Demonstrasi Mahasiswa

spirit

Mod
Demonstrasi pemanasan sudah berlangsung dalam sepekan terakhir ini. Di perkirakan Selasa, 27 Maret 2012 merupakan puncak dari demonstrasi besar-besaran tersebut.

Demonstrasi bukanlah barang haram di dalam sistem politik yang demokratis. Demokrasi memberi peluang kepada warga Negara untuk bukan saja mendukung pemerintah, melainkan juga bersikap kritis atas segala kebijakan pemerintah, khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk soal kenaikan harga BBM.

Demonstrasi merupakan salah satu wujud dari partisipasi politik rakyat yang tidak dapat dihindari atau dicegah oleh kekuatan politik apa pun, termasuk oleh pemerintah. Namun, seperti juga terjadi di banyak Negara, demonstrasi sepatutnya dilakukan secara elegan, tidak merusak atau bersifat anarkhis.

Kita sepakat bahwa masih banyak yang harus rakyat ketahui mengapa pemerintah menaikkan harga BBM. Hitung-hitungannya haruslah masuk akal dan transparan. Selama ini kita hanya mendengar bahwa pemerintah harus menaikkan harga BBM demi menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) demi kegiatan yang lebih bermanfaat.

Sebaliknya, dari pihak yang menentang, seperti yang diutarakan oleh salah seorang anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-P Rike Dyah Pitaloka, ada sesuatu yang disembunyikan oleh pemerintah mengenai hitung-hitungan harga BBM itu. Bahkan, menurut Rike, pemerintah sebenarnya masih untung dari produksi dan penjualan BBM yang selama ini berjalan.

Pemerintah juga tidak pernah memiliki keberanian untuk berdialog langsung dengan para mahasiswa pendemonya. Di era akhir pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno berani melakukan dialog dengan para mahasiswa UI mengenai situasi politik pasca peristiwa 1 Oktober 1965.

Para menteri ekonomi di era Soeharto juga tidak jarang melakukan dialog langsung dengan para mahasiswa, seperti yang dilakukan oleh para Begawan ekonomi di kampus UI yang dikoordinasi Group Diskusi UI (GD-UI) jauh sebelum terjadinya peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Jenderal Wiranto juga pernah melakukan dialog langsung dengan para wakil mahasiswa seluruh Indonesia di Jakarta Fair Kemayoran.

Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono hanya mengutus Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa untuk berdialog dengan 120 rektor yang tergabung di dalam Forum Rektor, seolah para rector itu mewakili civitas academika universitas di seluruh Indonesia.

Mengapa para menteri ekonomi tidak berani melakukan dialog langsung dengan para wakil mahasiswa? Kalau pun terjadi dialog, selama ini selalu melalui rekayasa politik, yaitu memilih para wakil mahasiswa dan organisasi pemuda yang tidak kritis kepada pemerintah.

Bahkan ada juga informasi bahwa pemerintah “membeli dukungan pemuda dan mahasiswa” dengan membawa mereka untuk berkunjung ke Beijing, China, saat Presiden Yudhoyono melakukan lawatan ke China, Hong Kong dan Korea Selatan akhir pecan lalu dan akan berakhir pada akhir pecan ini.

Mengapa pula tidak ada upaya untuk melakukan dialog terbuka antara para ekonom pemerintah dan pendukungnya yang kadang disebut beraliran neo-lib dengan para ekonom nasionalis pendukung ekonomi Pancasila atau pendukung Trisakti-nya Bung Karno mengenai apakah penaikan harga BBM adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari.

Wacana semacam ini adalah suatu yang lumrah terjadi, bahkan pada era Soeharto yang amat otoriter dan tertutup. Mengapa kini seolah negeri ini terpecah antara “pendukung pemerintah” dan “penentang pemerintah”, padahal banyak orang yang kritis terhadap pemerintah tetapi tidak ingin pemerintahan yang dipilih secara demokratis ini ditumbangkan.

Demokrasi memberikan ruang luas kepada rakyat untuk memilih secara bertanggungjawab dan dewasa. Karena itu jika mereka salah pilih pada pemilu presiden yang lalu, biarlah rakyat pula yang menentukan pergantian rezim secara demokratis pula.

Demo Damai

Kita melihat dan membaca bahwa sebagian besar demonstrasi yang sedang terjadi berjalan secara damai, walau ada juga yang anarkhis seperti yang terjadi di Makassar. Kita tentunya sependapat bahwa langkah mahasiswa yang menutup Pom Bensin di Cikini, Jakarta, membagi-bagikan tabung gas berisi dan Air Minum kemasan di Makassar, menyetop, menendang dan bahkan ada yang membakar kendaraan yang mereka hentikan di Makassar, adalah perbuatan yang anarkhis dan melawan hukum.

Kita juga membaca dan mendengar betapa pemerintah sudah ancang-ancang kaki untuk menerjunkan tentara sebagai kekuatan penunjang polisi dalam menghadapi demo mahasiswa dan buruh.

Pelibatan tentara dalam penanganan demonstrasi termasuk dalam kategori operasi militer selain perang. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pelibatan tentara itu harus didasari oleh Keputusan Politik Pemerintah.

Selama ini kita belum memiliki Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur mengenai UU TNI tersebut. Perbantuan TNI terhadap polisi masih didasari oleh kebijakan politik lama ketika polisi masih merupakan bagian dari ABRI. Ini meletakkan TNI pada posisi yang dilematis, jika mereka tidak melakukannya akan dituduh melakukan insubordinasi kepada presiden, sementara jika terjadi bentrok dengan massa dan ada korban di pihak massa maka TNI akan dituduh melakukan pelanggaran HAM dalam menangani demonstrasi.

Kita berharap demonstrasi akan berjalan damai. Baik para mahasiswa, buruh atau kelompok penekan kebijakan pemerintah diharapkan mampu mendisiplinkan para anggota yang berdemo serta mencegah masuknya anasir atau pengacau yang bias dating dari manapun, termasuk dari kalangan aparat yang ingin mendiskreditkan demonstrasi mahasiswa dan buruh. Di sisi lain, para polisi (dan tentara) juga harus menurunkan emosinya saat berhadapan dengan para mahasiswa dan buruh.

Selama ini memang masih ada persepsi kedua belah pihak yang tidak kondusif dengan demo damai. Di mata mahasiswa dan buruh, polisi adalah aparat penguasa, sementara di mata polisi dan tentara di lapangan, para mahasiswa dan buruh adalah pengacau keamanan.

Polisi dan tentara berpangkat rendah juga sering menganggap para mahasiswa adalah anak-anak orang kaya yang memiliki hak-hak istimewa sebagai bagian dari klas atas, sementara polisi dan tentara adalah anak-anak orang miskin yang tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi yang semakin mahal itu.

Di sini lagi-lagi kita berharap agar coordinator demo dan para komandan polisi dan tentara di lapangan menyadari akan bahaya salah persepsi tersebut. Para mahasiswa dan buruh dapat membawa dan memberikan “bunga tanda persahabatan” kepada aparat polisi dan tentara, sebaliknya para aparat juga memberikan “senyum persahabatan” kepada para pendemo. Semoga demo besar esok atau lusa berjalan damai.


inilah.com
 
Back
Top