Tetap Berharap

common

New member
Kitab Ratapan terkesan kurang disukai orang. Mungkin karena isinya hanya keluhan dan tangisan. Dari namanya pun sudah bisa ditebak, isinya cuma ratapan. Para pengarangnya cuma meratap.
Tetapi sebuah buku karangan Robert Paterson berjudul Tafsiran Kitab Ratapan terbitan BPK Gunung Mulia menolong kita melihat kitab Ratapan dengan kaca mata lain. Ternyata kitab Ratapan mengandung banyak harta rohani.
Paterson pertama-tama menolong kita memandang kitab Ratapan sebagai keutuhan, lalu mempelajari beberapa sifatnya dan kemudian menafsirkan kitab Ratapan ayat demi ayat, bahkan kata demi kata.
Kelima pasal kitab Ratapan merupakan lima syair terpisah. Dalam satu pasal bisa terdapat sejumlah tema yang berbeda-beda sehingga kita agak sulit memahaminya. Secara garis besar kelima pasal ini meratapi nasib penduduk Yerusalem setelah ditaklukkan oleh tentara Babel pada tahun 587 SM.
Paterson selanjutnya menunjukkan bahwa dalam bahasa aslinya tiap pasal kitab Ratapan, kecuali pasal 5, berbentuk akrostik yaitu bait pertama berawal dengan huruf pertama abjad Ibrani, bait kedua dengan huruf kedua, dan seterusnya. Abjad Ibrani terdiri dari 22 huruf dari Alef sampai Taw. Bentuk akrostik ini menunjukkan bahwa kitab Ratapan dikarang bukan untuk disampaikan secara lisan melainkan sebagai bacaan.
Selanjutnya Paterson menolong kita menemukan bahwa tiap syair dalam keempat pasal kitab Ratapan berirama qinah. Cirinya adalah kedua baris dalam tiap syair itu terdiri dari lima kata yang ditekankan, tiga di baris pertama dan dua di baris kedua. Bentuk kalimat yang pendek itu bermaksud agar terkesan sedih dan terserak-serak.

Contohnya:
Engkau menceraikan nyawaku dari kesejahteraan Aku lupa akan kebahagiaan (3:17).

Lebih penting lagi, Paterson menolong kita menemukan bahwa kitab Ratapan penuh dengan emosi yang tertekan dan meletup. Para pengarang adalah saksi mata dan korban dari semua penderitaan yang terjadi ketika kota Yerusalem dihancurkan. Anak kecil dipaksa memikul kayu sampai terjatuh-jatuh. Gadis dan wanita diperkosa. Pemuda dipaksa memikul batu kilangan. Para pemimpin digantung. Orang lanjut usia dilecehkan. Rumah dan harta dijarah. Anak menjadi yatim dan istri menjadi janda. Coba simak ayat demi ayat dan tempatkan diri kita dalam diri mereka. Di situ kita ikut merasakan rupa-rupa emosi seperti sedih, sakit hati, kecewa, rasa bersalah, marah, putus asa, berharap, frustasi, dan sebagainya.

Lalu apa harta rohani yang diwariskan oleh para penyair kitab Ratapan? Mereka mengakui kenyataan bahwa Yerusalem dan Bait Allah sudah hancur, padahal itu adalah simbol kehadiran Allah. Mereka menjadi bingung. Di manakah Allah? Apakah Allah masih ada? Masih bisakah kita optimis, yaitu yakin bahwa pertolongan segera datang? Tidak! Kita tidak bisa optimis, sebab penderitaan masih akan berlangsung lama.

Kalau penderitaan ini masih lama, apakah kita berputus asa? Ataukah sebaliknya, kita meronta-ronta mencari jalan *keluar? Dua-duanya keliru. Para penyair ini mengajak umat untuk tenang. Baik optimisme kosong, putus asa maupun panik tidak berguna. Yang berguna adalah tinggal tenang. Diam! Harap diam! Lalu dalam ketenangan itulah kita menunggu pertolongan Tuhan. Tulisnya, ?Adalah baik menanti dengan diam pertolongan Tuhan? (3:26).
Apa yang kita perbuat selama berdiam diri? Dengan berdiam diri kita bisa ingat kembali masa lalu. Pada masa lalu Tuhan telah menolong kita dari penderitaan-penderitaan yang dulu. Tulisnya, ?Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku. Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap? (3:20-21).

Apakah isi pengharapan itu? Bahwa kasih setia Tuhan masih ada! Kasih setia Tuhan belum habis. Tulisnya, ?Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi??(3:22-23).
Tulis Paterson, ?Mereka tidak mengerti mengapa kecelakaan yang begitu besar menimpa, tetapi mereka masih percaya bahwa Dia bersifat benar dan mereka dapat berteriak kepada Dia. Mereka sama dengan orang yang harus duduk dalam kegelapan tetapi harapan bersinar di depan mereka seperti suatu bintang di langit, dan mereka dapat berharap dalam Tuhan dan menanti pertolongan daripada-Nya.?

Itulah dasar untuk masih berharap. Memang pahit, tetapi kita bisa berharap. Tentu saja kita meratap, tetapi kita tetap berharap. Hubungan kita dengan Tuhan tetap bersambung. Inilah harta yang tersimpan dalam kitab Ratapan. Kita meratap tetapi sambil tetap berharap. Tulis Paterson, ?Iman kita sebagai orang Kristen diperkaya dan diperdalam jika kita membaca kitab Ratapan secara demikian.? Sebagaimana tiap hari menjadi baru, demikianlah kasih setia Tuhan tiap hari bertambah baru dan bertambah jelas.

Kesaksian kitab Ratapan ini bergema dalam nyanyian PKJ 138 dan NKB 34:

Setia-Mu Tuhan, tiada bertara,
Di kala suka, di saat gelap.
Kasih-Mu, Allahku, tidak berubah,
Kaulah Pelindung abadi, tetap.

Refrein:
Setia-Mu, Tuhanku, mengharu hatiku,
setiap pagi bertambah jelas.
Yang kuperlukan tetap Kau berikan,
Sehingga aku pun puas lelas.
 
Back
Top