di koran The New York Times edisi 17 Januari 1969, sebulan sebelum terungkapnya peristiwa Purwodadi, berbunyi: “5 Years From Now You Could Be Sorry You Didn’t Read This Ad”. Iklan yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX tersebut mempromosikan Indonesia sebagai negeri yang terbuka terhadap investasi sekaligus menjamin investor Amerika Serikat untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “Untuk membuat investasi di negeri kami semakin bergairah, kami telah meloloskan sebuah undang-undang penanaman modal asing yang menawarkan beberapa insentif seperti pembebasan pajak perusahaan dan pajak atas deviden selama lima tahun,” demikian kata iklan itu. Salah satu perusahaan Amerika Serikat yang memanfaatkan Undang-Undang tersebut adalah Freeport yang beroperasi sejak 1967 di Papua.

Peristiwa Purwodadi menjadi batu sandungan pertama di kala pemerintah Soeharto berbenah, merias wajah Indonesia yang baru dan bebas dari komunisme. Berbagai cara dilakukan untuk meredam eskalasi berita pembantaian massal di Purwodadi. Tak lama setelah terungkapnya pembunuhan massal di Purwodadi, penguasa militer di Jawa Tengah bersikap reaktif dengan mengawasi setiap pendatang ke ibukota Kabupaten Grobogan itu. Setiap orang luar yang hendak memasuki kota harus mendapat izin dari tentara. Mengenai hal ini, Harian Sinar Harapan, edisi 9 Maret 1969 melaporkan: Ketika memasuki daerah itu para wartawan diwajibkan terlebih dahulu melapor ke Penerangan Kodam VII/ Diponegoro. Sesudah itu harus pula minta ijin pada Asisten I dan diberikan surat. Kemudian baru melaporkan diri pada Komandan Kodim setempat. Ketika para wartawan tersebut memasuki kota Purwodadi, kelihatannya masyarakat Purwodadi nampak suasana ketakutan.

Meningkatnya pengawasan membuat situasi kota Purwodadi makin mencekam. Masyarakat tak leluasa menjalankan aktivitasnya, lebih-lebih pada malam hari. Mereka khawatir dituduh tentara sebagai anggota Gerilya Politik (Gerpol) PKI atau “PKI Malam”.

Panglima Kodam (Pangdam) VII/Diponegoro Mayor Jenderal Surono membantah terjadinya pembantaian massal dalam kasus Purwodadi. Dia mengatakan berita tersebut tidak benar. Dia curiga kabar tersebut menjadi bagian perang urat syaraf yang dilancarkan oleh “PKI Malam”. Dia malah balik menuding bahwa semua tuduhan itu semata-mata ditujukan untuk mengganggu stabilitas keamanan yang sedang dibangun oleh pemerintah Orde Baru.

Sementara itu Gubernur Jawa Tengah Munadi langsung mengundang seluruh wartawan baik luar maupun dalam negeri untuk hadir dalam konferensi pers yang digelar pada 4 Maret 1969 di Restoran Geliga, Jakarta. Pada pertemuan itu, dia membantah temuan Princen, bahkan menuduh Princen sebagai komunis (Kompas, 5 Maret 1969 dan Indonesia Raya, 6 Maret 1969). Dalam keterangan persnya Munadi mengatakan,“yang dipersoalkan sekarang adalah tahun 1968. karena tahun 1965 tidak terkontrol. Saya minta supaya dibatasi pada tahun 1968 saja. Kalau orang itu ditembak berjejer itu tidak mungkin.Tapi kalau dalam operasi ada orang yang ditangkap, tapi kemudian coba-coba lari dan diberi peringatan tapi tidak mengindahkan, mungkin saja ditembak.” (Kompas, 5 Maret 1969).

Bantahan Munadi didukung oleh Frank Palmos dari Melbourne Herald dan Judy Williams dari New York Times yang mengatakan tidak ditemukan adanya tanda-tanda telah terjadi pembunuhan massal di daerah Kuwu-Purwodadi dan daerah sekitarnya. Munculnya berita yang memperkuat pernyataan Munadi, membuat Princen kian tersudut dan semakin santer diberitakan bahwa dia seorang komunis.

Merasa dirugikan oleh Munadi, Poncke menggugatnya ke Kejaksaan Agung dan mendaftarkan kasusnya sebagai pencemaran nama baik. Kepada wartawan Poncke mengatakan bahwa dia rela dituduh komunis, asalkan dapat membantu orang-orang tak berdosa. Akhirnya Poncke ditahan dan interogasi oleh Kopkamtib dengan tuduhan terlibat dalam gerakan komunis. Kepadanya ditanyakan tentang hubungannya dengan kaum komunis, baik di negeri Belanda maupun di Indonesia. Menjawab pertanyaan wartawan seusai interogasi, ia mengatakan, “Saya hanya mengkonstatir adanya suatu penyelewengan yang perlu ditindak. Hal ini segera saya telah sampaikan kepada Presiden Soeharto sekembalinya dari Jawa Tengah sebagai seorang patriot. Kami bukanlah seorang sentimentalis naif, tapi sebenarnya justru dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan bergelombang di Purwodadi telah lebih menguntungkan kaum komunis”. (Sinar Harapan, 7 Maret 1969)

Poncke juga mengatakan bahwa dia sangat jengkel pada orang-orang yang menuduhnya komunis. Mereka seolah lupa bahwa di “zaman Nasakom” mereka itulah yang justru paling getol bekerjasama dengan komunis. Tidak jelas siapa yang dimaksudkan Poncke dengan “orang-orang” yang menuduhnya sebagai komunis, mengingat hanya ada satu orang yang menyebut dirinya sebagai komunis, yakni Gubernur Jawa Tengah Munadi.

Sementara itu beberapa tokoh yang memiliki kedekatan secara pribadi dengan Poncke berusaha membelanya dengan menjelaskan siapa Poncke sebenarnya. Wartawan Belanda Henk Kolb meyakini bahwa pembunuhan massal di Purwodadi itu memang benar, dan dia yakin keterangan Poncke tidak memuat kepentingan apa pun selain demi kemanusiaan. Dia juga menjelaskan bahwa berita yang dimuat di korannya di Belanda bukanlah rekayasa. Selain Henk Kolb, Mayor Jenderal Kemal Idris, Panglima Komando Antar Daerah Indonesia Timur yang juga bekas atasan Princen, juga memberikan pembelaan dengan mengatakan bahwa Princen bukan komunis seperti yang dituduhkan Munadi (Indonesia Raya, 8 Maret 1969).

Panglima Angkatan Darat (Pangad) Jenderal M. Panggabean, seusai Rapat Komando Angkatan Darat pada 7 Maret 1969 mengatakan persoalan Purwodadi bisa diselesaikan “tanpa perlu rame-rame.” Dia juga menolak dengan tegas jika ada yang mengatakan kalau Angkatan Darat tukang bunuh orang. Jika memang ada jatuh korban, itu konsekuensi dari operasi militer yang sedang dilakukan oleh Kodam VII/Diponegoro (Sinar Harapan, 9 Maret 1969). Selanjutnya Panggabean menyatakan bahwa Kopkamtib sedang menyusun sebuah tim untuk menyelidiki kasus Purwodadi.

Sehubungan dengan rencana kunjungan Soeharto ke luar negeri pada medio 1969 dan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan selama kunjungannya maka dia meminta Menteri Penerangan Budiardjo meninjau langsung ke Purwodadi. Soeharto mulai terusik dengan adanya berita-berita pembunuhan massal itu. Seperti laporan sebelumnya, Budiardjo pun melaporkan tidak ada bukti pembunuhan massal di Purwodadi.

Di tengah kesimpang-siuran berita yang tak menentu, para wartawan mendesak agar diizinkan melihat langsung kondisi di Purwodadi. Desakan itu ditanggapi Pangdam VII/ Diponegoro, Mayjen. Surono dengan mengundang beberapa wartawan, baik dari luar maupun dalam negeri, “Silahkan menceknya sendiri” ujar Pangdam. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian, beberapa wartawan dari Jakarta dipaksa untuk pulang setelah sempat melakukan liputan.

Tidak seperti yang sering tersiar bahwa operasi pembasmian komunis dilancarkan kepada mereka yang tak bertuhan, di Purwodadi beberapa guru Katolik kena getahnya. Kalangan umat Katolik Jawa Tengah yang dipimpin oleh Brigjen. dr. Soerojo berupaya keras untuk menyelamatkan tujuh guru agama Katolik yang ditahan dalam penggerebekan di Pastoran Purwodadi, mereka adalah Drs. Ngaini Imam Marsudi, Siswadi, B.A, Sutiono, B.A, Harnold, B.A, Djaswadi, Sumarta, Sri Mulyono, Pardan, Imam Sutikno, Rusdiono, Bambang Dasdiun, Bakri, dan Limaran (tewas). Soerojo mengirim sebuah dokumen penting kepada Presiden Soeharto yang dititipkan melalui wartawan New York Times, Judy Williams. Namun tidak diketahui apa isi dokumen itu.

Pemerintah tak bertikad menuntaskan kasus pembunuhan Purwodadi yang dibongkar oleh Poncke. Yang terjadi sejak akhir Februari sampai dengan akhir Maret 1969 hanya berhenti sebagai kontroversi tanpa pernah diketahui mana yang benar. Terhitung sejak tanggal 1 April 1969 atau bertepatan dengan dimulainya Repelita I, koran-koran tak lagi menurunkan berita tentang pembunuhan massal PKI di Purwodadi, menandai ditutupnya kasus tersebut. “Seperti biasa, kasusnya hilang begitu saja,” kata Goenawan Mohamad, yang pernah menulis kasus Purwodadi ketika bekerja di harian KAMI.



Bonnie Triyana - Majalah Historia




-dipi-
 
Di Balik Berita Purwodadi


Kisah para wartawan meliput kasus Purwodadi.
Kucing-kucingan dengan tentara.​

MASKUN Iskandar, wartawan koran Indonesia Raya, masih ingat betul mimik wajah Usamah Said, wartawan Harian KAMI saat mengetik berita. Usamah, kata Maskun, “Terlihat sedang berpikir keras mencari istilah untuk suatu berita pembunuhan massal.” Maskun membatin pasti Usamah sedang menulis kasus besar. “Tetapi saya merasa tidak etis menanyakan berita apa,” kenang Maskun. Maskun dan Usamah sama-sama penghuni wisma Ikhwan yang menempati sebuah gedung bekas konsultan Republik Rakyat Tiongkok di jalan Jati Petamburan yang direbut oleh Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Dia kini jadi pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jakarta.

Pada 26 Februari 1969, Harian Kami menurunkan berita “Pembunuhan Bergelombang Dalam 3 Bulan di Purwodadi”. Maskun menduga berita itulah yang ditulis oleh Usamah. NamunGoenawan Mohamad punya cerita berbeda dari Maskun. Menurut wartawan senior yang pernah bekerja di Harian Kami itu tak ada nama Usamah Said dalam jajaran redaksi Harian Kami. “Kalau Zulharman Said memang ada. Tapi bukan dia yang menulis berita Purwodadi itu. Sayalah yang menulisnya,” kata Goenawan yang ditemui di Komunitas Salihara, Pejaten, beberapa waktu lalu.

Menurut Goenawan, pada Selasa, 25 Februari sore, Poncke datang sendirian ke redaksi Harian Kami di Jalan Kramat 8 No. 8. Goenawan, saat itu berusia 28 tahun, sedang berada di redaksi sore itu. Dia menerima Poncke yang memberi informasi adanya pembunuhan massal di Purwodadi. “Bikin petanya,” kata Goenawan Mohamad pada Poncke. Poncke pun membuat sket peta Purwodadi pada secarik kertas. “Saya minta Poncke untuk membuat peta Purwodadi karena saya sendiri tak tahu persis di mana letaknya,” kenang Goenawan.

Peta yang disketsa oleh Poncke itulah yang kemudian dimuat bersama berita “Pembunuhan Bergelombang Dalam 3 Bulan di Purwodadi” di Harian Kami edisi 26 Februari. Sebenarnya tak mudah bagi Poncke untuk memberikan informasi berharga itu kepada pers nasional. Apalagi dia telah berjanji kepada dua kawan Belandanya, untuk tak membocorkan terlebih dahulu berita ekslusif tersebut ke kalangan media di Jakarta. Sejak terbitnya berita di Harian Kami itu bola salju kasus Purwodadi mulai menggelinding dan kian membesar.

Maskun Iskandar pun mewawancarai Poncke Princen. Hasil wawancaranya itu menjadi bahan penulisan tajuk di Indonesia Raya. Ada tiga tajuk tentang kasus Purwodadi yang ditulis oleh Mochtar Lubis, mulai tanggal 5 sampai 7 Maret 1969. Mochtar mengkritik pemerintah yang tak mau terbuka dalam kasus pembunuhan massal di Purwodadi. “Tiada gunanya menyembunyikan hal-hal serupa ini ke bawah lemari kita karena dengan berbuat demikian persoalan-persoalannya tidak dapat diselesaikan dan diatasi dengan baik,” tulis Mochtar dalam tajuk 5 Maret 1969.

Pada tajuk 6 Maret, Mochtar juga mengecam pernyataan Pangdam Diponegoro Mayjen. Soerono yang membuat berita semakin simpang-siur dengan bantahan-bantahannya. Bahkan Mochtar tampak berang ketika ada tuduhan kalau Poncke seorang komunis. “Jangan Lemparkan Tuduhan Sembarangan,” demikian judul tajuknya tanggal 7 Maret 1969, menutup rangkaian tajuk tentang peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi.

Tak lama kemudian Maskun ditugaskan meliput ke Purwodadi. “Waktu itu Pak Atma yang memberi tugas liputan,” kata Maskun. Pak Atma yang dimaksudnya adalah Atmakusumah Astraatmadja, redaktur pelaksana koran Indonesia Raya, mantan ketua Dewan Pers periode 2000-2003 dan sampai kini masih aktif mengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta.

Maskun berangkat ke Purwodadi lewat Semarang. Di Semarang dia singgah untuk mencari narasumber, mengumpulkan keterangan awal mengenai situasi Purwodadi sekaligus meminta izin dari Kodam IV/Diponegoro. Setelah pemberitaan awal di Harian Kami, Kodam IV/Diponegoro memberlakukan pengawasan ketat bagi para wartawan. Saat melapor ke Kodam, Maskun bertemu Dominggus, wartawan harian Kompas yang juga ditugasi ke Purwodadi.

Setelah izin diperoleh, dengan menumpang kereta api mereka berdua menuju Purwodadi. Maskun mengenang perjalanan itu sebagai perjalanan yang menegangkan. Kereta api yang biasanya riuh-rendah oleh suara penumpang, tampak diwarnai keheningan. Wajah-wajah penumpang terlihat muram. Dalam artikelnya untuk buku Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, Maskun mencatat, “Saya merasa gamang dalam perjalanan ke Purwodadi. Kereta tersenggal-senggal merayapi rel sepanjang 62 km. Berdesah-desah ketika mendaki. Tiada teriakan pedagang asongan, tiada pengemis berkeliaran. Semua penumpang dicekam muram. Apalagi sewaktu gelap semakin pekat. Kami merasa seperti menghampiri maut.”

Maskun ingin tahu apa sebabnya, tapi dia tak berbahasa Jawa. “Waktu itu saya mau tanya kenapa mereka diam, tapi saya nggak bisa bahasa Jawa. Saya minta Dominggus bertanya, karena dia bisa bahasa Jawa,” katanya. Kepada Dominggus salah seorang penumpang mengaku kalau mereka khawatir terkena razia yang dilakukan Kodim 0717/Purwodadi. Setiap hari Kodim bersama dengan anggota Hanra (Pertahanan Rakyat) menyisir penumpang kereta api di stasiun. Cerita itu membuat Maskun dan Dominggus khawatir turut terjaring razia Kodim. Apalagi mereka berdua warga luar kota Purwodadi. Karena itulah Maskun bersepakat dengan Dominggus untuk turun di Stasiun Godong, perhentian pertama sebelum masuk ke Stasiun Purwodadi.

Perjalanan ke Purwodadi dilanjutkan dengan menumpang andong, langsung menuju pastoran Purwodadi. Menginap di sana. Keesokan harinya Maskun dan Dominggus jalan terpisah. “Dulu ada persaingan antar wartawan untuk mendapatkan berita-berita secara ekslusif,” kenang Maskun. Ketika meliput, Maskun diantar seorang sersan tentara. Sersan itu yang menemaninya mengunjungi empat kamp penahanan yang ada di Purwodadi. “Belakangan saya dengar kalau sersan itu mati ditembak entah oleh siapa. Saya merasa bersalah,” kata Maskun.

Maskun menemukan banyak kejanggalan di Purwodadi dan beberapa daerah di wilayah kabupaten Grobogan. Banyak perkampungan terlihat sepi, sebagian besar besar warga pria tak tampak. Maskun sempat bertanya kepada sekumpulan anak yang sedang bermain di halaman sebuah mesjid. Ketika salah satu anak ditanya kemana bapaknya, dia tampak menunduk, menahan nangis dan langsung berlari tanpa memberi jawaban.

Setelah kembali ke Jakarta, Maskun menulis laporan perjalanannya ke Purwodadi dalam tujuh serial yang dimuat bersambung selama seminggu penuh di koran Indonesia Raya, mulai tanggal 10 sampai 17 Maret 1969. Sementara itu Dominggus dari Kompas urung menurunkan hasil liputannya. “Mungkin karena kebijakan dari redaksi Kompas,” kata Maskun menduga. Dari beberapa arsip koran Kompas, memang ada pemberitaan kasus Purwodadi yang diperoleh dari keterangan resmi pemerintah dan Angkatan Darat dalam beberapa jumpa pers yang mereka selenggarakan.

Selain Maskun, wartawan lain yang turun liputan ke Purwodadi adalah Jopie Lasut dari Sinar Harapan dan Fikri Jufri dari Pedoman. Mereka nekat pergi ke Purwodadi tanpa izin Kodam Diponegoro. “Waktu itu kami menganggap omongan Pangdam Diponegoro di koran untuk membuktikan sendiri ke Purwodadi adalah izin,” kenang Jopie Lasut.

Sama seperti Maskun dan Dominggus, Jopie dan Fikri pun terhadang razia Kodim di Stasiun Purwodadi. Setengah bercanda Jopie memanas-manasi Fikri supaya loncat dari kereta sebelum tiba di stasiun. “Fik, berani gak luh loncat kayak aksi Al-Fatah?” kata Jopie. Al-Fatah yang dimaksud Jopie adalah front pembebasan Palestina pimpinan Yasser Arafat yang kala itu sedang gencar-gencarnya berjuang membebaskan Palestina.

Jopie dan Fikri berhasil lolos dari razia Kodim Purwodadi. Mereka berdua sempat liputan ke berbagai pelosok Kabupaten Grobogan, bahkan menyambangi lokasi kuburan massal yang di atasnya ditanami pohon pisang. Namun sial setelah beberapa hari berada di Purwodadi, mereka berdua tertangkap tangan oleh Kodim. “Ketika menumpang andong, dihadang mobil jeep tentara,” kenang Jopie. Mereka pun kemudian dipulangkan ke Jakarta.

Jopie menuliskan hasil liputannya secara berseri untuk Sinar Harapan mulai tanggal 14 sampai dengan 21 Maret 1969. “Gara-gara liputan itu saya dipanggil Jopie bersambung,” kata Jopie terkekeh. Sementara itu Fikri menulis untuk koran Pedoman dalam tiga serial artikel.

Berbeda dengan ketiga wartawan ibukota yang berhasil menuliskan liputannya di korannya masing-masing, Nono Anwar Makarim, wartawan harian KAMI yang juga pergi ke Purwodadi gagal melakukan liputan. Untuk menghindari pengawasan tentara, Nono menyamar jadi sais delman. Tapi penyamarannya terbongkar. “Saking bule, ya nyarunya gak efektiflah. Biasa, gelora anak muda beravontur,” kata Nono via pesan singkat. Dia pun dipulangkan paksa ke Jakarta. Nono menolak diwawancarai langsung.

Kasus Purwodadi tak pernah berakhir dengan jawaban pasti. Koran Sinar Harapan, setelah selama sepekan menyiarkan tulisan Jopie Lasut pun memutuskan untuk tunduk pada pemerintah dengan membatalkan terbitnya tulisan Jopie. Pada 22 Maret 1969, sebagai pengganti laporan dari Purwodadi, Sinar Harapan memuat pengumuman singkat: “Pemerintah berkesimpulan, keterangan Princen tentang “pembunuhan massal di Purwodadi” itu ada hubungannya dengan sisa-sisa PKI yang bermaksud mendiskreditkan Pemerintah. Dan kalau toh ada pembunuhan itu konsekuensi gerakan militer di daerah SOB (Darurat Perang)”.



Bonnie Triyana - Majalah Historia




-dipi-
 
Last edited:
Back
Top