MENGINAP DI KEBUN TEH WONOSARI

spirit

Mod
PTPN-XII000666-300x200.jpg

Hamparan hijau pohon teh memenuhi pemandangan di Kebun Teh Wonosari Dusun Wonosari Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Hawa sejuk berhembus sepanjang musim di bukit dengan ketinggian antara 950 meter hingga 1.200 meter di atas permukaan laut ini, bahkan di saat musim kemarau. Ada ribuan pucuk daun teh asal India dan Cina berusia ratusan tahun yang bisa dijumpai pengunjung di kebun warisan era kolonial Belanda ini.



Di pagi dan sore hari barisan pemetik teh mulai menyebar di berbagai penjuru kebun. Topi jenis caping yang lebar menutup kepala dan wajah nampak berbaur indah dengan hamparan hijaunya daun teh.

“Saya sudah memetik teh sejak tahun 1985. Pohon teh ini sudah ada sejak kakek saya memetik di sini,” kata pemetik teh bernama Nur Hayati (39).

Dengan cekatan tangannya memetik pucuk teh terbaik dari daun teh di sekitarnya. Di pinggangnya terlilit kantung tepung untuk tempat pucuk daun teh, kantung bagian depan berisi peralatan merumput seperti pisau dan arit. Topi caping melindungi mereka dari sempalan dahan pohon tua yang berdiri diantara rimbunnya pohon teh.

Nur adalah penduduk setempat yang meneruskan profesi pendahulunya. Dia adalah satu dari sekitar 600 pemetik teh di kebun seluas 370 hektare itu. Setiap hari dari pukul 07.00 hingga 15.30 WIB pemetik teh bisa dijumpai pengunjung kebun teh di berbagai sudut sedang memetik teh.

Lobbyrollaashotel_zpsa6540ed9.jpg

Rollaas Hotel & Resort Kebun Wonosari. Foto: Dok Humas PTPN XII

Tumbuh besar di sekitar perkebunan memudahkannya membedakan tiga jenis pohon teh yang tumbuh di lahan tersebut. Teh asal Tiongkok, Camelia sinensis memiliki ciri berdaun kecil sementara teh asal India, Cameli asamica dikenal memiliki daun yang lebih lebar.

Bangunanutamarollaashotel_zps72524667.jpg

Gedung Utama Rollaas Hotel & Resort Kebun Wonosari. Foto: Dok Humas PTPN XII

Teh lokal, persilangan antara teh India dan Tiongkok disebut teh gambung dengan ciri memiliki ukuran daun lebih besar dibandingkan teh Tiongkok namun memiliki rasa khas gabungan keduanya.

“Teh asal Tiongkok itu daunnya kecil, kalau yang daunnya lebar itu dari India. Yang asli sini daunnya tidak terlalu kecil dan juga tidak selebar teh India,” katanya. Bagi pengunjung, tak sulit membedakan mana teh India dan Tiongkok, setelah sejenak berada diantara hamparan teh.

Jika telah puas berkeliling di antara hamparan teh, ada pabrik teh warisan Belanda yang bisa jadi alternatif tujaun berikutnya. Letaknya ada di tengah perkebunan Wonosari. Di pabrik yang beroperasi sejak pukul 20.00 WIB hingga pukul 08.00 WIB ini pengunjung bisa menyaksikan proses pengolahan teh dari bentuk pucuk daun menjadi granul dan potongan teh siap saji kualitas ekspor dan lokal. Teh kualitas ekspor dari Wonosari disebut tak kalah dengan teh produksi Kenya.

Tak sekedar melihat, penikmat teh bisa mencicipi harumnya teh Wonosari kualitas ekspor di Tea House dengan harga Rp20.000 untuk satu teko teh cap Rolas, teh produksi PTPN XII. Tersedia pula teh siap saji dalam kemasan ataupun teh celup untuk dibawa pulang dengan harga antara Rp4500 hingga Rp30 ribu per kemasan.

“Ada tiga jenis teh Rolas, teh hijau, teh hitam dan teh putih. Teh putih yang paling mahal dan paling enak. Dibuat hanya dari tunas daun di pucuk daun teh,” katanya.

petikteh_zps45ceb894.jpg

Pucuk Daun Dipetik di Kebun Wonosari. Foto: Dok Humas PTPN XII

Jika bermalam, pemandangan matahari terbit di puncak bukit Wonosari tak kalah indah dengan pemandangan matahari terbit dari bukit Penanjakan di Gunung Bromo. “Kalau mau jalan jaraknya sekitar 7km dari blok penginapan, ada mobil wisata yang bisa disewa dari harga Rp150 ribu sampai Rp250 ribu dengan paket tur berbeda,” kata Kholis, guide setempat.

Pemandangan Gunung Semeru terhampar di timur Wonosari, sementara pegunungan Arjuna terlihat membentang di barat Wonosari. Pada bagian bawah kebun ada fasilitas tambahan berupa kolam renang lengkap dengan taman bermain. Pengunjung bisa menikmati segarnya air kolam renang yang berasal dari sumber mata air perbukitan setempat.

Peninggalan Belanda

Kebun Teh Wonosari memiliki sejarah panjang, dari jaman pendudukan Belanda, Jepang hingga menjadi aset nasional di bawah pengelolalan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII sampai sekarang. Berada di Wonosari seolah diajak berpetualang ke masa akhir penjajahan Belanda bercokol di Nusantara.

Berawal dari undang-undang Agraria di akhir tahun 1870an, perusahaan NV Culture Maatschappy mulai mengelola Wonosari sebagai kebun Kopi sejak tahun 1875. Nampaknya kopi Wonosari tak sebaik Kopi Dampit, Wonosari lebih cocok menjadi kebun teh di tahun 1910. Hasil yang positif membuat Belanda mendirikan pabrik pengolahan teh di lokasi yang sama tahun 1912.

Di era itu pula Malang berkembang menjadi kota besar lengkap dengan fasilitas Kereta Api dan juga trem yang melintas di tengah kota. Moda transportasi untuk membawa hasil bumi Kopi dari wilayah Dampit, Tapioka di Turen dan juga Teh dari Wonosari.

“UU Agraria membolehkan siapapun termasuk warga Belanda untuk menyewa tanah maksimal selama 75 tahun di Jawa. Malang yang letaknya strategis dan dekat dengan berbagai wilayah subur lain seperti Blitar, Kediri dan Surabaya tumbuh menjadi kota ke dua terbesar setelah Surabaya. Tahun 1882 kereta api rute Surabaya-Blitar dibangun melintas Malang. Ditambah trem, sejenis komuter, rute Tumpang-Turen yang masuk ke dalam kota untuk membawa hasil bumi bagi warga Belanda yang tinggal di dalam Kota Malang,” kata Dwi Cahyono, Pemilik museum Malang Tempo Doeloe.

Selain digunakan sendiri, hasil bumi dari Malang juga dikirim ke Batavia dan juga diekspor ke Belanda. Sementara Kota Malang didesain sebagai kota peristirahatan serta rumah bagi warga Belanda yang telah pensiun, “Mereka yang ingin istirahat atau pensiun dari perkebunan pulang ke Malang,” katanya. Kondisi tersebut menurutnya bertahan bahkan setelah Indonesia merdeka tahun 1945. Belanda mulai meninggalkan Malang tahun 1947.

Belanda lebih awal meninggalkan Wonosari, seperti juga kebun lain, sekitar tahun 1942, ketika kalah dari Jepang. Sejak itu pula Wonosari dikelola oleh Jepang dalam waktu yang cukup singkat, tak lebih dari tiga tahun.

“Tahun 1945 sampai sekarang Wonosari telah dinasionalisasi dan menjadi aset Indonesia,” kata Puji Iskandar, Kepala Wisata Agro Kebun Wonosari.

Namun tak ada yang berubah sejak saat itu. Tahun 1974 PTPN menambah pohon hasil stek sebanyak 30 persen dari lahan yang ada saat ini. Peremajaan berikutnya baru akan dilakukan bertahap mulai tahun depan sebanyak 10 hektar per tahun.

Praktis sebagian besar pohon teh Wonosari berusia 104 tahun sejak ditanam tahun 1910, dan sekitar 30 persennya berusia 40 tahun sejak ditanam tahun 1974,

“Produktivitas teh terbaik didapat dari pohon berusia 15 hingga 30 tahun. Teh di sini semuanya lebih dari itu. Tetapi produktifitasnya tetap terjaga karena pemetik teh tak pernah terlambat memetik pucuk teh setiap harinya,” kata Puji.

Begitu pula pabrik pengolahan teh yang dibangun Belanda tahun 1912. Pabrik itu tetap menghasilkan teh terbaik bahkan diantara PTPN lain di Indonesia hingga saat ini. Meskipun sejumlah mesin baru telah ditambahkan oleh PTPN untuk hasil yang lebih baik. Aksen arsitek Belanda bisa dijumpai di desain interior pabrik, mulai dari lantai pabrik yang terbuat dari kayu khusus, atap pabrik dan juga desain ruangan awal yang tak berubah. Meskipun bangunan luar telah banyak berubah tersentuh renovasi. “Tahun lalu produk teh mencapai 927 ton, tahun ini targetnya 970 ton. 95 persen diekspor ke Timur Tengah dan Eropa,” tambahnya.

Menuju ke Wonosari

Perkebunan Teh Wonosari mudah dijangkau dari pusat Kota Malang, sekitar 40 menit dari pusat Kota Malang jika ditempuh menggunakan kendaraan pribadi. Sekitar 60 menit dari Bandara Abdul Rahman Saleh Malang menuju Lawang, atau sekitar 190 menit dari Bandara Internasional Juanda, Surabaya.

Jika berangkat dari Terminal Arjosari Kota Malang, pengunjung bisa naik angkutan kota dengan kode LA, singkatan dari Lawang-Arjosari dan turun di pertigaan samping Polsek Lawang. Dari sini, pengunjung bisa melanjutkan dengan ojek lokal menuju ke Perkebunan Wonosari, sekitar 7 kilometer dari pasar.

Ada retribusi untuk tiket masuk per orang dipatok sebesar Rp5.000. Harga tiket akan berbeda jika pengunjung masuk dengan membawa kendaraan pribadi.

Wonosari telah dikunjungi ribuan wisatawan setiap tahunnya, baik wisatawan lokal maupun asing. Wisatawan asing, diantaranya berasal dari Belanda, Jerman, Austria, Chili, Cekoslowakia, Perancis, Belgia, Jepang dan Australia. Musim kemarau disebut waktu yang tepat untuk berkunjung ke Wonosari mengingat curah hujan sangat sedikit di bulan tersebut.

Untuk penginapan bagi para pengunjung, selain tersedia dalam bentuk cottage, juga tersedia hotel yang eksotis setara bintang 3, Rollaas Hotel dan Resort, dengan view dari kamar berupa hamparan hijau kebun teh dan gunung Arjuna.


Source: Rollaas
 
Last edited:
Back
Top