Bahasa Kita Brengsek

tongbajil

New member
Belakangan ini saya mengendus trend baru di jagad perbukuan kita. Buku fiksi memang menunjukkan geliat yang menggembirakan. Banyak bermunculan penulis muda berbakat yang meramaikan ranah buku fiksi di bawah umbul teenlit chicklit. hampir menyamai pergerakan buku nonfiksi. Namun sayang, dari sisi kepenulisan, rata-rata buku itu dikemas dengan bahasa gaul. Belum lagi dari aspek penjudulan tak sedikit yang gagah-gagahan dengan memakai bahasa Indonenglish, yakni campur aduk bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.Jadinya, alih-alih menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, buku itu ditulis dengan bahasa gado-gado. Alamak!
Fenomena ini juga saya jumpai ketika mengunjungi pameran buku tersebut, baik di GOR UNY, JEC, maupun Gedung Mandabakti Wanitatama. Jujur, saya geleng-geleng kepala sembari berdecak-decak. Bukan saja karena melihat berjubelnya pengunjung cewek dengan busana modis superketat hingga memicu jakun ini turun naik begitu cepat, tapi lebih-lebih gara-gara mencermati meluapnya buku teenlit dan chicklit dengan judul keinggris-inggrisan dan bahasa gaul.
Lihat saja, buku karya Salim A. Fillah yang berjudul Gue Never Die, Herry Nurdi dengan Why Not? Fiqih Itu Asyik, Imam Perdana dengan Ngefriend Sama Islam, Izzatul Jannah dengan Islam Cool Man dan Islam=Terorisme? So What Gitu Lhoo??!, Muthi? Masfu?ah dengan How to be a Smart Leader. gunung es, selain yang saya sebutkan ini jelas masih banyak lagi.
Betapa lihainya penerbit mencari celah pasar dengan menghadirkan desain buku "menyimpang" seraya menciptakan trend baru. Masih bergelayut dalam ingatan kita beberapa tahun lalu jagad perbukuan sempat dibanjiri oleh buku yang ditulis dengan bahasa seronok dan mengeksploitasi wacana seksual. Larung dan Saman-nya Ayu Utami, Wajah Sebuah Vagina-nya Naning Pranoto, dan Adam Hawa-nya Muhidin M. Dahlan adalah sedikit contohnya.
Kini, trend sudah bergeser. Fenomena buku dengan judul keinggris-inggrisan dan bahasa gaul yang berserakan di rak toko buku menandai sindrom Indonenglish. Keberadaan buku Indonenglish ibarat pisau bermata dua. Kita seolah-olah dipaksa memakluminya sebab segmen pasar yang hendak dibidik adalah kalangan anak dan remaja. Maka untuk menaikkan daya tawar dipakailah bahasa yang sesuai dengan perkembangan kepribadian mereka.
Sepintas buku semacam itu mungkin tidak menjadi persoalan. Sebab yang lebih dikedepankan adalah substansi yang dikomunikasikan dengan bahasa cair dan familier. Buku menjadi tak lebih sekadar replika bahasa oral yang dipakai sebagai media komunikasi sehari-hari. Bahkan, secara sengaja beberapa istilah asing dari bahasa Inggris dengan latah dicomot begitu saja. Kemudian ditulis sebagaimana bunyi pengujaran istilah itu. Friend cukup ditulis dengan fren, nervous ditulis nerfes, dan sebagainya.
Namun siapa yang menduga bila buku Indonenglish bakal berimplikasi serius. Setidaknya, yang tampak nyata adalah hancurnya identitas bahasa Indonesia berikut karakternya. Tanpa disadari, buku Indonenglish menandakan hilangnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar yang telah diperjuangkan mati-matian oleh para pendahulu kita lewat Sumpah Pemuda 79 tahun silam.
Karena itu, saya dapat mengamini bila Bung Pram (dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian!) menuduh bahasa Indonesia sekarang ini jadi brengsek dan tidak berkarakter. Pasalnya, kesucian bahasa Indonesia telah diperkosa oleh penyamun yang menjelma dalam istilah-istilah asing yang diserap mentah-mentah dan bahasa gaul yang amburadul.
Dengan bahasa gaul, kode etik berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam koridor ejaan yang telah disempurnakan serta merta diabaikan. Celakanya, bahasa gaul itu berkiblat pada bahasa kaum muda Ibukota. Tanpa disadari, hal itu merupakan bentuk penjajahan kultural lewat bahasa. Penerbit sepertinya mengabaikan potensi multikultural pembaca. Setiap pembaca mempunyai kultur dan setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi, tergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada. Bayangkanlah, bagaimana perasaan masyarakat Madura saat membaca buku-buku itu. Juga masyarakat lain yang memiliki bahasa keseharian sesuai dengan daerah masing-masing.
Penerbit bisa saja berkilah menerbitkan buku Indonenglish merupakan konsekuensi logis dari globalisasi. Namun seharusnya juga dipikirkan pemaknaan globalisasi seperti itu justru melahirkan efek domino yang fatal. Globalisasi tidak saja melanda Indonesia. Jerman, Perancis, Italia, Jepang, dan Korea?untuk menyebut beberapa contoh?juga tak berkelit dari globalisasi. Akan tetapi, di negara-negara itu globalisasi tidak menyebabkan penginggrisan bahasa seperti di negara kita.
Ini artinya, penerbit harus tampil di garda depan untuk mengawal eksistensi bahasa Indonesia tanpa terinfeksi oleh virus kebahasaan yang bisa mengaburkan identitas bahasa Indonesia itu sendiri. Di samping signifikansi materi, bahasa buku sejatinya mengusung misi edukasi. Apalagi buku Indonenglish dan berbahasa gaul disuguhkan kepada anak-anak dan kaum remaja di mana penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar masih dalam proses pembentukan.
Ketika membaca buku, siapa yang sanggup menghalau bahasa buku tidak melekat dalam jaring-jaring pemikiran mereka? Bahasa buku yang baik akan membias pada konstruksi bahasa yang baik pula. Sebaliknya, buku Indonenglish dan berbahasa gaul dikhawatirkan membuat mereka tercerabut dari akar kulturalnya. Dalam jangka panjang, aspek kebahasaan yang buruk ini akan melahirkan sebuah generasi dengan spesies linguistik baru. Alih-alih bermutu, yang timbul adalah linguistik gado-gado.
Manakah yang lebih penting, mendulang untung ataukah menyelamatkan sebuah generasi yang asing dengan bahasa ibunya sendiri? Mari kita renungkan!
 
Saya pernah mendengar yang seperti itu di radio. Ada orang yang menyebut gaya bahasa tersebut bahasa Ingronesia...
Menurut saya sih ga mungkin mengubah respon terhadap permintaan pasar.
Yang bisa dilakukan adalah selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam karya tulis, tugas2, laporan dan karya2 non-fiksi.
Bahasa Indonesia tidaklah akan hilang. Percayalah...
Yang mungkin hilang adalah bahasa daerah. Sebentar lagi orang Indonesia tidak akan tahu lagi bahasa daerah sendiri. Lihat saja di kota-kota besar sudah banyak orang yang tidak tahu cara berbahasa daerah...
 
karangan mu sangat bagus dan sederhana tapi tepat, ku doakan semoga kamu lbh maju
 
Back
Top