Berbalas (Part 2)

ZenZubair

New member
Hari sudah sore, ini adalah waktu pertemuan itu. Haris segera menghubungi Sintya dan menanyakan apakah dia mau diantar ke sekolah atau mau sendiri. Melalui facebook Haris memberi pesan pada Sintya. Ternyata, Sintya ingin diantar ke sekolah karena tak ada tumpangan. Walaupun sebenarnya Haris tidak suka mengantarnya bertemu dengan Bumi, tetapi dia sudah terlanjur tidak ingin membuat gadis cantik itu membenci dirinya. Oleh karena itu, Haris setuju untuk mengantarkannya. Walau hanya mengantar tapi dia bahagia karena sudah membuat gadis itu tersenyum, walaupun dia tahu senyum itu bukan untuk dirinya. Seketika pulang dari masjid, Haris bersiap-siap untuk mandi dan memakai pakaian keren, tak tahu kenapa dia ingin memakai kemeja kotak putih yang tak pernah dia pakai sama sekali sejak pertama kali ia membelinya. Dia tahu ini bukanlah kencan dengan seorang pacar yang diidamkannya, melainkan ini sebuah kesedihan, karena mengantar orang yang ia sayangi kepada orang lain.
Semua orang pasti sakit hatinya ketika mengantarkan sosok yang dicintai untuk berkencan dengan orang lain. Itulah yang mungkin sama dirasakan oleh Haris. Selesai semua dirasa sudah pas. Haris mengeluarkan motor bebeknya itu. Dan berangkat kerumah Sintya. Haris tahu rumah gadis itu ketika berbalas pesan di facebook tadi. Dengan hati yang tak karuan dia berangkat pukul 4 sore. Setelah beberapa menit, dia sampai di depan rumah yang tidak terlalu besar, temboknya dicat warna putih bersih, dan lantainya bersih. Dalam hati Haris, betapa beruntungnya orang yang berhasil mendapatkan Sintya. Dia pun turun dari motornya dan berjalan ke pintu rumah itu seraya mengetuknya.
“Assalamualaikum,” kata Haris sambil ia ketuk pintunya.
“Waalaikumsalam,” seseorang dengan suara pelan menjawab dari dalam.
Sungguh terkejut dia ketika tahu siapa yang membuka pintu. Itu adalah ibunya gadis itu.
“Cari siapa Nak?” kata ibu Sintya.
“Sintyanya ada Bu?” kata Haris.
“Sebentar, dia sedang ganti baju!” kata ibu itu.
“Sintya…. ada temanmu!” kata ibu itu berteriak.
“Ya Bu, sebentar,” kata Sintya dari dalam.
“Nak, duduk saja dulu! Mau minum apa?” kata ibu Sintya.
“Oh, Terima kasih Bu. Tidak usah repot-repot, cuma sebentar kok,” Haris berkata dengan suara pelan.
“Kalau begitu, Ibu tinggal kebelakang dulu. Sebentar lagi Sintya juga muncul,” Ibu itu berkata lantas meninggalkan Haris sendiri.
Haris tentu tak merasa bosan, ketika harus menunggu Sintya, gadis yang disukainya. Dia hanya tak sabar melihat gadis itu ketika di rumah. Apakah tetap cantik sama seperti di sekolah? Ataukah biasa saja? Itu yang ada di benak Haris. Sejenak ketika Haris membaca buku yang ada di rak samping di mana dia duduk, seseorang membuka pintu kamar dari dalam. Wah, ternyata dia sangat cantik saat sudah berdandan, benar-benar cantik yang tidak ada duanya. Memang benar Sintya pantas jika menjadi kekasih Haris, jika saja Sintya menyukainya.
“Ris, yuk! Kamu udah salat belum?” kata Sintya dengan lembut.
Terenyuh hati Haris mendengar apa yang dikatakan Sintya itu.
“Sudah kok, jika belum salat mana berani aku ke sini,” kata Haris dengan terpanah melihat wajah gadis itu.
“Maksudnya?” kata Sintya tersenyum.
“Ah, Sudah… yuk!” kata Haris.
“Kalian mau ke mana?” kata ibu Sintya.
“Bu, Sintya pergi sebentar Bu, tak sampai malam. Jam 5 sudah pulang kok,” kata Sintya.
“Ya, tapi inget, jangan sampai maghrib apalagi malam. Tak baik laki-laki dan perempuan berduaan berlama lama di luar sana. Nanti bisa timbul masalah,” kata ibu Sintya.
“Ya Bu, Sintya pamit dulu,” Sintya berkata sambil mencium tangan ibunya.
“Pamit Bu,” kata Haris dan juga mencium tangan ibu itu.
“Hati-hati, jaga Sintya, jangan macam-macam. Ingat, jangan sampai malam,” Ibu itu memberi pesan pada Haris.
Mereka pergi ke sekolah untuk menemui Bumi. Di perjalanan tak henti-hentinya Haris membayangkan bahwa Sintya itu kekasihnya. Dan sekarang ini adalah kencan pertamanya. Namun, semua itu hanya harapan dan mimpi, sebentar lagi Sintya akan lenyap dalam kehidupan Haris. Tak tahu apakah Haris mampu mengikhlaskannya atau tidak. Ketika sampai sekolah, Bumi belum di sana. Katanya sebentar lagi dia datang, Haris tak tega meninggalkan gadis itu sendiri, dia takut terjadi apa-apa dengannya. Haris memutuskan untuk membiarkan Sintya masuk ke dalam, dan menunggu di dalam. Sementara itu, dia menelepon Bumi untuk agar ketika sudah sampai sekolah masuk ke dalam langsung.
Tak lama ketika pergi meninggalkan Sintya di sekolah, Haris melihat seseorang mengendarai motor sport berlawanan arah ketika dia meninggalkan Sintya di sekolah dan menuju rumah. Haris berhenti sebentar, di perhatikan betul orang itu, sekelebat, Haris tak menyangka dia adalah Bumi. Laki-laki itu mau bertemu dengan Sintya, tetapi dengan membawa seorang cewek lain. Dalam hati Haris, apakah itu pacarnya? Haris yakin sekali bahwa itu pacarnya Bumi. Wah, gawat, Haris tak tinggal diam, ini pasti akan ada masalah, dia memutuskan untuk tidak meninggalkan Sintya, dia akan memperhatikannya dari jauh. Dia tinggalkan motornya itu di tepi jalan raya menuju sekolah. Lalu, di melangkah mendekati sekolah. Dan dia berdiri di belakang pohon besar yang ada di samping sekolah.
Tak percaya, Haris benar-benar terkejut. Seharusnya dia melarang gadis itu untuk bertemu Bumi. Pria itu berani sekali menyakiti hati Sintya. Dia sepertinya baru saja membentak Sintya. Haris memperhatikan itu dari jauh. Setelah puas membentak Sintya. Bumi akhirnya pergi meninggalkan gadis malang itu sendirian dengan menangis di depan sekolah. Haris tak kuasa melihat gadis itu menangis, ingin rasanya dia memukul orang itu, dan membuatnya babak belur karena menyakiti Sintya. Namun, itu hanya omong kosong belaka, karena dia tak berani berkelahi dengan orang. Dengan cepat Haris menuju motornya, untuk segera menghampiri Sintya. Ketika melihat Sintya menangis dia juga bersedih. Dia berhenti di depan Sintya, tapi seolah-olah tak tahu kejadian tadi.
“Kenapa menangis?” Haris berkata dan turun sambil bersedih.
“Yuk, kita pulang!” Sintya mengatakan itu dengan terus mengusap air matanya.
“Usshh, tenang dulu, jangan nangis. Aku juga sedih jika kau menangis seperti ini,” kata Haris sambil mengusap air mata Sintya.
“Yuk, kita pulang!” kata Sintya sambil memeluk Haris.
Haris ingin menolak pelukan itu, dia ingat pesan ibunya Sintya tadi. Tetapi, dia tak tega dan mau bagaimana lagi, kasihan sekali Sintya itu. Dengan perasaan bersedih, Sintya dan Haris menuju rumah. Tetapi, Sintya tak ingin kesedihannya itu diketahui ibunya. Dia meminta Haris, untuk pergi dulu ke pantai sebentar melepas kesedihannya. Haris menetujui hal itu, tapi dia tak ingin lama-lama. Haris takut dimarahi ibunya Sintya. Akhirnya, memutar arah motornya ke utara menuju pantai. Haris tahu apa yang harus dilakukannya. Mereka menuju pantai yang memang terlihat sedang sepi, karena ini bukan hari libur. Ketika sampai di sana, Sintya meminta untuk turun dan meminta Haris untuk menemaninya duduk di bangku tepat di depan hamparan ombak laut yang menggulung di sore itu. Haris tetap turuti apa kemauan gadis pujaannya itu. Dan mereka saling mengobrol di bangku itu.
“Sudah jangan sedih begitu, pria itu ternyata tak pantas untukmu. Tapi, dia tak seharusnya melakukan hal ini padamu,” Haris berkata sambil mengusap-usap rambut Sintya yang sedang bersandar di bahunya. Mereka seperti seorang pasangan kekasih, padahal bukan. Haris tahu, Sintya hanyalah temannya, tetapi dia tak tahan jika Sintya diperlakukan seperti ini. Walaupun dengan kesedihan, Haris merasa senang karena bisa berduaan dengan Sintya walau sebentar.
“Apa, yang harus aku lakukan sekarang. Mungkin tak ada laki-laki lain yang suka denganku,” Sintya berkata dan berdiri melangkah menuju ombak pantai dengan meneteskan air mata. Haris berlari menghampiri gadis itu, seraya berkata, “Tenanglah, sesungguhnya kau adalah gadis yang sempurna, mana mungkin tak ada satu pun yang suka padamu,” sambil dia pegang kedua tangan Sintya dengan kedua tangannya.
“Andai saja, ada yang bisa menggantikannya,” Sintya berkata dan membalikkan badannya serta melepaskan tangan yang sedang dipegang Haris. Dia melangkah menjauhi Haris begitu saja.
“Aku. Aku suka padamu Sintya!!!” kata Haris dengan berteriak dan tersenyum.
Sintya menoleh ke belakang dan memandang Haris. “Kamu?” kata Sintya dengan pelan.
“Ya, aku yang sebenarnya menyukaimu, bukan Bumi. Surat yang kau temukan itu adalah dariku!!!” dengan berteriak Haris menjawab. “Surat? Kamu yang telah memberikan surat itu padaku?” kata Sintya.
“Ya, benar sekali. Tapi kamu malah mengira surat itu dari Bumi,” Kata Haris.
“Harusnya kamu kasih nama surat itu. Dari siapa, jadi aku gak salah paham begini. Tak ku sangka kamu yang selama ini ingin membuat aku bersedih! Dulu kamu pernah bilang bahwa nggak mau membuat perasaanku sedih, terus tadi sebelum ke sini kamu juga ikut sedih. Ternyata, itu hanya omong kosong! Kamu benar-benar jahat!” dengan hati kesal, Sintya memukul-mukul dada Haris.
“Bukan itu maksudku,” kata Haris, belum sempat melanjutkan kalimat itu Sintya memotongnya.
“Sudah! Jangan bohong! Aku kecewa sama kamu, sejauh ini aku selalu menggapmu sebagai sahabat terbaikku!” kata Sintya dan mendorong Haris hingga terjatuh dan meninggalkannya.
“Tunggu!! Sintya!!” kata Haris meneriaki Sintya yang sudah menjauh.
Dengan perasaan kesal, sedih, kecewa. Sintya pergi berlari meninggalkan Haris. Haris mencoba mengejarnya, dan tiba-tiba melaju dengan cepat mobil sedan dari arah barat dan menabrak Sintya, lalu mobil itu berhenti. Saat itu juga, Sintya sudah tak sadarkan diri, tubuhnya berlumuran darah. Haris terkejut melihat Sintya terkapar tak berdaya di tengah jalan. Sementara itu, pengendara mobil itu membawa Sintya ke rumah sakit, dan Haris mengikuti mobil itu ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Haris tak henti-hentinya sedih menangisi Sintya. Di melihat wajah cantiknya sudah tertutup oleh lumuran darah.
Wajah gadis cantik itu sudah memperihatinkan. Haris tetap merasa bersalah, karena dialah penyebab semua ini bisa terjadi. Dia tak tahu harus berbuat apa sekarang, apakah dia harus menghubungi ibunya Sintya ataukah tidak? Haris bingung, tapi dia tahu harus melakukan itu. Ibunya Sintya perlu tahu apa yang terjadi dengan anaknya itu. Haris berusaha untuk tenang, dengan menelepon ibu Sintya. Setelah terhubung, Haris dimarahi habis-habisan, dia tahu dia salah. Haris mendengar tangisan ibu itu sampai ke hatinya. Dia mengaku salah pada ibunya, dan ingin meminta maaf. Tetapi, ibu itu sudah terlanjur benci dengan Haris. Mata Haris berkaca-kaca mendengar tangisan ibu tadi.
Setelah beberapa menit, dokter ke luar dan memberitahu sebuah kabar buruk pada Haris. Sintya, gadis cantik itu sudah meninggal begitu saja. Haris teramat sangat menyesal, tak kuasa ia menahan tangis dan memukul-mukul tembok, dan berkata, “Ini semua salahku! Bodohnya aku, sampai-sampai mengakibatkan dia meninggal sia-sia,” Haris berteriak dan menunduk. Dia lalu ke dalam untuk melihat Sintya terakhir kalinya. “Sayang…. maafin aku,” Haris berkata tertatih-tatih dan mengelus rambut Sintya serta mencium keningnya yang sudah lagi tak berdaya.
Setelah itu, dia ke luar meninggalkan rumah sakit itu. Karena dia tahu jika bertemu dengan ibunya Sintya di sini akan jadi masalah. Dia memutuskan untuk pergi dari sana. Ketika sudah di luar, dia melihat ibu itu ke luar dari mobil, dan bukan hanya ibu itu. Banyak sekali keluarga yang menjenguk Sintya. Haris merasa takut, dan segera mengambil motornya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Hari yang sudah gelap ini, menambah gelap hati Haris. Dia tak lagi bisa berharap untuk bisa mencintai Sintya sepenuhnya. Dan yang dirasakannya sekarang ini hanya kesedihan yang tahu kapan habisnya. Gadis cantik nan saleha itu sudah pergi untuk selamanya.
 
Back
Top