Hide and Seek

QRi_Reichi

New member
16533715-256-k435728.jpg



Aku adalah tipe yeoja yang tidak suka menunggu. Apapun itu. Tapi semua berubah…

Aku menjadi yeoja yang terus menunggu, setia menunggu untuk sebuah ketidakpastian dalam hidupku…

Menunggu seorang namja untuk jatuh cinta dan mengatakan cintanya padaku?

Akankah itu terjadi?

Apakah aku bisa mendapatkan kebahagian seperti orang lain?

Entahlah, aku hanya bisa menunggu dan menunggu.

Dan aku menunggu waktu, waktu di saat kau mengatakan bahwa
“Aku mencintaimu, sayang”
Author’s POV

Seorang gadis berambut panjang berjalan keluar dari sebuah gedung. Pakaian yang dikenakannya menunjukkan bahwa dia seorang karyawan disana. Park Jiyeon, nama gadis itu. Wajahnya yang cantik semakin terlihat sempurna dengan postur tubuh yang ideal bak seorang model. Make up tipis dengan sedikit sentuhan eyeliner yang semakin mempertajam matanya membuatnya terlihat lebih cantik. Gadis itu berdiri di luar gedung sambil sesekali melirik arlojinya. Cukup lama, Jiyeon berdiri di sana, seperti sedang menunggu seseorang.

Jiyeon's POV

“Aish, benar-benar kau cari mati denganku.” Aku segera melangkahkan kaki meninggalkan tempat kerjaku. Jarak tempat latihan taekwondo dan kantor memang tidak terlalu jauh, bisa di tempuh dengan jalan kaki beberapa menit. Tak lama kemudian, aku pun sampai di tempat latihan.

“Jiyeon-ah,” seseorang memanggilku. Aku langsung membalikkan badanku. Bibirku spontan mengerucut melihat seorang namja berlari-lari kecil menghampiriku. Tanganku mengepal, ingin rasa menjadikan wajah namja itu sebagai pemanasan sebelum kelas taekwondoku dimulai. Aku sudah menunggunya sejam sejak jam kantor sudah usai. Ya, aku sangat tidak suka menunggu, apalagi telat adalah kebiasaan Kim Sung Je, temanku itu. Kami berteman sejak Sung Je pindah ke daerah tempat tinggalku, rumah kami bersebelahan. Bahkan sudah seperti saudara kembar, itu menurut tetangga-tetangga kami. Tapi bukan hanya aku dan Sung Je saja yang dekat, keluargaku dan keluarga Sung Je sudah sangat dekat. Apalagi semenjak kematian ayahku 3 tahun yang lalu. Sung Je sering datang ke rumah untuk melihat kondisi ibu yang memang sudah terbilang lemah. Tapi aku sendiri tidak ingin membuat hal itu menjadi sebuah beban. Ibuku sudah merawatku sejauh ini tanpa mengeluh, jadi sangat memalukan jika aku sampai menganggapnya sebagai beban. Beruntung, Sung Je memberiku informasi tentang lowongan pekerjaan di kantornya. Posisiku di kantor itu memang belum tinggi, tapi aku tak mau terobsesi dengan sebuah kedudukan, yang paling penting buatku adalah, aku bisa mendapatkan penghasilan. Dan hidup tanpa seorang ayah inilah yang menjadikan alasan aku mengikuti taekwondo untuk melindungi diriku dan ibu.

“Mwo?” tanyaku dengan suara agak tinggi.

“Jiyeon-ah, kau tega sekali meninggalkanku,” kata Sung Je sambil mengatur napasnya. Napasnya sedikit terengah-engah, mungkin dia mengejarku dari tempat kerja sampai aku tiba di tempat latihanku.

“Sung Je-ya, kau sudah telat berapa lama hah?”semprotku. “Kau tau, aku tidak suka menunggu lama?”

“Mian ne, Jiyeon-ah. Kau tau kan, Tuan Lee selalu saja berbicara panjang lebar jika ada karyawan yang melakukan sedikit saja kesalahan?”

Aku mengiyakan pertanyaan Sung Je dalam hati. Lee Donghae, atasanku memang orang yang perfeksionis, tak mau ada satu kesalahan pun yang bisa ia tolerir. Kadang kala, aku ingin menonjok wajah tampannya itu dengan kekuatan yang ku punya. Ku akui, dia memang tampan, hanya saja sifatnya menyebalkan seperti itu dan membuat ketampannya itu pudar.

“Tsk, untung saja yeoja chingumu itu bukan aku, kau harus bersyukur punya Kyu Ri yang selalu sabar menunggumu,” dengusku. Lee Kyu Ri adalah kekasih Sung Je. Aku juga sudah dekat dengannya, bahkan sudah seperti saudara juga. Dia gadis yang cantik dan baik yang pernah ku kunal. Kyu Ri sekarang kerja di salah satu perusahaan di Jepang. “Kajja, kita sudah telat.” Ku tarik Sung Je dengan kuat.

***

Latihan hari ini sudah usai, cukup melelahkan. Aku meregangkan otot-ototku sambil menunggu Sung Je (lagi) yang sedang berganti baju.

“Aish, menyebalkan sekali. Lagi-lagi aku harus menunggunya.” Ku lirik arloji di tanganku. “Kim Sung Je, kau harus membayarnya, awas saja kau.” Sifat evilku mulai keluar. Tak lama setelah itu, namja yang ku tunggu menampakkan batang hidungnya.

“Kajja, kita pulang,” ajaknya saat tiba di hadapanku. Aku menggembungkan pipiku.

“Wae yo, Jiyeon-ah?” tanya Sung Je tanpa rasa bersalah.

Aku memicingkan mataku menatapnya tajam.

“Mwonga munjega itnayo?” (Apa ada sesuatu yang salah?) Sung Je melihatku dengan seksama. “Yak Park Jiyeon, berhentilah memasang tampang seperti itu, kau semakin terlihat seperti induk Dinosaurus. Tsk, Arasseo yo,” kata Sung Je menyerah. “Aku traktir sepuasmu.”

Mendengar apa yang keluar dari mulut Sung Je, membuatku tersenyum puas.

Jinjja? Sepuasnya?” seringaiku. Aku tersenyum, senyum licik. Sifat evilku muncul lagi.

Sung Je’s POV

“Mwonga munjega itnayo?” (Apa ada sesuatu yang salah?) tanyaku saat aku melihat wajah Park Jiyeon. “Yak Park Jiyeon, berhentilah memasang tampang seperti itu, kau semakin terlihat seperti induk Dinosaurus. Tsk, Arasseo yo,” kataku menyerah. Dia memang yeoja yang tidak suka menunggu terlalu lama. “Aku traktir sepuasmu,” lanjutku.

Jiyeon tersenyum puas.

Jinja? Sepuasnya?” Dia menyeringai lebar.

Aigoo, aku salah bicara. Sepuasnya? Harusnya aku tidak bilang seperti itu, rutukku dalam hati.

Dan benar saja, setelah kami sampai di restoran, Jiyeon hampir memenuhi meja dimana kami duduk. Aku menelan ludah melihat apa yang ada di hadapanku.

“Jiyeon, apakah ini semua akan masuk ke dalam perutmu semua?” tanyaku sambil menatap ngeri beberapa menu tersebut. Porsi makannya termasuk bukan porsi makan seorang yeoja seperti biasanya. “Pantas kalau teman-temanmu dulu memanggilmu Dinosaurus. Kau bahkan lebih mengerikan saat kau kelaparan.”

Jiyeon tak acuh padaku, aku hanya bisa pasrah.

“Kau tidak makan?” tanyanya dengan mulut penuh makanan.

“Aku sudah kenyang melihat cara makanmu,” tandasku. Cara makannya benar-benar mengerikan. Tak ada tanda-tanda kalau dia itu seorang yeoja, bahkan kekuatannya pun juga mengerikan. Aku teringat kejadian di mana dia pulang sendiri dari kantor, tak sabar karena terlalu lama menungguku. Dua preman menganggunya namun dalam sekali pukulan kedua preman itu langsung tak sadarkan diri. Benar-benar mengerikan.

“Kalau begitu, makananmu buatku saja.” Jiyeon mengambil makanan yang ku pesan.

“Hei,” pekikku hingga membuat semua pasang mata yang ada di restoran itu tertuju ke arahku. Aku spontan membungkam mulutku. “Berikan padaku, Jiyeon,” pintaku sambil berbisik dan melototi Jiyeon. Jiyeon balas melototiku. Satu lagi, mata gadis ini sangat tajam.

Dia menyerah dan memberikan makanan itu padaku. “Tsk, cepat habiskan atau kau mau aku menambah pesanan lagi eoh?” ancam Jiyeon menyuruhku untuk segera menghabiskan makanan yang sudah ku pesan tadi.

Jiyeon’s POV

“Tsk, cepat habiskan atau kau mau aku menambah pesanan lagi eoh?,” ancamku setelah beradu tatapan evil dengannya. Sung Je pun menurut, dengan cepat dia menghabiskan makanan yang sudah dipesannya tadi. Aku pun juga segera menghabiskan makanku.

“Ah, kenyangnya.” Aku mengelus perutku yang sudah dimanjakan beberapa makanan. “Sung Je-ya, sering-sering saja kau menyuruhku menunggu kalau setiap kali dibayar dengan traktiran gratis.” Aku menyeruput minuman yang masih tersisa banyak yang belum sempat ku habiskan.

“Tidak mau, sudah cukup makan malam ini saja, Park Jiyeon.” Sung Je memasukan dompet ke dalam saku celananya dengan lemah. Wajahnya benar-benar lucu.
Aku hanya terkekeh melihatnya.

“Kajja, aku tak mau eomma menungguku sendirian di rumah sampai larut malam.”
Aku memutar badanku,

BRUKK!!

“Aww,” pekikku. Aku mengelus hidungku yang berdenyut setelah menghantam tubuh seseorang.

"Yakk, minumanku!” Aku menatap sedih minuman favoritku yang tumpah. “Kau harus menggantinya,” semprotku tanpa melihat siapa yang menabrakku.

“Permisi, Nona. Apa kau tidak melihat akibat dari kecerobohanmu?” tanyanya, suaranya begitu tak bersahabat. Suara seorang namja.

“Jiyeon-ah.” Sung Je memanggilku. Aku memalingkan wajahku ke arah Sung Je. Tatapan matanya memberikan isyarat bahwa aku harus melihat siapa yang ku tabrak tabrak tadi.

Aku memberanikan diri.

“OMO!” Aku terkejut. Minuman yang ku pegang membuat sebuah lukisan cantik di atas kain putih yang dikenakan namja yang berdiri di depanku. Aku pun memberanikan diri lagi untuk menatap wajahnya. Aigoo, tampan sekali. Aku memuji dalam hati. Pabo ya, kau sedang dalam masalah, Park Jiyeon, rutukku.

“Apa aku juga boleh meminta ganti rugi kemejaku juga, Nona?” Namja itu sedikit menunjukkan kepalanya dan menatapku dingin.

Namja ini mengerikan sekali. Aku sedikit mengamati wajah namja ini. Garis wajahnya begitu tegas dan kini rahangnya mengatup keras. Dia sedang marah.

“Mianhamnida,” pintaku sambil nyengir miris.

“Maafkan temanku, Tuan.” Sung Je berdiri di sampingku dan meminta maaf kepadanya.
Namja itu mengamati Sung Je dengan seksama, seperti sedang mencoba mengingat-ingat. Aku masih waswas. Dan Sung Je merasakan ketidaknyamanan ditatap seperti itu.

“Apa kau Kim Sung Je?”

“Ne, maaf , Anda siapa?” Sung Je dibuat pongo. Aku juga.

“YAK, KIM SUNG JE? Kau melupakanku eoh?” Namja itu tiba tiba menjitak Sung Je.

“Hei!” pekikku dan spontan tanganku menarik kerah namja itu, hingga sesuatu yang ia pegang terlepas. Entah itu apa. “Tidak sopan sekali menjitak kepala seseorang yang baru kau temui.”

“Jadi Anda juga sudah bisa bersikap sopan, Nona?” Namja itu melirik ke arah tanganku yang mencekal kerahnya. Aku tetap mempertahankan posisiku tanpa mengacuhkan perkatannya.

“Kau tetap memainkannya sampai saat ini, Cho Kyuhyun?” Aku melihat ke arah Sung Je. Ia mengibaskan sesuatu, sebuah PSP portable. Sung Je tersenyum sumringah.
Sung Je mengenal namja menyebalkan ini? Aku mengedip tak percaya hingga tak sadar tanganku sudah melepaskan kerah namja tadi.

“Maaf Nona, aku ambil sahabatku kembali.” Ia merangkul Sung Je, mengajaknya berjalan dan meninggalkanku sendirian. Mereka asyik membicarakan sesuatu dan semakin jauh meninggalkanku.
Aku semakin pongo dibuatnya.

To Be Continued
 
Last edited:
Back
Top