Istana Pagaruyung, Warisan Sejarah Minang yang Tinggal Abu

Kalina

Moderator
Empat Kali Pindah, Tiga Kali Hangus Terbakar
Sekitar 4.500 dokumen dan benda peninggalan sejarah Minangkabau yang berusia ratusan tahun ikut hangus dalam musibah kebakaran Istana Pagaruyung. Barang apa saja yang tersimpan di bangunan rumah gadang tiga lantai itu?

AFRIANINGSIH PUTRI, Padang

MATA M. Shadiq Pasadique tampak berkaca-kaca. Pria paro baya yang belum setahun menjabat bupati Batu Sangkar, Sumatera Barat, itu seperti tak kuasa melihat Istano Basa Pagaruyung -nama resmi dalam bahasa Minangkabau- luluh menjadi abu.

Setelah kebakaran hebat pada Selasa malam, 27 Februari lalu, istana tiga lantai yang menjadi landmark Batu Sangkar yang berdiri gagah dengan 11 gonjong dan 72 tonggak itu hanya tinggal rangka beton. Dinding, atap, dan semua ornamen kayu yang mendominasi istana berbentuk rumah gadang itu lenyap ditelan api.

"Saya tak bisa tidur mengingat musibah kebakaran ini. Sebab, istana ini bukti sejarah kerajaan pertama di Minangkabau," kata Shadiq.

Menurut Shadiq, orang Minang, termasuk bangsa Indonesia secara keseluruhan, mengalami kehilangan besar dengan lenyapnya istana yang selama ini menjadi ikon promosi pariwisata Indonesia itu.

"Tak bisa diganti dengan uang sebanyak apa pun. Nilai sejarah yang ada di dalam istano kebanggaan orang Minangkabau ini sangat besar," tutur Shadiq.

Puluhan aparat kepolisian dan TNI terlihat berjaga-jaga di sekitar bangunan yang diberi pita kuning bertulisan police line itu. Semangat warga untuk membangun kembali istana tampak pada banyaknya kotak sumbangan yang diletakkan mulai gerbang masuk hingga bagian taman yang berada di belakang bangunan istana.

"Inilah saat yang tepat bagi masyarakat Minang untuk bersatu membangun kembali sisa-sisa sejarah yang pernah melambungkan nama etnis Minang," kata Shadiq.

Keberadaan istana yang berada sekitar empat kilometer dari ibu kota Kabupaten Batu Sangkar itu memang tidak bisa dipisahkan dari pasang surut etnis Minang. Kerajaan Pagaruyung yang didirikan Adityawarman bermula sebagai kerajaan Hindu yang berkembang pada abad ke-13-14. Namun, seiring dengan berkembangnya pengaruh Islam, kerajaan tersebut berubah menjadi kesultanan Islam sejak abad ke-17.

Dalam sejarah, istana itu sudah empat kali dipindahtempatkan. Lokasi pertama istana berada di Ateh Bukik, Batu Patah, Jorong Gudam. Lantas, dipindahkan ke Sungai Bunggo, Jorong Gudam, dan dipindah lagi tak jauh dari Sungai Bunggo. Pemindahan istana itu dilakukan karena terbakar. Bahkan, pada 1804, istana yang dibangun Rajo Alam itu dibakar pemerintah kolonial Belanda.

Ide awal pembangunan kembali Istana Pagaruyung itu dari mantan Gubernur Sumatera Barat Harun Zein Datuak Sinaro sekitar 1973. Lalu, pada 1974-1975 Pemprov Sumbar membentuk tim yang didukung tiga tenaga konsultan ahli.

"Selain saya, yang terlibat sebagai konsultan adalah Datuak Simarajo (mantan ketua Kerapatan Adat Nagari Pagaruyung) dan Abu Yazid Seribujaya (ahli purba kala Kanwil Pariwisata)," kata Djafri Dt. Bandaro Lubuak Sati, konsultan ahli pembangunan kembali istana yang masih hidup.

Pada 1976, tambah Djafri, sudah berdiri tiang tuo (tiang utama) istana. Lalu, pada 27 Desember 1976, sudah berdiri rangka istana yang dikerjakan kontraktor PT Pembangunan Perumahan.

Menurut Djafri, dana untuk membangun istana itu berasal dari APBD Sumbar, APBN, serta bantuan masyarakat. "Bahkan, bantuan juga berasal dari Kerajaan Nagari Sembilan," katanya. Nagari Sembilan, salah satu kesultanan di Malaysia, adalah negeri yang dulu dibangun para pemukim Minang (Pagaruyung) sejak abad ke-15.

"Sekitar 1986, pembangunan tahap pertama tuntas dilakukan dengan total anggaran tak lebih dari Rp 1 miliar," katanya

Untuk mengisi ulang Istana Basa, tambah Djafri, warga Minang -termasuk anak keturunan bangsawan Pagaruyung- sepakat mengumpulkan barang-barang purbakala etnis Minang, termasuk peninggalan kerajaan, yang berserakan.

"Ada yang menerima ganti rugi, hibah, atau hanya menitipkan begitu saja barangnya di istana. Total keseluruhannya mencapai 4.500 buah," ujarnya.

Keseluruhan barang-barang purbakala itu ditempatkan sesuai dengan peruntukannya. Lantai pertama, misalnya, yang diberi nama Rumah Gadang Tigo Sasaing di Kida Sarambi Papek, di Kanan Rajo Babandiang dan Tangah, Gajah Maharam ditempatkan barang-barang yang berhubungan dengan takhta kerajaan, permufakatan, musyawarah, penyambutan tamu, dan pengambil keputusan dalam persengketaan.

Lantai II yang dikenal dengan Anjungan Paranginan ditempatkan tilam (kasur), katil (tempat tidur raja), kelengkapan menenun, serta berbagai peralatan kerajinan wanita.

Pada lantai III ditempatkan dokumen-dokumen yang berharga. Ruang yang lebih dikenal dengan nama Mahligai itu diisi dengan surat-surat rahasia, tambo, keris pusaka, dan lain-lain. "Lantai II dan III biasanya tidak dibuka untuk umum karena di situ disimpan barang-barang bernilai sejarah tinggi dan rawan rusak," katanya.

Yang memprihatinkan, pada kebakaran yang diduga disebabkan sambaran petir itu, hanya sebagian kecil barang-barang istana yang bisa diselamatkan. "Barang-barang di lantai II dan III yang menyimpan barang berharga sejarah Minang tidak bisa kami selamatkan," ujar Shadiq.

Kondisi itu membuat Djafri kian prihatin. Selaku orang yang paling mengetahui perencanaan, pembangunan, sampai penempatan barang-barang bersejarah tersebut, dia tahu benar bahwa koleksi yang terbakar itu tidak ternilai harganya. Sebab, di dua lantai itulah, ditempatkan dokumen-dokumen yang berisikan sejarah kerajaan, garis keturunan, dan keris-keris bersejarah.

"Kami berharap pemerintah secepatnya membangun istana itu," katanya.
 
Back
Top