Koruptor Pertamina Seret Lima Nama

Kalina

Moderator
Pengacara Tabrani Klaim Soeharto Setujui Proyek Exor
JAKARTA - Terpidana kasus korupsi proyek Export Oriented (Exor) I Pertamina di Balongan, Tabrani Ismail, menyeret keterlibatan lima nama lain dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 1,72 triliun itu. Salah satu di antara lima nama itu Erry Putra Odang, rekanan Pertamina dari PT Foster Wheeler Indonesia.

Sayang, Jaksa Abdul Rahman Saleh maupun Plt JAM Pidsus Hendarman Supandji menolak menyebutkan nama-nama yang lain. "Itu semua akan dibuka lagi," kata Arman -panggilan Abdul Rahman Saleh- di gedung Kejagung akhir pekan lalu.

Sebelumnya, Hendarman mengakui keterlibatan Erry Putra Odang. Erry sebelumnya tercatat sebagai tersangka. Namun, entah mengapa, kejaksaan tak melanjutkan penyidikan keponakan almarhum istri mantan Presiden Soeharto Ny Tien Soeharto itu.

"Seberapa jauh, apakah dia (keterlibatan Erry, Red) terkait sebagai pembantu atau apa, kan harus dirumuskan lagi (perkaranya)," jelas Hendarman. Tim penyidik yang diketuai jaksa Gianto sudah memanggil beberapa nama. Tetapi, hasilnya belum bias disampaikan secara lengkap.

Selain nama Erry, kasus Exor diduga melibatkan Ginandjar Kartasamita. John Waliry, pengacara Tabrani, memang tidak menyebut langsung nama Ginandjar. Namun, dia menegaskan, kliennya tidak bersalah, mengingat Tabrani bukan yang menyetujui proyek senilai USD 1,6 miliar tersebut.

"Yang menyetujui pelaksanaan adalah DKP (Dewan Komisaris Pertamina). Dan, yang mengetuai DKP adalah Ginandjar Kartasasmita, yang kala itu menjadi Mentamben," katanya. DKP kala itu beranggota Menkeu J.B. Sumarlin selaku wakil ketua, Menristek B.J. Habibie, Menko Ekuin Radius Prawiro, dan Gubernur BI Sudradjat Djiwandono.

John menambahkan, proyek Exor kala itu disetujui Presiden Soeharto melalui surat yang dikirimkan kepada kliennya selaku tim negosiator dari Pertamina dalam proyek tersebut.

Dari catatan koran ini, selain para pejabat, proyek Exor melibatkan Erry Putra Odang dan Sigit Soeharto. Dua nama terakhir merupakan kroni Soeharto. Mereka menjadi rekanan Pertamina melalui PT Foster Wheeler Indonesia.

Dalam wawancara khusus dengan sebuah media, Tabrani menegaskan, dalam proyek Exor, ada local agent yang diuntungkan. Local agent tersebut adalah Erry dan Sigit Soeharto. "Tapi, saya tidak tahu berapa persen mereka dibayar (dengan keuangan negara)," jelas Tabrani.

Dari versi kejaksaan, kasus Exor berawal dari owner estimate proyek Exor yang dibuat Tabrani. Nilai proyek tersebut USD 1,6 miliar. Nilai itu dipertahankan Tabrani saat konsorsium memberikan penawaran terakhir pada 26 Juli 1989. Penawar terakhir adalah konsorsium yang diajukan Prof Kho Kian Hoo sebesar USD 1,82-1,83 miliar.

Pada 1 September 1989, Tabrani bernegosiasi dengan konsorsium tersebut. Dia lantas menyetujui penawaran USD 1,82 miliar. Padahal, berdasar kajian estimasi Tabrani sebelumnya, nilai proyek itu USD 1,62 miliar.

Pada 23 April 1990, di luar kewenangannya, Tabrani menandatangani engineering procurement construction (EPC) Agreement dengan nilai kontrak USD 1,81 miliar. Dengan demikian, ada selisih harga USD 189,5 juta yang merupakan kerugian negara.

Sementara itu, saat ditanya kapan Ginandjar dipanggil dan diperiksa, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh tak menjawab. Saat didesak lagi, apakah kejaksaan "takut" memeriksa Ginandjar, raut wajah Arman berubah agak tegang. "Enak saja! Jangan mengarang. Ini bukan soal (dapat) disentuh atau tidak, semua ada aturan mainnya," katanya.

Dari catatan koran ini, proses hukum Ginandjar terkait kasus Balongan bisa dibilang tersendat. Ginandjar hanya diperiksa sebagai saksi. Pemeriksaan itu juga terkendala statusnya sebagai purnawirawan TNI yang mengharuskan pembentukan tim penyidik koneksitas untuk memeriksanya. Sayang, dalam perkembangannya, tim penyidik koneksitas tidak kunjung melanjutkan pemeriksaan.
 
Back
Top