Belajar dari Pilihan Jolie

Kalina

Moderator
KOMPAS.com - Langkah mengejutkan diambil pesohor Angelina Jolie, Maret 2015. Setelah dua tahun sebelumnya mengangkat kedua payudaranya untuk mencegah kanker, Jolie mengangkat indung telurnya untuk mencegah kanker ovarium. Sebuah langkah yang, barangkali, tergolong ekstrem sebagai upaya pencegahan penyakit.



Kanker ovarium adalah kanker yang menyerang indung telur dan merupakan kanker ginekologi paling mematikan. Pada stadium lanjut, jaringan kanker bisa menyebar (metastasis) ke saluran tuba, rahim, kelenjar getah bening di perut, bahkan hati dan paru.



Sesuai data Globocan 2012, di dunia setiap tahun sekitar 230.000 perempuan terdiagnosis kanker ovarium. Dari jumlah itu, 150.000 perempuan meninggal dunia. Di Indonesia, dari 10.000 perempuan yang terdiagnosis kanker ovarium setiap tahunnya, sekitar 7.000 perempuan meninggal dunia.



Seperti dimuat New York Times, 24 Maret 2015, Jolie yang kehilangan ibu, nenek, dan bibinya karena kanker menyatakan, keputusannya untuk mengangkat ovarium dan saluran tubanya telah direncanakan jauh hari. Hasil tes darah menunjukkan dirinya membawa faktor risiko, yakni mutasi genetik Breast Cancer Gene 1 (BRCA1) yang diturunkan. Akibatnya, ia memiliki risiko terkena kanker payudara sebesar 87 persen dan kanker ovarium 50 persen. Faktor itu yang membuat ia berani mengambil keputusan melakukan operasi pengangkatan.



Mastektomi ganda telah dilakukan istri aktor Brad Pitt itu tahun 2013. Kedua payudara Jolie diangkat untuk mencegah kanker payudara. Tahun ini, giliran indung telurnya yang diangkat untuk mencegah terjadinya kanker ovarium.



Sebenarnya, kata Jolie, hasil pemeriksaan darahnya menunjukkan, CA-125 dalam keadaan normal. CA-125 adalah protein dalam darah yang biasa dipakai untuk memonitor adanya kanker ovarium.



Akan tetapi, sejumlah penanda inflamasi meningkat dan bisa menjadi tanda keberadaan kanker stadium awal. Terlebih melihat kanker stadium awal, dengan memeriksa CA-125, memiliki peluang 50-75 persen untuk luput. Akhirnya, ia menemui dokter untuk memeriksakan ovariumnya.



Pada kasusnya, ujar Jolie, semua dokter yang ia temui menyatakan bahwa mengangkat ovarium merupakan pilihan terbaik. Sebab, di samping adanya mutasi gen BRCA1, tiga perempuan di keluarga Jolie meninggal karena kanker.



Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) Andrijono mengatakan, ada beberapa faktor risiko terjadinya kanker ovarium, yaitu mutasi genetik BRCA1 dan BRCA2 yang diturunkan, memiliki riwayat kanker ovarium pada keluarga, pernah mengalami dan atau kanker usus besar, faktor usia, tidak pernah hamil, dan endometriosis.



Umumnya, pasien kanker ovarium datang berobat ketika penyakitnya sudah menginjak stadium III. Kanker ovarium tak menimbulkan gejala spesifik saat stadium awal. Gejala yang sering dirasakan, antara lain gangguan pencernaan, kelelahan, dan kembung.



"Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, operasi pasien kanker ovarium ada sekitar empat kali dalam seminggu. Pasien termuda berumur sembilan tahun dan yang tertua berumur 80 tahun," kata Andrijono.



Pengangkatan ovarium, menurut Andrijono, akan menyebabkan terjadinya menopause. Ketika ovarium diangkat, maka kadar estrogen menurun dan progesteron akan menurun drastis.



Beberapa penelitian menunjukkan, akan terjadi penurunan risiko kanker ovarium melalui pengangkatan ovarium sebagai upaya pencegahan (prophylactic oovorectomy). Namun, ada kanker lain yang terkait dengan kanker ovarium atau kanker payudara yang tidak terpengaruh dengan pengangkatan ovarium, yakni kanker selaput lendir perut (peritoneum).



Karena hal itu, para ahli sepakat bahwa pencegahan kanker ovarium dilakukan bila jumlah anak telah cukup. Tindakan pencegahan yang pada umumnya dilakukan ialah dengan kontrasepsi pil, operasi sterilisasi, operasi pengangkatan saluran telur (tuba), dan pemeriksaan ginekologi secara rutin.



Di samping itu, pemeriksaan penanda kanker, CA-125, secara berkala dapat menemukan kanker stadium dini. Pengobatan yang dilakukan pada kanker stadium dini hasilnya akan lebih memuaskan dibandingkan tindakan pada kanker stadium lanjut.



Soal pilihan



Andrijono menambahkan, kini telah ada terapi target sebagai pilihan pengobatan lini pertama. Terapi target bekerja dengan menyerang vascular endothelial growth factor (VEGF), salah satu protein yang mendukung pertumbuhan kanker dengan merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru. Dengan menyerang VEGF, pertumbuhan pembuluh darah baru yang berfungsi mengantarkan oksigen dan nutrisi ke jaringan kanker terganggu. Akibatnya, sel kanker akan mati.



Jolie tidak memutuskan mengangkat ovariumnya semata-mata karena ia membawa BRCA1. Mutasi BRCA1 positif tidak selalu mengharuskan seseorang mengambil tindakan operasi. Masih banyak pilihan. Ada yang mengambil jalan keluar dengan mengonsumsi kontrasepsi pil atau bergantung pada pengobatan alternatif yang dipadukan dengan pemeriksaan rutin.



Jolie ingin perempuan lain yang memiliki risiko yang sama dengan dirinya mengetahui apa saja pilihan yang bisa diambil. Pengangkatan ovarium dan tuba falopi tidak sesulit seperti saat mastektomi. Namun, efek sesudahnya lebih berat. Pengangkatan ovarium memaksanya memasuki masa menopause.



"Saya sudah menyiapkan diri saya, baik secara fisik maupun emosi, diskusi dengan dokter, mencari alternatif pengobatan, dan memetakan kondisi hormon untuk mencari pengganti estrogen dan progesteron," katanya.



Menurut Jolie, ada banyak pilihan cara untuk mengatasi masalah kesehatan. Yang terpenting ialah mengetahui apa saja pilihan tindakan yang bisa diambil dan memilih apa yang sesuai dengan kondisi masing-masing.



Mengangkat ovarium bukanlah keputusan gampang. Meski demikian, ujar Jolie, mereka yang berisiko kanker ovarium bisa bertanya kepada dokter langkah apa yang terbaik dilakukan. Pengetahuan adalah kekuatan.



Bagi Jolie, mencegah kanker ovarium dengan mengangkat indung telur telah memastikan anaknya tidak akan berkata kepada orang lain di kemudian hari, bahwa ibunya meninggal karena kanker ovarium.
 
Back
Top