Janji Seorang Pejuang Muda

tribudhis

New member
Janji Seorang Pejuang Muda

Janji adalah janji,
Tak boleh diingkari dan harus ditepati!
Lebih-lebih janji seorang anak penuh bakti
Ya pada orang tua, ya pada perjuangan Ibu Pertiwi,
Semuanya harus dipenuhi, semuanya harus ditepati!

"Mengapa harus kau remukkan harapanku, anakku!" kata laki-laki tua itu dengan mata memandang jauh ke depan sana, "Kalau engkau sebenarnya bisa untuk tidak berbuat begitu!"

Pemuda kekar dihadapannya menunduk dalam. Tetapi di wajahn¬ya yang bergaris-garis membeku telihat tekadnya yang bulat. Langit runtuh sekali pun mungkin tidak mampu mengubah tekadnya.

"Kepergianku bukan untuk meremukkan harapanmu, Ayah!" katanya setelah keadaan sempat hening beberapa saat. Sekarang pemuda itu mengangkat kepalanya. Matanya yang bening sedalam telaga menatap ayahnya dengan sejuta cinta. Bagi dirinya, aang ayah merupakan profil laki-laki yang paling dikaguminya. Yang nomor dua mungkin ibunya. Cuma sayang beliau terlalu cepat meninggalkannya.

Dia, sebagai anak tunggal keluarga pak Kartono Danurekso, tahu dan benar-benar mengerti apa arti kehadirannya di dunia ini. Tidak dapat di sangkal bahwa ayah dan ibunya menumpahkan seluruh harapan di atas pundaknya. Mereka berdua berharap dia menikah dengan seorang wanita yang cantik, baik hati, terhormat, dan sayang pada mertua, kemudian menganugerahkan cucu yang lucu-lucu. Tetapi sayang, harapan itu belum menjadi kenyataan ketika sang Ibu mendapat panggilan-Nya.

Tinggal pak Kartono Danurekso sendiri meneruskan harapan mendiang istrinya dan tentu saja harapan dirinya sendiri. Cuma saja di masa-masa sulit seperti ini tampaknya dia harus lebih bersabar menunggu. Menunggu sampai anaknya berniat untuk menikah dan menghadiahi cucu.

"Kau tentu tahu apa harapanku dan harapan mendiang ibumu?" laki-laki tua itu kembali berkata dengan suara lemah.

Anaknya mengangguk mantap.

"Aku tahu dan tidak akan pernah melupakannya. Ayah dan Ibu mengin¬ginkan aku segera beristri dan mempunyai anak."

Pak Kartono Danurekso menatap anaknya dengan pandangan sejuta makna. Apa yang dipikirkan laki-laki tua itu sekarang?

"Kau memang tahu, anakku!" katanya beberapa saat kemudian. "Tetapi engkau tidak pernah melaksanakannya!"

Nada suaranya terdengar getir.

"Aku, sebagai seorang laki-laki!" lanjutnya, "mungkin tidak terlalu tersiksa seandainya engkau tidak pernah memberiku cucu. Tetapi bagaimana dengan ibumu anakku? Kau tentu masih ingat apa pesan terakhirnya ketika dia hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir? Dia berpesan agar cucu yang diidam-idamkannya jangan sampai tidak dilahirkan ke dunia ini! Nah, kalau sekarang engkau tiba-tiba saja memutuskan untuk bergabung dengan teman-temanmu yang lain, memusuhi Belanda, sementara engkau belum juga beristri, apa aku tidak berdosa pada mendiang ibumu?"

"Tetapi aku bisa melakukannya setelah semua ini selesai, ayah!"

"Setelah ini semua selesai? Kau katakan setelah semua ini selesai? Oh, anakku, kau bermimpi! Sudah berapa puluh tahun bangsa ini berperang dan memberontak, anakku? Apa hasilnya selama itu? Cuma penderitaan dan mayat-mayat yang semakin banyak bergelimpangan. Aku tidak ingin engkau menjadi salah satu dari mayat-mayat itu! Aku tidak ingin, anakku!"

Pemuda itu tercenung.

"Bukan berperang atau memberontak, ayah!" katanya membalas.

"Lalu apa?"

"Kami berjuang. Memperjuangkan apa-apa yang menjadi hak kami. Setiap bangsa, setiap insan, harus tidak ragu-ragu dalam memperjuangkan apa-apa yang menjadi haknya. Kalau tidak maka dia berdosa besar, ayah! Berdosa besar kepada yang memberi hidup. Menurut aku ayah, siapa yang tidak berani memperjuangkan haknya, tidak pantas untuk hidup!"

Muka pak Kartono Danurekso perlahan-lahan berubah memerah. Anaknya mengatakan tidak pantas hidup bagi siapa saja yang tidak berani memperjuangkan haknya? Tetapi dia juga sedang memper¬juangkan haknya! Bukankah setiap orang tua berhak mendapatkan cucu dari anaknya?

"Tetapi aku juga sedang memperjuangkan hakku, nak!" kata pak Kartono Danurekso mantap.

Pemuda itu terperangah. Sama sekali tidak pernah didugan¬ya kalau ayahnya bisa mengeluarkan bantahan yang begitu mengema.

"Hak? Hak yang bagaimana, ayah?"

"Aku berhak mengharapkan seorang cucu dari anakku sendiri!"

"Tetapi ... tetapi bukan hak yang seperti itu yang kumak¬sudkan. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus dipikirkan, ayah."

Laki-laki tua itu terdiam. Bantahan anaknya mengena. Dia sendiri bukannya orang yang tidak mengerti akan hal itu. Dia tahu apa arti dan makna tanah yang terjajah. Dia tahu dengan jelas apa akibatnya kalau suatu bangsa terus menerus diinjak-injak. Untuk ini tidak ada pilihan lain kecuali seluruh bangsa itu harus bangkit. Bangkit dengan semangatnya, bangkit dengan darahnya, dan bangkit dengan jiwanya. Mungkin cuma dengan siraman darah putra-putra terbaik bangsa segala bentuk penindasan yang sewenang-wenang akan bisa diakhiri. Sedangkan putranya, bukankah dia salah seorang dari putra-putra terbaik tanah ini?

Laki-laki tua itu menyadari adalah tidak seharusnya dia mengha¬langi niat yang begitu bergelora. Malahan dia harus memberi dorongan. Tetapi bagaimana kalau putranya gugur sebelum sempat memberikan sesuatu yang paling didamba¬kan olehnya, oleh istrinya? Dambaan yang tidak kalah nilainya dibandingkan dengan kebebasan, yang akan membuat diri dan bangsanya berjalan sama tegak dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia?

Laki-laki tua itu memejamkan matanya perlahan-lahan. Kea¬daan berubah hening. Si pemuda menatap ayahnya dengan pandangan trenyuh. Dia tahu apa yang bergejolak di hati ayahnya, bahkan dia dapat melihat dengan jelas apa yang ada di hati ibunya meskipun beliau sudah lama berpulang. Tetapi perjuangan tidak boleh surut hanya karena ini, bukan?

"Anakku!" tiba-tiba laki-laki tua itu berkata pelan sete¬lah sekian lama tertunduk dengan kelopak mata terpejam. Sekar¬ang matanya yang bersinar gundah menatap putranya dengan tenang.

"Maafkan ayahmu yang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Aku sekarang tidak lagi akan menghalangi langkahmu. Pergilah engkau bergabung dengan yang lain. Pertaruhkan semangat dan darahmu!"

Wajah pemuda itu berubah menjadi terang. Tidak disangkanya kalau akhirnya dia akan mendapat restu. Baginya, restu dari orang tua seakan-akan jimat yang akan memperingan langkah, mempertebal keyakinan dan menggelorakan semangat.

"Cuma sebelum kau pergi satu hal kupinta darimu. Aku ingin kau berjanji, anakku!" Kembali laki-laki tua itu berhenti. Matanya yang bening sama sekali tidak berkedip.

"Janji? Janji apa, ayah?"

"Janji untukku dan juga janji untuk ibumu!"

Pemuda itu menunggu. Menunggu janji macam apa yang diminta oleh ayahnya.

"Kalau kau tidak mau mengucapkan janji ini sampai mati pun aku tidak merelakan engkau pergi!" suara laki-laki tua itu berubah men¬jadi keras. Hati si pemuda tanpa disadari berubah tegang. Tampaknya tidak semudah seperti yang diduganya.

"Kau harus berjanji untuk tidak mati dan kembali ke rumah ini kalau semuanya sudah selesai. Aku dan mendiang ibumu menung¬gumu di sini!"

"Berjanji untuk tidak mati?" ulang pemuda itu dengan suara lirih setelah beberapa saat dia sempat dibuat terkejut oleh permintaan ayahnya.

Betapa banyak macam janji yang pernah diminta oleh orang-orang di kolong langit ini. Tetapi janji untuk tidak mati? Mungkin baru kali ini pernah diucapkan orang!

"Ya, berjanji untuk tidak mati, anakku!" pak Kartono Danurekso menyambung dan mempertegas gumaman lirih putranya. "Aku ingin dengan janji ini hatiku dan hati mendiang Ibumu bisa lebih tenang dalam menunggu kepulanganmu!"

"Oh, ayah, betapa anehnya ini semua. Bagaimana mungkin aku bisa menjanjikan sesuatu yang bukan milikku? Bukankah kehidupan dan kematian tidak berada di tangan manusia?"

“Aku tahu itu, anakku. tetapi tetap aku menuntut janjimu!" laki-laki tua itu bersikeras.

"Tetapi ..."

"Tidak ada tetapi, anakku! Berjanjilah!" Sekarang suara pak Kartono Danurekso bergetar.

"Baiklah! Aku berjanji ayah. Aku berjanji akan mem¬berimu cucu!”

Muka dan mata laki-laki tua itu berbinar.

"Terima kasih anakku, terima kasih. Sekarang aku tidak perlu takut kalau suatu ketika harus menjumpai ibumu. Aku tidak perlu takut karena kau pergi setelah lebih dulu berjanji padaku. Aku bisa mempertanggung jawabkan seluruh tindakanku ini!"

Kedua laki-laki ini, yang satu masih muda dan yang satu lagi sudah tua, saling bertatapan. Betapa aneh cerita yang harus mereka perankan kali ini tetapi inilah hidup. Semuanya seakan-akan sudah di atur.
*****

Hari demi hari terus berlalu. Pergolakan semakin menghebat. Kabar menggembirakan dan kabar menyedihkan silih berganti tiba di alamat pak Kartono Danurekso. Tetapi sayang tak satu pun kabar itu yang menyangkut nasib anaknya. Anaknya seakan-akan seperti jarum yang dilemparkan ke tumpukan jerami. Tak terlihat dan tak berjejak. Tetapi laki-laki tua itu tetap percaya akan janji anaknya. Bukan anaknya kalau tidak bisa menepati janji, begitulah berkali-kali dia menghibur hatinya sendiri.

Laki-laki itu terus menunggu dan bertahan. Semuanya masih akan tetap begitu kalau saja kabar yang mengejutkan ini tidak sampai padanya. Salah seorang teman anaknya yang dia tahu dengan pasti berangkat bersama-sama ke medan juang, kembali dengan kaki tinggal sebelah. Tetapi bukan itu yang mengejutkan. Kabar yang dibawanyalah yang menghempaskan orang tua itu ke hamparan batu karang kenyataan.

Anaknya tewas di tembus peluru Belanda!

"Kau ... kau ... tidak berbohong?" tanya laki-laki tua itu sambil mengguncang-guncang pemuda cacat yang ada di hadapannya.

Pemuda cacat itu menggeleng perlahan.

"Betapa inginnya saya berbohong, pak!" katanya lemah. "Tetapi saya tidak bisa! Saya tepat berada di sampingnya ketika malapetaka itu terjadi. Eko tepat tertembak di kepalanya. Kami berusaha sekuat tenaga membawanya ke garis belakang untuk mendapatkan pertolongan dokter, tetapi ... tetapi di tengah perjalanan takdir menghendaki lain ..."

Kalimatnya selanjutnya tidak perlu diucapkan. Pak Kartono Danurekso terduduk pelan-pelan di kursinya. Pandangannya kosong. Pukulan ini memang pukulan terberat yang pernah di terimanya.

"Mengapa ... mengapa dia tidak menepati janjinya ...!" gumamnya perlahan.

Sedangkan pemuda cacat di depannya ikut terduduk dalam-dalam. Betapa tidak menyenangkan menjadi pembawa kabar buruk.

"Pak ... saya permisi dulu pak!" kata pemuda itu kemudian.

Pak Kartono Danurekso sama sekali tidak bereaksi. Bibirnya berulang-ulang menggumamkan kata-kata yang sama. "Mengapa dia tidak menepati janjinya?"

Sejak berita yang mengejutkan itu kesehatan pak Kartono Danurekso mundur dengan cepat. Laki-laki tua itu seakan-akan kehilangan seluruh semangatnya. Dari hari ke hari kerjanya cuma duduk dan termenung, sementara mulutnya terlalu sering mengucapkan kalimat: "Mengapa dia tidak menepati janjinya?"

Untuk makan untungnya ada tetangga yang berbaik hati mau menolongnya. Kalau tidak mungkin laki-laki tua itu mati kelaparan. Jangankan memasak nasi untuk makan pun kalau tidak dipaksa laki-laki tua itu menolak. Keadaan seperti ini mungkin akan terus berlanjut kalau saja tidak terjadi suatu peristiwa yang benar-benar tidak disangka-sangka.

Tiba-tiba saja di desa Kemanggal datang seorang wanita muda dengan anaknya yang masih bayi. Pada kepala desa dia mengutarakan kalau kedatangannya ke desa Kemanggal adalah untuk mencari mertuanya.

Kepala desa yang ditemui di rumahnya sempat mengernyitkan kening. Baru setelah diberi penjelasan kepala sesa mengangguk-angguk tanda paham. Di rumah pak Kartono Danurekso kembali kejadian yang sama, kejadian yang cuma ada dalam cerita-cerita, berulang.

Ketika kepala desa menyampaikan pada laki-laki tua itu, yang seperti hari-harinya yang kemarin duduk dengan pandangan kosong di kursi, berita tersebut ternyata sama sekali tidak ada reaksi. Baru setelah mengulang dua tiga kali pak Kartono Danurekso mengernyitkan keningnya.

"Istri anakku ...?" ulangnya lemah. "Istri anakku ...? Tetapi ... dia tidak menepati janjinya … dia tidak menepati janjinya …!"

Sekarang wanita itu yang maju.

"Pak," katanya dengan suara bergetar sambil duduk bersimpuh di hadapan mertuanya, sementara anaknya tetap terlelap. "Saya Ningrum, pak! Saya istri mas Eko, putra bapak! Mas Eko pernah menulis surat yang harus saya sampaikan pada bapak kalau sean¬dainya dia tewas dalam perjuangan!"

Sebersit cahaya kehidupan mulai terlihat di mata laki-laki tua itu.

"Mana ... mana ... surat itu?"

"Ini pak!" kata Ningrum sambil mengambil amplop dari balik dadanya.

Pak Kantono Danurekso menerimanya dengan tangan bergetar. Getaran tangannya tampak semakin nyata ketika dia menyobek sampul tua itu. Sedangkan kepala desa memperhatikan semuanya dengan hati berdebar-debar.

Baris demi baris laki-laki tua itu membaca surat peninggalan anaknya. Gurat-gurat kehidupan seakan-akan terlukis kembali di wajahnya. Jiwanya yang sudah tidak berada di dunia ramai, sekarang sepertinya tertarik kembali. Harapan dan seman¬gatnya yang dahulu sirna bersamaan dengan kepergian putranya sekarang muncul kembali.
Semuanya tampak semakin nyata ketika laki-laki tua itu selesai membaca surat peninggalan anaknya. Tidak puas dengan sekali membaca laki-laki tua itu membacanya sekali lagi:
Ayah tercinta,

Kalau surat ini sampai di tangan ayah, berarti anak telah kembali ke pangkuanNya. Tetapi seperti janji anak dulu, sepergin¬ya dari rumah Ayah, anak tidak langsung pergi berjuang. Anak menggembara ke desa tetangga dan di sanalah anak berkenalan dengan Ningrum.

Ningrum kemudian anak nikahi. Padanya juga anak ceritakan semua persoalan termasuk janji pada Ayah. Setelah Ningrum hamil anak tulis surat ini dan kupesankan apa-apa yang perlu pada Ningrum. Kalau seandainya anak tewas dan tidak kembali, Ningrum harus membawa surat ini pada Ayah. Selanjutnya anak pergi bersatu dengan teman-teman yang lain ikut menyumbangkan selembar nyawa dan setitik darah ini untuk tanah pertiwi.

Itulah semuanya ayah. Cucu yang ayah dan Ibu dambakan sekarang berada di hadapan ayah. Anak sendiri tidak tahu laki-laki ataukah perempuan dia. Tetapi itu tidak penting, bukan? Berilah dia nama, ayah!
Akhirnya, terimalah sembah bakti anakmu, Eko Danurekso.

Laki-laki tua itu semakin bergetar. Matanya semakin menga¬but. Menantu dan cucu di depannya tampak samar-samar. Sambil masih memegang surat laki-laki tua itu melangkah maju dan meme¬gang kepala menantunya.

"Berdirilah anakku!" katanya dengan suara bergetar. "Sekar¬ang engkau adalah anakku." Kemudian pada kepala desa laki-laki itu berkata sambil mengangsurkan surat di tangannya.

"Bacalah ini biar semuanya jelas!"

Kepala desa menerima surat itu dengan perasaan tak menentu.

Pak Kantono Danurekso seperti dihidupkan kembali. Anaknya ternyata menepati janjinya. Janji seorang pemuda yang dibangga-banggakannya ternyata telah menjadi kenyataan. Cuma tinggal sebuah persoalan yang harus diselesaikannya hari ini juga yaitu bertanya pada menantunya, laki-laki atau perempuankah cucunya, dan kemudian mencarikan nama untuknya.

Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland
 
Back
Top