Energi Terbarukan Kalah Bersaing dengan BBM

nurcahyo

New member
Energi Terbarukan Kalah Bersaing dengan BBM

Status energi terbarukan sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) semakin penting menyusul surutnya sumber-sumber minyak bumi di perut bumi Nusantara. Namun, hingga saat ini upaya komersialisasi energi terbarukan masih belum dapat bersaing dengan BBM yang harganya lebih murah lantaran mendapat subsisi dari pemerintah.
Untuk dapat berkompetisi dengan BBM, menurut Meneg Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, energi terbarukan komersial harus mendapat dukungan pemerintah lewat program insentif, salah satunya berupa potongan pajak. ''Saya berharap Presiden mau memberikan insentif untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan,'' kata Kusmayanto, saat membuka acara 'Landmark Litbangrap Iptek untuk Mendukung Ketersediaan Energi' di gedung BPPT, Selasa (22/2).
Di negara-negara lain, kata Kusmayanto, pemerintah turut campur tangan dalam penerapan energi terbarukan di masyarakat. Pemerintah Austria, misalnya, memberikan keringanan pajak dan pemberian voucher kepada pemilik mobil yang menggunakan bahan bakar biodiesel. Kusmayanto menyatakan subsidi pemerintah terhadap BBM memang bukan satu-satunya faktor penyebab energi terbarukan kalah bersaing dengan harga BBM. Namun, kata dia, pengolahan energi terbarukan sendiri seperti biodiesel maupun gasohol memang membutuhkan BBM. 'Jika harga BBM naik, maka akan mempengaruhi harga biodiesel maupun gasohol juga,'' tuturnya.
Sebagai terobosan, Kusmayanto mengimbau diadakannya potongan pajak kendaraan bermotor misalnya bagi pemilik kendaraan yang menggunakan bahan bakar biodiesel atau gasohol. Usaha mengembangkan sumber energi terbarukan, kata dia, harus dilakukan sejak dini. Hal ini menimbang semakin kecilnya ketersediaan sumber energi yang dapat diekploitasi di masa depan dibandingkan dengan angka kebutuhan energi dalam negeri yang malah semakin meningkat.
Sejumlah sumber energi terus dikembangkan untuk menciptakan energi terbarukan menggantikan minyak mentah. Di antaranya, tenaga surya, angin, biofuel, tenaga surya, nuklir, batu bara (cair), atau panas bumi. Sumber-sumber ini terus dipersiapkan Kemenristek dan BPPT lewat pengembangan penelitian untuk menjamin ketersediaan energi tahun 2025.
Indonesia Ketinggalan Jauh
Sebagai negara dengan tingkat kebutuhan energi tinggi, Indonesia relatif kurang memiliki akses ke sumber energi komersial. Hal ini, menyebabkan pemakaian energi per kapita masih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Konsumsi perkapita untuk saat ini hanya sekitar 3 Setara Barel Minyak (SBM) atau yang sama dengan sepertiga konsumsi perkapita rata-rata negara ASEAN. Fakta juga menunjukkan sekitar separuh dari keseluruhan rumah tangga belum terlistriki.
Sementara dua pertiga dari total kebutuhan energi nasional sendiri berasal dari energi komersial dan sisanya berasal dari biomassa yang digunakan secara tradisional. Data dari dokumen HDI (Human Development Index) 2003 menyebutkan konsumsi tenaga listrik di Indonesia masih 345 kWh/cap. Angka ini masih di bawah Malaysia yang sudah mencapai 631 kWh/cap.
Penggunaan energi sampai saat ini pun masih belum optimal. Hal ini ditunjukan oleh elastisitas penggunaan energi yang masih di atas 1 (satu) dan intensitas pemakaian energi yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Pada tahun 2002 Indonesia memerlukan sekitar 4,7 SBM untuk menghasilkan PDB sebesar 1000 AS dolar dalam harga konstan 1993. Sedangkan rata-rata negara ASEAN hanya memerlukan kurang lebih 3,9 SBM untuk menghasilkan PDB yang sama.




Sumber : Republika
 
Back
Top