Mencermati Jalan Tol Trans Jawa

Kalina

Moderator
Obsesi Tumbuhkan Ekonomi Dua Digit
Seabad silam (1810-1825), pemerintah kolonial Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Daendles membuat Jalan Raya Pos atau De Groote Postweg sepanjang 1.000 kilometer yang menghubungkan Anyer (Banten) dan Panarukan (Situbondo). Ambisi itu diulang pemerintah dengan pencanangan Jalan Tol Trans Jawa sepanjang 897,7 kilometer.
---------

Proyek Jalan Tol Trans Jawa senilai Rp 46,77 triliun menghubungkan Anyer hingga Banyuwangi. Proyek itu sebenarnya digagas sejak pertengahan 1990-an. Krisis ekonomi memaksa proyek tersebut kembali masuk laci pemerintah. Proposal muncul kembali pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, namun baru direalisasikan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Selain meningkatkan aspek pelayanan publik, fungsi utama Jalan Tol Trans Jawa sebenarnya ditekankan pada upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah yakin, bila proyek ini selesai pada 2009, pertumbuhan ekonomi yang saat ini berkisar 6 persen akan tumbuh fantastis hingga mendekati double digit.

Jalan Tol Trans Jawa akan membentang di empat provinsi dan dibagi dalam 15 ruas tol. Proyek itu bakal menyatu dengan ruas-ruas tol yang telah beroperasi saat ini, yaitu Jakarta-Anyer, Tol Dalam Kota Jakarta, Jakarta Outer Ring Road, Jakarta-Cikampek, Cirebon-Kanci, Semarang Ring Road, dan Surabaya-Gempol.

Sesuai kebijakan pembangunan infrastruktur yang mengedepankan peran swasta dengan dukungan pemerintah (public-private partnerships), ruas-ruas tol itu ditenderkan terbuka kepada investor dalam dan luar negeri. Ruas-ruas itu, antara lain, ditawarkan dalam Infrastructure Summit I dan Infrastructure Summit II.

Baru pertengahan Februari lalu Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Departemen Pekerjaan Umum memperoleh investor untuk 14 ruas. Hingga kini, ruas tol Probolinggo-Banyuwangi sepanjang 156 kilometer belum diminati investor.

Ruas itu miskin jumlah kendaraan yang lewat (traffic) sehingga interest rate return-nya dinilai kurang ekonomis. Agar membuat ruas ini menarik, investor mensyaratkan subsidi dari pemerintah dalam pembebasan lahan dan proses konstruksi. Insentif itu juga telah diberikan dalam tender ruas Solo-Ngawi-Kertosono yang akhirnya dimenangi PT Astratel Nusantara.

Keberhasilan BPJT memikat investor sehingga bersedia menandatangani Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) tak lepas dari berbagai insentif yang diberikan pemerintah. Khususnya bantuan untuk menghadapi dua kendala utama bagi investor sektor infrastruktur, yaitu jaminan memperoleh kredit konstruksi dan pembebasan lahan.

Sejak krisis moneter, perbankan memang alergi untuk mendanai proyek-proyek di sektor infrastruktur. Risiko kredit macet di sektor infrastruktur memang besar. Terutama faktor nilai pinjaman yang sangat banyak dan ketidakpastian pembebasan lahan yang berpotensi besar menjadi penyebab pelaksanaan pekerjaan menjadi molor. Bila pekerjaan molor, otomatis arus kas perusahaan juga jeblok.

Pemerintah langsung tanggap. Terobosan dilakukan pemerintah dengan menyediakan dana bergulir pembebasan lahan dari APBN. Dana bergulir Rp 400 miliar dalam APBN 2007 itu dikelola Badan Investasi Pemerintah (BIP) dan disalurkan ke BPJT guna pembebasan lahan di delapan ruas tol yang telah memiliki investor. Yaitu, ruas tol Cikampek-Palimanan, Kanci-Semarang, Semarang-Solo, dan Surabaya-Mojokerto. Berikutnya, Gempol-Pasuruan, Gempol-Pandaan, Cikarang-Tanjung Priok, dan Ring Road Bogor.

BPJT selanjutnya membagikan dana pembebasan lahan pada Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Unsurnya terdiri atas pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Panitia itu bertugas menegosiasi harga ganti rugi tanah di petak-petak yang telah ditetapkan. Bila lahan telah dibebaskan, investor akan mengganti uang yang dikeluarkan BPJT.

Beban bunga itu bisa dibebankan BPJT kepada investor. Jika BPJT yang telat membayar, badan itu yang akan terkena denda 2 persen per bulan.

Kewajiban tersebut sekaligus untuk meyakinkan pemerintah bahwa kemampuan investor bisa dipercaya. "Pemerintah butuh sektor swasta tumbuh. Tapi, pemerintah tetap menginginkan investor yang kredibel. Kadang investor itu tidak segagah bajunya. Ketika tender meyakinkan, ternyata tidak punya modal," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Jika tanah telah dibebaskan dan investor gagal membangun, pemerintah akan mengambil alih. "Ide awalnya memang public-private partnership. Tapi, kalau BPJT telah membeli tanah dan kontraktor failed, tanah itu sudah dimiliki pemerintah," katanya.

"Infrastruktur tol memang didahulukan, tapi jangan ada moral hazard. Bila semua risiko ditanggung pemerintah, investor hanya akan menjadi free rider," lanjut Ani -sapaan Sri Mulyani Indrawati.

Dengan jaminan tersebut, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto yakin, pembebasan tanah akan rampung setidaknya dalam empat bulan sejak dana dicairkan. "Bahkan, investor sudah berjanji minimal tiga bulan bisa membebaskan," kata Djoko.

Dari alokasi anggaran Rp 400 miliar, yang separo dialokasikan untuk pembebasan lahan ruas tol Cikarang-Tanjung Priok. Ruas tol itu didahulukan karena menjadi penghubung utama kawasan industri Cikarang dan Cibitung di Kabupaten Karawang dengan Pelabuhan Internasional Tanjung Priok.

"Selama ini investor mengeluh karena pengiriman barang terlambat sampai ke pelabuhan akibat terjebak kemacetan. Bila ruas tol itu selesai, keluhan barang terlambat dikirim tidak akan ada lagi," ujar Djoko.

Investor tol yang diberi nama Tol Karang Tanjung itu adalah konsorsium asal Malaysia, MTD CTP Espressway. Nilai proyek tol Karang Tanjung Rp 2,241 triliun bahwa Rp 225 miliar di antaranya untuk pembebasan lahan.

Selain ruas tol Karang-Tanjung, ruas tol yang mendapat alokasi dana bergulir Badan Layanan Umum Rp 200 miliar adalah ruas tol Semarang-Solo. Ruas tol itu dibagi dua, yaitu ruas Semarang-Bawen dan Bawen-Solo. Proyek tersebut akan melewati empat kabupaten, Kabupaten Semarang, Salatiga, Boyolali, dan Sukoharjo.

Nilai investasi proyek tol Semarang-Solo diperkirakan Rp 6,135 triliun, Rp 800 miliar di antaranya digunakan untuk pembebasan lahan.
 
Back
Top