SBY Belum Teken Pengganti PP 37

Kalina

Moderator
Tunggu Aturan Teknis Mendagri
JAKARTA - Peraturan pemerintah (PP) pengganti PP 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Anggota dan Pimpinan DPRD belum diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski draf revisi sudah dinyatakan final, presiden masih menunggu peraturan Mendagri yang mengatur mekanisme pengembalian rapel uang tunjangan komunikasi intensif.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pemerintah menghindari polemik jika PP baru tersebut sudah terbit. Karena itu, perlu ada peraturan yang lebih rendah tentang teknis pelaksanaan PP tersebut.

"Peraturan Mendagri itu misalnya mengatur kalau anggota DPRD itu meninggal atau terkena pergantian antarwaktu (PAW). Sekarang ini Depdagri dan Depkeu menghimpun data daerah-daerah yang sudah dan belum membayarkan rapel," kata Yusril kepada wartawan di kantornya kemarin.

Menurut Yusril, PP yang baru nanti tidak mungkin berlaku surut. Karena secara prinsip hukum tidak bisa berlaku surut. Soal pengembalian, menurut Yusril, bukanlah soal hukum. Itu soal administratif.

Itulah yang disebut Yusril sebagai kompromi antara kaidah etis dan kaidah hukum. Jadi, secara etis, anggota DPRD harus mengembalikan rapel yang sudah diterima. Aturan hukumnya, kata Yusril, diberikan cara yang paling ringan, yakni dicicil sampai akhir masa jabatan.

"Kalau mau bayar lebih cepat, ya silakan. Misalnya, Anda ambil kredit, harus nyicil 10 kali. Tapi setelah 3 bulan sudah lunas, ya silakan," kata suami Rika Tolentino Kato itu.

Yusril juga merasa lega karena Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mendukung keputusan pemerintah yang mengharuskan anggota DPRD mencicil dana rapel hingga masa jabatannya berakhir. Bagir memang mengatakan bahwa pengembalian dana rapel secara mencicil tidak menyalahi aturan hukum dan asas retroaktif.

Menurut Yusril, kalau melihatnya murni secara legal, polemik PP 37/2006 tidak akan selesai. Murni etis juga tidak terselesaikan karena etis tidak bisa memaksa.

"Jadi, jangan dianggap sebagai utang-piutang. Ini hak yang dibayarkan pada seseorang yang kemudian peraturan itu telah diubah. Yang sebenarnya menurut hukum itu tidak boleh," jelasnya.

Soal uang rapel yang telanjur digunakan untuk parpol, menurut Yusril, itu masalah internal anggota DPRD tersebut. Bahkan, kata Yusril, ada juga anggota DPRD yang sudah telanjur sewa kantor di daerah agar saat reses warga bisa bertemu di kantornya. "Dia gaji staf dan catat semua aspirasi laporan masyarakat. Penggunaannya memang bervariasi. Tapi, ya itu internal dia lah bagaimana mengaturnya," papar Yusril.

Bagaimana kalau sampai terjadi gugatan ke pemerintah? Dikatakan Yusril, tidak ada aturan hukum tanpa celah. "Itu sulit. Tetep ada celah-celahnya. Orang yang lihat itu dari sisi murni legal, dia bisa gugat itu ke pengadilan," kata Yusril.

Tidak tertutup kemungkinan, kata Yusril, ada gugatan perdata yang meminta untuk yang sudah ambil rapel tidak perlu mengembalikan dan yang belum mengambil bisa mendapatkan. "Nanti kan hakim akan lihat ada dilema hukum yang tak terpecahkan. Memang, orang-orang LSM senang kali pakai dilema-dilema ini. He?.he? he...," kata Yusril sambil tertawa.

Yusril mengatakan, kadang-kadang orang bisa ngomong hebat di koran. Tapi, kalau sudah menjadi pemerintah, baru tahu sulitnya. "Nanti hakim akan lihat antara kepastian hukum dan keadilan. Maka, kalau dibawa ke pengadilan, kita harap pengadilan akan bijak dan dia tahu akan ada dilema ini," jelasnya.

Di PP yang baru nanti, kata Yusril, memang tidak diatur sanksi. Tapi, karena mekanismenya adalah potong gaji atau tunjangan, anggota DPRD yang bersangkutan tidak akan bisa apa-apa. "Kecuali kalau dia lakukan perlawanan ke pengadilan bahwa memotong gaji itu melawan hukum. Itu bisa jadi kasus lain. Kali ini saya betul-betul dilema," ungkap Yusril.
 
Back
Top