Adik Rewel

Kalina

Moderator
Pak Dar dan Bu Nalini, saya mempunyai seorang adik. Waktu kecil, dia selalu rewel setiap orang tua pulang kerja atau sedang beristirahat tanpa mengenal waktu. Saya memaklumi karena dia masih anak-anak.

Dia rewel karena meminta sesuatu seperti mainan atau jajan. Kalau orang tuaku sedang tidak punya aktivitas, pasti kemauannya dituruti. Tapi, kalau sedang capai, orang tua nggak tahu mesti ngapain.

Jalan yang beliau tempuh adalah memukulnya. Habis, semua cara sudah dikerahkan, termasuk menasihati dan membujuknya. Cara tersebut selalu beliau lakukan saat sudah tidak ada cara lain.

Ketika adik saya beranjak remaja (sekarang berumur 14 tahun), wataknya semakin lama semakin keras. Ortu nggak tahu mesti ngapain dan sering bertanya-tanya kepada saya bagaimana cara mengatasi adik saya yang semakin lama semakin nakal itu. Setiap dinasihati, dia tidak pernah menurut. Parahnya, dia pernah keluar rumah dan tidak pulang lebih dari tiga minggu. Hal itu sering dia lakukan. Nasihat bagi dia mungkin merupakan petir di siang bolong.

Pak Dar dan Bu Nalini, saya tidak ingin hal tersebut terjadi pada kehidupan keluarga saya kelak kalau sudah punya anak. Saya sangat butuh solusi dari Bapak dan Ibu.
Pertanyaan saya :
1. Apakah sikap keras adik saya itu disebabkan dirinya sering dipukul waktu kecil saat rewel?
2. Bagaimana cara mengatasi anak kecil yang selalu rewel?
3. Solusi apa yang bisa Anda tawarkan untuk mengatasi hal tersebut?
X, Somewhere


Suka Minggat
TEMAN saya curhat, anak lelakinya yang sedang remaja kabur dari rumah seusai perang mulut dengan abangnya. Tiga hari berlalu, di tengah kegalauan hati, tiba-tiba anaknya pulang kembali ke rumah. Sang anak pun protes keras. "Kok aku pergi Mama nggak nyari aku? Berarti Mama nggak takut kehilangan aku? Bener kan, Mama lebih sayang kepada Mas daripada aku?" ujarnya setengah marah, setengah ngenes.

Ibunya yang teman baik saya itu mendudukkan anaknya sambil menjawab, "Mama memang nggak nyari kamu karena kamu minggat dari rumah atas kemauanmu sendiri, tidak karena Mama ngusir kamu. Itu tidak baik. Kalau itu menjadi kebiasaan, berarti kamu nggak akan pernah dewasa. Selesaikan masalahmu dengan Masmu, tida mengindari masalah begitu. Sekali lagi, selesaikan masalah, bicaralah dengan tenang apa kejengkelanmu, tidak malah minggat. Kamu telah menyusahkan seluruh keluarga karena khawatir atas keamananmu. Tapi, ketahuilah, kalau kamu minggat lagi, Mama tidak akan pernah nyari kamu. Itu kemauanmu sendiri. Mama sayang kamu, sama dengan Mama sayang Masmu. Tapi, kalo kamu minggat begitu, berartinya kamu justru nggak sayang sama Mama...," dan bla bla bla lain. Masalah selesai dan anaknya tidak pernah minggat lagi kalau sedang mengambek.

Satu "mata pelajaran" kehidupan diperoleh sang anak, kebetulan dia "naik kelas".

Masalahnya, tidak semua orang tua bisa menghadapi anaknya seperti teman baik saya itu. Alih-alih membuat anaknya "naik kelas" dan mendapatkan pengalaman hidup yang membuatnya lebih dewasa, eh.... malah memberi pelajaran yang lain. Memberi bogem mentah alias anaknya dipukuli habis karena kesal dan marah. Atau sebaliknya, ketika anaknya ngambek atau minggat dari rumah, kemauannya segera dituruti agar nggak minggat atau marah lagi.

Apa yang dipelajari sang anak? Agar kemauannya dituruti, lain kali minggat saja atau marah-marah, kalau perlu sambil membanting-banting piring. "Toh, nanti ortu pasti ngalah dan kemauanku dituruti," pikirnya.

Jadilah mereka "naik kelas" juga, tapi naik kelas dalam hal kebiasaan buruknya. Apalagi, bila mereka sudah punya prone untuk agak mbeling alias menjadi anak dengan delinquency. Agak sulit bila telat ditangani, apalagi kalau punya potensi biologis.

Anak kecil sering rewel sebetulnya merupakan sebuah alarm bahwa anak tersebut merasa tidak nyaman. Apakah dia sakit secara fisik, sedang mencari perhatian, atau ada gangguan emosional. Harus bijaksana menyikapinya atau tanyakan kepada yang ahli. Yang jelas, tidak untuk digebuki. Anak yang sering dipukuli juga akan belajar bagaimana memukul orang lain. Seperti yang dinyatakan Dorothy L. Nolte: "If he lives with hostility, he learns to fight?" (*)
Nalini M Agung
Psikiater


Suatu Kali
SUATU kali, Noni rewel. Dia selalu memperoleh yang diinginkan dari orang tuanya. Suatu kali, dia gagal memperoleh keinginannya. Bahkan, dia mendapatkan hal yang dihindari, yakni kekerasan. Suatu kali, ada banyak hal yang bisa diperolehnya dari suatu kali. Apalagi bila momentumnya tiba. "Yen wis tekan wayahe."

Lha kok suatu kali dia rewel, ayah ibunya justru memukulnya. Dia minggat! Tidak hanya dalam lakon-lakon ketoprak anak itu minggat. Dalam kehidupan orang Amerika modern, juga ditemukan lebih dari 30 persen anak pernah minggat sekali dalam hidup mereka. Cuma yaitu. Ada anak yang minggat, lalu ketemu malaikat yang memberi tahu bahwa minggat itu tidak baik. Bukan hanya itu, bahkan membuat mereka takut, cemas. Peran malaikat itulah yang justru sedang dibutuhkan orang tua ketika anaknya menginjak dewasa. Setelah debat dengan diri sendiri yang dahsyat, akhirnya anak memutuskan minggat dari "self esteem"-nya, harga dirinya diinjak-injak. Inilah momentum, suatu hari, yang membuat anak itu minggat! Tapi, belum tentu ada malaikat kecil yang membisikinya untuk pulang. Siapa tahu, dia malah ketemu serigala galak atau bahkan bandit jalanan yang akan memangsanya?.

Karena itu, temukanlah malaikat kecil yang akan menemani anak Sampeyan. Tidak selalu harus orang lain. Bisa kan, bila ayah marah, ibu menjadi malaikat. Atau sebaliknya, bila ibu marah, ayah ambil peran sebagai malaikat. Atau, kalau ayah dan ibu marah karena merasa amat direpotkan oleh anaknya, ya Anda sebagai kakaknya berperan menjadi malaikat kecil itu. Why not?!

Di Jawa, momentum yang kosong itu (hanya beberapa detik saja) bisa sangat mencelakakan si kecil. Karena dalam momentum tak bertuan itu, setan justru datang dan membawanya pergi. (Yen pas ana setan liwat).

Menjelang anak-anak menjadi akil balig, muncullah suasana "gegap gempita" yang dialami anak-anak yang biasa disebut oleh para ahli psikologi Barat sebagai masa sturm and drung. Yah, miriplah dengan masa-masa seperti sekarang ini, ketika badai dan topan saling bertumbukan. Justru, pada masa seperti itulah anak-anak membutuhkan pegangan, orang yang bisa menjadi "jaminan mutunya" bahwa anak itu tidak bakal menjadi trouble maker, tapi justru trouble shooter yang bakal membereskan berbagai gejolak yang terjadi.

Karena itu, anak-anak sejak kecil sudah diajari seri samadya. Tidak kroncalan, bedhigasan, tapi eling, percaya, mituhu maring Gusti. Banyak orang yang percaya, doa bisa mengubah perilaku anak. Praktikkanlah! Niscaya akan berhasil!
 
Hmmm..
pernah sih aq baca di buku tentang yang setipe kayak gini...
Katanya :
Klo ingin membuat perbuatan negatif jadi positif caranya adalah dengan nyuekkin perbuatan negatif itu. Orang melakukan perbuatan negatif agar diperhatikan. Jadi klo ga diperhatikan mk ia akan berpikir bahwa perbuatan negatif ga memberikan dampak yang bagus, yang ada malah bawa masalah..
Terus klo dy melakukan perbuatan baik berilah perhatian ekstra dengan sepenuh hati. Jadi dia akan berpikir bahwa dengan melakukan perbuatan baik, ia bisa mendapat yang dia inginkan. Alhasil dia akan lebih suka melakukan perbuatan baik daripada perbuatan buruk.
 
Post yg menarik. Setuju dengan penyelesaian yg diajukan di atas. Menurutku, penting untuk mendidik anak supaya mandiri sejak kecil. Komunikasi antara orang tua dan anak sangat berperan untuk membentuk anak dan membuat mereka mengerti hal yang benar dan salah. Jangan selalu menuruti kemauan anak, tapi harus bisa menjelaskan kenapa iya dan tidak.
 
Back
Top