Review : Mencari Madona: Bukan Sekadar Proyek Penyuluhan

Kalina

Moderator
Kiranya tidak salah pendapat yang menyebutkan bahwa film merupakan anugerah seni terbesar yang pernah dimiliki manusia. Ia merangkum hampir semua unsur seni di satu sisi, memiliki implikasi yang nyata pada wilayah ekonomi, politik dan budaya di sisi yang lain. Jika seorang sineas muda mengatakan film tak lebih sebuah media komunikasi, sesungguhnya dia hanya menunjukkan salah satu fungsi film.

?Mencari Madona? film garapan John de Rantau yang kembali diputar di kineforum TIM, pertengahan Januari lalu kurang lebih menunjukkan pada kita betapa film ini memberikan fungsinya yang paling penting: penyuluh bagi kemanusiaan.

Film layar lebar perdana John de Rantau ini mengangkat tentang penyebaran penyakit AIDS di Papua. Dipaparkan, Yosep (Samuel Tunya) seorang pelajar SMA yang divonis terjangkit virus HIV dirundung rasa sesal mendalam yang hampir membawanya pada praktek bunuh diri. Penyesalannya terutama dipicu oleh kematian pacarnya yang mengenaskan: dibakar keluarganya gara-gara terjangkjit virus yang dia tularkan melalui hubungan seks.

Dalam keputus-asaannya itu Yosep bertemu dengan Madona (Clara Sinta), seorang pekerja seks komersial asal Jawa yang juga terjangkit AIDS. Dalam salah satu adegan pertemuan mereka, di dalam bilik tempat Madona melakukan eksekusi, digambarkan Madona melakukan ?upacara? pembasuhan kaki Yosep yang terluka. Sebuah upacara yang dikenal dalam tradisi Katolik, agama yang dianut mayoritas masyarakat Papua. Selain menyinggung tradisi keagamaan tersebut, melalui ?Mencari Madona? John juga mengungkap mafia perdagangan perempuan di pedalaman Papua yang belum pernah dilakukan sineas Indonesia.

Keindahan alam Papua sangat menonjol digambarkan. Gunung gemunung, pantai, dan batang-batang sungai dengan gericik airnya yang menakjubkan. Pengambilan gambar dengan angle yang fantastis dan menghanyutkan. Meski serupa film penyuluhan, film ini sama sekali tidak kehilangan unsur dramatisnya, termasuk di dalamnya aroma humor menyegarkan yang menyelinap dalam dialog-dialog yang bersahaja namun bertenaga. Selama 93 menit film ini menyuguhkan Papua dengan begitu real dan dalam beberapa titik tidak terduga. Potensi akting anak-anak Papua digarap dengan cukup cermat. Secara ide dan gaya bertutur film ini relatif original.

Sayang, film yang yang dinominasikan di sejumlah festival film international, antara lain Shanghai Film Festival, Singapura Film Festival, dan Rusia Film Festival ini, tidak dirilis di bioskop sehingga masyarakat luas tidak bisa mengakses film ini.
 
Back
Top