Lily - I don't even know a milimeter of Romeo and Cinderella

YUmee_miru

Well-known member
Hallo semuanya, Apa kabar?
Kali ini Daina akan menyajikan sebuah cerita yang alurnya nggak jelas sama sekali,
Tapi ini karyaku yang paling membekas di hati ini,
Ini adalah kisah nyata seorang laki-laki yang mencintai wanita yang mungkin bagi sebagian orang tidak pantas untuknya,
Kisah yang bodoh, Cinta yang bodoh,
Sampai sekarangpun masih bodoh, ^^;

Andai kalian bisa membayangkan bagaimana kalau seandainya menjadi tokoh dalam cerita kali ini, Aku akan sangat senang, :)(
Tapi mohon maaf, Aku kurang pandai dalam hal Fiksi yang Romance melulu,
Makanya mungkin agak kaku, =x=

Ini langsung tamat ngomong ngomong, =w="

Judulnya kuambil dari spin off lagu vocaloid "Romeo and cinderella".
Yang dicover oleh otouto no ane.
Lagunya bagus dan pas sekali dengan kisah kali ini.

Baiklah semuanya,
Kupersembahkan,

"Lily - I don't even know a milimeter of Romeo and Cinderella".





-Daina amarea winata-
 
Prologue




‎"Aku mencintaimu karena aku mencintaimu, Tidak perlu alasan lain..."
Adalah kutipan dari Novel Indonesia kesukaanku.

Aku berpikir,
Ini tidak seperti aku bersedih sampai sekarang,
Memang aku tidak suka sendirian,
Aku tidak suka kesepian,
Aku ingin dibutuhkan oleh seseorang tanpa menuntut aku harus memberikan ini dan itu, Seperti menjadi sempurna atau semacamnya,

Tapi alasan aku menginginkan "Orang ini".
Bukanlah hal-hal semacam itu.

Kenapa kamu mempersulit dirimu sendiri dengan cinta yang sama sulitnya ?
Kamu benar benar cari masalah,,,

Tapi, Tapi, Tapi,
Ya, Mereka tidak mengerti, Bahkan dia pun tidak mengerti,
Ini bukan seperti aku tidak mau sendirian atau Kesepian, Ini bukan begitu,

Salah.

When you thinking about person you really love.
You don't need any reason,
 
-01- Everything has it's limits

--


Aku terduduk diam disebelahnya yang tertidur pulas,
Menyelimuti tubuh indah itu dengan sehelai bed cover tebal, Ia menggeliat karena kehangatan yang tiba tiba saja membungkusnya.
Lengan mungilnya menarikku meminta untuk dipeluk.
Aku seperti kacung bayaran yang menuruti saja semua kehendaknya, Rasa sakit dan rasa bahagiaku sama besarnya.

Aku kira akan semudah itu meninggalkannya, Kukira akan sangat mudah, Tidak kusangka aku akan datang sendiri, Menyerahkan diri ini kepada penyihir cantik yang telah memakan jantungku dan membuatku tidak bisa lagi melepaskan diri darinya.

Aku tidak menyangka, Bahwa ketika ia memutuskan untuk meninggalkanku tanpa memberikanku pilihan kecuali menerima saja semua keputusannya,
Aku akan semudah ini menyerah tanpa perlawanan.

“Kita berpisah, Atau kau biarkan saja segalanya mengalir, Baik Aku maupun tunanganku,, Kehilanganmu akan sangat sakit, Tetapi kehilangan lelaki itu akan lebih menyakitkanku karena aku akan kehilangan keluargaku juga, Aku tidak bisa hidup tanpa mereka…”

Percuma saja, Kami sudah menyebrangi batas ini,
Tidak ada jalan kembali, Tidak akan pernah ada jalan kembali.
 
Kapan aku bertemu dengannya untuk pertama kali ? Aku lupa kapan tanggal tepatnya.

“Kamu sudah menyelesaikan game itu ?”

“Yah, Aku sudah,” Oke, Jawaban super singkat dan harus kuakui aku sedikit enggan. “Pacarku memintaku menyelesaikan ini untuknya, Apa aku punya pilihan ?”

Dia terlihat mengangguk angguk ringan.

“Keren,” Ia tersenyum, Melirik laptopku lebih lama. “Pacarku selalu menolak jika kuajak main game bersama,”

Ah, Ya, Pecundang lainnya ?

“Hobi yang bertolak belakang,” Komentarku singkat.
“Ah Dia juga suka game,” Ralatnya, “Hanya, Dia tidak suka Otome-game, Hahaha…”

Kupandangi ketika ia tersenyum,
Gadis ini memiliki susunan rahang yang lebar tetapi bibirnya mungil.
Alis nya yang lebat tampak sesuai untuk mata nya yang besar.
Kecantikan yang sederhana.

Tapi tetap saja aku tidak suka wanita sok akrab yang berdekatan denganku dan tiba tiba curhat.

‘Kamu selalu enak diajak curhat’. Aku teringat kalimat karib lamaku.

Kudengarkan ia mengoceh tentang game beberapa lama,
Sambil berkonsentrasi pada laptopku.
Lagipula tidak mungkin kan duduk diam saja tanpa bicara dengan orang yang duduk semeja dan minum kopi di sebelahmu, Terutama jika ia yang membuka percakapan.

Ah, Dan aku mengucapkan sampai jumpa,
Aku bosan.
Kutinggalkan kerumunan tempat nongkrong ku, Angkat kaki.
Aku akan melupakannya, Gadis biasa, Pikirku,
Seperti banyak gadis yang singgah dalam hidupku.

Semua sesederhana itu.
 
Ia memanggil namaku, Bukan, Bukan namaku sebenarnya,
Melainkan panggilan yang merupakan lelucon yang diberikan teman-teman untuk memanggilku.
Semua di kota kecil ini menyebutku itu,
Tahulah, Hal-hal kecil gampang menyebar, Kekuatan gosip ?

“Apa aku tidak apa memanggilmu begitu ?”

Ha ?
Aku menaikkan alis tanda tidak mengerti, Aku nyaris tidak mengenalinya lagi,
Gadis yang kemarin atau bukan ?
Dia sekarang terlihat lebih bersih, Maksudku, Yang kutemui kemarin,
Agak kucel.

Aku mentertawakan diriku sendiri.
Masalahku banyak. Aku datang kemari bukan tanpa sebab.
Aku benar benar… Butuh seseorang untuk kuajak bicara. Dan dialah saat ini yang ada disampingku.
Aku memilihnya secara Random.
Iseng, Mengajaknya bicara. Dan dia sepertinya tahu tentangku lebih banyak daripada yang aku sangka.

“Memangnya kenapa ?”

“Karena Juki bilang… Harus memanggilmu kakak, ” Bisiknya pelan, Mendekat ke telingaku. “Katanya harus sopan padamu.”
Juki adalah teman ngobrolku yang biasanya ada disini menemaniku,
Dia masih belasan, Aku rindu membayangkan dia memetik gitarnya. Sambil menyanyikan lagu lagu patah hati,
Rindu caranya membetulkan topi dan bau tembakau ditubuhnya yang tidak sepantasnya melekat pada anak semuda itu,
Juki tidak merokok, Dia hanya kebanyakan bergaul dengan perokok,
‘Tuntutan pergaulan’ Jawabnya tanpa beban, Seakan tidak merasakan stress sama sekali.
Kuakui, Dia memang orangnya supel.

Tapi sekarang dia kelihatan begitu sibuk dengan urusan entah apa,
Karena sudah sejak beberapa hari lalu, Aku tidak melihatnya ataupun jambulnya yang mirip seperti burung itu.
Aku tidak bisa memaksanya untuk menemaniku sementara ia memiliki banyak urusan lain, Bukan ?

Seperti aku peduli. Erangku dalam hati.
Bahkan orang yang mengatakan hal itu pun terkadang keceplosan memanggilku dengan nama kecil yang memalukan itu.
Namaku keren. Aku bangga dengan itu. Mereka membuatnya seperti lawakan.

“Aku tidak masalah dipanggil apa saja.” Tawaku hambar. “Aku benar-benar merasa buruk saat ini…”

Ia menatapku dalam-dalam.
“Kamu kenapa? ”

Aku melihat sekeliling, Mengalihkan perhatian dari keramaian menjemukan di sekitarku.
Untuk apa sih aku datang ketempat seperti ini sendirian ?
Hanya ada satu alasan kan ?
Aku ingin ditemani.
Saat ini, Siapapun orangnya boleh, Bapak tua tanpa nama, Gelandangan dengan satu tangan, Atau tante genit dengan bau parfum menguar,
Siapapun orangnya tidak masalah.
Asalkan dia mau mendengarkanku. Apalagi gadis sederhana dengan senyum lembut dan mata bulat ini. Aku cukup beruntung.

Perlahan aku menggeser tubuhku mendekatinya.
Mulai membisikinya semua kesedihan yang kurasakan...
 
Lily tersenyum lembut sekali padaku, Sekali lagi, Aku merasa teduh.
Kami selalu seperti ini, Aku, Datang mencarinya setiap malam,
Hanya untuk mencari keteduhan dari kata-katanya yang semanis madu.
Oasis yang memabukkanku.

“Selamat malam, Tuan puteri.”

Kata kata yang kuucapkan setiap mengakhiri malam kami berdua.
Ia melingkarkan tangan dengan manja ke leherku.

“Selamat malam, Pangeran! ”

Aku benar-benar memanfaatkan gadis ini, Tempat sampah segala keluhanku, Sebagai perisai bagi orang lain yang mendekatiku.
Tameng sempurnaku dihadapan dunia yang serba ingin tahu ini.
Jika aku bersama seseorang, Aku aman.

Lily, Bunga yang mekar dengan indahnya, Sesuatu yang tulus, Memikat.
Bunga yang diam-diam mulai menarik perhatianku.

“Beritahu aku, Apakah kamu gadis yang sama, Dengan yang tiba-tiba menghampiriku, Bertanya tentang Game yang sedang kumainkan dilaptopku saat itu?”

Lily memasang tampang agak merajuk yang dibuat-buat, Bibir mungilnya tertarik keatas,
Ekspresinya lucu sekali.
“Jahat sekali, Kamu melupakan aku…”

Aku tersenyum kecut.
Yah, Maafkan aku ? Aku bertemu banyak sekali orang hari itu…
Aku…

“Aku lupa.” Tetapi hanya kata itu yang terucap.

Lily tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, Tapi dengan cepat ia mengusai dirinya,
Dia memukauku dengan segala kerapuhan dan kekuatan yang ia miliki.
Ia mengulurkan tangannya yang seperti akan patah saking gemulainya, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi mataku,

Aku sudah tahu,
Segalanya akan dimulai ketika aku berlangganan mencurahkan isi hatiku,
Aku yang sangat ingin membalas budi.
Aku tidak suka tergantung ataupun berhutang budi pada orang lain, Sejak kecil,
Jika ada yang memberikanku sesuatu, Aku bertekad akan membalasnya dengan yang lebih baik,
Itulah aku,
Maka dengan minat yang hanya setengah-setengah,
Kuteguhkan hati mendengarkan setiap kata katanya, Sama seperti ia selalu mendengarkanku.

Wajah tanpa dosa itu menatapku,
Tidak ada sedikitpun keraguan akan segala kepura puraanku.
Tidak menyadari topeng busuk yang kusembunyikan,
Topeng atas nama keterpaksaan.

Ia membuka bibir mungilnya yang merekah berwarna oranye muda,
Lily berbisik. “Setiap manusia memiliki kisahnya masing masing, Menurutmu, Bagaimana kisahku ?”

“Aku bukan peramal, Aku takkan tahu sebelum kamu menceritakan padaku kan?”

Kututupi kegugupanku dengan sempurna,
Aku tidak pernah, Selama ini, Sampai hari ini, Begitu tidak berdaya menebak apa yang saat ini ada di dalam benaknya,

Lily menatapku manja, Mendekatkan wajahnya, Suaranya merdu menggoda,
Aku dapat mencium bau harum mint yang manis dari nafasnya dalam jarak sedekat ini.
Ketika Ia mulai bercerita kepadaku,
Aku seakan memasuki dunia yang lain,
Menangis dan tertawa disaat bersamaan. Kuat dan lemah. Menderita dan bahagia.

“Aku pernah jatuh cinta pada seorang wanita, Tapi dia tidak sadar akan perasaanku, Dia menikah dengan laki laki lain.”

Darahku tersirap kaget.
Tunggu. Bukankah dia gadis semanis ini ?
Dengan cueknya Lily Menyandarkan kepala ke bahuku.

“Sampai hari ini, Ketika aku melihatnya, Halaman Facebooknya, Aku kadang kangen… Tapi ya mau bagaimana lagi?”

“Dirumahku, Kadang aku merasa dimanfaatkan, Hanya aku yang bekerja keras, Tapi aku tidak mendapat perhatian mereka sedikitpun.
Seakan hanya adikku yang berharga…”

“Rumah selalu membuatku senang untuk lari”

“Kenapa aku disini ? Hobiku.”

“Aku membuat gambar, Kamu mau melihatnya?”

Dan cerita lainnya.
Aku merasakan keganjilan yang mengusik rasa penasaranku,
Kenapa ia begitu sabar?
Tidakkah ia ingin berteriak ? Menangis ? Atau mungkin… Mungkin…
Menyesali setiap hal menyebalkan yang terjadi di dalam kehidupannya ?
Seperti mereka yang selama ini hidupnya kuamati,
Menggerutu dan mengeluh ketika pada suatu hari ada hal yang tidak berjalan sesuai keinginan…

Membuatku terhanyut. Sehingga minat yang awalnya hanya separuh, Semakin lama, Semakin besar,
Aku seperti anak kecil penggemar buku cerita bergambar,
Semua karena Lily, Sudut pandangnya yang unik,
Caranya melihat kehidupan yang berbeda, Dimana keluhannya menjadi satu dengan semangat hidupnya,
Juga tentang Ia yang kuat karena kelemahannya,
Sampai pada kata-kata nya yang akan kukenang seumur hidupku.

“Mau lari dari dunia ini, Bersama-sama?”
 
“Jika aku memintamu menjadi Pangeranku, Apa jawabmu?”

Tidak,
Jawabku dalam hati,

“Aku punya seseorang, Kau tahu?”

Lily terdiam, Menundukkan kepalanya, Nyaris layu.
Oh, Tidak, Nona muda,
Jangan membuat ekspresi kecewa seperti itu.

“Aku menghargaimu…” Aku membuang muka. “Kamu bukan tipe wanita yang pantas diduakan.”

Tidak, Aku membesarkan hati,
Jangan,
Jangan katakan itu. Kumohon,

“Tapi, Kalau kau tidak apa dengan itu…” Tapi aku tidak bisa mengendalikan laju kata kataku,
Berbisik nyaris tak terdengar.

Ini. Membuatku bimbang. Lily memiliki pesona aneh yang membius.
Anehnya, Aku tidak bisa menolaknya.
Atau lebih tepatnya, Menolak kesenangan yang ditawarkan olehnya.
Menukarnya dengan kesempatan yang kumiliki.

Aku menolaknya, Tapi aku tetap mencarinya,
Segala hal memiliki batas bukan? So do i…
 
-02- Miracle Girl's

--


“Jadi,” Sahabatku, Anna, Menggertakkan buku-buku jarinya diatas meja. “Pacar baru lagi? Cari masalah.”

Aku tertawa datar.
Kapan sih aku bisa hidup normal.

Tidak, Anna…
Gadisku saat ini berbeda.

Aku hendak membantah. Ucapanku terhenti ditengah jalan.

“Apa?” Tanya Anna seakan menebak jalan pikiranku. “Siapa yang meminta menjadi pacar terlebih dahulu?”

“Dia.” Aku menyerah.

“Nice!” “Kenapa hanya cewek agresif ya, Yang mau dekat denganmu?”

Aku agak tersinggung.

“Kamu belum kenal dia.” Cemberutku masam.

“Oh ! Aku memang belum kenal wanita yang bisa jatuh cinta padamu.”
Anna sahabat baikku yang Sarkatis, Dia tidak pernah menyukai gadis yang dekat denganku,
Tidak satupun.
Walaupun begitu, Aku sangat ingin mempertemukannya dengan Lily.
 
Dan beberapa minggu kemudian segalanya terjadi sesuai dugaanku,
Anna langsung menyukai Lily sejak percakapan pertama mereka dibuka.
 
“Apa cita cita terbesarmu?” Tanya Lily padaku.

“Hidup santai…”

Ia terus memberiku pertanyaan pertanyaan sepele.
Seperti misalnya hari ulang tahunku, Warna kesukaanku, Makanan yang kusukai, Ia sangat tertarik mengetahui caraku hidup sehari hari yang bahkan akupun tidak tahu bagian mana dari hal hal sepele itu yang menarik perhatiannya.
Tapi aku menikmati ini…

Sesi tanya jawab berlanjut kearah yang lebih pribadi.
Suara hujan mengasah setiap denyut jantungku.
Lily memeluk punggungku lembut.

“Menurutmu, Aku terlihat seperti orang yang sudah punya pacar belum?”
Aku diam saja menatap hujan, Membiarkannya mengayun punggungku, Rasanya lucu.
Mirip anak kecil minta ditimang.

Ia menggoyangkan lebih keras.

“Sudah.” Jawabku. “Tapi kutebak, Laki-laki itu tidak becus sehingga kamu membutuhkan yang lain untuk memuaskanmu?” Berpaling kearahnya, Aku balas bertanya dengan nada menggoda.

“Ya.” Lily tersenyum. “Kadang dia kelewat cuek…”

Aku terdiam,
Berbagai macam perasaan memasuki dalam benakku.
Baru sekarang posisiku menjadi selingkuhan seseorang.
Ingin tertawa, Tapi juga ingin marah, Hanya aku sendiri belum yakin, Harus marah karena apa ?
Ini juga hanya permainan bukan? Aku ingin mengusir rasa bosanku kan?
Aku juga, Memiliki seseorang yang lain disisiku. Seseorang dengan posisi yang sama.

Tapi rasa penasaran mengusikku.
Ingin mencari tahu apa arti kekesalan ini.

“Apa kamu pernah bercinta dengan seseorang?” Tanya Lily lagi padaku,

Kejutan yang lain. Ahahahah.

“Pernah.”

Bola mata Lily berkilat penasaran mendengar jawabanku.

“Ceritakan padaku,” Pintanya manja.
 
-03- Decision

--


“Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu…”

Aku menghentikan ciumanku, Membiarkan Lily mengisi paru-parunya dengan udara.
Melepaskan tubuh yang tadinya berada dibawah tindihanku.
Memikirkan apa yang semestinya kukatakan.
Bukan aku tidak pernah berbohong,
Hanya, Berdusta padanya. Sungguh tidak kukira sesulit ini.
Alasan, Penghindaran, Kebohongan.
Apapun itu. Tidak semudah yang kupikir…

“Kau sudah tahu begitu banyak tentang aku.”

Nah. Sorot matanya meminta, Tapi Aku tidak tahu apa yang dia inginkan dariku.

Telepon genggamku berbunyi.
Lita.
 
itu cowok namanya siapa sih? sok ganteng deh tuh orang :))

#ups kebawa emosi di cerita :p

@Non egha

Ganteng emang orang na :mad:)
Hihihihihi, Dai aja kalo nggak ada Tasuku maybe bakal naksir

*Dilempar ke genteng*

Namanya siapa ya,,, :D

*Garuk garuk kepala*
 
Ah… Ketiga kalinya hari ini.
Cukup, Aku muak.

“Kakak… Tolong aku…”

“Cukup, Lita, Tak bisakah kau atasi masalahmu sendiri?” Ucapku kesal, Akhirnya.
“Apa kamu tidak bisa tegar? Dewasalah sedikit, Aku bisa susah kalau kamu terus terusan bergantung seperti ini!”

Aku bukan baby sitter wanita manja yang terus-terusan merengek padaku tentang kehidupan keluarganya,
Tentang teman temannya, Masalah sepele tentang laki-laki yang naksir padanya,
Tentang betapa tidak beruntungnya ia meskipun ia berada didalam istana megah.
Meski ia dicintai semua orang.

Maaf, Lita, Kamu baik, Tapi terlalu baik untukku yang sombong serta merasa terlalu tinggi ini,
Karena, Sayangnya yang terlihat dimataku hanyalah.
Betapa gagalnya ia menempatkan diri sendiri…
Apa aku yang terlalu dingin ? Atau ini memang terlalu berat buatku?

Pasangan Ideal ?
Itu kan penilaian masyarakat.
Aku gemas dengan betapa mudahnya orang lain menilai tentang bagus atau tidak bagusnya sesuatu.
Ya, Lita gadis cantik, Berasal dari keluarga terpandang,
Sangat cocok denganku kan?

Best couple ever.

Ketika aku menutup telepon.
Nafasku memelukku dari belakang.

Lily mengecup punggungku.
Kurasakan aroma wangi rambutnya membelai indera penciumanku.

“Kekasihmu?”

Aku mengangguk pelan.
Kegalauan bersembunyi didalam hatiku.
Ia mengerti, Tidak peduli sepintar apapun aku menyembunyikannya.
Perasaan ini.

“Ceritakan padaku tentangnya,” Pinta Lily.
Hujan turun deras sekali, Aku menutup gorden,
Cahaya remang-remang membasuh kamarku.

“Aku selalu benci hujan…” “Membuatku merasa kesepian yang sangat.
Tapi hari setelah hujan. Bau jalanan basah, Aroma kota yang lembab, Pelangi,
Aku menyukai semuanya,”

Kudorong Lily hingga terduduk disofa. Kuciumi perutnya, Kedua tangannya,
Kulit sehalus mutiaranya merasakan kecupan ringan bibirku disana,
Lily bersandar, Bibirnya sedikit membuka dan matanya terpejam rapat.
Kakinya merapat tanpa pertahanan.
Memudahkanku melakukan apa yang kumau.

“Aku tidak tahu hidupku untuk apa, Untuk siapa, Aku hanya bisa menyalahkan orang lain,
Ya, Aku,
Berpura-pura kuat tapi sebenarnya lemah…”

Jari jariku menari lincah.

“Aku berkenalan dengannya kapan? Yang kutahu, Aku mengasihaninya lebih dahulu, Jauh sebelum aku menyukainya…” Ucapku penuh pengkhianatan.

Lily mengeluh dan bergetar. “Kamu… Memang…tidak pernah bisa mengingat dimana kamu mengenal gadis yang mencintaimu… kan?”

Aku tersenyum hambar.
Jariku menghangat didalam sana, Menemukan suatu titik kesenangan yang vulgar.

“Hidupnya… Lebih beruntung daripada siapapun… Tapi kenapa dia tidak bisa puas? Apa seburuk itu? Aku ingat kutipan buku komik yang kusukai… Kesepian itu tingkatnya bukan kesedihan setelah dimarahi orang tua, Ini sesuatu yang berbeda…” Suaraku yang berbicara dengan santai sangat berlawanan dengan nafas berat dan putus-putus milik Lily.
“Hanya karena dimarahi orang tua atau diacuhkan pacarmu, Lalu kamu mengancam akan bunuh diri ? Membuang hidupmu?
Aku… Bukan tempat sampah semua keluh kesah… Aku manusia…
Itu bukan cinta. Itu rasa ketergantungan yang obsesif.” Lirihku.
“Hidupnya lebih baik…
Bahkan dari hidupku ataupun hidupmu.”

Lily menjerit tertahan.
Bersamaan dengan nada dering pertanda pesan singkat masuk ke ponselku.

“Disebut tegar, Bukan berarti tidak pernah merasa sedih,” Aku menjilati jari jariku yang basah.
Mengecup bibir gadis dihadapanku yang kelihatannya sudah tidak memiliki tenaga sedikitpun.
“Melainkan kemampuan kita mengubah kesedihan menjadi sebuah energi positif yang menambah semangat hidup kita.”

Melihat kearah ponselku, Aku menghela nafas membaca tulisan-tulisan putus asa yang dikirimkan kekasihku yang sah.
Aku sadar senyumku saat itu begitu dingin, Menekan tombol ‘Delete’ pada alat pintar itu.
Lantas membuka kancing-kancing kemejaku,
Mendatangi, Ironisnya, Gadis lain yang telentang lemah diatas sofa merah tua itu.

Lily menatapku penuh ketidak mengertian
Tetapi membalas ciuman yang kutawarkan,
Harum nafasnya bercampur rasa manis bibirnya yang lembut.
Beberapa detik yang jika diandaikan seperti menelan obat obatan terlarang. Mencandu. Membius.
Membuat merasakan haus yang amat sangat.

Lily mendorongku. Matanya berkaca-kaca.

“Jang…an”

Seluruh tubuhku seakan tersengat listrik. Semua gerakanku terhenti.
Kupeluk tubuh Lily erat.

“Tidak…, Aku tidak akan melakukannya,
Aku tidak akan menyakitimu.”
Ia menggigil dalam dekapanku. Gelora dalam diriku membuncah.
Bukan nafsu. Bukan keinginan untuk melepaskan gairah. Bukan hal hal semacam itu.

Tapi, Saat itu juga kurasa betapa aku menyayanginya, Betapa aku membutuhkannya.

Serta betapa besar jarak diantara kami.
 
-04- Victim


--

“Aku takut… Hanya takut…”

“Apa yang membuatmu takut?”

Lily mengaduk minumannya resah.

“Aku tidak takut padanya,” Ia menunduk, Aku sudah gemas sekali ingin memeluknya sekali lagi.
“Aku takut mendengar jawabanmu…”

Bahkan ditengah kebisingan kafetaria pun, Aku masih bisa mendengar suaranya yang sendu.

“Kamu menyuruhku untuk memilih?” Aku memandangnya tajam.

“Aku tidak tahu…, Aku benar benar takut. Aku takut dengan jawabanmu.
Aku sudah mengatakan alasannya berkali-kali.”

Membiarkanku terdiam. Memandangi minuman yang bahkan tidak kusentuh sejak dua puluh menit yang lalu.

“Aku harus pergi.”
Lily membetulkan letak kacamata hitamnya sesaat sebelum ia beranjak.

“Bahkan bertemu secara diam-diam beginipun…”

Lily tampak tidak suka dengan kata-kataku. Ia sudah akan meninggalkan tempat ini.
Dan aku meraih tangannya.
Ia menoleh.

“Aku akan memilihmu.
Itu jawabanku, Jadi kamu percaya saja,”
 
Last edited:
-05- Nightmare

--


Kukira dengan aku melakukannya,
Segalanya akan berjalan lancar,
Gadis yang mencintaiku, Jika kamu membaca ini semua, Aku memohon ampun karena telah mencekikmu dalam segala permasalahan pelik yang kualami, Lalu mencampakkanmu,
Lita kamu berharga, Sayangnya, Bukan untukku, Bukan bagiku,
Aku hanyalah seorang lelaki bodoh, Dan tidak pantas untuk gadis sebaikmu,

Tenang saja, Aku telah menerima hukumanku saat ini.

Ya, Setidaknya segalanya berjalan lancar pada awalnya.
Makan malam berdua, Merayakan ulang tahun Lily yang ke Dua Puluh Lima,
Menyadari usianya sekarang hanya satu tahun dibawahku terasa menyenangkan.
Fantasi bodohku terkadang berlebihan membayangkan pasangan suami istri dengan hanya perbedaan usia setahun.
Kedengarannya indah, Ya ?
Seperti di sampul-sampul majalah keluarga. Aku tertawa memikirkan berbagai kemungkinan.
Termasuk, Betapa aku terlihat seperti orang dungu,
Bahkan aku membayangkan berumah tangga dengan seorang gadis.
Hal yang didalam mimpipun takkan sudi kubayangkan, Setidaknya sebelum aku bertemu dengan Lily-ku tersayang.

“Apa aku boleh bekerja padamu?” Tanya Lily suatu kali.

“Kamu tidak usah kerja, Langsung jadi istriku saja.” Aku menambahkan enteng.
Lily ikut tertawa.

“Bisa ya begitu…” Ia menerawang.
Aku menyebutkan lelucon, Menambahkan namaku pada nama belakang Lily.
Seperti suami istri.
Ia tertawa begitu bahagia. Ia senang mendengarnya seakan kata-kata lelucon sederhana yang kuucapkan adalah pengumuman menang undian keliling dunia.

Kami tertawa bersama.
Meski kami sama-sama sudah tahu, Aku dan dia bersama,
Itu adalah hal paling tidak mungkin.
Kami tahu dengan merasakan ini, Kami saling menyakiti diri kami sendiri.
Karena dengan segala perbedaan ini.
Menikah…
Adalah hal paling gila yang belum pernah dibayangkan sebelumnya.
Tidak cukup waras untuk dilakukan tanpa sebuah pengorbanan besar yang melibatkan orang-orang tidak bersalah yang kami cintai dan mencintai kami.

Meski keluargaku selalu menyimpan tanda tanya akan gadis bak sebutir mutiara yang singgah dihidupku tanpa memberikan kepastian,
Meski salah satu dari mantan gadisku yang lain memergokiku bersama Lily dan memaki kami.
Meski ia harus selalu bersembunyi dari keluarganya saat menerima sms ataupun telepon dariku,
Meski ia berarti harus menempuh segala resikonya…
Apa kami peduli ?
Kami sedang menikmati ini, Janji janji tak perlu diingkari lagi,
Pertemuan kami yang rutin tanpa kami terganggu oleh siapapun…
Hari-hari yang kujalani bersama dengan Lily.... Bungaku, Kebahagiaan kami…

Sampai pada suatu hari, Lily datang kepadaku dan menangis.

“Dia membatalkannya…” Ia terisak didadaku. “Menghancurkan rencana yang kubuat susah payah!”

“Dia tidak pernah memikirkanku…”

‘Ya, Dia tidak pernah memikirkanmu…’ Batinku

“Aku berharap untuk menghabiskan waktu bersamanya disana. Tapi kenyataannya apa?”

‘Kamu tidak seharusnya diperlakukan seperti itu.’ Batinku lagi

“Semua itu sejak dia bekerja dikantor sialan itu!”

‘Bagiku, Kamulah yang terpenting, Lebih dari pekerjaan, Atau apapun didunia ini,
Bahkan lebih penting dari diriku sendiri…‘


Kenyataannya. Selama ini semua keluhan, Rasa tidak puas dan kejengkelanku hanya berakhir didalam hati.
Tidak ada yang tahu, Tidak ada yang mengerti.
Bicara pada orang lainpun takkan ada gunanya. Tidak akan ada orang yang mendukung cerita perselingkuhan yang ganjil ini.
Penyelewengan yang tidak seharusnya.
Yang tidak bisa dibenarkan oleh pelajaran moral paling baik sekalipun.

“Jangan pernah…, Berkata ‘Mohon mengertilah’ Padaku!”

Aku tidak akan berkata begitu padanya, Siapa yang akan sakit kalau ia sakit ?!
Lily adalah tipe gadis yang pengertian melebihi siapapun…
Siapapun yang kukenal didunia ini.
Meminta lebih banyak daripada yang bisa diberikannya adalah hal bodoh yang kekanak-kanakan…

Lalu, Mimpi buruk itu berlanjut pada hari hari setelahnya.

“Tunggu…” Bisikku pelan “Kamu akan pergi dengannya… Akhir minggu ini ?”

“Ya…” Lily menjawab seraya mengusap air matanya. “Tapi kelihatannya aku akan banyak diacuhkan karena urusan pekerjaannya…
Biarlah, Toh aku masih bisa jalan bersama teman-temanku yang lain, Kan ?”

Bukan itu,
Bukan begitu.

Hatiku dilanda rasa cemburu yang teramat sangat.
Tanpa aku ? Diluar negeri? Dimana kami tidak bisa bebas bertemu seperti sekarang ?
Kami akan menjadi sangat terbatas, Tidak seperti sekarang… Ya…
Tidak…
Bajingan itu akan mengusai Lily seutuhnya.
Mengambil ‘Separuh’ yang pada awalnya milikku…
Lebih buruk lagi.
Segalanya akan menjadi lebih buruk…

“Berapa lama kamu disana?” Tanyaku, Berusaha membuat nada suaraku terdengar biasa saja.
Lily, Seperti biasa, Sedang berada dalam dunianya sendiri, Asyik memainkan kancing-kancing kemejaku, Bersandar didadaku dengan nyaman.
Sesaat aku seakan berada entah didimensi keberapa diluar angkasa.

“Maaf,” Ia mendongakkan kepala menatapku, “Tadi bilang apa?”

Aku menghela nafas. Berjuang sekali lagi.
“Berapa lama disana ?”

Gadis rahasiaku tersenyum lembut yang dipaksakan. “Lima”

Lima hari.
Dalam hati aku ingin mengerang sekuatnya.
Membiarkannya mendengar kesedihanku, Bahkan, Disayatpun terasa lebih baik.
Daripada harus merelakannya berada dipelukan lelaki lain selama itu.

“Kenapa kamu tidak ikut saja?” Lily mencongdongkan tubuhnya,
Kukecup dagunya perlahan. Kemudian kedua matanya yang terpejam, Kemudian keningnya.
Menikmati saat-saat aku menyentuhnya dengan penuh kasih sayang.
Dan ia menyenangi itu.

“Banyak hal yang harus diurus kalau aku ikut pergi,” Kilahku. “Aku punya pekerjaan, Tanggung jawab dan sebagainya disini,” Dan terlebih lagi aku tidak mau menontonmu bermesraan sepanjang waktu dengan si brengsek itu. Aku membenarkan dalam hati.
“Tampil diluar negeri merupakan prestasi yang membanggakan bagimu, Jangan memikirkan hal-hal kecil, Bukankah sudah sewajarnya kamu bahagia ?” Tidak peduli siapapun yang berada disampingmu saat itu ,Meski itu bukan aku .
Tuhan… Ini sakit sekali. Sial. Benar-benar sialan.
Kukepalkan tangan menahan perih didadaku.
“Err… Semoga berhasil dengan fashion show mu?”

Bagus sekali, Ia menatapiku begitu lama.
Pertanda ia menyadari ada yang tidak beres, Pertanda ia mengetahui keresahan hatiku.
Aku tidak pernah bisa berhasil menyembunyikan apapun dari wanita ini.
Lily memiliki perasaan halus yang sangat peka,
Ia orang yang mengerti akan diriku.

“Maafkan aku…” Katanya cepat, Membelai pipiku dengan jari-jari lentiknya. “Aku tidak akan membicarakan tentangnya lagi…” Ia meminta maaf dengan penuh penyesalan.
“Aku akan usahakan agar kita tetap bisa berhubungan… Aku akan…”

Aku membiarkannya mengelus bibirku, Mengecupnya.
Entah mengapa, Aku merasa begitu lemah…
Aku bahkan berharap aku menghilang saja,
Atau mengalami lupa ingatan,
Aku harus bagaimana ? Aku hanya bisa protes tanpa bisa melakukan apa-apa.
Karena itu aku sakit.

Ciuman yang seperti aliran listrik itu menyengatku sekali lagi.
 
Last edited:
Aku dan Lily sama-sama menyukai Romeo and Juliet.
Novel karangan Shakespeare tersebut adalah topik pertama yang mendekatkan kami sehingga kami menyadari adanya perasaan yang lain…
Dan cinta pada pandangan pertama Lily… Gadis itu tahu pada awalnya aku hanya memanfaatkannya untuk bersenang-senang.
Tapi dia tidak peduli.
Dia memang begitu. Begitulah dia. Khas-nya.
Dia hanya tahu, Ia menyukaiku, Membutuhkanku, Menginginkanku melebihi yang ia sendiri duga.
Bahkan sekarangpun, Lily tidak peduli,
‘Siapapun kamu, Darimana kamu berasal, Apapun yang telah kamu lakukan. Aku tidak peduli, Selama kamu mencintaiku…’ Katanya mengutip lirik lagu boyband yang popular di era 90-an.

Lily entah sejak kapan menjadi sangat cemburuan.
Ia mengontrol setiap langkahku, Mempertanyakan kemana arah kepergianku,
Dengan siapa, Ada dimana,
Aku tahu ia menjadi semakin gila akan cintanya kepadaku. Sekarang ia tidak segan marah, Berteriak, Bahkan tidak bicara denganku berhari-hari –hal yang kutahu bagaimanapun malah akan menyakiti dirinya sendiri– mengacuhkan semua pesan dan telepon dariku.
Dengan segera aturan merebak disekitarku, Tidak boleh bicara tentang mantan. Tidak boleh bersikap ramah dengan gadis asing, Tidak boleh melakukan kegiatan ‘Have Fun’ tanpa kehadirannya disisiku.
Kadang sikap manjanya melewati batas akal sehat.
Memenjarakanku dalam ikatan yang manis yang tidak pernah ditunjukkannya kepada orang lain selain diriku.
Membuang semua imej gadis cantik, pintar dan dewasa yang melekat pada dirinya selama ini.

Dan aku ? Aku lebih gila lagi tentu saja.
Ya, Aku tidak merasa terbebani sedikitpun dengan sikap posesif Lily,
Aku menikmatinya, Berharap ia lebih terikat lagi padaku,
Karena hanya dengan perasaan inilah kami terhubung. Cara kami berkomunikasi.

“Kamu adalah milikku…”
Sehingga tidak ada lagi ‘Aku’. Tidak ada lagi ‘Kamu’. Yang ada hanya ‘Kita’.

Ia mengambil sesuatu, Kemudian ia memberikan lebih banyak lagi padaku.
Aku tidak masalah tidak bergaul, Tidak keberatan tidak punya teman.
Berbincang dengan Lily lebih mengasyikkan daripada ketika aku berbincang dengan sepuluh orang teman sebayaku.
Bahkan ditengah keramaian sekalipun, Aku merasa sepi tanpanya.

Tidak ada kekasih yang lebih sempurna daripadanya.
Tidak akan pernah ada.
Maka dari itu segala halangan didepan mata terasa begitu menyakitkan.

“Kemarin orang tuaku memanggilku,”

Aku berhenti mengunyah donatku untuk menyimaknya bicara,
Kami sedang berada diteras rumahku, Ketika ia datang, ia tidak mengucapkan sepatah katapun,
Tidak menanggapi canda ringanku seperti biasa,
Sehingga aku bertanya-tanya sendiri apakah ada yang salah.

“Tahun depan, Katanya aku hanya diberikan satu tahun kesempatan lagi,” Lily menggenggam erat tangannya sendiri. Terlihat gelisah.

“Setelah itu aku harus segera menikah…”

Tenggorokanku tercekat.

“Apa?”

Lily mengulangi kalimatnya.

Aku tidak tuli, Aku menyadari apa yang ia katakan, Mengerti maksud dari setiap kalimatnya.

Hanya aku tidak bisa mengerti…
Aku tidak mau mengerti…

Kupegang tangannya, Kuremas lembut,

“Maukah berjuang bersamaku?” Pintaku padanya.
Lily meneteskan air mata.

“Aku mau…” Lirihnya. Lagi. Menyembunyikan wajah dalam pelukanku seperti biasa.
Pelukanku, Rumahnya, Tempatnya pulang.
“Temanku pernah bertanya… Sampai kapan aku mau seperti ini…?”
Air mata Lily semakin deras.
“Jangan…tinggalkan aku” Ia mendekapku erat-erat seperti takut aku akan menghilang,
“Apa tidak bisa kita terus bersama apapun yang terjadi? Aku serakah, Yah, Karena aku memang serakah…”

Kupandangi wajah penuh ketakutan yang kumengerti itu,
“Hiduplah denganku…, Aku bersumpah akan membahagiakanmu, Aku akan memastikan bahwa tidak ada satu hal pun yang membuatmu menderita, Aku akan melindungi Lily, Setiap hari akan bahagia…”

“Aku tidak akan bahagia…” Lily mencengkeram lenganku.”Jika aku harus membuang Ayah, Ibu, Saudara-saudaraku selamanya… Aku tidak akan pernah bisa bahagia dengan mengorbankan kebahagiaan mereka…”

Tidak, Tidak, Tidak,
Ayo, Otak pintarku, Pikirkan sesuatu,
Berpikirlah, Bodoh !
Dengan segenap perasaanku, Kudekap Lily erat-erat.

“Sudah sejauh apa?” Tanyaku berusaha tetap tenang.

Lily kelihatan ragu-ragu. “Orang tuaku… Orang tua kami sudah bertemu, Aku tidak… Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi… Aku…”

“Berapa lama lagi waktuku tersisa?” Potongku cepat. Enggan mendengar alasan bertele-tele.

“…Tahun depan…”

Aku mengerang nyaris tanpa suara.

“Aku juga berpikir suatu saat, Cepat atau lambat, Tunanganmu yang brengsek akan mengambilmu dariku,” Desahku penuh emosi. “Tapi pada saat itu, Aku akan sangat bangga, Memilikimu sepenuhnya dibelakangnya, Aku pasti akan datang dan datang lagi dalam kehidupanmu, Menggodamu, Walau itu artinya aku harus menjadi seorang lelaki jalang yang merusak rumah tangga orang lain…”

Lily menengadahkan kepalanya menatapku,
Menyentuh pipiku, Kedua matanya berkaca-kaca, Saat ia menggeleng kuat-kuat bulir-bulir bening di matanya jatuh.
Seakan setengah tidak mengizinkan, Seakan menyadarkanku bahwa aku sudah cukup menderita.

Aku sadar apa yang kuucapkan, Akupun tahu aku takkan sanggup…
Aku tidak akan sanggup. Tapi aku dengan bodohnya mau mencoba, Semakin lama semakin menyakiti diriku sendiri. Terjatuh kedalam lautan cinta yang tidak jelas mau membawaku kemana. Kapalku tersesat dan aku sendiri tahu tidak akan pernah ada pelabuhan. Selamanya.
Kubalas tatapannya dengan tatapan kekhawatiran yang sama.
Aku sendiri tidak tahu kapan aku akan lelah.
Selama ini, Aku tidak pernah merasa lelah…

Hey,
Aku dan Lily…
Kami sama-sama mengagumi kisah cinta terlarang yang diperjuangkan sepenuh hati hingga maut menjemput.
Dan yang mengejutkan adalah, Diantara kami, Sama sekali tidak pernah sekalipun mengucapkan gagasan ‘Berpisah’ Seperti seharusnya.

Aku dan Lily sama-sama menyukai cerita Romeo and Juliet.
Tapi kami tidak ingin berakhir sama seperti mereka.
 
“Besok aku akan pergi,” Lily memberitahuku yang sedang merebahkan kepalaku dipahanya dengan nyaman. “Aku ingin membawa alat komunikasi tapi, Agenku berkata sebaiknya jangan…, Lagipula, Tempatnya tidak aman disana, Aku…”

“Tidak bawa Hp? Laptop?” Tanyaku sembari bangkit lalu meneguk jus dingin.
Siang itu sangat panas, Aku dan Lily hanya berdua di kursi panjang serambi rumahku.

Lily terdiam.

“Aku tidak kenal wilayah nya, Jadi aku…”

Yang terdengar selanjutnya hanyalah suara gelas pecah berkeping-keping.
Aku tertawa pelan.
Lily menutup kedua telinganya dengan tangan, Matanya terpejam dan dari jarak sedekat ini, Jelas sekali ia gemetar.

“Maaf…” Lirihnya, “Maaf…”

Hanya kata-kata itu yang terucap?
Aku sakit sekali, Sakit dan sekarat.
Tidak bisa, Lily… Tidak bisa hanya dengan maaf-mu saja…

Dengan kesal kubanting Hp ku. Lily menjerit histeris.

“Lihat,” Seruku memberitahunya, Masih dengan wajah berseri-seri. “Kita jadi ada alasan yang tepat untuk tidak berhubungan lagi kan…”

Detik berikutnya ia memagutku kalap.
Memeluk punggungku, Dan mengeluarkan ledakan senjata pemusnah massal terhebat kaum Hawa.

Menangis.

Kupaksakan diriku tersenyum, Menyentakkan pelukannya, Berusaha selembut mungkin karena setiap gerakanku saat ini selalu sanggup untuk melenyapkan nyawa orang lain.
Masuk kedalam mobil. Mulai men-starter.
Kepalaku pening, Bahkan aku tidak bisa mendiskusikan hal ini dengan Lily lebih lanjut,
Bahkan, Untuk sekadar memberikan kesempatan baginya untuk menjelaskan,

How pathetic I am…

Aku hanya ingin menjernihkan emosi ini,
Tidak mengerti kenapa Lily membicarakan ini padaku segala, Apakah harus aku memohon padanya agar dia memikirkan suatu cara supaya aku tetap bisa menghubunginya?
Apakah harga diriku yang sudah jatuh terpuruk dikakinya saat ini tidak cukup?
Masih tidak cukup untuknya? Apalagi yang kupunya supaya dia mengerti…
Yang tersisa dari diriku ini, Supaya ia mau berkorban untukku sekali saja…
Mana mungkin, Dia terlalu mabuk akan kebahagiaan, Dia akan pergi dengan kekasihnya itu, Hahah, Meninggalkan aku sendirian disini.

Who’s care, Anyway, Dia tidak peduli padaku,
Dia tidak akan berusaha memberitahu dan membujukku jika ia peduli, Ia akan mengusahakan apapun yang terjadi, Jika ia memang peduli.
Aku memang buta… Sialan,
Susah payah kutahan air mataku supaya tidak tumpah, Tidak, Laki laki tidak menangis…
Tidak boleh menangis…

Dari pantulan Spion mobil, Kulihat Lily berdiri beku, Menatap kepergianku,
Matanya berkaca-kaca.
Perlahan kulihat ia merunduk memunguti pecahan Hp ku yang berserakan.

Masa bodoh, Kuinjak pedal gas,
Mobilku meluncur semakin cepat.
Lily tidak terlihat lagi. Bahkan bayangannya…
 
-06- Curse

--


Hari ini, Mestinya Lily sudah pergi,
Aku baru kembali kerumahku keesokan harinya, Semalaman aku menghabiskan waktuku ditepi pantai, Merenung,
Akal sehatku menyuruhku menghentikan semua ini, Segera, Sebelum segalanya lebih parah,
Sebelum terlambat,

Ada sebuah paket yang terbungkus kertas kado berwarna Beige, Terongok begitu saja ditepi tempat tidurku,
Aku tertawa dalam hati, Betapa si pengirim sangat memperhatikanku, Ia tahu warna kesukaanku, Selama ini orang lain selalu bilang warna merah dan hitam cocok untukku,
Lebih elegan, Bercita rasa laki-laki, Seperti imej maskulin atau entah apalah yang kumiliki.
Karena semua orang bilang begitu,
Aku selalu menuruti mereka dan mengatakan merah dan hitam adalah warna favoritku jika ditanya.

Hanya sedikit orang yang tahu apa-apa yang benar-benar kusukai…
Karena aku hanya bisa jujur pada sedikit orang.
Menunjukkan diriku apa adanya. Tanpa takut ataupun malu.
Melepaskan topeng yang selama ini kukemas rapi dan kukenakan sepanjang hidupku.

Kusentakkan kertas pembungkus itu kuat-kuat.
Cukup bagiku untuk melihat apa isi kado spesial yang dikirimkan untukku.
Membuka kotaknya, Memeriksa,

Tipe yang sama, Warna yang sama, Tidak ada satu bagianpun yang berbeda,
Pun kartu sim-ku. Sudah terpasang didalamnya.
Semuanya lengkap tanpa kurang suatu apapun,
Seperti biasa, Ia melakukannya dengan sangat mendetail…
Kutimang-timang alat komunikasi itu dalam genggamanku. Menimbang nimbang, Haruskah?

Yak, Sms-sms masuk. Baru saja setelah aku memutuskan untuk menghidupkan Hp ditanganku.
Ada begitu banyak, Lily seharusnya sudah berangkat sekarang…
Ku cek tanggalnya, Pagi ini Lily masih mengirim sms…
Sampai saat-saat terakhir ia masih mencoba menghubungiku, kah?

Puluhan Sms memberondong, Semua dari orang yang sama…


Aku minta maaf, Tolong, Jangan tinggalkan aku,


Aku tidak tahu kemana harus mencarimu…Maaf, Malah spam sms begini,
Aku ingin bicara denganmu, padahal tidak punya bayangan kemana kamu pergi, aku tidak tahu harus bagaimana melampiaskan…


Aku rindu… Apa kamu sudah pulang…? Aku sempat membuatkan makanan kesukaanmu.
Kamu tinggal menyuruh pembantu menghangatkannya.


Jika kamu membuka pesan ini, Tolong hubungi aku dihotel tempatku akan menginap,


Off,. I go...


Ada puluhan pesan bernada sama, Hatiku tergelitik,
Nama nya tertera sangat jelas dikotak masuk, Ah, Bahkan ia juga menyalin kontak-kontak penting ku dengan sangat rapih, entah bagaimana caranya ia melakukannya, mungkin ia menggeledah buku catatan telepon dilaciku?
Bagaimanapun kamar ini sudah seperti rumah keduanya…
Dan lagi lagi ia membuatku kagum dengan ketelitiannya, Ia seharusnya bisa sangat baik jika menjadi seorang istri… Tidak pernah satupun wanita yang kukenal bisa melakukan segalanya dengan sempurna sepertinya,
Bahkan tidak mendiang ibuku.
Apa ia disini semalaman ? Apa ia tidak tidur demi mengerjakan ini semua?

Tidak, Aku tidak boleh senang,
Hatiku kembali panas memikirkan ada orang lain yang saat ini lebih senang disamping Lily…
Memeluk pinggangnya disepanjang Airport…
Menatapnya dengan penuh cinta. Atau mungkin menciumnya saat ia tertidur didalam pesawat,
Bersama menjelang hari-hari bahagia mereka…

Fuckin’ Shit.
Ini mengganggu.

Kurebahkan tubuhku, Resah, Aku hampir tidak istirahat semalaman.
Apa yang akan terjadi pada Lily… Aku…
Aku tidak bisa membayangkan dia akan disentuh lelaki lain selainku.
Kututupi wajahku dengan bantal. Berharap hilang ingatan saja. Sekali lagi.
 
Last edited:
Back
Top