Seks pra nikah

Aan

New member
Gereja tak henti-hentinya mengajarkan bahwa hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan adalah baik dan sakral, sepanjang keduanya terikat dalam perkawinan. Ajaran ini berdasarkan pada kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian, ?Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka? (Kej 1:27). Dalam ayat selanjutnya, Kitab Suci mencatat, ?Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: `Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu'? (Kej 1:28). Sebelum laki-laki dan perempuan itu hidup bersama sebagai suami isteri, dan sebelum mereka mengungkapkan cinta kasih suami isteri, pertama-tama mereka diberkati oleh Tuhan.


Hanya dalam perkawinan kita dapat memperoleh berkat Tuhan atas tindakan cinta kasih secara seksual, atau lebih tepat dikatakan sebagai cinta kasih suami isteri. Ungkapan cinta kasih secara fisik dalam perkawinan ini merupakan tanda sakral akan ikatan suami isteri dalam persekutuan hidup dan cinta kasih yang saling mereka bagi bersama dalam persatuan dengan Tuhan. Cinta kasih suami isteri ini memberi makna pada janji perkawinan yang secara sukarela mereka ikrarkan satu sama lain dan dengan demikian mencerminkan cinta kasih yang setia, permanen, eksklusif dan saling memberi diri seperti yang telah mereka ikrarkan satu dengan yang lainnya, dan dengan Tuhan.


Pemahaman ini dipertegas dengan tanggapan Yesus Sendiri atas pertanyaan kaum Farisi mengenai perceraian, ?Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia? (Mat 19:4-6). Melalui Sakramen Perkawinan, Tuhan memberkati pasangan yang dipersatukan dalam ikatan kudus ini dan dengan murah hati melimpahkan rahmat atas mereka sehingga mereka dapat memikul tanggung jawab perkawinan bersama dan saling setia selamanya.


Di samping itu, cinta kasih suami isteri yang mempersatukan mereka sebagai ?satu daging? memungkinkan mereka untuk ikut ambil bagian dalam karya kasih penciptaan Allah: seorang anak mungkin terlahir dari cinta kasih mereka. Lalu, lagi, Tuhan mencurahkan rahmat berlimpah ke atas mereka agar pasangan suami isteri ini dapat menunaikan tugas kewajiban sebagai ayah dan ibu. Sebab itu, sesuai rancangan Allah, cinta kasih secara seksual diperuntukkan hanya bagi mereka yang ada dalam ikatan perkawinan.


Pikirkanlah hal ini dari sudut pandang seorang anak yang mungkin dikandung sebagai hasil dari hubungan seksual. Seorang anak memiliki hak yang tak dapat diganggu gugat untuk hidup, sejak saat pembuahan hingga meninggal. Ia memiliki hak untuk dilahirkan. Ia berhak atas sepasang orangtua yang mengasihi, yang adalah suami isteri, yang telah mengikrarkan kasih setia mereka satu sama lain, dan yang memiliki sarana yang diperlukan untuk membesarkan seorang anak. Ia memiliki hak untuk dianggap sebagai karunia dari Tuhan, dan bukan sebagai suatu `kehamilan yang tak dikehendaki,? suatu ?kecelakaan,? atau suatu ?beban.? Pada pokoknya, seorang anak berhak atas keluarga yang terbaik - sebuah keluarga yang penuh kasih . Di sini, menggunakan akal sehat saja, kita dapat menyimpulkan bahwa hubungan seksual hanya diperuntukkan bagi mereka yang terikat dalam hidup perkawinan.


Melakukan hubungan seksual di luar hidup perkawinan adalah bertentangan dengan martabat setiap pribadi manusia dan martabat perkawinan. Bapa Suci Yohanes Paulus II, dalam ensikliknya Evangelium Vitae (= Injil Kehidupan), menyesali pudarnya rasa hormat terhadap cinta kasih suami isteri, ?Seksualitas pun dikosongi nilai pribadinya dan digunakan semau sendiri. Dari kenyataannya sebagai tanda, tempat dan bahasa cinta kasih, yakni penyerahan diri dan penerimaan orang lain, dengan segala kekayaannya sebagai pribadi, seksualitas makin menjadi kesempatan dan instrumen untuk menyatakan diri, dan untuk memuaskan keinginan-keinginan serta naluri-naluri pribadi, didorong oleh cinta diri.?


Dengan pemahaman di atas, tak heran jika Kitab Suci mengutuk keras baik percabulan - ?hubungan badan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak menikah satu dengan yang lain? (Katekismus Gereja Katolik, #2353) - maupun perzinahan - ?kalau dua orang, yang paling kurang seorang darinya telah kawin, mengadakan bersama hubungan seksual, walaupun hanya bersifat sementara? . Yesus mengatakan, ?Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang? (Mrk 7:21-23; Mat 15:19). St Paulus mengingatkan, ?Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? (1Kor 6:9-10). Dalam penghakiman terakhir seperti yang digambarkan dalam Kitab Wahyu, Tuhan mengatakan, ?Tetapi orang-orang penakut, orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan semua pendusta, mereka akan mendapat bagian mereka di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang; inilah kematian yang kedua? (Why 21:8). Kutukan yang keras dan tegas atas dosa-dosa percabulan dan perzinahan merupakan bukti yang jelas bahwa Tuhan menjunjung tinggi kesakralan cinta kasih suami isteri.


Sungguh menyedihkan, di abad sekarang ini, kita melihat ungkapan cinta kasih suami isteri dilecehkan. Ungkapan cinta kasih suami isteri seringkali digambarkan sebagai suatu tindakan egois tanpa adanya unsur-unsur kesetiaan, eksklusif ataupun permanen. Cinta kasih suami isteri dimerosotkan menjadi sekedar kenikmatan sesaat belaka tanpa rasa tanggung jawab satu sama lain maupun tanpa memikirkan kemungkinan hadirnya seorang anak. Pasangan dengan acuh melupakan bahwa tindakan tersebut dapat membuahkan seorang anak dan bahwa mereka dapat menjadi ?Papa dan Mama?. Lalu, apa yang terjadi kemudian? Apakah anak yang dikandung akan diaborsi? Apakah anak akan dibesarkan oleh satu orangtua saja, atau oleh kakek nenek, atau oleh kedua orangtua yang ?terpaksa? menikah?


Kita melihat tragedi yang terjadi apabila kita menyimpang dari rencara Allah. Banyak orang beranggapan dirinya telah jatuh cinta kepada seseorang, memberikan diri sepenuhnya kepada orang itu dalam suatu ungkapan cinta kasih manusiawi yang paling intim, lalu kemudian ditinggalkan seorang sendiri. Banyak orang mendengar kata-kata ini, ?Aku mencintaimu,? tetapi yang dicintai sesungguhnya hanyalah tubuhnya semata, bukan pribadinya; sekedar kenikmatan, bukan suatu komitmen akan persatuan hidup dan cinta kasih. Banyak orang berbicara tentang ?bercinta,? tanpa menyadari bahwa Tuhan Sendirilah cinta, kita hanya dapat mencintai dalam cinta-Nya sesuai dengan rancangan-Nya (1Yoh 4:16). Ya, sorot mata banyak orang sekarang ini memancarkan kehampaan batin yang timbul akibat orang lebih suka mengumbar diri pada kenikmatan sesaat, daripada hidup murni atas dasar perkawinan dan keluarga.


Gereja tak kunjung henti memanggil umatnya untuk hidup murni. Kemurnian memampukan kita untuk menghormati martabat seksualitas manusiawi kita dan menghormati kekudusan cinta kasih perkawinan. Dalam kemurnian, orang berjuang untuk menguasai perasaan dan hasrat, menghargai kesucian cinta kasih suami isteri, dan berani bertanggung jawab atas perbuatannya. Lebih jauh, keutamaan kemurnian mendatangkan kebebasan besar kepada manusia: bebas dari perbudakan nafsu; bebas dari tertular penyakit kelamin, yang begitu mudah menjangkiti orang pada abad ini karena hubungan seksual yang liar; bebas dari reputasi buruk dan dikenal sebagai ?nakal?, ?pelacur? atau ?sundal?; bebas dari kenangan-kenangan menyakitkan atau rasa sesal atas hubungan-hubungan di masa lalu; bebas dari dosa berat dan hukuman abadi.


Gereja menantang kita untuk hidup sebagai anak-anak Allah yang bebas. Memang benar, pencobaan-pencobaan dunia ini sungguh besar. Tetapi, dengan rahmat Tuhan, kita dapat hidup secara bebas seperti di atas, dengan menghormati kesakralan cinta kasih perkawinan.
 
Back
Top