Gerhana Kesehatan: Ketika Kedokteran Medis Berhadapan dengan Penyehat Tradisional

Kalina

Moderator
KOMPAS.com - Tulisan ini memang diawali saat gerhana matahari yang menghebohkan layaknya pandemi. Matahari yang tertutup bayangan bulan sebagai kegelapan temporer, dipahami manusia beribu tahun dengan sudut pandang transendental – ketimbang fenomena metafor tentang segala sesuatunya yang terjadi di kehidupan sehari-hari, termasuk kesehatan.



Sama seperti matahari sebagai kontributor keberlangsungan hidup, tubuh manusia saat masih ‘berfungsi baik-baik saja’ alias dianggap sehat, maka keberadaannya seakan terabaikan.



Tapi, begitu keberadaan kondisi sehat itu hilang, maka kondisi gerhana pun muncul. Dari kegalauan hingga kehebohan untuk kembali memperoleh kesehatan diupayakan apa pun caranya. Walaupun kadang telat. Karena gerhana kesehatan yang muncul sekarang berupa kanker, stroke, diabetes, hipertensi, yang diikuti kegagalan berbagai organ.



Bedanya dengan gerhana matahari sungguhan, gerhana kesehatan kerap tidak jelas kapan berakhirnya.



Hilangnya kepercayaan pada kedokteran medis

“Kegelapan” gerhana juga bisa diibaratkan seperti kembalinya jaman jahiliah, ketika ilmu kesehatan yang jujur dan benar dikuasai oleh kembalinya ilmu-ilmu kepercayaan yang belakangan ini kembali marak.



Maksudnya? Bukan rahasia umum lagi, banyak kelompok masyarakat yang mulai kehilangan kepercayaan dengan ilmu kedokteran konvensional – atau lebih dikenal dengan istilah kedokteran medis.



Informasi berat sebelah yang mendiskreditkan tindakan medik, menakut-nakuti publik untuk menghindari standar pengobatan yang telah mendapat pengakuan ilmiah, bahkan lolos kajian etik.



Kegemparan kasus ruang praktik yang dihembuskan media sosial dan mendapat cap malapraktik yang belum terbukti, menambah kekisruhan berita.



Yang semakin membuatnya tidak adil, kadang ada sepotong situasi yang tidak diungkap dan ditelusuri. Padahal, itu sumber perkara yang sebenarnya.



Keluguan cara pikir rakyat yang tidak mengecap pendidikan tinggi, ditambah orang-orang di sekitarnya yang sengaja mengambil keuntungan dari kasus malapraktik, kian menambah panas masalah.



Ketidakmampuan membedakan, akibat tindakan pembedahan dan malapraktek yang sesungguhnya, menempatkan hubungan dokter bedah dan pasiennya di dua kutub yang saling berseberangan.



Komunikasi, cara menyampaikan dan kelugasan bahasa – bila perlu rekaman penjelasan saat dokter berhadapan dengan pasien dan keluarganya memang akhirnya menjadi kunci.



Sehingga, tidak ada lagi pertanyaan curiga, mengapa awalnya hanya nyeri perut dengan dugaan perlengketan usus, tapi akhirnya harus mengangkat ginjal sebelah. Awam sulit membedakan, antara infeksi biasa dengan kanker yang mengalami penyebaran ke organ tubuh lain.



Kompleksnya tindakan, ketaatan berobat dan mahalnya biaya, apalagi harus berhadapan dengan repotnya BPJS, membuat orang melirik ke tawaran lain yang lebih menarik, instan, kelihatan mudah dan sesuai ‘adat-istiadat’.
 
Peran penyehat tradisional

Penyehat tradisional (Hattra) yang secara hukum kesehatan mengelola area preventif dan promotif akhirnya bermetamorfosis menjadi pengobat, penyembuh dengan janji-janji selangit serta iklan bombastis merambah ke area kuratif.



Tak jarang, banyak yang menyerang dokter secara frontal, dengan garang menyebut tindakan medis sebagai pembunuhan atas nama ilmiah.



Anehnya, para “penyerang” ini justru berdandan mirip dokter di iklannya. Bahkan, meminjam istilah-istilah kedokteran sebagai nama penyakit, yang mereka sendiri tidak pernah mempelajarinya secara formal.



Aturan main dan perijinan dianggap permainan pemerintah menghalang-halangi ranah tradisional. Padahal, penyehat tradisional dan pengobat tradisional menempati kewenangan dan jenjang pendidikan yang berbeda dengan ujian kompetensi yang berbeda.



Ketidaktahuan awam dimanfaatkan, bahkan dokter-dokter yang tak laku praktik direkrut sebagai pelindung klinik – hingga dokter tidak lagi praktik sesuai kompetensinya, melainkan jadi kepanjangan tangan pemilik klinik yang sesungguhnya.



Gerhana semakin gelap, karena dokter dengan modalitas lain di luar ilmu medik tidak paham, bahwa mereka hanya dianggap legal jika telah memiliki sertifikat kompetensi tambahan sesuai modalitas lainnya, yang dikeluarkan organisasi profesi berwenang.



Habis gelap, terbitlah terang mengakhiri gerhana bisa saja terjadi, jika penghormatan atas keilmuan masing-masing tercipta. Tanpa harus ‘menyebrang’.



Penyehat tradisional maupun pengobat tradisional sesungguhnya memiliki manikam yang amat berharga, bahkan tak kalah ilmiah dibanding ilmu medik barat.



Sayangnya, penghargaan atas manikam tersebut belum berwujud pohon keilmuan, yang bisa dipertanggungjawabkan dan mampu menunjukkan bukti signifikan secara ilmiah.



Lemahnya riset dan kemampuan melakukan kajian pustaka, membuat banyak orang dengan mudahnya mencaplok informasi-informasi yang bersliweran di dunia maya – yang di negara asalnya justru menjadi bahan tertawaan.



Hanya dibutuhkan ketekunan, keuletan, setia pada keilmuan, seorang cendekia mampu membuat dasar keilmuannya berdiri tegak, diakui secara terhormat dengan logika berpikir. Sebaliknya, keserakahan atas kekuasaan dan lahan mata pencaharian, akhirnya mencoreng nilai etika dan keluhuran ilmu pengetahuan.



Tak dapat dipungkiri, ranah kesehatan adalah area ‘basah’ – dimana saat kesehatan seseorang terancam, maka ia akan mempertaruhkan apa pun agar tidak kehilangan nyawanya.



Pelayan kesehatan yang sesungguhnya adalah mereka yang melakukan kebaikan dengan cara yang benar. Sebaliknya, semua tindakan yang benar pun harus mengandung nilai kebaikan, terutama bagi orang-orang yang dilayaninya.
 
istilah baru lagi nih: Gerhana Kesehatan

di indonesia utamanya d pedesaan lbh memilih obat tradisional daripada obat dari dokter. Pertimbangannya simple aja, krn murah.
 
Back
Top