Eureka!

Status
Not open for further replies.

fajarsany

New member
Entah kenapa sore ini teman seangkatan sekaligus sahabatku tapi berbeda jurusan, Arvin datang ke kamar kosanku dengan wajah yang suram. Matanya terlihat berat, dengan kantung mata yang menurun. Mulutnya sedikit membentuk huruf U terbalik. Dia langsung duduk di sampingku, dan meneguk botol minuman di tangannya.

“Ada apa Ar, kamu terlihat kacau?” Tanyaku.

“Ponselku hilang.” Jawab Arvin dengan lesu.

“Hilang dimana dan bagaimana?” Tanyaku lagi.

“Barusan di kelas,” jawabnya, “saat perkuliahan tinggal 10 menit lagi, aku izin ke WC untuk buang air kecil; setelah itu karena waktunya tanggung, aku jajan di kantin, disana bertemu Hasna, adik tingkat, aku kebablasan mengobrol dengannya sampai lewat 15 menitan setelah jam kuliahku selesai.”

Arvin meneguk minumannya kembali dan melanjutkan cerita, “ketika aku kembali ke kelas, teman-teman sudah pulang semua; di parkiran, aku baru sadar kalau ponsel yang aku simpan di tas telah hilang. Pencurinya pasti teman-teman sekelas, siapa lagi kalau bukan mereka, karena sebelum ke WC, ponselku masih ada didalam tas.”

“Bisa saja ada orang lain yang masuk ke dalam kelas, kemudian melihat tasmu sendirian.” Kataku.

“Tidak, aku yakin pencurinya masih teman sekelasku, saat itu lantai-3 sepi, hanya ada kelasku saja. Ketika aku balik lagi kesana juga tidak ada kelas lain yang masuk,” katanya dengan nada kesal, “apa yang aku khawatirkan adalah data-data di dalamnya. Aplikasi penyimpanan dokumenku masih terhubung ke Internet, disana ada dokumen yang menyimpan semua informasi akun-akunku seperti kata kunci dan yang lainnya, termasuk nomor PIN ATM.”

“Itu artinya dia bisa menguasai akun media sosial dan E-Mail-mu!” Kataku memperingatkan.

Aku segera menyalakan Laptop dan menghubungkannya ke Internet, kemudian menyuruh Arvin untuk segera mengganti kata kunci akun-akunnya di Internet.

Setelah membuka beberapa akunnya, tidak ada tanda-tanda si pencuri mengakses akun tersebut. Dari catatan akses, tidak ditemukan aktivitas pengaksesan setelah ponselnya hilang. Arvin mengelus dadanya.

Sayangnya, dia tidak memasang aplikasi keamanan seperti yang aku lakukan pada ponselku. Aplikasi tersebut dapat mengunci ponsel melalui Internet atau SMS. Lebih disayangkan lagi dia sama sekali tidak mengunci layar ponselnya, menjadikannya tanpa pengamanan sedikitpun, dengan data-data berharga di dalamnya.

“Oh ya, sore ini juga aku harus ke kosan Daksa untuk mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan besok,” katanya, “masih ada beberapa akun yang belum kuganti kata kuncinya, sekalian kita lanjutkan disana, kamu ikut denganku.”

Sore itu juga kami berdua meluncur mengendarai sepeda motor masing-masing ke kosan Daksa, teman sekelas Arvin, yang letaknya agak jauh dari kosan kami berdua.

***​

Sesampainya di kosan Daksa, Arvin langsung menanyakan tentang tugas untuk hari esok. Daksa memberikan pekerjaannya yang sudah dijilid warna biru tua.

“Ingat jangan sama dengan punyaku, nanti Pak Dosen curiga.” Kata Daksa.

Kami berada di kosan Daksa hingga malam hari. Saat itu jam tanganku menunjukkan pukul 20.30. Selesai mengerjakan tugas, Arvin menceritakan tentang kehilangan ponselnya.

“Ketika bubaran, aku adalah orang yang pertama keluar dan langsung menuju ruangan BEM di lantai-2, jadi aku tidak tahu siapa orang yang membuka-buka tasmu,” kata Daksa, “sebelum bubaran pun kulihat tidak ada orang yang menyentuh tasmu.”

Aku dan Daksa menyarankan Arvin untuk bersabar, dan segera melakukan penyelidikan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, seperti media sosial di Internet. Beberapa gambar atau baris kata dapat menjadi petunjuk yang berharga. Kami berdua pun ikut membantu.

“Baiklah, sebelum kalian pulang, bagaimana kalau kita cari makan dulu?” Ajak Daksa.

“Oke, setuju.” Kataku.

Kami bertiga berjalan menuju daerah dekat stasiun kereta api yang dipenuhi pedagang makanan. Kami menghampiri sebuah kedai yang cukup besar dan memesan nasi goreng disana.

Selesai makan kami duduk-duduk di depan sambil memesan susu coklat dari seorang pedagang minuman di depan kedai. Suasananya ramai, mata kami sering terpaut pada perempuan-perempuan muda cantik yang melintas.

Tak beberapa lama kemudian datang Faran, masih teman seangkatan kami dan sekelas dengan Arvin dan Daksa. Dia juga memesan minuman.

“Hey Ran, belum tidur?” Sapa Daksa.

“Hey kalian, pertanyaan bodoh... tidur? Tentu saja belum,” jawab Faran, “Arvin, Daksa, kalian sudah mengerjakan tugas untuk besok?”

“Tentu saja sudah, barusan di kos.” Jawab Daksa.

“Baguslah... hey kalian mau lihat sesuatu yang goblok?” Tanya Faran.

“Sepertinya menarik, apa itu?” Tanya Daksa.

“Setelah ini kalian ikut denganku.” Kata Faran.

Selesai memesan tiga bungkus susu soda, Faran mengajak kami ke kosannya yang terletak tidak terlalu jauh dari kedai ini.

“Susu soda ini untuk si Genta dan dua orang temannya yang sedang terbang.” Kata Faran.

“Terbang, maksudmu?” Tanya Daksa.

“Si Genta lagi mabuuuk, dia terlalu banyak menenggak arak dan berperilaku seperti orang gila.” Jawab Faran.

“Apa, seorang Genta mabuk, seorang sosok aktivis seperti dia?” Kata Daksa terkejut, “dia selalu menasihati kita dengan kata-kata bijaknya, aku tidak percaya ini. Baiklah kita lihat seperti apa dia sekarang, aku jadi penasaran.”

“Kamu juga ikut-ikutan?” Tanya Arvin pada Faran.

“Aku? Tidaklah, ketika aku mau meminjam kamera fotografernya, atau DSLR, aku menemukan dia seperti itu,” jawab Faran, “mungkin susu soda ini dapat meminimalisir efek mabuknya. Baru kali ini aku menemukan dia mabuk, entah sebelumnya dia sudah pernah melakukannya berkali-kali, atau baru kali ini saja.”

***​

Kami sampai di daerah kosan Faran yang dekat dengan gedung kosan Genta, dan langsung menuju ke kamar Genta.

Memasuki kamar, aku langsung mencium bau alkohol yang menusuk hidung. Ada tiga botol miras di lantai, mungkin itu adalah arak seperti yang dikatakan Faran. Genta terlihat meringkuk di kasur, tangan kanan memegang dahinya seperti orang yang sedang pusing, kulitnya merah gelap, dan rambutnya acak-acakan. Di sampingnya ada dua orang laki-laki yang sama-sama mabuk, kami berempat tidak mengenalnya, mungkin teman Genta dari kampus lain atau darimana.

Berbeda dengan dua orang temannya yang diam, Genta malah berbicara terus menerus, omongannya melantur kesana-kemari. Faran menyarankan kami untuk mengajaknya berbicara. Karena ini menarik, kami duduk dan mendengarkan Genta yang terus berbicara aneh seperti orang yang sedang mengigau.

Dengan usil, Daksa menanyakan tentang Pak Beni, satpam di kampus yang sering berada di portal, “Bagaimana menurutmu dengan penampilan Pak Beni, satpam kita yang ganteng itu?”

“He... uitu... si ganteng... kumisnya... aku ingin cukur itu kumisnya...” jawab Genta dengan terputus-putus, “emh... portal naikin... tuh gitu buka portal... ayo cepat masuk jangan terlambat!”

“Alamak...” kata Arvin dengan terkejut sambil tertawa kecil, “seperti bukan Genta yang kukenal, jadi seperti inilah orang yang mabuk itu, tapi ini menyenangkan, coba tanya dia lagi sesuatu.”

Ketika Daksa akan bertanya kembali, Genta berbicara lagi sambil tertawa kecil, “Hihihi... sebenarnya kemarin siang waktu tidak ada siapa-siapa, aku membawa si Rukmi ke sini, terus aku pake dia... ternyata udah gak perawan loh... mukanya itu... selama aku pompa... tanpa ekspress... espress...”

“Ekspresi?” Kataku membantu bicaranya yang berat.

“Eu? Eyya... ekspresi maksudnya... tidak ada desahan... tidak ada auh... auh... emh... kurang greget gitu... tap... tapi aku seneng... nikmaaat...” kata Genta.

Kami berempat saling berpandangan dengan heran. Arvin mengatakan kalau Rukmi adalah mantan pacar Genta yang setahu dia sudah putus 2 bulan lalu.

“Tanya lagi ah...” kata Daksa dengan ekspresi greget, “Bagaimana dengan si Arvin, dia ganteng tidak, apa seperti artis-artis Korea itu?”

“Emh... heu... iya ganteng opa, opa... i love you... boleh pegang nggak?” Jawab Genta dengan suaranya yang dikecilkan seperti suara perempuan.

“Goblok...malam ini dia jadi maho.” Kata Arvin.

Kami semua tertawa mendengarnya dan segera membuka bungkusan susu soda untuk diberikan pada Genta.

“Emh... tadi sore pas buburan aku buka tas si Arvin...”

Mendengar itu, Arvin langsung berhenti menuangkan susu soda ke gelas, matanya langsung tertuju pada Genta.

“Eh ada HP, ku ambil aja tuh rejeki...” Kata Genta melanjutkan.

Aku, Arvin, dan Daksa kembali saling menatap, lalu dengan cepat Arvin berkata, “Eureka!” Dengan kedua tangannya saling mengeprok keras, membuat susu soda yang sedang dia tuang tumpah kelantai.
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top