Cerpen

Status
Not open for further replies.

elbar

New member
BAU los sayur dan darah kering dari los daging menohok hidung. Limbah bekas cuci piring yang membentuk kubangan menyesaki udara pagi. Semuanya menguatkan kesan sebuah pasar tradisional, ditambah ceceran lumpur bekas hujan tadi malam, tepercik ke manamana saat sandal jepit menginjaknya.

"Oala, Gusti. Alon-alon lo, Mas!" Percikan lumpur terpacak di ujung kerudung. Membentuk motif pada kain polos warna putih itu. "Maaf,Mbak." Hanya begitu saja. Kalau dipikir-pikir dengan akal normal, semuanya serba tidak masuk akal. Hidup terus mengalir, suka ataupun tidak. Hanya kedekatan kepada-Nya yang membuat hati tetap kuat bertahan.

Jarum menunjukkan pukul 7.30 WIB ketika Yasma tiba di Pasar Cendrawasih Metro itu. Mobilitas ekonomi sudah penuh dengan transaksi jual dan beli. Bising jadi bahasa yang khas pasar pagi itu, ditambah teriakan para pedagang menawarkan dagangannya. Yasma sengaja datang lebih cepat daripada 10 kawannya. Bau keringat telah tercium di tubuh gadis itu.

Aroma itu mengalahkan bau pupur murah yang dibawa dari rumah, yang semestinya masih melekat di tubuhnya. Tapi Yasma tidak peduli soal itu, buru-buru menegur Toke Rois: "Pagi, Pak." "Pagi?" "Aku mau mengumpulkan uang yang banyak." Melangkah ke tumpukan bawang merah dalam karung. Mengangkat satu karung isi 10 kg, memanggulnya di pundak. Tak ada kelelahan tampak pada wajahnya yang berseri. Begitu meletakkan karung di lantai semen yang berlumpur, dia pun bersila.

Dibuka karung itu dengan pisau kecil yang dibawa dari rumah. Setumpuk bawang merah digenggam, mulai mengupasinya. Sebuah lagu dangdut bergetar di bibirnya. "Untuk apa uang yang banyak." Toke Rois mendekatinya.

"Saya mau jadi TKW." Hanya melirik sekilas, Yasma kembali pada dunia tumpukan bawang itu. "Jadi TKW, seperti Sutrisna?" Yasma diam. Toke Rois tidak bisa dikasih angin.Tua bangka itu akan melonjak. Bagai usianya bertambah muda, dia akan sangat agresif dengan jarijemarinya yang keriput. Hanya diam yang bisa membuatnya tak bereaksi. Yasma pun dingin bagai tugu. ***

BAGI Yasma, bercita-cita menjadi TKW sudah membuat hidupnya lebih bersemangat. Apalagi kalau dia benar-benar jadi TKW. Bagaimana tidak, Sutrisna sendiri sudah bisa mengirim sedikitnya Rp300.000/bulan kepada orang tuanya. Dari Arab Saudi, tempat Sutrisna menjadi TKW, temannya itu sering mengiriminya surat. "Kalau kamu mau, di sini masih ada lowongan".

Dulu, ketika Sutrisna menyampaikan keinginannya untuk jadi TKW ke Arab Saudi, semua orang menertawakan rencana itu. Sutrisna tidak merasa kecil hati. Bahkan, dia lebih bersemangat dengan memutuskan untuk berhenti menjadi buruh kupas bawang, lalu mengurus surat-surat menyangkut keberangkatannya ke Arab Saudi.

"Saya ke sana lewat sebuah perusahaan jasa tenaga kerja.Kau tidak mau ikut," kata Sutrisna kepada Yasma pada malam sebelum berangkat ke Jakarta. Di Jakarta, Sutrisna akan bermalam di kantor jasa tenaga kerja untuk mendapatkan pelatihan dan penjelasan yang lebih rinci.

"Kalau nanti saya berhasil, kamu akan saya surati," katanya. Yasma hanya diam sambil menyeruput teh manis yang masih mengepulkan uap panas. Diliriknya Sutrisna, dan ia melihat keyakinan dalam diri kawan satu kelasnya itu begitu luar biasa, seolah-olah dia bisa membayangkan bahwa apa yang diharapkannya akan terwujud. Keyakinan seperti itu tidak pernah dimiliki Yasma, sebaliknya dia justru lebih banyak bimbang dalam menentukan pilihan hidup.

Yasma tidak pernah berani berpikir terlalu jauh, meskipun sebetulnya segala sesuatu baru bisa dikatakan gagal setelah dicoba. Itulah yang membedakannya dengan Sutrisna, karena sejak duduk di bangku sekolah dasar dulu Sutrisna memang selalu mampu mencapai keinginannya. Sutrisna tidak pernah gagal,justru karena ia tidak pernah berpikir salah. Yasma hanyut dengan khayalannya. Kesibukan pasar berusaha mengusiknya. Dia tidak peduli.Tapi, bagaimana pun usahanya untuk mengabaikannya, tetap saja perhatiannya pecah sekalikali.

Teriakan pedagang pakaian bekas dari los di hadapannya, merangsang keinginannya untuk melirik. Mau tidak mau dia menoleh ke sana, dan laki-laki penjaga los itu mengerdipkan mata dalam sekejap. Yasma memaki dalam hati.Toke Rois sempat menangkap kegenitan dalam diri laki-laki pemilik kios itu.Tapi dia berpura-pura tidak peduli. Seorang pemuda pasti akan berusaha menunjukkan bahwa dia sedang tertarik kepada lawan jenisnya. Diliriknya Yasma, kulit wajah gadis itu tampak biasa-biasa saja. Sedetik kemudian, punggung tangan Yasma mengusap butir keringat di kening, membuat bedak Viva No 4 ikut terseka. Itu pun tak digubrisnya. ***

SEBETULNYA, menjadi buruh kupas bawang bukan pilihan hidup Yasma. Kalau mau jujur, cita-citanya menjadi perawat masih saja dimilikinya.Padahal jelas, hanya dalam mimpi hal itu bisa diwujudkan.Yasma pun sudah berusaha melupakannya sejak tak bisa lagi melanjutkan sekolah setamat SLTP.

Ada kesedihan setiap kali mengenang semua itu. Dia terpaksa menjalani pekerjaan sebagai buruh kupas bawang. Daripada tidak bekerja dan menjadi beban orangtua, iseng-iseng dia ikuti ajakan Sutrisna." Lumayan Yasma.Aku bisa membeli keperluan-keperluanku tanpa minta sama orang tua," kata Sutrisna, tetangganya. Saat itu, Sutrisna sudah hampir satu tahun bekerja sebagai buruh kupas bawang. Untuk ukuran seorang gadis remaja seusianya, Sutrisna memang agak royal.

Segala jenis barang yang biasanya dimiliki anak gadis, pasti dimilikinya. Bermacam-macam merek gincu, bedak dengan kemasan yang lebih bagus, dan lotion yang harganya jelas mahal.Bagi anak-anak gadis sebayanya, yang tinggal di perkampungan kumuh dan padat itu, semua yang dimiliki Sutrisna lebih menegaskan kemewahan hidup. Kemewahan itu memengaruhi Yasma.

Dia pikir dirinya sama saja dengan Sutrisna, karena sejak dahulu mereka selalu bersama-sama. Mereka tumbuh dalam perkampungan kumuh dengan kualitas lingkungan yang jauh dari syarat higienis. Mereka besar bersamasama, dan sama-sama mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTP. Juga, mereka sama-sama berhenti sekolah meskipun sangat mendambakan bisa melanjut ke jenjang yang lebih tinggi.

"Apa saya bisa bekerja di tempatmu." Yasma mulai membuka diri. Sutrisna mengajaknya menemui Toke Rois, yang lantas menerimanya dengan tangan terbuka. Sampai sekarang, Yasma masih betah dengan pekerjaannya itu, meskipun Sutrisna sendiri sudah lama keluar. Pekerjaan itu sangat membantu menghidupi keluarga. Tapi, penghasilannya justru menyebabkan orangtuanya menggantungkan hidup di pundaknya. Ini sangat menyiksa.

Tapi hidup memang sulit. Kalau bukan dia, lantas siapa lagi. Ibu jelas mustahil, karena sakit yang diderita menyebabkan ibu harus banyak istirahat. Ayah apalagi. Meskipun sehat, tapi tak pernah mau memikirkan keluarga.Yang diketahui, dan selalu ada dalam pikiran ayah,cuma angka togel. Emosi ayah pun jadi cepat terbakar. Sedikit saja ibu mengeluh soal sakitnya, ayah menanggapinya dengan meradang.

"Makan racun saja." Mulut ayah berbusa.Dan biasanya,ayah belum mau berhenti sebelum semua kekesalan yang didapat di luar rumah ditumpahkannya. Air mata Yasma sering menetes melihat kelakuan ayah. Ayah tidak lagi menghormati ibu sejak sakit-sakitan. Padahal, penyakit itu diderita ibu karena terlalu memforsir tenaganya untuk menghidupi keluarga. Pekerjaan ibu sebagai tukang cuci, menyebabkan kesehatannya rentan terhadap penyakit. Mestinya ayah menghargai perjuangan ibu.Tapi ayah..., ah! ***

LEPAS Ashar Yasma selesai dengan pekerjaannya. Lima karung bawang ukuran 10kg itu, dibersihkan dengan rapi. Siung demi siung, tak ada yang terlewat. Pekerjaan ini membuat Yasma sangat teliti terhadap hal-hal kecil. Sambil mengemasi barang-barangnya, Yasma mencoba menghitung jumlah uang yang akan diterimanya. Sebanyak lima karung bawang atau 50 kg, dan ia akan mendapat Rp50.000.

Dengan Rp1.000/kg,maka uang itu lebih dari cukup. Jika terus-menerus begitu, sambil berusaha menghemat, dia bisa memenuhi target ongkos jadi TKW. Toke Rois tersenyum kepadanya sambil menyodorkan uang jerihnya.Yasma senang bukan main.Terbayang dia akan jadi TKW,bertemu lagi dengan Sutrisna. Begitulah terus-menerus. Sepekan, dua pekan, tiga pekan pun berlalu.

Sebulan pun lewat juga. Sudah berjalan sekitar 27 hari sejak hari pertama dia mengumpulkan uang untuk jadi TKW itu. Tiap hari dia kumpul Rp50.000, terkadang juga Rp30.000 karena dia harus berbelanja. Sementara itu keinginannya untuk jadi TKW makin menggebu-gebu. Hampir tiap malam dia bermimpi sedang berada di Arab Saudi,bersama Sutrisna. Mereka seperti wisatawan, yang mencoba melupakan kegetiran dan kepahitan hidup dengan melancong ke tempattempat hiburan.

Mimpi-mimpi itu membuat Yasma sangat bahagia. Setiap bangun pagi setelah bermimpi,kulit wajahnya selalu memerah. Begitu ceria. Seolah hidupnya penuh dengan kepuasan batin. Tidak ada beban. Tidak ada masalah. Kepada seluruh penghuni rumah dia selalu tersenyum. Memasuki bulan kedua, Yasma mengecek tabungannya di bank. Semuanya ada Rp5 juta lebih. Masih kurang sedikit lagi, baru bisa berangkat jadi TKW seperti yang dikabarkan Sutrisna.

Yasma yakin akan mampu memenuhinya. Sangat yakin. Begitu tiba di rumah, Yasma kaget melihat orang kampung berkumpul di rumah Sutrisna. Mula-mula dia menduga ayah Sutrisna yang sedang sakit parah sudah meninggal. Tapi, ketika salah seorang memberi tahu bahwa Sutrisna baru pulang, dia sangat kaget. Buru-buru dia menghampiri,dan masuk ke dalam rumah.

"Apa betul Sutrisna pulang?" Tidak ada yang menjawab. Semua mata menatap ke sudut ruangan.Di sana Sutrisna terbaring dengan tubuh yang kaku.Tangis bayi pecah di ruangan itu. "Ada apa?" "Orang Arab memulangkannya, setelah menghamilinya. Rupanya Sutrisna tidak tahan dan bunuh diri." Yasma hanya diam,hanya diam....
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top