Perguruan Tinggi Minati Biodiesel

andy_baex

New member
Perguruan Tinggi Minati Biodiesel
Senin, 06 Februari 06 - oleh : Akhirudin

DI Indonesia, biodiesel masih dalam taraf pengembangan. Sejumlah universitas dan lembaga riset saat ini sedang melakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D).

Mulai dari riset-riset dasar, uji mesin, hingga produksi skala pilot. Beberapa institusi yang aktif dalam riset biodiesel di antaranya adalah BPPT, PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit), Puslitbang Hasil Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Energi dan Kelistrikan (P3TEK), LIPI dan perguruan-perguruan tinggi seperti ITB, IPB, UGM, UI, ITS, dan Universitas Parahyangan.

Minyak lemak yang dewasa ini banyak tersedia dan mudah didapat adalah minyak sawit dan kelapa, maka penelitian-penelitian yang telah dilakukan menggunakan minyak-minyak tersebut. Minyak lemak yang relatif mudah didapat dewasa ini merupakan minyak pangan, sehingga harga bahan-bahan tersebut sangat ditentukan tingkat permintaan di sektor pangan nasional maupun dunia yang terus meningkat. Terlebih lagi terus membaiknya kesejahteraan rakyat di negara-negara berkembang.

Tinjauan keekonomian menunjukkan, biodiesel yang diproduksi dari minyak lemak pangan akan sangat sulit masuk pasar karena harga bahan bakunya sudah tinggi (akibat permintaan di sektor pangan). Di sisi lain komponen bahan baku dalam biaya produksi biodiesel mencapai 60-80%. Oleh karena itu sebaiknya bahan mentah yang diharapkan menjadi tulang punggung industri biodiesel adalah minyak nonpangan misalnya jarak pagar (Jatropha curcas), kapuk randu, nimba, nyamplung, dan lain-lain.

Tapi industri biodiesel dapat berfungsi sebagai jalur diversifikasi pemanfaatan apabila pasar sektor pangan mengalami kelebihan pasokan minyak lemak pangan.

Dalam upaya mencari jenis bahan baku biodiesel yang sesuai untuk Indonesia telah dilaksanakan serangkaian diskusi dalam Forum Biodiesel Indonesia (FBI). Forum ini didirikan peneliti-peneliti biodiesel, asosiasi minyak sawit, asosiasi kendaraan bermotor, dan pengusaha biodiesel pada bulan Februari 2002.

Tumbuhan penghasil minyak nonpangan yang teridentifikasi paling berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber bahan mentah utama biodiesel adalah jarak pagar (Jatropha curcas). Merujuk kepada identifikasi ini, Direktorat Pengembangan Perkebunan Departemen Pertanian telah membuka kebun percobaan jarak pagar seluas 5 hektare di Lombok Timur. Di samping itu, sebagian masyarakat di Sumbawa Barat telah pula mulai mencoba perkebunan jarak pagar secara swadaya kurang lebih seluas 10 hektare.

Dengan pendanaan dari RUSNAS Industri Hilir Kelapa Sawit, KPP Energi ITB telah menyusun peta jalan (roadmap) pengembangan industri biodiesel di Indonesia dan Standard Tentatif Biodiesel Indonesia (FBI-S01-03). Keduanya telah didiskusikan dan mendapatkan persetujuan dalam pertemuan-pertemuan FBI pada semester 2 tahun 2003.

Adanya roadmap ini diharapkan dapat mengefektifkan dan mensinkronkan upaya-upaya penelitian dan pengembangan biodiesel (yang intensitasnya kian meningkat) dalam arah yang benar-benar menuju ketertegakan (the establishment of) industri biodiesel yang tangguh di dalam negeri.

Standard Tentatif Biodiesel Indonesia, yang disusun dengan memperhatikan standard-standard yang sudah ada di luar negeri serta disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, diharapkan menjadi acuan kualitas biodiesel yang hendaknya dicapai dalam upaya-upaya penelitian dan pengembangan, sehingga promosi dan diseminasi hasil-hasilnya dapat kian membangun dan mengamankan kepercayaan (calon-calon) konsumen/pemakai.

Proses pembuatan

Dalam pengertian populer dewasa ini, yang dimaksud dengan biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang terdiri dari ester-ester metil (atau etil) asam-asam lemak. Produk ini dapat dibuat melalui :

a. alkoholisis (atau transesterifikasi) trigliserida (= triester gliserin dengan asam-asam lemak) dengan metanol/etanol.

Tiap molekul trigliserida mengandung tiga gugus asam lemak (tak perlu sama). Jadi, setiap mol trigliserida yang terkonversi (termetanolisis) akan dikonsumsi tiga mol metanol, dan menghasilkan satu mol gliserin serta tiga mol ester metil asam-asam lemak.

b. esterifikasi asam-asam lemak (bebas) dengan metanol atau etanol.

Asam lemak adalah asam monokarboksilat alifatik yang beratom karbon > 6 dan yang terdapat di alam umumnya genap. Katalis untuk reaksi alkoholisis trigliserida adalah zat bersifat basa (yang populer : NaOH, KOH, Na- atau K-metoksida), sedang katalis esterifikasi asam lemak adalah zat bersifat asam (yang populer : H2SO4, HCl, Na- atau K-bisulfat, resin penukar kation asam kuat dalam bentuk H).

Reaksi esterifikasi asam lemak jauh lebih terbatasi kesetimbangan dan, sekalipun sudah dibantu katalis, berlangsung lebih lambat dari pada reaksi alkoholisis trigliserida. Kedua reaksi juga akan berlangsung makin lambat dengan makin besarnya molekul alkohol (metanol, etanol, propanol, dan seterusnya).

Teknologi alkoholisis trigliserida (yaitu, minyak lemak kering berkadar asam lemak bebas 0,5 %-berat) telah dikembangkan pada tahun 1940-an untuk membuat ester metil asam-asam lemak, yang merupakan produk antara pembuatan sabun tak berair (anhydrous soap).

Salah satu literatur klasik yang sampai saat ini paling banyak dirujuk adalah dokumen paten dari Bradshaw dan Meuly (1942, 1944). Dalam trigliserida yang dipanaskan sampai 80 ? 100 oC ditambahkan metanol kering sebanyak 1,6 ? 1,75 kali kebutuhan stoikhiometrik ( 4,8 ? 5,4 mol/mol trigliserida) dan katalis hidroksida logam alkali (sebanyak 0,1 ? 0,5 % dari berat trigliserida).

Fasa gliserin mulai memisah sesudah reaksi berlangsung sekira 15 menit. Dalam tempo 1 jam, konversi trigliserida ke ester metil sudah mencapai 98 %. Mereka menyatakan, penambahan reaktan metanol kering yang > 1,75 kali kebutuhan stoikhiometrik akan menyulitkan pemisahan fasa gliserin dan konsumsi total metanol kering dapat dikurangi (menjadi < 1,6 kali kebutuhan stoikhiometrik) jika reaksi dilakukan dalam dua atau tiga tahap disertai pemisahan fasa gliserin pada tiap tahap, asalkan metanol kering yang ditambahkan pada reaksi tahap pertama 0,4 (dan sebaiknya 0,6) kali kebutuhan stoikhiometrik.

Wright dkk. (1944) kemudian mengonfirmasi, prosedur Bradshaw dan Meuly akan terlaksana dengan baik jika minyak lemak berkadar asam lemak bebas 0,5 %-berat dan kering (berkadar air tak lebih dari 0,3 %-b). Dalam karya pionir mereka tentang penggunaan ester metil asam-asam lemak sebagai bahan bakar motor diesel, Mittelbach dkk. (1983) menggunakan prosedur satu tahap Bradshaw dan Meuly untuk membuat biodiesel dari minyak kanola.

Setahun kemudian, berdasar penyelidikan ulang prosedur satu tahap Bradshaw dan Meuly untuk pembuatan biodiesel, Freedman dkk. (1984) menyarankan penggunaan metanol sebanyak 2 kali kebutuhan stoikhiometrik, temperatur di sekitar titik didih normal metanol, waktu reaksi 1 jam, serta kuantitas katalis 0,5 % untuk natrium metoksida (NaOCH3) dan 1 % untuk natrium hidroksida (NaOH), guna mendapatkan derajat konversi ke ester metil yang praktis sempurna ( 96 %).

Namun, beberapa tahun kemudian, Junek dan Mittelbach (1988) mengklaim, konversi ke ester metil yang tinggi dapat dicapai hanya dengan alkohol sebanyak 1 kali kebutuhan stoikhiometrik. Asalkan katalis yang digunakan adalah kalium hidroksida (KOH) dengan porsi 1,3 ? 1,7 % dari berat trigliserida. Di lain pihak, Tanaka (1981), Matsukura (1983) dan Wimmer (1995) mengklaim, alkoholisis dua tahap, dengan penambahan air untuk membantu pemisahan fasa alkohol pada akhir tahap dua, menghasilkan kualitas produk yang lebih baik.

Pelaksanaan alkoholisis dalam dua tahap memang memungkinkan penerapan kondisi operasi yang berbeda pada masing-masing tahap dan, dalam kaitan ini, data hasil pengujian yang disajikan Freedman dkk. (1984) cukup menarik untuk dicermati. Laju alkoholisis memang lebih besar pada temperatur yang lebih tinggi tetapi konversi akhir yang dicapai pada temperatur rendah (di sekitar suhu kamar) tampak lebih sempurna. Jadi, suatu proses dua tahap mungkin tambah unggul jika tahap akhirnya dilaksanakan pada temperatur rendah.

Produk biodiesel mentah yang dihasilkan proses metanolisis biasanya harus dimurnikan dari pengotor-pengotor seperti sisa-sisa metanol, katalis dan gliserin. Ini dapat dilakukan dengan menempatkan biodiesel mentah di dalam wadah berwujud kolom dan kemudian disemprot dengan air perlahan-lahan dari bagian atas; tetesan-tetesan air akan bergerak ke bawah sambil membersihkan biodiesel dari pengotor-pengotor tersebut.

Fasa gliserin metanol bebas air maupun fasa gliserin metanol air (yang dihasilkan pada tahap dua proses metanolisis) dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan gliserin dan metanol (untuk didaur-ulang).

?Gliserin?

Gliserin merupakan produk samping yang prospektif, karena harganya lebih tinggi daripada reaktan metanol. Fasa gliserin metanol dapat dibebaskan dari sisa-sisa katalis dengan penetralan oleh asam, sehingga membentuk garam yang mengendap dan dapat dipisahkan dengan penyaringan.

Fasa gliserin metanol bebas garam selanjutnya dipanaskan untuk menguapkan metanol dan menghasilkan gliserin murni. Penjumputan (recovery) gliserin dan metanol dari fasa gliserin metanol air biasa dilakukan dengan pertama-tama menyingkirkan sisa-sisa katalis dengan pertukaran kation, mengevaporasikan air dan metanol untuk menghasilkan gliserin murni, serta mendistilasikan larutan metanol air untuk mendapatkan metanol murni untuk didaur-ulang.

Jika prosedur-prosedur alkoholisis diterapkan pada minyak lemak yang memiliki kadar asam lemak bebas lebih besar dari 0,5 %-berat, maka sebagian besar atau bahkan seluruh katalis akan musnah bereaksi dengan asam lemak bebas menjadi sabun.

Penambahan katalis dalam kuantitas molar yang lebih besar dari asam lemak bebas yang ada memang dapat memungkinkan alkoholisis berlangsung, tetapi sabun yang terbentuk dari katalis dan asam lemak bebas kemudian menyulitkan pemisahan fasa gliserin dari fasa ester. Oleh karena itu, sebagian besar peneliti memilih untuk mengesterifikasi terlebih dahulu asam-asam lemak bebas tersebut. Katalis-katalis asam untuk proses pra-esterifikasi ini dapat dibagi menjadi dua kelompok:

1. Katalis berwujud cair atau gas seperti H2SO4, HCl, dan berbagai asam organosulfonat [Narodni Podnik (1950)], yang umumnya larut dalam campuran reaksi sehingga membutuhkan penetralan sesudah reaksi selesai;

2. Katalis berwujud padatan yang tak larut dalam campuran reaksi, misalnya natrium, kalium, atau amonium bisulfat [Continental Oil Company (1937), Ruhrchemie AG (1964a,1964b), Choo dan Gooh (1985), Choo dan Ong (1986)] dan resin penukar ion asam kuat dalam bentuk H [Jeromin dkk (1987)]; katalis seperti ini menguntungkan karena dapat dipisahkan dengan penyaringan pada akhir reaksi sehingga dapat digunakan berulang-ulang.

Reaksi esterifikasinya sendiri lazim dilaksanakan pada temperatur di sekitar titik didih metanol. Untuk menghasilkan derajat esterifikasi yang sempurna, selain reaktan metanol harus dipasok dalam jumlah yang banyak berlebih, air yang merupakan produk reaksi juga harus disingkirkan, umumnya dengan menggunakan desikan seperti CaCl2,,CaSO4, dan molecular sieve.***

Dr. Ir. Tirto Prakoso,
Dosen Departemen Teknik Kimia ITB. Peneliti Teknologi Proses pada Biodiesel Group ITB.


Sumber: 'PR' 21 Juli 2005

Website Dinas Perindustrian & Perdagangan Jawa Barat
 
Back
Top