Lily - I don't even know a milimeter of Romeo and Cinderella

Hari kedua Lily pergi.


“Apa yang kamu pikirkan, Sayang?” Wanita itu mengecup bahuku, Membuatku tenggelam dalam ilusi sesaat,

“Tidak apa-apa,” Aku tersenyum ketika ia mulai menyentuhku,

Tidak sama…

Batinku berbisik kejam. Kupaksakan diriku tersenyum pada sosok asing yang hanya terbalut selimut tebal disampingku, Yang baru saja menemaniku memadu cinta sepanjang malam,

Tangannya membelaiku, tapi tidak sama.
Wangi rambutnya,beda
Kulitnya halus, kenapa tidak membuatku bergetar dan terbakar saat menyentuhnya?
Dengar, Bisikannya membangkitkan gairah syahwat bukan? Sama sekali tidak hangat dan membara…
Bagaimana dengan ini ? Bibirnya merah dan ranum, Lihat, Tidak kalah dengan milik Lily…

Kalau begitu, kenapa tidak membuatmu jadi seperti pecandu narkotika?

Sekali lagi, Hatiku meruntuhkan usaha terakhirku, Nuraniku tidak bisa membohongiku lebih jauh…

Ragaku memekik dalam kenikmatan… Akan tetapi hatiku hampa…
Cinta ini benar benar... Kutukan bagiku.
 
Last edited:
-07- Insanity

--


Penuh keputusasaan.
Aku menekan nomer telepon yang diberikan Lily lewat sms-sms terakhirnya,

Kekasihku menyahuti dikejauhan… Dalam hatinya pastilah mengumandangkan kebanggaan.
Bahwa sejauh apapun kami terpisah, Sedalam apapun ia menyakitiku,
Apapun usaha yang kulakukan untuk mengusirnya dari kepala ini.
Membuatnya enyah dari hidupku,

Aku akan selalu berakhir sama dan kembali kedalam pelukannya…
Kami menyebut kegilaan ini ‘Cinta’.
 
-08- Sin


--

“Sekamar, Ada Sembilan orang,”

“Bisa tidur dengan keadaan begitu?” Setengah mengejek, kugoda Lily.

“Hey, Aku sudah berpengalaman tidur dalam situasi yang tidak semestinya!” Kata Lily, “Dulu adikku tidak membukakan pintu untukku, Aku sampai harus kemping didepan rumah semalaman…” Ceritanya bersemangat.
“Tapi ini kan bisa sekalian kamu anggap liburan, Kalau berdesak desakan begitu, Menyiksa diri sendiri, Ah”

“Tuntutan Profesi,” Jawab Lily, “Kalau mau jadi model terkenal, Memang harus mulai dari bawah dulu, Semua juga diperlakukan sama, Tidak ada perbedaan.”

Aku mengerinyitkan kening, “Semua? Berarti si brengsek sekamar denganmu?”

Aku cemberut diujung telepon, Kesal sekali rasanya,
Aku sampai merasa ingin membunuh lelaki itu…

“Beda tempat tidur kok !” Sergah Lily “Gila apa tidur seranjang…”

Aku hanya tertawa mengiyakan.
Lima hari. Sial. Harus kuhabiskan dengan apa waktu selama itu.
Tambah lagi, Mereka sekamar… Cih…


Lily juga bukan anak kecil, Dia tidak sok suci dan mengakui bahwa sebelum ia bertemu denganku, ia dan tunangannya pernah bermesraan sampai taraf yang akan membuat pemuka agama melakukan ritual pembersihan dosa,
Lily sudah berjanji padaku tidak akan membiarkan dirinya disentuh siapapun selain aku…
Tapi… Justru karena itu pulalah aku khawatir.
Bagaimanapun, Jika diantara mereka sekalipun tidak ada batas lagi… Siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya… ?
Sampai kapan?
Ia pemilik yang sah kan, Baik dimata keluarga Lily maupun dimata Tuhan,
Si brengsek itu memiliki sesuatu yang tidak kumiliki.

Restu.

Yeah, Kesal mengakui hal ini, Tapi itu memang benar,
Dan aku tetap tidak suka itu. Aku ingin memonopolinya, Menjadikannya milikku seorang…

“Kamu berpikir aku semurahan itu?” Lily bertanya agak menusuk.
Suaranya terdengar tidak senang,

“Tidak…,” Jawabku. “Kalau itu aku, Bagaimana?”

“Kamu tidak percaya padaku…”

“Jawab saja,”

“…”

“Hmmm ? Aku tidak mendengar suaramu.”

Lily kedengaran seperti mengambil nafas diseberang sana.
Ia kedengaran gugup, Antara malu dan takut ketahuan. Ia berbisik dengan agak serak.

“Selama itu kamu, Aku tidak apa-apa…”

Aku tersenyum puas. Aku tahu ia tidak akan melihat senyumanku,
Ia membayangkannya.
Aku sendiri sibuk mengisi pikiranku dengan bayangan akan wajah malu-malu Lily.
Percakapan diakhiri dengan nasehat panjang Lily yang biasa,
Jangan lupa makan-Tidur yang cukup-Jauhi gadis lain.
Yang terakhir diucapkan dengan sangat berapi-api.

Ia dewiku.
Tidak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya….

Aku tahu, Mungkin aku memang menarik, Cukup percaya diri dengan penampilanku,
Mencari gadis lain, Semudah membalikkan telapak tangan.
Akupun telah mencoba beberapa kali bermain dengan gadis lain,
Lebih cantik, Lebih pandai, Lebih bergairah,
Tapi tidak sama, Tangan mereka tidak seperti Lily, Tidak memiliki kehangatan tangan seperti Lily, Tidak punya sentuhan yang membuatku bergetar ataupun senyuman lembut sepertinya.
Bagaimana bisa Tuhan menciptakan seseorang yang begitu memahamiku seperti dia,
Seseorang yang membutuhkanku, Menganggapku penting bukan karena ingin memanfaatkanku lalu menuntutku menjadi lebih sempurna tapi lebih karena ia ‘Membutuhkanku’ seperti apa yang kumau,
Membutuhkan kasih sayang dariku,
Ia sempurna. Kami berdua sempurna. Pasangan yang sempurna.
Tapi seperti layaknya kesempurnaan fana lainnya,
Maka hubungan ini pastilah memiliki satu dua sisi yang cacat.

Alasan itulah yang selama ini aku dan Lily kemukakan untuk meyakinkan diri kami masing-masing dalam menjalani dosa terindah kami..
Maka sebutlah ini pembenaran jika mau
 
-09- I Dont Even Know A Milimeter Of Romeo And Cinderela (Part 01)

--


Dengan perasaan tak menentu, Aku menyentuh tepian ranjang rumah sakit.
Menatap wajah pucat ayahku yang saat itu sedang terbaring lemah.
Aku tidak tahu harus membenci ataukah menyayanginya.
Ayah pernah membuangku bersama ibuku, Dan datang disaat aku merasa aku sama sekali tidak membutuhkannya lagi.
Kenapa ya, Aku selalu berada diposisi ini?
Hasil dari cinta yang tidak diinginkan.
Hanya karena cinta yang tidak direstui dan hubungan yang terlarang, Begitupun ibu tetap berjuang membesarkan aku seorang diri hingga akhir hayatnya.
Dalam kehidupannya yang singkat.
Ibu mengajariku sebuah hal.

Jangan pernah menyerah dalam hal cinta.

Aku tersenyum melihat beberapa burung yang hinggap di balkon, Cuaca cerah, Dan langit nya, Pada hari ini entah untuk alasan apa kelihatan lebih tinggi dari biasanya di mataku.
Hari ini adalah hari ke empat Lily pergi,
Sedang apa ya dia sekarang, Dalam hati aku berkata, Masih memandangi ayahku yang sedang sekarat,
Adik laki-lakiku pasti mabuk-mabukan lagi, Anak itu, Tak pernah sekalipun ia berpikir tentang tanggung jawab, Menyerahkan semua beban kepundakku si anak terbuang, dan kabur,
Tidak, Bukan ini, Bukan kebebasan macam ini yang kuinginkan,
Aku berhak memilih karena aku memiliki tanggung jawab sebagai penerus. Dan aku tidak menginginkan hal itu. Yang membelenggu serta mengikatku untuk memilih masa depanku sendiri.
Lantas kenapa aku berada disini?
Serta ikatan rasa kasihan pada ayahku dan keluarganya, Yang tidak memiliki siapapun untuk diandalkan selain aku yang hanya manusia biasa ini.
Mengurus rumah yang bahkan tidak pernah benar-benar mengurusku dan hanya mengandalkan topeng sandiwara kepalsuan ini.
Aku ingin lari, Tapi tidak bisa, Tak ada alasan kuat untuk lari…

Bahkan tidak juga Lily.
Kami berdua mungkin pengecut yang berlindung dibawah naungan cinta.

Sudah sore, Hampir beranjak petang ketika ibu tiriku masuk ke dalam, Ia menyuruhku berganti pakaian, Menyerahkan padaku paper bag cokelat tua berisi pakaian ganti dan perlengkapan mandi.
Ah, Sudah dua hari aku tidak ganti baju, Tidak mandi, Dalam hati aku kalut,
Baik, Brengsek, Kuakui aku mengkhawatirkan kesehatan ayahku,
Untuk terakhir kalinya sebelum beranjak ke kamar mandi, Aku menatap mata ayahku.
Sekarang ia sedang tidur, Dokter bilang hanya hanya Diare dan dalam satu dua hari boleh pulang… Tapi tetap saja, Jika seorang penderita stroke jatuh sakit tidak bisa dibiarkan lalu dianggap enteng bukan?
Semua panik secara spontan dan ayah dibawa kerumah sakit.
Dalam hati aku mengutuk ibu tiriku yang tidak sengaja membawakan ayahku asinan dan membiarkannya memakannya.

Kubasahi tubuhku dengan air shower dingin,
Kesegaran yang ganjil menghantarkan tubuhku menuju kenyamanan seketika.
Perasaan lega dan lelah merayapiku,
Kumatikan shower, Segera dengan masih bertelanjang dada dan handuk menyampir dibahuku, Serta bercelana panjang, Membongkar isi tas baju bawaan ibu tiriku, Mencari-cari T-shirt atau sejenisnya yang bisa kupakai sementara.
Tanganku meraba sesuatu yang keras. Charger Hp…

Astaga. Hp ku…

Kubuka laci didekat tempat tidur ayahku, Mencari cari hp yang biasanya kuletakkan disana,
Dengan segera memasang charger pada Hpku,
Sialan, Sialan, Sialan, Aku ingat tentang Lily, Tapi tidak ingat tentang memberinya kabar? Tunggu, Memberinya kabar kemana? Dia bahkan tidak membawa Ponsel.
Aaaah Sial, Setidaknya aku bisa menelepon hotel tempatnya menginap, Atau apa, Setidaknya, Setidaknya!

Saking paniknya bahkan aku lupa membawa charger Hp…
Kulihat Hp ku sudah mati sama sekali. Cih, Dengan sabar aku menunggu Baterai ponselku untuk mulai mengisi. Sebelum memulai menyalakannya.

Email dari Lily.
Dan jumlahnya banyak sekali, Berderet sampai aku tidak bisa menghitungnya,
Belum lagi pemberitahuan panggilan tak terjawab,
Betul, Kan, Hah…
Betapa bodohnya aku…

Aku sudah berpikir akan membalas salah satu diantara Email-email dan pesan Facebook nya,
Ponselku sudah keburu berdering.

“Kamu dimana saja…!” Suara cemas dari Lily membahana memenuhi gendang telingaku, Kepalaku Blank sesaat,

“Aku mencarimu kerumahmu, Pembantumu bilang Kamu kerumah orang tuamu, Kucari kesana tidak ada yang mau bilang kamu kemana! Semua tidak tahu!”

Tidak akan ada yang mau buka mulut kepada gadis yang dianggap menghancurkan pertunanganku dengan jodoh pilihan mereka,
Gadis yang membuatku menentang mereka untuk pertama kalinya.

“Kamu kemana saja… Aku benar-benar hancur… Dari kemarin malam aku mencari-carimu, Bahkan pergi kerumahmu, Tidak tahu kamu kemana, Aku sendirian, Tahu, Kamu, Bukankah aku sudah bilang, Kalau mau kemana-mana, Kabari aku, Kalau tidak bisa, Titip pesan, Atau bagaimanapun caranya, Pokoknya kabari aku!” Suara bentakannya diiringi gelombang kepanikan dahsyat.
Aku menutup kedua kelopak mataku erat, Berusaha mencari-cari jawaban sesuai.

“Bukankah seharusnya kemarin kamu masih ada di luar negeri?”

Kenapa lagi baik otakku dan mulutku tidak pernah sinkron…
Aku menyesali diri, Lily terlihat begitu marahnya padaku, Ia semakin dan semakin marah saja, Membiarkanku menikmati ledakan amarah serta rasa khawatirnya selama beberapa saat,
Sebelum akhirnya menjelaskan keberadaanku dan alasan aku tidak dapat menghubunginya sehari belakangan.

“Aku khawatir sekali…” Lily memperendah nada bicaranya yang semula tinggi, “Kukira kamu marah padaku…, Kukira aku berbuat sesuatu yang salah… Kukira…Kukira aku ditinggalkan…
Aku panik, Begitu sadar aku… Aku sudah berada dalam pesawat menuju perjalanan pulang…”

Aku mengeluh tanpa suara.

“Itu saja?” Tidak bisa kutahan getaran dalam suaraku, “Kamu bela belain pulang sebelum waktunya hanya untuk itu saja ?”

“Aku ingin bertemu denganmu,
Aku benar benar tidak bisa menahan diriku lagi, Ingin bertemu, Ingin bersamamu, Kamu dimana, Apa kita tidak bisa bertemu sekarang?”

“Bertemu bagaimana, Aku dirumah sakit, Aku tidak…”

“Aku akan menunggumu, Aku pergi kerumahmu, Aku akan.”

“Hei, Jangan memutuskan seenaknya begitu, Dirumahku saat ini tidak ada seorangpun yang…”

Dan Lily memutuskan teleponnya. Tanpa menungguku selesai bicara.
Ibu tiriku yang sedari tadi mendengarkan pembicaraanku ditelepon menatapku gelisah.

“Pergilah,” Katanya, “Biar aku yang menjaga ayah disini.”

Balas memandang wajahnya, Lalu bergantian memandang ayahku,
Dengan tergesa-gesa aku memakai T-shirt dan mengeringkan air yang masih menitik-nitik dari rambutku yang setengah basah.
Meraih kunci mobilku,

“Kamu tahu,” Suara ibu tiriku menahan langkahku, “Harus aku harus memohon padamu agar tidak membiarkan segalanya kacau? Jika ya, Akan kulakukan…”

Kukepalkan tanganku.

Ia menundukkan kepala, “Tolong lindungi keluarga ini”

Aku tertawa hambar.

“Bicara apa sih,” Tukasku, “Aku tidak akan mengacaukan apapun, Tenang saja,”

Ia akan memanggilku lagi,
Masa bodohlah, Aku masih mendengar desah nafas berat dari ayahku.

Tuhan, Apakah Win-win solution itu benar benar ada ?
Dan pantaskah orang serakah sepertiku mengharapkannya ?
 
-10- I Dont Even Know A Milimeter Of Romeo And Cinderela (Last Part)

--


Hujan turun sangat deras tanpa aku mengharapkannya… Padahal seharian langit begitu biru…
Harus kuakui, aku gugup, hujan lebat begini, dan dia…
Bagaimana dengannya…?
Baik-baik sajakah?
sambil menepikan mobil didepan rumah, Aku menengok cemas,

Benar saja, Lily berada tepat didepan pintu rumahku, Meringkuk kedingingan, Ia mendongakkan kepalanya mendengar deru mesin mobil yang mati perlahan, Matanya berkedip-kedip mengenaliku,

‘Tuhan…,‘ Aku membatin dalam hati, Bergegas keluar, Tapi Lily berlari menghampiriku ketika aku baru saja melewati batas pagar rumahku,
Ia bahkan tidak perduli badannya yang basah kuyup. Melompat begitu saja kedalam pelukanku.

“Kemping didepan rumah lagi?” Bisikku nakal ditelinganya.
Ia membenamkan kepala didadaku. Sekujur tubuhnya dingin,

Tapi aku tahu ia sedang bahagia.


--

Aku sedang mengeringkan rambutku sambil mengaduk dua gelas kopi, Dan Lily memelukku dari belakang,
Masih mengenakan handuk, Ia baru saja selesai mandi,

“Apa kamu sudah selesai?” Tanyaku,
Ia tidak menjawab, Hanya menciumi punggung telanjangku, Membuatku bergidik geli, Ia membantu memasukkan gula kedalam cangkir kopiku.

“Untuk yang suka manis-manis, Lebih mengutamakan manis daripada asam dan asin,” Kataku.

Lily masih tidak menjawab, Aku hanya merasakan tangannya bergerak kebagian bawah tubuhku.

“Tidak,” Tukasku menghentikan gerakannya, “Jangan memulai apa yang tidak bisa kamu selesaikan,”

“Aku akan menyelesaikannya,” Lirihnya menatapku, Aku sama sekali tidak bisa mengalihkan pandanganku dari gadis molek dihadapanku, Ia mulai membalas tatapanku dengan agak menantang.
Manis dan membakar.

“Endingnya bagaimana?” Tanyaku menggeser dan menindih tubuhnya diatas tempat tidur, “Siapa pemilik hatimu?”

Lily mengerang lembut, Kugigit ujung handuknya, Membuatnya terlepas dan berhenti menghalangi pemandangan indah didepan mataku,

“Kamu,” Jawab Lily,

“Siapa yang kamu pilih,”

“Kalian,”

“Siapa?”

“Aku tidak bisa memilih!” Pekiknya kecil.

“Meskipun akan kehilanganku?” Tanyaku lagi, Sakit,

“Kenapa?” Tanyaku lagi, Ciumannya semakin manis saja…
Berkorbanlah untukku, Sekali saja…
Lily menangis dibawah tubuhku, Mendekapku kencang seakan ia tidak ingin melepaskannya lagi
Alisnya bertautan layaknya untaian mutiara, Pandangan matanya kembali berkaca kaca, Menghujam langsung kedadaku, Jiwaku seperti terenggut.
Berbagai macam prasangka berputar didalam kepala dan hatiku,
Aku tahu, Bukan aku, Aku mungkin hanyalah sosok sementara yang ia butuhkan untuk menutupi lubang yang ditinggalkan oleh orang lain.
Dalam hal ini, Keluarga dan kekasih sejatinya. Orang yang benar benar ditakdirkan untuknya.
Ironisnya, Orang itu bukan aku.

“Apa aku hanya sekedar pelengkap?”

Tidak ada jawaban, Hanya geliat dan desah nafas bidadari yang mungkin saja mencintaiku…
Tidak, Ini Ilusi, Bahkan jika ini Ilusi, Hidup selamanya didalam Ilusipun tak apa.
Bahkan warna yang saat ini kulihat berbeda…

Kubiarkan tanganku bergerak sendiri, Lily secara instingtif menyambutku, Bibirnya mencari bibirku, Tangannya mencari tanganku, Gemetar namun yakin, Seakan ia musafir tersesat yang ingin segera menemukan rumah tempatnya pulang.

Aku akan menyakitinya sekali, Aku akan menyakitinya, Lebih dari apa yang telah ia lakukan kepadaku, Aku akan melakukannya, Aku sudah diambang batasku,
Dengan haus membimbing hasratku menuju pertahanan terakhir kami.

Bahkan ketika ia mengucapkan kata cinta,
Ia mungkin saja mengucapkannya dengan rasa khidmat yang sama seperti ketika ia membisikiku…
Desahannya ini, Lengan yang memelukku ini, Suara yang manis ini,
Semua telah disentuh orang lain selainku…
Betapa aku bodoh… dengan percaya kepadanya aku bodoh…
Sudah tahu salah, Dengan sengaja tenggelam…
Tidak ada, Tidak akan ada yang dapat menolongku… Tidak ada…

Segala prasangka dan harapan dalam hatiku untuk bisa lepas dari semua ini lenyap remuk dalam waktu bersamaan.
Aku menatap Lily yang menahan sakitnya sendiri. Rasa sakit yang membunuh semua alasanku untuk meninggalkannya.
Ia menangis menatapku, Menangis, Pada saat bersamaan tertawa bahagia,

“Aku tidak akan… membiarkanmu pergi, Romeo-ku” Ucapnya putus-putus karena nyeri yang menguasai dalam dadanya, “Jangan tinggalkan aku…”
Rasa sakit yang sama seperti yang kurasakan.

Aku merasakan kehangatan Lily mulai menjalariku.
“Kenapa aku?” Tanyaku, Menyembunyikan wajah didadanya, Lily membelai rambutku, "Beritahu aku cara untuk melupakanmu… Kumohon…”

“Aku mencintaimu,”

“Tidak adil,” Lirihku,
Lily memanggil namaku, Ia memelukku erat,

“Aku yang lebih mencintaimu, Lebih daripada dia… Lebih daripada apapun atau siapapun…” Aku tahu aku menghujat, Betapa sombong dan angkuhnya diriku.

“Aku mencintaimu,”

“Lebih daripada cintamu kepadanya…?”

“Aku hanya tahu aku mencintaimu, Kalaupun ada seseorang yang harus menjadi pelengkap, Itu bukan kamu… Itu adalah dia,”

Dadaku merasakan sesak.
Ini cinta? Kalau ya, Aku lebih memilih untuk tidak mengenal sama sekali apa itu cinta,
Datangnya salah, Kepada orang yang salah,

Seperti apa rasanya memeluk bulan? Mungkin saja seperti ini…
Lily tertidur karena lelah didalam dekapanku,
Ia telah melakukan, Bagaimanapun, Pengorbanan pertamanya…
Tidak, Ini tidak akan mengubah apapun, Tidak peduli sekeras apapun usahanya menghapuskan alasanku untuk mengakhiri ini semua satu demi satu.

Perbedaan yang takkan bisa diatasi, Kecuali salah satu melakukan pengorbanan…
Aku akan menjauh… Setelah ini aku akan menjauh.
Atau, Memikirkan cara-entah-apa yang bisa membuatku terlepas dari gadis gila ini.
Brengsek juga tidak apa-apa, Aku lebih baik meninggalkannya.
Harus.
Tidak peduli noda macam apa yang telah kutorehkan kepadanya malam ini.
 
Neng, tau gak persamaan eneng sama talenan? | apaan non? | sama-sama pinter menyayat hariku <3D


itu ceritanya meskipun gak jelas gimana jalannya tapi makin kesini ternyata makin ngiris, ya ampun sayang aja ini dikantor kalo di rumah udah nangis-nangis kali >:'( terharu aja sama cara si "aku" mendeskripsikan cintanya pada Lily...


lanjut lagi......... ;)
 
Epilogue.

--

Dan hari ini, Inilah dia,
Berdiri diatas altar, Dengan gaun putihnya.
Ia tampak begitu bahagia, Cantik, Lebih indah dari apapun, Dalam balutan gaun impian, Sihir abadi yang tidak akan pernah hilang meskipun jam dua belas malam telah lama berlalu…

Ia tersenyum kepada semua orang sehingga nyaris tidak ada seorangpun yang bisa membedakan apakah senyumannya itu memang berasal dari dalam hatinya ataukah hanya senyum palsu belaka.

Ia tidak bisa membohongi hatinya,
Saat ini ia bahagia, Aku juga tidak bodoh, Walau melihatnya dari kejauhan begini, Aku bisa tahu ia bahagia.
Ayolah, Aku tidak senaif itu, Anak perempuan mana yang tidak mendambakan memakai seongok kain mahal berwarna putih yang menjadi perlambang kebahagiaan itu ?
Meskipun benda itu sekarang menjadi simbol sakit jiwa bagiku.

Aku membencinya, Pada saat bersamaan mencintainya,
Tanpa kusadari ia selalu berada dekat denganku, Begitu dekat hingga semua emosi kami nyaris terhubung, Perasaanku yang menggila. Kesedihan, Kegembiraan.
Kejam, Ia tidak akan pernah tahu betapa kejamnya dia,
Begitu entengnya dia menyelipkan sesuatu diantara kami, Seorang karakter baru.
Dan ia melupakan semua janji yang kami buat,
‘Kecuali denganmu, Tirai cerita ini tak akan pernah terbuka,’

Kenyataannya, Aku tahu ia bahagia disana… Bersama seseorang yang bukan aku.
Ia bahagia. Bidadari pengkhianat-ku tercinta…

Hey, Memangnya apa yang harus kukatakan? Aku hanya jujur kalau aku merasa sakit, Hanya itu.
Kalau aku ingin menjadi munafik, Sebenarnya bisa saja,

Tulang-tulang ditubuhku ngilu serasa dipatah patahkan.
Walaupun demikian, Aku juga tidak merasa waras lagi, Sehingga masih bisa berdiri disini, Dibalik pohon tak jauh dari gereja tempatnya mengucapkan sumpah setia dengan lelaki yang paling ingin kubunuh saat ini.
Persetan dengan kiasan “Kalau orang yang kita cintai bahagia, Kita juga akan bahagia.”
Aku juga ingin membunuh siapapun yang menciptakan kiasan tanpa peduli perasaan orang lain itu.

Aku tidak bisa menerima kenyataan ia bahagia.

Mereka sekarang berfoto bersama, Bagus sekali, Ingin kuledakkan dunia ini bersama isinya.
Lihat, Lihat dia, Lelaki itu. Dia pikir dengan tersenyum berlagak polos begitu, Betapa sedikit modal yang ia keluarkan, Ia bisa memiliki segala yang ia mau.
Benar benar. Dia bahkan tidak pantas sama sekali. Untuk memeluk bahu Lily, Memegangnya seerat itu, Atau bahkan, Mencium pipinya seperti itu… Atau… Atau…

Ya, Dia bajingan sialan yang muncul ditengah tengah aku dan Lily.
Aku membencinya, Ia memang bajingan, Ia tidak pantas berada disana dan tertawa bahagia bersama dengan wanita yang kucintai,
Tidak pantas, Tapi…
Tapi aku, Orang yang sekarang marah-marah karena hatiku diliputi oleh perasaan cemburu yang luar biasa keliru ini.
Aku bahkan lebih rendah darinya.
Akulah yang terburuk.

Dia yang lebih cocok menjadi Romeo yang sebenarnya, Bukan aku.
Meskipun aku sangat yakin cintaku kepada Lily lebih besar daripada dia.
Ini sangat sakit, Ini takkan termaafkan, Tak akan pernah bisa terobati,
Aku tersayat sangat dalam,
Kugigit bibir bawahku menahan perih, Aku bersumpah kalau aku akan mengingat rasa sakit itu seumur hidupku.
Entah Berapa kali aku berdoa memohon agar Tuhan Menghapus memoriku saja atau mengembalikan waktu, Dimasa lalu, Masa dimana aku belum mengenal Lily.
Saat dimana aku masih bisa tertawa dengan mengabaikan apapun disekitarku.

Lily melihat kearah pohon besar tempatku berdiri.
Bibirnya menyunggingkan senyum permohonan maaf, Ia mengatakan ‘Aku mencintaimu’ Tanpa suara.

Tapi aku sedang tidak ingin mendengar itu semua.

---

“Bagaimana?” Lily keluar dari dalam gudang, Baru saja mengganti gaun pengantinnya dengan gaun pengantin baru pilihan kami berdua yang berpotongan lebih sederhana,

“Cantik…” Komentarku memandanginya dari atas sampai bawah.
Lily tersenyum puas.

“Yang sederhana memang bagus” Timpalnya. “Cocok untuk pesta pernikahan yang hanya berdua.”
Aku tersenyum kecut.
Memandangi ia memasukkan gaun pengantin lamanya kedalam bagasi mobil.

“Awas robek, Harganya jutaan itu”

Lily bahkan tidak menanggapi ucapanku sama sekali, Terus menjejalkan benda halus putih itu sampai muat semua.

“…Kamu akan memakainya saat meninggal nanti…”

“Kamu cerewet sekali sih!”

Lily melompat memelukku dan menghujaniku dengan ciuman.

“Kamu tadi datang ke pesta… Kenapa tidak bilang padaku, Kalau tahu akan kusiapkan tempat duduk yang paling nyaman…”

“Tidak senyaman dia yang mengucap sumpah setia disampingmu” Sahutku muram.

Lily memasang tampang merajuk. Menciumku lagi.

“Kamu melihatnya dengan mata yang sama yang kamu gunakan untuk melihatku…” Kupejamkan mata, Menikmati sentuhannya. “Ini salahmu,”

Karenamulah aku bisa melakukan ini semua, Kamulah alasanku bertahan hidup,
Pun dengan cara menyedihkan semacam ini…

“Maaf… Maaf ya…” Lily menarikku semakin dekat. Menyentuhkan bibir kami sekali lagi.
Ia hanya meminta maaf, Seperti biasa,
Maafku bukan sesuatu yang tak terbatas… Tapi kenapa ia selalu mendapatkannya?

“Yang lebih penting lagi…, Kamu menghilang tiba-tiba… Padahal malam ini malam pernikahanmu kan…, Tidak ingin bulan madu ?” Sindirku.

“Aku bilang aku ada pemotretan diluar negeri, Toh orang sibuk yang lebih sayang mobilnya sehingga menyuruhku naik angkot daripada melewati jalan berbatu bersamaku itu tidak akan memikirkan bulan madu atau semacamnya.”

Aku senang Lily Mengungkit ungkit kejelekan ‘Suami’ nya.
Entah mengapa aku merasa tersanjung.
Ataukah ini perasaan lumrah yang biasa dimiliki seorang selingkuhan?
Lagi-lagi, Pathetic…

“Tapi tetap saja…”

Mulutku kali ini dibungkam dengan sebuah ciuman yang dalam.
Lily menciumku seakan tidak ada hari esok lagi.
Membuatku sejenak melupakan semua penderitaan maupun kebahagiaan atau apa saja.
Hanya ada aku, Dan Lily.

“Aku tidak peduli,” Senyumnya nakal kepadaku, Sembari masuk kedalam mobilku dan duduk dikursi penumpang. “Yang bulan madu sekarang kita kan?” Godanya, “Kenyataannya sekarang aku bersamamu…”

Aku tersenyum, Mengikutinya masuk kedalam mobil, Menyalakan mesinnya lalu bertanya mau pergi kemana, Lily tertawa mengatakan akan kemanapun bersamaku.
Ia melakukannya, Mengorbankan separuh dari hidupnya, Dan mengambil seluruh dari hidupku.
Betapa liciknya.
Wanita sialan yang paling kucintai.

Hubungan macam apa ini sebenarnya?
Sampai kapan?
Sampai perasaan kami yang tak seorangpun boleh tahu ini lenyap bersama ilusi itu sendiri ?

Ya, Ini endingnya bukan? Itu benar…
Ayo kita mulai Tragedi ini.
Dan selamat datang, Romeo…








FIN.
 
Neng, tau gak persamaan eneng sama talenan? | apaan non? | sama-sama pinter menyayat hariku <3D


itu ceritanya meskipun gak jelas gimana jalannya tapi makin kesini ternyata makin ngiris, ya ampun sayang aja ini dikantor kalo di rumah udah nangis-nangis kali >:'( terharu aja sama cara si "aku" mendeskripsikan cintanya pada Lily...


lanjut lagi......... ;)

Alur na acak :D:D:D

Makasih udah baca >:>
Hadooohhh dipujiiiii, T^T
Dai juga pengen nangis nih, >:'(>:'(
 
Btw ini kisah nyata ya, non Dai?

Iya, ^^
Kenalanku yang terjebak dalam keadaan seperti ini =x="
Kasihan sih,
Tapi dai juga nggak punya hak untuk mengkritik,
Ini kan hanya 'Cinta', Ada berbagai macam jalan na,
Dan orang ini cenderung mengambil jalan yang terburuk =w="


*Sotoy*
 
Back
Top