Pelari Rel Kereta Api

fajarsany

New member
Di malam Minggu yang cerah ini, kawan-kawanku, yaitu Didin, Indra, dan Rizal mengajak untuk nongkrong. Katanya Indra akan membawa banyak jagung untuk dibakar, oleh-oleh kemarin dari pamannya.

Rumah kami terletak di desa yang membentang disepanjang perlintasan rel kereta api. Menjadikan suaranya yang bising begitu akrab dengan kami.

Rizal lebih dulu tinggal disini, diikuti Didin, aku, dan Indra. Jadi Rizal lebih tahu banyak tentang desa ini.

***​

“Apa kalian ingin tahu cerita mistis di daerah ini?” Tanya Rizal.

“Tentu, kamu lebih tahu dari kami, ceritakanlah.” Jawab Didin.

Rizal mengunyah jagung bakar di mulutnya, “Di kampung sebelah sana kan ada perlintasan rel kereta api yang tidak bisa dilalui mobil, sebenarnya dulu itu bisa, tapi kemudian ditutup setelah ada kejadian...”

“Kejadian apa?” Tanya Indra.

“Satu keluarga meninggal setelah mobil yang ditumpanginya tertabrak kereta yang melintas. Kalau tidak salah ada 5 orang; ayah, ibu, dua orang anak perempuan, dan seorang anak laki-laki.”

“Kejadiannya terjadi sekitar pukul 3 dini hari. Waktu itu belum ada yang berjaga melewati pukul 12 malam.”

“Mobil tersebut ditutup rapat, dan kemungkinan di dalamnya mereka sedang memutar musik, sehingga suara dari luar tidak terdengar. Akibatnya, ketika mereka melintas, mereka tidak menyadari ada kereta yang datang, dan...”

“Maut pun datang menjemput.”

“Itu terjadi 3 tahun sebelum aku pindah kesini.”

“Berarti sudah lama sekali berlalu. Jadi apa cerita mistisnya?” Tanyaku.

“Beberapa hari setelah kejadian itu, banyak warga yang mengaku sering mengalami kejadian ganjil, seperti mendengar teriakan minta tolong, padahal malam itu tidak ada seorangpun, dan kejadian-kejadian lainnya. Ya...sama dengan cerita-cerita mistis yang berhubungan dengan kecelakaan kereta api.”

Cerita mistis, obrolan favorit para pemuda, selain tentang percintaan. Menurut mereka, obrolan tersebut memberikan energi. Maklumlah, darah muda, darahnya para remaja.

Tak terasa waktupun sudah berjalan sekitar satu jam, jam tangan menunjukkan pukul 23.00. Kami memutuskan untuk bubar.

“Whuuuz!”

Ketika sedang beres-beres, kami dikagetkan oleh Didin yang setengah berteriak, “Wei! Siapa itu yang berlari malam-malam begini, ayo kita kejar!” Tangannya menunjuk ke arah kegelapan, samar-samar terlihat seseorang sedang berlari ditengah rel.

Aku, Didin, dan Indra segera mengejarnya.

Orang itu berlari cukup cepat. Indra mencoba menahannya dari samping, tapi gagal, dia kalah tenaga. Didin yang berbadan lebih besar, memeluk badannya dari belakang, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke tanah di pinggiran rel.

“Ah sial, lumayan sakit!” Rintih Didin.

“Pasti sakit hehehe... tapi caramu menjatuhkan, seperti seorang professional. Darimana kamu belajar itu?” Tanyaku.

“Pamanku... dia... dia seorang polisi. Cepat bantu aku berdiri!” Jawab Didin.

Orang tadi tidak sadarkan diri. Dia seorang bapak-bapak, berusia sekitar 40 tahunan. Kami memutuskan untuk membawanya ke rumah Rizal.

***​

Pagi ini, bapak itu telah siuman. Dia sedang mengobrol di ruang tamu, bersama Didin, Indra, dan Rizal, disertai kopi dan pisang goreng. Bapak itu bernama Rusman.

“Jadi semalam saya mau mancing, terus saya melihat ada kereta yang sedang diam. Saya merasa aneh, kok orang-orang di dalamnya tidak terlihat, termasuk masinis di lokomotifnya.” Kata Pak Rusman.

“Karena penasaran, saya pun naik ke kereta itu. Begitu saya naik, kereta segera melaju.”

Rokoknya dihisap dalam-dalam.

“Di gerbong yang saya naiki, tidak ada siapa-siapa, kemudian saya masuk ke gerbong di depannya, dan...”

Kami semua semakin antusias mendengar ceritanya.

“Disana berjejer penumpang. Ya penumpang seperti umumnya, tapi mereka menunduk semua. Mukanya ada yang ditutupi koran, majalah, sarung, topi, dan yang lainnya.”

“Ketika saya mendekati mereka, ada yang menepuk dari belakang, ternyata kondektur. Tapi dia juga sama, kepalanya menunduk. Tangannya dijulurkan pada saya, tanda meminta karcis.”

“Disitu saya tegang, saya sadar telah menjadi penumpang gelap. Saya berniat kabur, tapi ketika melihat keluar, kereta sudah melaju kencang, mungkin sekitar 80 kilometer per jam.”

“Saya bilang, maaf pak saya tidak punya tiket. Dan saat itulah jantung saya serasa mau copot.” Mata Pak Rusman melotot pada kami.

“Kenapa tuh pak?” Tanya Rizal.

“Si kondektur itu mengangkat mukanya, mukanya itu...”

Kami menelan ludah. Bulu kuduk mulai berdiri.

“Mukanya itu aneh sekali, kulitnya seperti manusia biasa, tapi tidak ada mulut dan hidungnya; matanya dua, bulat besar berwarna merah. Telinganya lancip.”

“Karena kaget sekali, spontan saya langsung meloncat ke belakang. Kepala saya membentur lantai, disitulah saya tidak sadarkan diri.”

Semuanya terpaku tegang. Tanpa terasa, keringat dingin sudah membasahi tubuh.
 
Back
Top