Suvenir Nilam

Status
Not open for further replies.

fajarsany

New member
Pagi itu adalah pagi yang cerah. Orang-orang sibuk memulai aktivitasnya. Jalanan dipenuhi oleh hiruk pikuk kendaraan dan manusia yang berlalu lalang kesana kemari. Semuanya berjalan dengan tertib dan damai.

Namun dalam satu gedung kecil, sepertinya pagi itu bukanlah pagi yang damai. Hawa panas terasa menyebar ke seluruh bagian gedung. Di sebuah ruangan, duduklah seorang laki-laki muda yang sedang dimarahi oleh seorang perempuan berusia 40 tahunan.

“Kamu ini bagaimana, saya kan sudah bilang kalau akta yang untuk Pak Beni itu jangan langsung dicetak, harganya masih belum pasti!”

“Maaf Bu, bukannya kemarin sebelum ibu berangkat, ibu bilang langsung cetak saja yang punya Pak Beni.”

“Kapan saya berbicara seperti itu? Saya tidak merasa berbicara seperti itu. Ah kamu ini jangan sok tau, ikuti apa yang saya suruh, saya kan Bos kamu!”

“Iya Bu maafkan saya, saya salah.”

Setelah selesai dimarahi, laki-laki tersebut kembali ke meja kerjanya.

“Ssst... sebenarnya kemarin, aku juga mendengar si Ibu nyuruh kamu untuk mencetak Akta Pak Beni, bukannya aku tidak mau membantu jadi saksi, tapi kamu tau sendiri kan kalau Bos selalu benar, jangan disanggah.” Kata Bayu sambil berbisik.

“Tidak apa-apa, seperti yang pernah kukatakan, menghadapinya harus dengan penuh kesabaran.” Jawab Farid.

***​

Waktu pun menunjukkan jam 12 siang, waktunya istirahat. Hari itu hanya Bayu dan Farid saja yang bekerja, dua rekan kerja perempuan mereka, Desi dan Rima izin absen dikarenakan ada keperluan.

Ketika sedang makan siang, tanpa sengaja Farid menyenggol gelas disampingnya. Mendengar suara gelas pecah, sang pembantu, Mimin dengan sigap langsung masuk ke ruang makan.

“Waduh ada gelas pecah, jangan bergerak kang, saya ambil sapu dulu.”

“Sepertinya hari ini kamu memang sedang tidak baik.” Kata Bayu.

“Sial.” Farid menundukkan mukanya.

Selesai makan dan shalat Dzuhur, mereka mengobrol dengan Mimin di dapur.

“Hari ini kalian bisa santai, karena Ibu sedang pergi, pulangnya nanti malam.” Kata Mimin.

“Dan ngomong-ngomong, kayaknya tadi pagi Kang Farid dimarahi Ibu ya?”

“Ya, biasalah...”

“Ya biasalah, Bos selalu benar walau sebenarnya beliau yang salah,” Bayu memotong pembicaraan, “mbak juga pernah cerita kan.”

“Ooo... sabar ya kang Farid.”

“Eh, kalian belum pernah masuk ke rumah Ibu ya?” Tanya Mimin.

“Belum, memangnya kenapa gitu mbak?” Tanya Farid.

“Saya mau nunjukkin kalian sesuatu.”

“Tapi kan kita haram memasukinya.” Kata Bayu.

“Disini hanya ada kita bertiga, maka saya halalkan, hehe. Supaya kalian tahu seperti apa Ibu itu. Ayo, mumpung ada waktu setengah jam sebelum kantor dibuka kembali. Eh... tapi jangan cerita ke Ibu ya.”

Rumah Bos terletak tidak jauh di belakang gedung yang menjadi tempat kerjanya, hanya dipisahkan oleh sebuah gang sempit.

“Wuih, ternyata si Ibu punya baju yang banyak sekali. Baru sekarang aku melihat baju sebanyak ini, untuk sendirian lagi. Kayaknya ini dari baju lama sampai baru, lengkap semua ya mbak?” Kata Bayu.

“Iya Kang, waktu pertama kali saya disuruh nyuci oleh Ibu, saya juga kaget sama baju-bajunya yang banyak sekali. Kalau menurut saya sih, baiknya baju-baju yang lama dikasih aja kepada yang membutuhkan, soalnya saya lihat udah jarang dipake.”

“Ya benar.” Kata Bayu.

“Mbak, ini lemari apa ya.” Kata Farid, menunjuk ke lemari besar dan tinggi berwarna hitam.

“Buka aja Kang.”

Ketika dibuka, lemari tersebut menyimpan banyak suvenir, piagam, dan piala yang banyak.

“Itu milik Ibu semua, pokoknya dari awal dia punya dia simpen disitu,” kata Mimin, “pialanya juga banyak kan, itu dari waktu dia masih SMA sampai kuliah. Cenderamata dan piagamnya juga.”

“Semacam tanda kebesaran dan prestasi.” Kata Farid.

Setelah melihat-lihat, Farid mengambil sebuah miniatur menara yang diatasnya terdapat batu nilam.

“Nah kalau ini cenderamata atau apa ya, kenapa tidak ada keterangannya sama sekali, yang lainnya ada?”

“Oh itu saya juga gak tahu Kang. Saya gak berani nanya ke Ibu. Memang itu berbeda dari yang lainnya. Kalo gak salah itu sudah ada disana sejak dua tahun yang lalu.” Jawab Mimin sambil memasang seprai baru ke kasur.

“Sebelumnya cenderamata tersebut Ibu simpen di kantor, tepatnya di ruangan Ibu.”

“Hmmm... oh saya belum pernah cerita ya, waktu itu pernah ada pegawai sini yang namanya Neng Dian. Dia di sini lebih lama dari saya, kerjanya juga bagus, dia jadi asistennya Ibu. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja dia mengundurkan diri.”

“Sempat ditolak oleh Ibu, namun Neng Dian terus memaksa hingga terjadi pertengkaran kecil. Pada akhirnya Ibu mengabulkan permintaan Neng Dian. Duh sampai sekarang saya belum pernah kontak lagi dengan dia. Saya juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja dia berhenti.”

“Keluarnya Neng Dian itu diikuti oleh tiga orang rekannya yang seangkatan, saya lupa namanya siapa aja, tiga minggu setelahnya. Aneh kan? Sama seperti Neng Dian, memaksa gitu. Jadi Ibu nyari pegawai lagi.”

“Tapi mereka semua juga keluar. Padahal setelah Neng Dian keluar, pemasukan bertambah besar, karena klien semakin banyak. Bukan hanya itu, Gaji pegawai, termasuk saya juga dinaikkan. Ibu dan Bapak juga beli mobil baru, anak-anaknya dikasih motor bagus, terus kantor yang sekarang kalian tempati dipugar lagi jadi bagus seperti itu. Pokoknya setelah Neng Dian keluar, ada perubahan drastis.”

“Kalian semua, termasuk Desi dan Rima, adalah pegawai angkatan ketiga setelah Neng Dian keluar.”

“Angkatan ketiga? Berarti dalam rentang waktu dua tahun ini, sudah gunta-ganti pegawai,” kata Farid, “kok sampai seperti itu ya, saya baru tahu.”

Tak lama kemudian, terdengar bel kantor berbunyi, tanda ada tamu yang datang. Bayu dan Farid segera menuju ke kantor.

***​

Sore itu Desi dan Rima membawa dua keresek hitam yang cukup besar kedalam kantor.

“Beuh, itu keresek pasti isinya makanan. Tadi kalian nongkrong-nongkrong dulu ya, terus belanja?” Kata Bayu, “Lama sekali beli pulsanya.”

“Ya begitulah, hehehe...ayo kita santap lumpia basah ini, mumpung gratis, kapan lagi saya baik seperti ini ngasih makanan cuma-cuma. Rim, keluarkan isinya.” Kata Desi.

“Wah lumpia basah, tapi tidak enak kalau makannya harus terburu-buru, nanti Bos keburu pulang.” Kata Farid.

“Tenang saja, barusan Ibu meng-SMS saya, katanya kalau setelah menghadiri rapat di hotel, dia akan kerumah adiknya dulu, itu artinya Bos pasti pulangnya sore sekali atau malam.” Kata Rima.

Bayu terlihat kelaparan, “Yasudah kita santap saja sekarang!”

Setelah makan-makan, ponsel Rima berbunyi, layarnya menunjukkan panggilan dari Bos. Suasana menjadi hening.

“Ibu meminta tolong kita untuk menunggu di kantor hingga jam 7-an, soalnya tidak ada siapa-siapa. Mbak Mimin sedang sakit, Bapak sedang diluar kota, sedangkan anak-anaknya kan kerja diluar kota juga.”

Satu persatu mereka menyatakan tidak bisa berada di kantor hingga malam tiba karena berbagai alasan, hingga tersisa Farid.

“Yasudah biar saya saja yang ngeronda, haha.”

Jam pun menunjukkan pukul 4 sore. Bayu, Desi, dan Rima segera membereskan kantor, kursi-kursi diluar dimasukkan kedalam, tanda ‘Buka’ diganti ke ‘Tutup’. Kemudian mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Tinggal Farid sendirian. Sambil menunggu waktu berlalu, dia bermain game di ponselnya.

Karena mengantuk, tanpa disadari dia tertidur di mejanya.

Diluar, hujan mulai turun dengan perlahan.

***​

“Duar!”

Guntur yang keras membangunkan Farid. Dia melihat jam dinding menunjukkan pukul 5 sore, tapi hari sudah gelap. Awan hitam menutupi cahaya matahari sore. Hujan turun dengan derasnya.

Merasa lapar, dia berniat jajan di warung yang terletak di belakang kantor, berdekatan dengan rumah Bos.

Farid memasuki gang yang membatasi rumah Bos dan kantor. Belum sampai tiga meter berjalan, dia menghentikan langkahnya. Terdengar suara kaca pecah dari dalam rumah Bos. Tak hanya itu, terdengar pula suara pintu dipukul. Setelah itu, semuanya sunyi kembali oleh suara hujan.

Farid merasa ada yang tidak beres didalam rumah Bos. Dia memutuskan untuk masuk kedalam.

Dia mengambil sebatang pipa besi bekas, lalu masuk kedalam rumah melalui kaca ventilasi belakang yang dia bongkar. Jendela tersebut menuju ke gudang.

Di dalam, dia langsung pasang posisi siap memukul dengan pipa besi di tangannya. Matanya tajam mengarah ke segala penjuru rumah.

Setelah menjelajahi isi rumah, dia tidak mendapati seorangpun di dalamnya, juga tidak ada tanda-tanda orang yang masuk, kecuali dirinya sendiri.

Di ruang keluarga, dia menemukan foto-foto yang dipasang di dinding berjatuhan.

“Duak!” Tiba-tiba terdengar suara pintu dipukul dari arah kamar Bos.

Jantung Farid berdegup kencang. Keringat dingin keluar dari sekujur tubuhnya. Wajahnya merah tegang. Dia semakin menggenggam erat pipa besi di tangannya.

“Duk... duk... duk...”

“Duk... duk... duk... duak!” Kini bunyi tersebut kembali terdengar. Lagi dan lagi lebih sering.

Farid mendekat ke arah kamar. Dia menendang pintunya, tapi... tak ada seorangpun di dalamnya.

Matanya langsung tertuju ke arah lemari besar dan tinggi berwarna hitam yang menyimpan suvenir, piagam, dan piala milik Bos.

Dan yang membuatnya terkejut dengan mata terbuka lebar adalah...

Lemari tersebut bergetar-getar hebat seperti ada sesuatu yang berusaha keluar dari dalamnya.

“Brak!” Lemari itupun terbuka.

Sebuah kabut berwarna hitam keluar dari dalam lemari tersebut. Membuat isinya tidak terlihat.

Ketakutan, Farid berniat segera pergi dari kamar itu, namun entah kenapa badannya menjadi kaku, dia berdiri mematung, terus menatap ke arah lemari. Mulutnya masih bisa dia buka untuk berteriak, tapi tidak ada sedikitpun suara yang keluar. Matanya tampak ketakutan sekali.

Saat itu pikirannya teringat kepada cerita Mimin tentang Neng Dian dan pegawai-pegawai lainnya yang memutuskan berhenti bekerja disini secara aneh; juga dengan suvenir nilam yang dia lihat waktu siang itu.

Dalam hatinya dia bertanya-tanya, mungkinkah Mimin sudah mengetahuinya, tapi dia pura-pura tidak tahu, sehingga tidak menceritakan padanya, juga pada pegawai yang lain?

“Tapi Mbak Mimin adalah orang yang ramah, dan murah hati. Dia tidak susah diajak berbicara, apalagi bercerita.” Katanya dalam hati.

Kemudian terdengar suara bisik-bisik dari belakang. Suara tersebut terus membesar dan membesar hingga seperti orang yang setengah berteriak.

Baru saat itulah Farid dapat menggerakkan tubuhnya.

Dan ketika dia melihat apa yang ada dibelakangnya.

Sesosok tubuh raksasa berwarna hitam pekat telah menunggunya. Begitu tinggi hingga kepalanya menyentuh atap. Wajahnya sama hitam pekat dengan tubuhnya. Matanya bulat besar berwarna merah menyala. Tanpa hidung, mulut, dan telinga.

Kali ini Farid tidak dapat mentolerir rasa takutnya lagi. Dia langsung terjatuh ke lantai dan pingsan.

***​

Beberapa hari setelah kejadian itu, Farid tidak masuk kerja sampai seminggu karena demam. Kemudian, dia memutuskan untuk berhenti bekerja. Keputusannya itu menimbulkan tanda tanya besar diantara Bayu, Desi, dan Rima.

Permintaan pengunduran diri tersebut ditolak Bos karena melanggar kontrak kerja. Namun dengan usaha yang gigih, akhirnya permintaan Farid diterima.

Setelah Farid pergi, dua bulan kemudian, secara serentak Bayu, Desi, dan Rima meminta mengundurkan diri secara paksa, yang membuat keributan dengan Bos. Pada akhirnya mereka bertiga pun angkat kaki.

Kekosongan pegawai, kantor tersebut berhenti beraktivitas, dan tak lama kemudian tutup.

Belakangan terdengar kabar bahwa Bos mengalami gangguan jiwa dan menderita penyakit aneh yang tidak bisa dijelaskan secara medis. Hingga akhirnya meninggal dunia. Suami beserta anak-anaknya juga dikabarkan mengalami gangguan dari makhluk halus sehingga memaksa mereka untuk pindah rumah. Setelah pindah, bangunan dan rumah tersebut dibiarkan kosong begitu saja tanpa ada yang mengurus.

Setelah berhenti bekerja di keluarga Bos, Mimin diterima bekerja di sebuah usaha penatu temannya. Tapi tepat dihari pertama dia bekerja disana, malam harinya dia meninggal dunia akibat terjatuh kedalam sumur.
 
Status
Not open for further replies.
Back
Top