Nakhoda KM Levina Tersangka

Kalina

Moderator
Minggu, 25 Feb 2007,
Nakhoda KM Levina Tersangka


Pengusaha Kapal Protes Menteri Perhubungan
JAKARTA - Setelah tiga hari diperiksa polisi, Andi Kurniawan, nakhoda Kapal Motor (KM) Levina I yang terbakar pada Kamis (22/2), ditetapkan sebagai tersangka. Selain dia, polisi menetapkan status yang sama terhadap Sumaryo, mualim KM Levina I.

Andi dan Sumaryo dijerat pasal 118 dan 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian serta subsider pasal 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen. "Bukti bahwa lalai, mereka tidak mengecek. Untuk pemalsuan dokumen, hal itu dilihat dari manifes yang berbeda dari fakta," kata AKBP Frederik Kalalembang, direktur Polisi Perairan Polda Metro Jaya, kepada wartawan kemarin.

Perbedaan manifes, kata dia, tak hanya terjadi pada penumpang, tapi juga barang. Sesuai manifes, jumlah penumpang beserta awak kapal adalah 275 orang. Padahal, KM Levina I memuat 313 orang. "Berarti, ada kelebihan 38 penumpang," ungkapnya.

Kendaraan yang dimuat dalam KM Levina I, berdasar data di manifes, hanya 31 truk. Padahal, ternyata terdapat 41 truk dalam dek kapal. Selain truk, terdapat sejumlah kendaraan lain.

Selain Andi dan Sumaryo, polisi telah memeriksa 16 awak buah kapal (ABK) serta para sopir truk di dek KM Levina I. Namun, polisi belum bisa menemukan titik terang mengenai penyebab pasti kebakaran yang mengakibatkan 16 orang tewas tersebut.

Meski sumber kebakaran dipastikan berasal dari salah satu truk di dek KM Levina I, sulit dipastikan truk mana yang menjadi titik awal api. "Kalau sudah diketahui kendaraannya, kami bisa melacak ke pihak ekspedisi dan bahan apa yang ada dalam truk tersebut," jelas Frederik.

Namun, menurut dia, itu pun masih harus disinkronkan dengan hasil penyelidikan Puslabfor. "Kita tunggu hasil dari Puslabfor," ujarnya.

Evakuasi Kapal

Bangkai KM Levina I kemarin dievakuasi ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Karena tiupan angin dan empasan ombak, bangkai Levina sempat berpindah tiga kali dari posisi awal saat terjadi kebakaran. Yakni, sekitar 57,9 mil arah timur dari posisi semula.

Evakuasi terhadap bangkai kapal tersebut dilakukan sejak kemarin pukul 05.30. Bangkai Levina yang berada sekitar 90 mil dari pelabuhan Tanjung Priok itu ditarik menggunakan Kapal Jayakarta III milik Pelindo. Selain tug boat Jayakarta III, KRI P. Reibu dikerahkan untuk mengawal perjalanan bangkai Levina yang ditarik dari sisi buritan kapalnya tersebut.

Sorenya, bangkai Levina tiba di Buoy Barat pintu masuk Pelabuhan Tanjung Priok. Tempat itu merupakan lego jangkar atau lokasi tempat kapal-kapal yang menunggu antrean masuk ke pelabuhan. Di tempat tersebut, bangkai Levina akan diperiksa oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri hingga penyebab pasti kebakaran diketahui.

Sementara itu, untuk mengetahui penyebab pasti kebakaran, Puslabfor Mabes Polri menurunkan 16 personel yang dipimpin Kombes Pol Budi Susilo. Turut dalam rombongan Puslabfor tersebut sejumlah anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Kemarin tim SAR kembali menemukan empat jenazah penumpang KM Levina I. Sehingga total korban tewas terbakarnya KM Levina I menjadi 20 orang. Keempat jenazah yang ditemukan itu, dua di antaranya telah teridentifikasi dan diangkut oleh KRI P Raibu ke Pelabuhan Tanjung Priok. Kedua jenazah itu adalah Ahmad Fauzi, 36, warga Banyumas; dan Agus bin Karjah, 42, warga Cibitung Pabuaran, Jawa Barat.

Menurut keterangan anggota tim SAR, jenazah Fauzi ditemukan dalam jarak 6 mil dari lokasi terbakarnya KM Levina I. Sedangkan Agus ditemukan dengan jarak 41 mil dari lokasi penemuan Fauzi. Kondisi kedua korban agak sulit dikenali karena tubuh menggelembung dan kulit mengelupas.

Sedangkan dua jenazah lain yang ditemukan tim SAR dievakuasi oleh KRI Viper. Kedua jenazah itu diketahui bejenis kelamin laki-laki dengan tinggi badan sekitar 172 centimeter. Keempat jenazah yang ditemukan tim SAR kemarin telah dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Protes Pengusaha

Pengusaha perkapalan menilai bahwa pencabutan izin KM Levina yang terbakar sangat tidak tepat. Sebab, kejadian itu tidak disebabkan adanya kelalaian manajemen kapal, tapi akibat lemahnya kontrol di pelabuhan.

"Pencabutan izin itu salah sasaran dan nggak ada artinya jika sistem pelabuhan masih seperti itu," tegas Ketua Bidang Pengusahaan dan Tarif DPP Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Ferry (Gapasdaf) Bambang Haryo kepada Jawa Pos kemarin.

Menteri Perhubungan Hatta Rajasa mencabut izin operasi KM Levina karena dinilai melakukan pelanggaran berat. Yaitu, perbedaan data antara manifes penumpang dan barang dengan jumlah sesungguhnya di kapal.

Bambang menjelaskan, faktor keselamatan yang diabaikan tidak muncul dari kapal, tapi justru dari pelabuhan (port). Mengingat, semua kapal feri di Indonesia telah memenuhi standar keselamatan berdasar aturan internasional, yaitu IMO (International Maritime Organization). IMO telah memuat beberapa indikator lain seperti international safety management code (ISMC) dan safety of life at sea (Solas). "Kapal Levina itu baru melaksanakan dok. Semua item-nya tidak ada yang expired," tegasnya.

Dalam kebakaran KM Levina, kata Bambang, harus dilihat bahwa kecelakaan tersebut berasal dari muatan barang (sesuai pengakuan nakhoda), tidak dari kapal yang mengalami korsleting. Kebakaran itu mungkin berasal dari muatan yang mengandung bahan kimia yang mudah terbakar atau korek yang dibawa penumpang. Padahal, yang bertanggung jawab atas keamanan muatan barang atau penumpang adalah pihak pelabuhan.

"Kalau di bandara, yang bertanggung jawab terhadap muatan adalah petugas bandara, bukan maskapai penerbangan," ujarnya.

Kelemahan sistem keamanan di pelabuhan sangat kentara dibandingkan sistem di bandara. Bandara memiliki sistem one gate yang melalui detektor logam atau X-ray. Hal itu sama sekali tidak dimiliki pelabuhan. Berbeda dari bandara, semua orang bisa masuk ke pelabuhan dari segala penjuru. Di pelabuhan, pedagang asongan dan pengamen bisa naik ke kapal. Akibatnya, tidak mustahil jumlah penumpang akan berbeda dari manifes. "Kalau sistem keamanannya masih begitu, saya minta menteri mem-black list Pelabuhan Tanjung Priok," katanya.

Menurut dia, perlu diberlakukan aturan yang tegas dalam hal pengamanan arus muatan dan penumpang yang masuk ke pelabuhan. Di luar negeri, tugas itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengelola pelabuhan. Di Indonesia, bermacam petugas, mulai kepolisian, TNI, dan bea cukai, berada di pelabuhan. Akibatnya tidak bertambah baik, justru potensi lolosnya penumpang ilegal atau muatan berbahaya semakin besar.

Karena itu, menteri perhubungan juga perlu memberikan sanksi black list bagi pelabuhan yang berisiko. "Pelabuhan yang baik adalah yang bisa memberikan kenyamanan bagi penumpang dan pelaku usaha," jelasnya.

Mengenai pemisahan antara kapal penumpang dari kapal barang, Bambang menilai hal itu tidak mungkin dilaksanakan. Penumpang tidak akan mau dipisahkan dari harta benda atau kendaraannya. Di negara mana pun, kapal Ro-Ro (roll on-roll off) digunakan bersama angkutan barang karena memang disediakan space untuk itu. Akibatnya, jika dipisahkan, hal tersebut akan tidak efisien.

"Kalaupun hanya membawa penumpang, tapi di pelabuhan nggak ada detektornya, bisa saja ada yang membawa bom," ungkapnya.

Kualitas kapal Ro-Ro di Indonesia, kata dia, sudah sesuai standar internasional. Dari segi umur, pemerintah memang tidak mengatur umur. Kapal Ro-Ro memiliki bentuk yang lebih besar dan punya titik berat yang lebih besar ke bawah dibandingkan kapal penumpang biasa. Dengan begitu, kapal Ro-Ro memiliki lengan stabilitas yang lebih panjang yang menambah momen pengembali oleng menjadi lebih besar. "Hal itu berguna mengatasi ombak besar yang menghantam kapal," katanya.

Berdasar standar IMO, lengan stabilitas statis maksimum kapal penumpang harus di atas 30 derajat. Kapal penumpang di Indonesia rata-rata hanya 45 derajat, untuk kapal Ro-Ro mencapai 70 derajat. Selain itu, jika titik Metacenter Gravitasi (MG) standar IMO hanya 0,15 meter, kapal Ro-Ro rata-rata 0,8 meter. Artinya, kapal Ro-Ro telah memiliki jaminan keselamatan dan keamanan berlayar yang tinggi.

Mengenai jarak tempuh, di luar negeri, kapal Ro-Ro banyak digunakan untuk jarak lebih dari 200 mil. "Di Indonesia hanya 15-30 mil. Jadi, jarak tidak bisa dijadikan kambing hitam," tegasnya.

Kuasa Hukum KM Levina Elindo Saragih menyesalkan keputusan pemerintah yang tergesa-gesa mencabut izin kapal tersebut. Menurut dia, hal itu lebih disebabkan adanya tekanan publik. Padahal, kesemrawutan penumpang yang naik turun di kapal seharusnya menjadi tanggung jawab pengelola pelabuhan (Pelindo) yang notabene adalah pemerintah.

Karena itu, manajemen KM Levina akan mempelajari latar belakang pencabutan izin tersebut. "Kami akan rapat dengan manajemen. Kalau perlu, akan kita ambil proses-proses hukum untuk mengembalikan izin itu," ungkapnya.
 
Back
Top