Jiwaku Melayang

“Dasar pemerintah nggak becus!” terdengar suara menggerutu. Rois yang sedang menengguk es kopi pahit kesukaannya menoleh ke arah sumber suara. Rupanya suara itu berasal dari teman sekelasnya yang bernama Jayadi. Di sekeliling Jayadi juga terdapat beberapa temannya yang lain. Mereka semua juga ikut membicarakan hal serupa.
“Iya nih, harga BBM naik terus.”
“Habis itu nanti ada pengalihan isu.”
“Ini gara-gara orang-orang pada salah pilih pemimpin, sih.”
Salah satu dari mereka menyadari keberadaan Rois di situ, kemudian menyapanya, “Hai Rois, ayo ikut nimbrung sini!” “Nggak ah, aku nggak ngerti politik!” jawab Rois sambil tersenyum. Temannya membalas, “Yah, kamu ini nggak peduli negara!” Rois hanya tersenyum. Dia menghabiskan minumannya dan bersiap untuk pergi, namun suara Jayadi mengurungkan niatnya.
“Kita demo aja yuk!”
Semua yang ada di situ saling berpandangan, hingga akhirnya terdengar seruan kompak, “Ayo!” Hanya Rois yang tidak menjawab. “Kamu kok diam saja Is? Ikut nggak?” tanya Jayadi. Rois hanya tersenyum sambil menggeleng. “Kenapa nggak ikut? Bukannya Radit yang dulu satu SMP sama kamu bilang kalau dulu kamu sering mengkritik kebijakan pemerintah?” Tri, salah satu orang yang bersama Jayadi bertanya pada Rois. “Waktu itu aku belum tahu” jawab Rois. Jayadi kemudian menebak, “Jangan-jangan presiden yang sekarang itu pilihanmu waktu pemilu dulu ya?” Rois menjawab datar, “Pilihanku waktu itu sama dengan kalian, dia yang akhirnya tidak terpilih.” “Tapi sekarang kamu dukung presiden yang baru kan?” kejar Jayadi. “Aku tidak mendukungnya,” jawabRois tegas. “Tapi, tidak mendukung bukan berarti menolak,” lanjutnya.
***​

Kantin sudah sepi. Perdebatan Rois dengan teman-temannya tadi membuatnya merasa perlu memesan es kopi lagi. Sambil menunggu, ia merogoh bagian kecil tasnya dan mengambil sesuatu. Ia memegang benda itu sambil memandanginya, sebuah pin bertuliskan OSIS SMA Negeri 1 Wibawa. Karena aku tak pantas, pikirnya dalam hati.
“Lagi nostalgia Kak?” tiba-tiba seorang perempuan duduk di sampingnya. Merasa terkejut, Rois buru-buru memasukkan pin yang dipegangnya ke dalam tas. “Kholifah?” sapa Rois. “Lagi mengenang masa-masa di OSIS ya?” tebak Kholifah. Rois diam saja, ia tak tahu harus menjawab apa. “Di OSIS menyenangkan ya Kak, aku dulu juga menikmati banget. Aku bersyukur waktu kuliah di sini aku jadi adik tingkat Kakak dan bisa mengenal Kakak, seorang…” Rois meletakkan gelas yang baru saja diseruputnya ke meja secara kasar, membuat Kholifah tidak meneruskan kalimatnya. Pandangan matanya berubah tajam.
“Diam.”
Rois mengatakannya dengan nada datar, namun dari ekspresinya tampak bahwa ia sedang menahan emosi, “Aku tak ingin mengingatnya kembali.” “Kenapa Kak? Kan keren…?” Kholifah bertanya keheranan. “Kamu tak tahu apa-apa.” Sebelum Kholifah sempat menjawab, Rois meneruskan kalimatnya, “Saat kamu SMA, aku sudah lulus. Kamu belum pernah tahu bagaimana saat aku di organisasi itu”. Kholifah menghela nafas panjang, dia lalu bertanya, “Kakak cinta OSIS?” Rois memejamkan matanya. Ia menjawab, “Justru karena rasa cintaku itulah aku jadi seperti ini”. Mereka berdua pun terdiam dalam sunyi.
***​

Massa sudah berkumpul. Beberapa orang membakar ban di jalan. Beberapa orang lagi merusak fasilitas umum. Salah seorang dari mereka berkoar-koar dengan toa, menebarkan kebencian pada pemerintah, “Kami butuh keadilan!” “Turunkan presiden!” “Negara ini negara demokrasi!” “Dengarkan suara rakyat!”
Rois mengamati teman-temannya yang sedang berdemonstrasi di depan salah satu gedung pemerintah. Dia merasa melihat seseorang yang dia kenal, adik kelasnya saat masih SMA dulu. Dia memfokuskan penglihatannya. Ternyata benar, orang yang dilihatnya adalah Arif, ketua OSIS dari generasi dua tahun di bawah Rois.

Polisi mulai beradu dengan mahasiswa. Mereka mulai saling pukul dan saling hantam. Rois berjalan perlahan, tidak tahan melihat semua kengerian ini. Dia tahu dia tidak akan bisa menghentikan perkelahian, namun setidaknya dia akan mencoba menghentikan teman-temannya. Jayadi yang mengira Rois akan bergabung dengan mereka menyambutnya dengan senyuman.
“Akhirnya kamu sadar juga”, kata Jayadi. “Boleh aku tanya satu hal?” Rois tidak menghiraukan ucapan Jayadi. Jayadi menjawab, “Silakan”. “Seandainya pemimpin yang sekarang lengser dan diganti dengan yang baru, apakah kelak kalian akan menerimanya? Apakah kalian tidak akan demo lagi?” Rois bertanya. “Sudah jadi kewajiban rakyat untuk mengkritik kebijakan pemerintah,” jawab Jayadi. “Artinya siapapun pemimpinnya kalian tidak akan pernah puas kan? Bukankah itu berarti kalian hanya mencari kesalahan pemerintah saja?” kejar Rois. Jayadi hendak membantah, namun dari samping tangan Radit menggesernya. Kali ini Radit yang akan menghadapi perdebatan dengan Rois.
“Bukankah dulu waktu SMP kamu suka mengkritik pemerintah? Bahkan sekarang aku jadi begini pun karena kagum akan pola pikirmu yang dulu.”
“Waktu itu aku belum sadar.”
“Belum sadar akan apa? Sadar kalau membela pemerintah menguntungkan bagimu? Itu artinya kamu hanya seorang penjilat!”
“Aku tak membela siapa-siapa. Pemerintah bisa saja salah. Aku berdiri di pihak yang netral.”
“Kamu tak akan bisa kemana-mana dengan sikap sok netral seperti itu! Kalau menurutmu pemerintah juga bisa salah, kenapa tidak ikut mengkritiknya?”
“Karena aku bukan orang yang pantas untuk mengkritik kepemimpinan seseorang.”
“Kenapa sekarang kamu berpikir begitu? Berbeda dengan waktu SMP.”
“Seandainya saja aku berada di posisi yang sama dengan pemimpin kita, bisakah aku melakukan yang lebih baik darinya? Aku rasa tidak.”
“Huh! Orang sepertimu tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin!”
“Justru karena aku merasa tidak pantas menjadi seorang pemimpin makanya aku bisa bilang begini.”
DOR! Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Rupanya polisi sudah mulai kehilangan kesabaran. Rois yang sedang berdebat dengan Radit pun mengalihkan perhatiannya. Ia melihat sesosok polisi menodongkan senjatanya, ke arah Arif. Dengan sigap Rois pun melompat mendorong Arif tepat bersamaan dengan ditariknya pelatuk pistol. “Argh!!!” Rois terkena peluru di bagian lengan. “Kak Rois!” teriak Arif begitu mengetahui siapa yang menolongnya.
Jayadi dan teman-temannya segera berbondong-bondong mengerumuni Rois. Bagaimanapun juga, Rois juga teman mereka. Radit menelpon ambulans sementara Medi, salah seorang temannya, berusaha memberikan pertolongan pertama pada Rois.
“Kenapa Kak?” tanya Arif yang sama sekali tak menyangka bahwa Rois ada di situ dan bahkan menyelamatkan nyawanya. “Karena… aku… ingin menebus kesalahanku,” jawab Rois dengan terbata-bata. Arif pun bertanya-tanya, “Kesalahan apa? Kakak nggak punya kesalahan apa-apa sama aku!”. “Rois menjawab, “Bukan… padamu. Tapi pada… organisasi,” Jayadi dan teman-temannya terheran-heran. Organisasi apa yang mereka maksud? Akhirnya ambulans pun datang dan Rois segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.
***​

Rumah Rois terlihat sangat ramai. Puluhan tamu duduk berjajar di kursi. Di antara mereka tampak Jayadi, Tri, Radit, Medi, Kholifah, dan Arif. Dari kabar yang sempat mereka dengar, nyawa Rois tidak sempat diselamatkan. Ia meninggal dunia karena kehabisan darah, namun dengan senyuman di wajahnya.Radit menunduk lesu, teringat perdebatan terakhirnya dengan Rois. Di depannya Arif sedang berbincang-bincang dengan seseorang.
“Kak Alfi, sebenarnya apa maksud penebusan yang dibilang Kak Rois waktu itu?”
“Kamu tau bagaimana sifat Rois?”
“Mestinya dia orang yang berwibawa, bertanggungjawab, disiplin, dan mempunyai sifat-sifat baik yang dibutuhkan seorang pemimpin kan? Dia kan pernah jadi ketua OSIS?”

Radit mendongakkan kepalanya. Ia kemudian menanyakan pada orang yang sedang berbincang dengan Arif, “Rois pernah jadi ketua OSIS?” Orang yang ditanya mengangguk. “Jadi itu sebabnya dia sudah tidak pernah lagi mengkritik kepemimpinan seseorang?” duga Radit. “Karena dia pernah merasakan betapa beratnya menjadi seorang pemimpin,” jawab Alfi. Kemudian ia melanjutkan, “Apalagi bagi orang seperti Rois yang kekanak-kanakan dan tak pernah bisa serius. Banyak yang bilang kalau di antara seluruh generasi OSIS di SMA kami, masa kepemimpinan Rois lah yang paling buruk. Generasi-generasi di bawahnya pun sudah tidak bisa sebagus generasi-generasi terdahulu lagi, dan Rois menyalahkan dirinya sendiri akan masalah ini. Dia meyakini bahwa dialah yang menyebabkan kehancuran OSIS SMA kami.”
“Tapi kalau dia merasa bersalah pada OSIS, kenapa dia selalu bilang kalau dia tidak pernah ikut organisasi? Bukankah itu artinya dia tidak mengakui OSIS?” tanya Radit. Alfi memejamkan matanya sejenak, “Sebaliknya, dia bilang begitu karena rasa cintanya kepada OSIS,” Melihat ekspresi wajah Radit dan Arif yang keheranan, Alfi melanjutkan, “Selama ini dia berpikir kalau dia adalah aib OSIS. Karena itu berusaha menjaga nama OSIS dengan merahasiakan bahwa dia pernah jadi ketuanya. “Lalu soal penebusan itu?” tanya Arif. Alfi menjawab, “Dia pernah bilang bahwa mungkin satu-satunya cara menebus kesalahannya pada OSIS adalah dengan nyawanya. Bisa jadi dia berpikir bahwa dengan mengorbankan nyawanya untukmu yang juga pernah menjadi ketua OSIS, dia telah menebus kesalahannya.”
Radit dan Arif tertunduk. Radit sangat menyesal bahwa perdebatan terakhirnya dengan Rois adalah tentang kepemimpinan. Sementara itu, Jayadi yang duduk di sebelah Rois sedari tadi mendengarkan percakapan mereka bertiga. Ia memukulkan tangannya ke kursi dan berbisik, “Selamat jalan, Rois. Maafkan aku.”
---***---​
 
@RereTawa

mohon kerjasamanya, jangan posting kata: "baca baca" atau "nyimak" karena itu termasuk spam. Ga usah posting kl hanya baca2. Biar threadnya direply user lain. Ak dapat banyak keluhan dari user lain jika banyak thread yg isi komennya "baca baca atau nyimak"

thx atas perhatiannya
 
Back
Top