Kompor Sekam, Sumber Energi Murah Meriah

andy_baex

New member
Kompor Sekam, Sumber Energi Murah Meriah
Kamis, 09 Februari 06 - oleh : akhirudin

SEKAM atau kulit terluar dari gabah masih dianggap sampah dan belum dimanfaatkan secara optimal. Di tiap penggilingan padi (huler) di kawasan pantai utara (pantura) Jabar, sering terlihat bertumpuk hingga membukit. Sampai saat ini pemanfaatan terbesar sekam adalah sebagai pengisi dan pembakar bata merah yang merupakan industri rakyat di pedesaan pada saat musim paceklik atau kemarau panjang.

Sekam padi sebagian besar terdiri dari serat kasar, berguna untuk menutupi kariopsis. Serat kasar ini terdiri dari dua bagian yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan satu dengan lainnya. Sekam mencapai 20-30 persen dari berat gabah (Munarso, 1995). Limbah sekam ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan antara lain untuk pencampuran pakan ternak dan sumber energi (Rachmat,1999). Sebagian besar sekam terdiri dari selulosa sehingga dapat digunakan untuk bahan bakar yang merata dan stabil (Beagle,1979).

Industri pengilingan padi yang ada di Indonesia mampu mengolah lebih dari 40 juta ton gabah menjadi beras giling dengan rendemen 66 ? 80 persen. Bila kondisi ini berjalan sesuai dengan kapasitasnya, terdapat sekam yang dapat mengganggu lingkungan sebesar 8 juta ton. Angka Ramalan (Aram II) tahun 2004 BPS memperkirakan jumlah produksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 53,7 juta ton atau setara dengan 33,92 juta ton beras dan sekitar 10,7 juta ton sekam.

Sumber energi alternatif

Sebagai limbah dari proses penggilingan padi, sekam memang acap menimbulkan persoalan tersendiri. Di samping merampas ruang-ruang terbuka, proses penghancurannya sangat lambat sehingga jika tidak mendapat perlakuan segera, bisa menimbulkan gangguan lingkungan. Padahal, sekam sangat potensial bisa digunakan sebagai sumber energi alternatif yang murah bagi masyarakat.

Dari sisi momentum, saat ini adalah saat paling tepat untuk mempromosikan sekam sebagai salah satu sumber energi alternatif. Jika ini dilakukan, bukan saja memberikan pilihan kepada masyarakat menyangkut pemenuhan sumber energi yang ?murah meriah?, pada saat yang sama, juga memberi solusi mengelola sekam dengan mengedepankan asas manfaat. Saat ini, satu-satunya pemanfaatan sekam sebagai sumber energi adalah untuk pembakaran bata merah.

Momentumnya disebut tepat karena masyarakat kini tengah dihadapkan pada pilihan sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Naiknya harga BBM, jelas menuntut tambahan cost rumah tangga. Sementara pada saat yang sama, sumber penghasilan cenderung stagnan. Ini jelas sangat memberatkan, terutama bagi masyarakat pedesaan yang sangat mengandalkan minyak tanah sebagai sumber BBM utama mereka.

Memang, selain minyak tanah, masih ada sumber energi lain, seperti kayu bakar dan turunannya. Namun, menggunakan kayu bakar secara massal memberi risiko besar, kelestarian hutan terancam. Demikian pula dengan batu bara yang penggunaannya hanya cocok untuk sistem pembakaran siklus tertutup (closed cycles) pada boiler dan mesin uap sejenisnya, sangat rentan mengancam kesehatan bila digunakan sebagai sumber bahan bakar sistem skala rumah tangga.

Dengan alasan tersebut, sangat tepat jika kemudian menjadikan sekam?yang notabene masih dianggap limbah dan tersedia melimpah?sebagai bahan bakar alternatif, khususnya bagi masyarakat pedesaan. Caranya, dengan memodifikasi dalam bentuk kompor sekam yang praktis dan murah, sehingga mudah terjangkau oleh masyarakat luas. Fungsi kompor sekam, bisa sebagai alat substitusi menggantikan 100 persen minyak tanah. Namun, bisa juga sebagai komplementasi, yang bisa mengurangi biaya pembelian minyak tanah.

Kurang direspons

Pada awalnya desain dan prototipe Kompor Sekam Segar Karawang (Komsekar) merupakan hasil penelitian Instalasi Penelitian Karawang yang mulai dikembangkan pada tahun 1990 (Rachmat et.al, 1991) dengan nama Tungku Sekam untuk rumah tangga. Kompor sekam tersebut pernah disosialisasikan kepada para petani di daerah perajin makanan tradisional opak di Desa Cibuaya, Kab. Karawang. Bahkan telah dikirim satu unit ke IRRI Los Banos, Filipina.

Namun, pada saat itu kurang mendapat respons karena pada saat itu harga minyak tanah masih sangat terjangkau. Kini, Instalasi Laboratorium Pascapanen Karawang mengembangkan lebih lanjut desain kompor sekam tersebut. Hasil pengujian memperlihatkan, kompor sekam memiliki kemampuan untuk memanaskan air, memasak, menanak air, dengan nyala api biru sedikit merah dan tidak sampai kurang berasap. Jika dibandingkan dengan sumber energi lainnya, penggunaan kompor sekam memiliki banyak kelebihan.

Lebih murah

Dari aspek ekonomi, perbandingan harga saat ini (2005) menunjukkan bahwa gas elpiji Rp 5.000,00 per kg, harga minyak tanah per liter Rp 3.400,00, sedangkan batu bara Rp 2.000,00/kg. Bandingkan dengan sekam yang tersedia melimpah dan nyaris tidak memiliki nilai jual, alias harganya ?nol rupiah?. Jika pun dihargai untuk pembuatan bata merah, tak akan lebih dari Rp 10,00 per kg.

Dari sisi energi yang dihasilkannya, batu bara dalam bentuk briket mengandung 60 persen energi (5.500 Kkal) yang dikandung satu liter minyak tanah (8.900 Kkal), dan kurang dari separuh energi yang dikandung 1 kg gas elpiji (11.900 Kkal). Panas pembakaran sekam dapat mencapai 3300 Kkal (Van Ruiten, 1981) dan bulk density 0,100g/ml, serta konduktivitas panas 0,068 Kkal (Houston, 1972).

Hasil pengamatan yang dilakukan di Instalasi Laboratorium Balai Besar Pascapanen Deptan, Karawang, penggunaan kompor sekam cukup prospektif untuk digunakan pada skala rumah tangga petani/pedesaan, karena selain mudah mendapatkan sekamnya, juga harga kompornya relatif terjangkau.***

Dr. Ridwan Rachmat
Kepala Instalasi Laboratorium Pascapanen Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Badan Litbang Deptan.


Sumber: 'PR' 9 Pebruari 2006

Website Dinas Perindustrian & Perdagangan Jawa Barat
 
Back
Top