Melacak Tilas Santri Majapahit

tongbajil

New member
Pada 27 April 2006 saya bertemu dengan seorang penelusur silsilah Kiai Hasan Besari, Tegalsari, Ponorogo; Pak Haris Daryono namanya (ia sendiri berdomisili di Tulungagung). Perjumpaan itu terjadi di rumah seorang sahabat di komplek perumahan Minomartani di Sleman, Yogyakarta. Sungguh pertemuan yang tak disangka-sangka. Sebab saya sendiri sedang mencari informasi tentang pesantren tertua di Jawa. Memang, menurut Martin van Bruinessen, Pesantren Tegalsarilah yang merupakan pesantren pertama di Jawa pada abad 18. Sebab pada abad 17, bahkan 16, tidak ditemukan data otentik yang menunjukkan adanya pondok pesantren. Sekali lagi kabar ini menurut Tuan Martin.
Terkait itu, hal istimewa dari Pak Haris, pertama ia membawa sebendel karya naskahnya, yang rencananya akan ditawarkan ke penerbit di Jogja (malangnya belum ada yang menerima), yang berjudul Dari Majapahit Menuju Babad Pondok Tegalsari. Sungguh, dari naskah ini, saya mendapatkan informasi yang benar-benar baru dan sangat menarik, terutama tentang kronik Gajah Mada. Inilah nukilan dari naskah itu.
Menurut Drs. F.C. Kamari (Kasubdit Jen. Ops Dik Depdik/Dosen Lemhanas RI) menceriterakan pendapat Bung Karno tentang Gajah Mada, bahwa, ?setelah perang Bubat, Gajah Mada melarikan diri ke Sumatera, tetapi tidak begitu lama kembali ke Majapahit dan sebelum sampai di Majapahit tersangkut arus sungai hingga ke selatan. Jadi yang dimaksud sungai itu barangkali adalah Kali Brantas dari Kertosono ke selatan dan yang meneruskan ke Pantai Selatan adalah Sungai Ngrowo di Tulungagung.
Akhir perjalanan hidup Gajah Mada di sekitar wilayah Kediri bisa jadi mengandung kebenaran mengingat: pertama, Kediri merupakan jalur lalu lintas perjalanannya sewaktu meloloskan diri (waktu itu transportasi utama lalu lintas adalah sungai). Kedua, masa kecil pendadaran kanuragannya ada di sekitar Kediri. Ketiga, Gajah Mada pernah juga menjadi Patih di Dhaha Kediri selama 2 tahun (sebelum menjadi Maha Patih Majapahit). Keempat, adanya kemungkinan keberadaan Gajah Mada di Kediri ini disembunyikan dan dilindungi oleh Adipati Patih Demang Panoelar atau Pangeran Demang dan keluarganya di mana kita tahu bahwa keluarga itu merupakan keluarga besar para patih di kerajaan Majapahit. (halaman 107-108).

Hal menarik yang kedua tatkala Pak Haris menunjukkan foto Gajah Mada (dan Sabdo Palon) yang, sekonyong-konyong, membelalakkan mata saya. Wah, ini sungguh berbeda dengan gambar sosok Gajah Mada pada sampul buku Sejarah Gajah Mada karya Muhammad Yamin yang diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka sekitar tahun 1970-an, atau patungnya yang terpahat mentereng di arah utara Embong Tekuk di Jl. Jayanegara di Mojokerto. Sementara foto Sabdo Palon sama sekali saya belum pernah mendapatinya. Kendati kedua foto ini tampak samar, namun barangkali dengan upaya rekonstruksi grafis yang canggih, kedua foto ini bisa kelihatan lebih jernih. Nukilan dari naskah Pak Haris itu sebagai berikut.
Di lembar berikut ini penulis cantumkan foto Maha Patih Gajah Mada versi Mbah Darmo, seorang paranormal dari Dusun Dimo, Desa Babadan Kecamatan Babadan Kabupaten Madiun. Beliau secara kebetulan berpotret bersama dengan murid-muridnya di wilayah Trowulan. Salah satu cetakan kamera mereka menghasilkan dua gambar: Maha Patih Gajah Mada dan Sabdopalon. Kebenaran secara supranatural ihwal dua sosok ini telah ditashihkan melalui 21 tokoh supranatural dari seluruh daerah di Jawa Timur. Sementara kajian ilmiah belum dapat dilakukan. Inilah foto Gajah Mada (halaman 107-108).

Gajah Mada
Hal menarik yang ketiga, sebagaimana penuturan Pak Haris, Gajah Mada seusai perang Bubat, pada tahun 1357, berusaha dibunuh oleh para prajurit Majapahit atas perintah Raja Hayam Wuruk, karena dianggap bersalah memerangi raja dan pasukan Sunda, sehingga Dyah Pitaloka sebagai calon permaisurinya, bunuh diri. Namun akhirnya Gajah Mada berhasil kabur. Selanjutnya dalam Kitab Nagarakrtagama disebut bahwa Gajah Mada meninggal tahun 1364.
Cerita ini semakin memikat saat Pak Haris menukilkan secuplik cerita bahwa ketika menetap di daerah Kediri itu Gajah Mada telah masuk Islam. Berita ini diperkuat dengan diketemukannya situs berujud makam di kawasan komplek pekuburan Islam di Dusun Tukum, Desa Mrican, Kecamatan Majarata, Kediri. Di situs makam itu tertoreh nama Ki Ageng Tukum yang dinisbahkan pada nama muslimnya Gajah Mada. Namun setelah tahun 1920, makam Ki Ageng Tukum tersebut dipindahkan ke Desa Badal, kecamatan Ngadiluwih, Kediri.
Tentu, riwayat ini merupakan versi teranyar (bahkan teraneh) dari kembara Pak Haris. Kendati masih bisa diperdebatkan dari segi waktu ihwal masuknya Islam di Jawa. Yang terang, jika bertolak dari penelitiannya, yang didasarkan pada hirarkhi umum sebuah penelitian, mulai dari data sejarah yang dihimpun oleh para sejarawan, kemudian rujukan dari seabrek kitab babad, lalu cerita tutur, dan yang terakhir bersumber dari cerita rakyat setempat; nyata-nyata menunjukkan ketelatenan dan kegetolan Pak Haris yang memang bukan sejarawan, tapi seorang PNS Pemda di Tulungagung. Namun perkara lain yang terus menggerus saya -- ihwal keajaiban fotografi ini -- kian menenggelamkan saya pada On Photography-nya Susan Sontag yang membabar kemungkinan kehadiran sang kala dari segala masa. Bahwa kecanggihan jepretan fotografer; ibarat pelor pistol yang meledakkan black hole, memercikkan serpihan peristiwa silam ke masa kini yang tanpa sadar lambat-laun memerangkap medan ingatan, imajinasi, dan arketipe optis yang menakjubkan dan tak tergantikan.
Di pengujung pertemuan itu saya sempatkan bertanya untuk yang terakhir pada Pak Haris sebelum dia cabut pulang, ?Mengapa Bapak berjerih susah menggali kerak sejarah ihwal Gajah Mada yang misterius dan yang riwayatnya sayup-sayup samar dan nyaris tanpa jejak itu?? Dia hanya tersenyum tipis lantas berujar, ?Everything is Iluminated! Kau pernah nonton film yang dibintangi Elijah Wood itu kan? Dari situlah keyakinanku semakin tergugah dan trengginas untuk terus menyempurnakan buku ini, Kawan!? Saya terharu sekaligus geleng-geleng kepala, sembari mengangguk takzim padanya.
Selamat berjuang, Pak Haris. Tuhan selalu bersamamu.
 
Thanks koreksinya.
O, tidak juga. Jika menapak tilas asumsinya tilasnya masih kentara. Ibarat kita berjalan di tanah basah, itulah tilas kita yang perlu ditapak jika kehilangan jejak.
Tapi melacak tilas berarti tilasnya susah ketemu. Butuh kerja ekstra keras untuk menemukan tilas itu. makanya, saya menggunakan kata menapak tilas
Gitu bro.....
 
Thanks koreksinya.
O, tidak juga. Jika menapak tilas asumsinya tilasnya masih kentara. Ibarat kita berjalan di tanah basah, itulah tilas kita yang perlu ditapak jika kehilangan jejak.
Tapi melacak tilas berarti tilasnya susah ketemu. Butuh kerja ekstra keras untuk menemukan tilas itu. makanya, saya menggunakan kata menapak tilas
Gitu bro.....


Interupsi Bapak malih tong-tong!!!

Anda masih saja salah
saya menggunakan kata menapak tilas

Dalam kata napak tilas & Melacak tilas bukankah maknanya sama?
Yaitu sama-sama pencarian jejak yang tak terungkap? Lagi pula gak selamanya menapak tilas identik dengan diri sendiri,bahkan masyarakat masih menggunakan kata menapak tilas untuk "mengungkap" jejak tak berujung..

Maap yak gak maksud nyela,Wah postingan bagus Tuh!
 
Bls: Melacak Tilas Santri Majapahit

gajah mada, susan sontag, waktu? wah, wah, wah.... saya penasaran sekali dengan hubungan itu semua. tolong jelaskan pemikiran susan sontag dalam bukunya on fhotography dong , Pak???? apa konsepnya itu berhubungan dengan waktu dan bahkan teori probalitas????? sebelumnya terimakasih
 
Back
Top