PLT Fuel Cell untuk Rumah Tangga

nurcahyo

New member
PLT Fuel Cell untuk Rumah Tangga

Sel tunam (fuel cell) di bidang otomotif saat ini berkembang pesat dan telah masuk pada tahap komersial di negara maju. Di bidang riset, peneliti Indonesia sulit mengejar ketertinggalan itu. Namun, peluang pengembangan teknologi baru masih terbuka di bidang pembangkitan energi listrik skala kecil.
Saat ini bahkan peneliti yang tergabung dalam Konsorsium Fuel Cell Indonesia telah menghasilkan prototipe skala laboratorium pembangkit listrik tenaga (PLT) sel tunam berkapasitas 500 watt untuk pemakaian di rumah tangga.
Hal ini disampaikan Dr Achiar Oemry, Koordinator Program Fuel Cell Pusat Penelitian (Puslit) Fisika LIPI, dalam Seminar dan Kongres Nasional I Konsorsium Fuel Cell Indonesia (FCI), di Jakarta, Kamis (3/3). Pada acara itu dideklarasikan berdirinya FCI dan memperkenalkan konsorsium tersebut sebagai clearing house teknologi fuel cell di Indonesia. Penelitian pembuatan komponen yang diperlukan untuk membangun fuel cell sudah dilakukan secara parsial di berbagai lembaga penelitian di Indonesia, yaitu LIPI, BPPT, Batan, ITB, UI, Lemigas, dan PLN. Untuk lebih memudahkan koordinasi dengan swasta, didirikan Konsorsium Fuel Cell Indonesia.
Dalam dua tahun mendatang, ditambahkan Dr Agus Hartanto, peneliti LIPI yang juga Ketua Dewan Pembina FCI, prototipe itu akan dikembangkan hingga skala industri yang diharapkan dapat masuk dalam program Riset Unggulan Strategis Nasional. Cetak biru pembangunan industri fuel cell di Indonesia telah dibuat oleh FCI, dan telah ada industri yang tertarik untuk memproduksinya, antara lain Medco Energi. Untuk itu ia mengharapkan dukungan kebijakan pemerintah dalam bentuk insentif yang mendorong lembaga riset dan industri bekerja sama mengembangkan ke tahap produksi.
Dukungan insentif dan keringanan pajak serta kemudahan lain dari pemerintah akan berdampak pada rendahnya biaya pembangkitan listrik fuel cell. Ia mencontohkan, di Kanada dengan adanya kebijakan itu, biaya listrik dari PLT fuel cell berkapasitas 50 MW hanya sekitar 8 sen dollar AS per kWh. Lebih rendah daripada diesel yang sebesar 12 sen per kWh.
Pengembangan selanjutnya yang akan dilakukan lembaga riset di Indonesia adalah meningkatkan kandungan lokal pembangkit listrik tenaga fuel cell hingga 60 persen. Saat ini prototipe yang dibuat menggunakan 40 persen sumber bahan baku dan komponen buatan dalam negeri. Dijelaskan Achiar, untuk pembangkit listrik fuel cell, bahan baku yang layak dikembangkan adalah polimer dan oksida padat, yang banyak terdapat di Indonesia.
Gas hidrogen sebagai bahan bakar fuel cell, ujar Lili Tjarli, Corporate Secretary PT Indonesia Power, juga melimpah di Indonesia. Gas itu merupakan produk samping yang dihasilkan PLTU Suralaya, dan dapat diperoleh dari sampah organik. PLTU Suralaya, misalnya, menghasilkan gas hidrogen 150 ton per hari, sedangkan yang dimanfaatkan kembali untuk pembangkit hanya 20 ton per hari. Indonesia Power akan memasok cuma-cuma gas tersebut kepada Puslit Fisika LIPI.




Sumber : Kompas
 
Back
Top