Dosa percabulan

common

New member
Tergoda ke dalam percabulan adalah dosa yang sangat gampang terjadi. Di satu sisi, seks paling banyak dan kuat penggodanya, dan di sisi lain justru orang sangat ingin tergoda. Berbeda dengan dosa lain, seks pun terbilang sulit masuk jerat hukum. Itulah rumusan masalahnya.

Kalau dosa membunuh, pada dasarnya tak ada orang yang menggoda orang lain supaya dirinya dibunuh. Begitu juga dosa mencuri, tak ada orang yang menggoda dengan tujuan agar miliknya dicuri orang lain. Tapi seks adalah kebalikan jauh dari jenis dosa-dosa lain itu. Orang digoda untuk berdosa, minimal dalam niat dan angan, dengan segala daya upaya.

MASALAH DALAM MASALAH
Terjadinya sangat gampang, mengatasinya pun sangat sukar. Masalah ketergodaan seks menjadi kian sukar diatasi karena ditutupi oleh sejumlah masalah lain. Pertama, tumbuhnya budaya masyarakat yang menggiring kita untuk bersikap permisif terhadap dosa percabulan, sampai kita tak lagi menilainya sebagai dosa. Faktor ini sangat kuat, individu manusia terlalu lemah di hadapan kebudayaan. Dosa diwajarkan. Melalui segala tontonan yang memang kita butuhkan sebagai hiburan dan bahkan pendidikan, melalui bacaan, dan pelbagai jalur lain.

Kita mulai tak merasa jijik atau takut terhadap dosa ini. Antara lain melalui proses kecil yang tak disadari. Misalnya kita mulai dengan aneka joke ringan yang menyerempet porno. Dan memang yang nyerempet itulah yang paling digemari karena: (1) Kadar kelucuannya yang memang sering lebih tinggi; dan (2) Karena nilai budaya yang ada pada kita itulah yang sudah menggeser persepsi kita tentang apa yang paling menarik dan yang tak menarik.

PENGARUH BERBAGAI BUDAYA
Ada pula nilai-nilai budaya lain yang menggiring pada kegandrungan seks bebas. Yaitu identifikasi dengan budaya modernisasi. Akibatnya, orang yang menjaga kekudusan justru dihina (termasuk oleh diri sendiri) sebagai ketinggalan zaman, norak. Tentu, setiap orang tak mau terhina sehingga harus memilih untuk hanyut tergoda.
Ada pula budaya tua yang terus subur saking kuatnya, yaitu menghayati seks bebas sebagai bagian dari prestasi pemenang atau penakluk, sehingga harus diburu. Nilai ini mulanya tumbuh dalam persepsi gender yang keliru (misalnya patriarkhalisme), tapi kemudian melahirkan sikap balas dendam (baik secara individual maupun kultural).

SIKAP PERMISIF
Kedua, sikap permisif kita itu tak hanya ditumbuhkan secara negatif (meniadakan nilai dosa dari perbuatan kita), tapi pula secara positif yakni dengan memberi landasan logika maupun etika yang baru. Ini sangat banyak, dan terus dikembangkan. Ada logika yang mengatakan ?itu sesuatu yang alamiah, sesuatu yang wajar sebagai manusia yang masih normal?.
Maka akibat selanjutnya jelas: orang harus berlomba untuk menceburkan diri ke dalam kejatuhan dosa seks karena tak mau dinilai abnormal. Ada pula argumen yang bernada etika, ?itu hak asasi manusia?, sehingga masyarakat semakin permisif, dan individu pun cenderung merasa jadi hero karena melakukan dosa satu ini merupakan perjuangan menegakkan HAM atau paling sedikit merasa sedang mempertahankan hak dirinya yang paling asasi. Heboh-heboh beberapa waktu lalu tentang pornografi dan porno aksi itu harus ditatap dalam konteks ini. Sejumlah kalangan Kristen membela Inul dan pornografi hanya karena semua itu dilarang kelompok dari agama lain.

KONSEP THEOLOGI YANG KELIRU
Ketiga, konsep theologi yang tak beres, dan semakin melantur. Agama sebagai penyemai nilai etika dan sekaligus benteng etika sering kedapatan tak berfungsi dalam masalah ini, karena tak beresnya paham theologi. Ajaran agama tentang seks sering hanya bersifat umum, sampai mengambang, simplikatif dan tidak memadai. Akibatnya, tak bisa berfungsi sebagai pedoman praktis yang mampu mengawal manusia setiap saat secara logika, etika dan estetika.

Kekurangan atau cela ini dimasuki oleh paham theologis menyimpang (yang dipengaruhi pelbagai fil*safat ngawur). Dari yang mengatakan ?seks-bebas tidak dengan sendirinya sudah merupakan dosa? sebagaimana pendirian para theolog yang mengajarkan konsep Etika Situasi, sampai yang telah tiba pada simpulan ?seks-bebas pasti bukan dosa, seks adalah anugerah Tuhan yang harus dinikmati sepuas mungkin?. Seperti mereka yang menganut ajaran seperti Children of God maupun begitu banyak orang di antara jemaat kita yang berpendirian seperti itu tanpa ikut segala gereja sesat.

JAWABAN YESUS, JAWABAN SATU-SATUNYA
Secara bersama-sama maupun masing*masing dari tiga faktor di atas itu ditum*buhkan oleh pelbagai filsafat yang ke*liru, tak memadai, ataupun sekadar ekses dari filsafat tertentu. Sehingga harus segera diinsafi pentingnya pembe*res*an dalam konsepsi theologis. Umum*nya gereja tak bisa berperan dalam masalah ini, sebagaimana terbukti sepanjang berabad-abad selama ini, sebab tak beresnya paham tentang seks.

Bahwa seks adalah ?anugerah Tuhan untuk melengkapi kebahagiaan manusia?, dan bahwa ?seks hanya boleh dinikmati di dalam perkawinan yang dikuduskan (oleh lembaga yang mengatasnamakan) Tuhan?. Semua itu sih diamini semua orang. Tapi itu kemudian cuma sebatas kata-kata hafalan belaka, karena pola pikir dan nuraninya sendiri sudah bergeser ke nilai-nilai budaya yang justru bertentangan dengan apa yang dikatakannya. Apa sebab? Sebabnya: tak dikembangkan sistem ajaran selengkapnya yang koherens (utuh).

Dosa percabulan sering dilakukan pasangan dalam status nikah. Baik karena mereka sengaja menghambakan diri pada nafsu, maupun akibat dari segala perilaku seks yang kemudian menjurus pada perbudakan diri dalam nafsu. Segala sesuatu halal, tetapi sesuatu apapun yang sudah sampai memperhamba diri kita itu adalah dosa (1 Kor.6:12). Karena menjadi hamba seks tak mungkin bisa menjadi hamba Tuhan, padahal setiap kita adalah hamba Tuhan, setiap kita adalah imam Allah (1 Ptr.2:9). Menjadi hamba seks sangat menyita waktu, tenaga, modal, konsentrasi dan orientasi sikap diri kita dari pelayanan untuk pekerjaan Tuhan, ibadat dan menolong sesama. Memang, setiap dosa lain (semisal membunuh dan mencuri) sering hanya merugikan orang lain secara material maupun mental, tetapi dosa percabulan menghancurkan diri sendiri (1 Kor.6:18), dan yang paling bahaya ialah membuang keselamatan kita (1 Kor.6:9).

Setelah pengertian theologis kita beres, harus ada langkah-langkah konkrit:

1 Secara positif memperbesar orientasi hidup kita pada Tuhan; perbesar kenikmatan dan kebahagiaan rohani (beribadah, mengasihi sesama). Ini namanya mensubstitusi ?syuurga? menuju surga yang sejati. Atau dengan kata lain merestorasi, dari jalan ke neraka tapi dianggap ?surga?, kembali ke jalan yang dirancang Allah. Awalnya agak sukar, sering harus jatuh bangun, karena iblis pun aktif bekerja keras. Tapi kemenangan demi kemenangan akan semakin banyak dicapai jika kita tetap tertuju pada tujuan besar dan mulia, dengan selalu berusaha takut Tuhan, mengandalkan kekuatan Roh Tuhan, apalagi ketika kita mulai menikmati pahala kemenangan yang dicurahkan-Nya ataupun ?sekadar? menikmati suasana ibadat di hadirat-Nya. Usaha positif dalam butir 1 inipun sebetulnya bagian dari paham theologi yang harus dibereskan, karena banyak yang hanya mengandalkan usaha negatif melarang diri untuk jangan begini-begitu, jangan makan ini-itu, sehingga menuju pada pertarakan, puasa, bertapa, mengasingkan diri dari dunia ramai dan tanpa perduli pada sesama yang butuh pertolongan.

2 Dengan paham yang benar di atas, menyadarkan jemaat/gereja, masyarakat dan negara untuk membenahi sistem budaya melalui sistem pendidikan dan media massa. Karena budaya sangat kuat berpengaruh. Jika budaya benar, maka manusia akan mudah tergiring pada jalan dan laku yang benar. Masyarakat dan negara harus disadarkan bahwa, sebagaimana hasil penelitian, masyarakat penganut seks bebas akan melahirkan generasi bangsa yang kualitasnya lebih rendah dan semakin rendah. Sistem sosial (politik, hukum, budaya, dan lain-lain) harus diarahkan untuk mencipta masyarakat yang berisi para pribadi yang berlomba mengejar pahala Tuhan atas kekudusan hidupnya. Hanya orang kudus, atau yang selalu berusaha serius untuk hidup kudus, yang dinilai Tuhan bisa dipercayakan-Nya pelbagai talenta, peluang dan limpahan berkah.
 
Back
Top