Jangan Mengganggu Tempatku!

Status
Not open for further replies.

fajarsany

New member
Dari balkon indekos, hmmmh... kuhirup udara sore yang sejuk ini dalam-dalam, lalu kupandangi langit di atas yang begitu cerahnya, awan-awan menaungi, langit biru kekuning-kuningan, burung-burung terbang berseliweran di atas, atmosfirnya membuatku merasa nyaman. Setidaknya Bandung masih bisa disebut kota kembang (bunga), meski tidak seperti yang dulu lagi. Banyaknya kendaraan bermotor membuat polusi udara menjadi semakin tinggi.


Plak! seseorang menepuk bahuku, “Dli... wey... menghayati suasana nih?” Ternyata teman indekosku, Hansa.

“Iya nih.” Jawabku.

“Heh, ayo cepetan ke kosan aku, ada jagung bakar!”

“Wah bener? Kamu memang datang disaat yang tepat Sa! Tapi mending dibawa kesini aja deh.” Kataku dengan gembira.

“Boleh, tidak masalah!” Jawab Hansa.

Jagung bakar yang ditawarkan oleh Hansa melengkapi suasana sore ini yang begitu nikmat.

***​

Malam harinya, selepas shalat Isya, aku berada di kamar indekos Hansa untuk bermain game di komputernya. Keasyikan bermain, tak terasa waktupun menunjukkan pukul 12 dini hari.

“Waduh udah jam 00.06, gak kerasa nih Sa, udahan dulu, ngantuk.” Kataku sambil menguap.

Sambil menepuk dahinya, Hansa berkata, “Oh iya, aku lupa ngerjain tugas nih, besok pagi dikumpulin, bentar Dli, kayaknya aku butuh bantuan kamu.”

“Ya elah, besok pagi ada tugas, malemnya baru dikerjain, kebiasaan buruk.” Kataku menyindir.

“Gak banyak sih, cuman ngetik tentang resensi buku, terus tugasnya dikumpulin doang, soalnya dosennya mau ada acara, jadi udah itu beliau langsung pergi, udah gitu aku ke kosan lagi buat molor, gak ada jadwal kuliah lagi, hehe... Makanya sekarang aku berani gadang.” Kata Hansa.

“Jadi sekarang aku harus bantuin gimana?” Tanyaku.

Sambil membuka Internet di komputernya, “Gak susah, kamu bantuin aku nyariin buku apa yang bagus, soalnya kamu seneng baca buku kan, jadi...”

Belum sempat Hansa menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba listrik padam, suasana pun menjadi gelap gulita. Gedung indekos yang kami tempati cukup luas, dengan 2 lantai. Kulihat keluar jendela, ternyata padam dari PLN-nya, karena rumah-rumah disekitar gedung indekospun gelap gulita. Aku teringat dengan sepeda motorku diluar yang belum dikunci ganda.


Hansa menyalakan lampu portabelnya dan menggerutu, “Ah sialan, disaat sedang ada keperluan penting seperti ini, listrik padam!”

“Punya senter gak? Pinjam dulu, aku mau ngunci ganda motor dulu dibawah, takut ada yang maling.” Pintaku, kemudian Hansa meminjamkan senternya.

Kususuri lorong lalu menuruni tangga hingga sampai di daerah parkiran, suasana begitu sepi karena penghuni gedung sedang terlelap tidur. Begitupun dengan daerah disekitar gedung, sunyi. Udara terasa lebih dingin dan gerimis sedang turun. Cahaya bulan tertutup oleh awan-awan tebal.

***​

Setelah mengunci ganda sepeda motor, dan hendak kembali ke kamar, aku mendengar suara bebek dari gudang di sebelah gedung. Bebek darimana? Setahuku pemilik dan penghuni gedung indekos tidak ada yang memelihara bebek, begitupun masyarakat disekitarnya. Lagipula, kenapa bisa ada bebek di dalam gudang? Itu membuatku penasaran, lagipula gudang tersebut bukan gudang yang tidak terpakai, pemilik gedung indekos yang menggunakannya. Timbul juga pemikiran sedikit jahat, mungkin di dalamnya ada barang berharga yang bisa diambil.

Kemudian aku berjalan menuju gudang tersebut yang bangunannya terpisah dari gedung indekos. Kusinari sebuah pintu kecil untuk masuk ke dalam. Ternyata gemboknya tidak terkunci, mungkin pemiliknya lupa mengunci. Pelan-pelan kuambil gembok tersebut dan kubuka pintunya. Kusinari ke dalam, ternyata terdapat sepeda motor bekas, onderdil-onderdil mobil, barang-barang elektronik bekas, dan perabotan rumah tangga lainnya yang tidak terpakai. Tapi sepertinya masih ada yang bisa berguna, pikirku.

Suara bebek tadi tidak terdengar lagi sejak aku mendekati gudang ini, tapi sepertinya bebek tersebut masih ada, terdengar suara derap kakinya dari ruangan kecil di sebelah ujung. Kuhampiri ruangan kecil tersebut, Suaranya berasal dari lubang langit-langit. Kebetulan ada tangga lipat, kuambil tangga tersebut untuk memeriksa lubang langit-langit itu. Lumayan tinggi.

Kusinari setiap sudut loteng itu, tapi tidak ada apa-apa, termasuk bebek itupun tidak ada. Saat itu entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk dan rambutku menjadi tegang, lalu aku merasa panas dingin, sendi-sendi tubuhku menjadi kaku, dan aku merasa linglung. Tubuhku tidak bisa bergerak, tapi aku masih bisa menggerakkan kepalaku perlahan-lahan.

Senter yang kupegang terlepas, dan, brak! Jatuh ke lantai. Kuarahkan pandanganku ke bawah, dan... senter itu menyinari sesuatu. Agak kabur, tapi akhirnya aku bisa melihatnya. Seperti kulit, ada rambutnya, tapi ya ampun... ada darah di lantai, darah itu mengalir dari benda itu... ternyata benda itu... itu adalah kepala manusia yang terpenggal! Tapi dimana wajahnya? Rambutnya cukup panjang acak-acakan, gimbal... oh ya ampun... dia tidak memiliki wajah, wajahnya rata! Kepala manusia yang terpenggal, rambutnya panjang acak-acakan, dan wajahnya rata dengan kulit, tidak ada mata, hidung, ataupun mulut. Namun wajah ratanya itu masih membentuk muka manusia.

Perasaanku benar-benar kacau, aku tidak bisa bergerak sedikitpun, pandanganku tertuju ke arah muka rata itu. Aku tidak bisa merasakan tubuhku, dan pikiranku hanya terfokus pada muka rata itu.

Dan muka rata itupun berbicara dengan bahasa Sunda. Bagian bawah wajahnya dimana terdapat mulut, bergerak-gerak seperti orang yang sedang berbicara pada umumnya. Suaranya serak dan parau.

“Maneh dek naon kadieu? Maneh tong ngaganggu tempat aing, ieu tempat aing!” (Kamu mau apa kesini? Kamu jangan mengganggu tempat saya, ini tempat saya!)

“Naha beut nyieun bangunan ditempat aing hah?” (Kenapa mendirikan bangunan ditempat saya hah?)

“Maraneh teh geura nyingkah tina tempat aing!” (Kalian semua cepat-cepat menyingkir dari tempat saya!)

“Geura nyingkah dina tempat aing! Tong ngaganggu tempat aing!” (Cepat menyingkir dari tempat saya! Jangan mengganggu tempat saya!)

Kalimat terakhirnya sangat keras. Saat itu pula kesadaranku hilang, dan peganganku ke tangga terlepas, aku jatuh ke bawah, ke tumpukan kardus bekas.

***​

Sebuah cahaya terang menyilaukanku. Kubuka mataku, sudah tidak mati lampu lagi. Uh... badanku terasa sakit dan kepalaku pusing. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 3 dini hari. Kulihat sebuah tangga yang mengarah ke lubang langit-langit, senter yang menyala di lantai, dan aku berada di atas tumpukan kardus. Tapi... kenapa aku berada di atas tumpukan kardus? Terakhir kali kuingat aku sedang memeriksa langit-langit itu?

Kupandangi keadaan sekitar, kulihat senter tersebut di lantai, teringat sesuatu... sepertinya aku kehilangan ingatan sebentar. Teung... kepalaku seperti berputar, dan... ya ampun... muka rata itu! Aku segera mengambil senter dan lari keluar meninggalkan ruangan tersebut.

Di pintu gudang, ada seorang bapak-bapak berdiri menghalangi dengan posisi membelakangi. Lari kecilku terhenti, jantungku berdegup kencang, keringat dingin keluar. Dia berdiri dengan tegak, menggunakan pakaian jaman dahulu, pakaian adat sunda.

Jangtungku semakin berdegup kencang dan mataku terbelalak setelah melihat kakinya yang tidak menyentuh tanah, dia melayang sekitar 5 sentimeter dari tanah! Oh ya ampun... entah kenapa tiba-tiba aku menjadi kaku.

Badan bapak-bapak itu berputar menghadapku dengan cepat. Dan sekarang aku bisa melihat wajahnya, wajahnya... wajahnya... rata!

Seketika itu pula pikiranku tidak bisa fokus, tubuhku lemas, dan terjatuh, telingaku mendengung, dan... pandangan menjadi gelap... aku pingsan.
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top