Pertemuan Dengan Muka Rata

fajarsany

New member
Cerita ini adalah kisah nyata yang dialami oleh seorang sepupu teman saya ketika sepupunya itu masih mesantren di salah satu pondok pesantren yang ada di wilayah Bandung pada tahun 2003 lalu. Saat itu dia duduk di kelas 3 MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), dan menjadi anggota organisasi santri (sama dengan OSIS di sekolah umum) bagian BLAT (Bagian Listrik Air dan Transportasi).



13 tahun yang lalu, kondisi pesantrenku saat itu tidaklah seperti sekarang ini. Dalam penglihatanku, sekarang seperti kota kecil yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan megah. Di siang hari, bangunan-bangunan tersebut terlihat elegan dan kokoh dengan warnanya yang didominasi warna biru. Ketika malam tiba, lampu-lampunya yang berwarna-warni tampak gemerlapan seperti di kota-kota pada umumnya. Tidak ada bagian-bagian yang gelap, semuanya sudah tersinari cahaya lampu; kalaupun ada yang gelap akibat lampunya putus atau rusak, itu tidak akan lama karena cepat diganti oleh pengurus pondok. Kamera CCTV hampir terpasang disetiap bagian-bagian penting. Jalan-jalan yang dulunya masih banyak yang kumuh, apalagi ketika musim hujan, sekarang sudah tidak ada lagi karena semuanya telah di beton atau di paving block. Semuanya telah berubah menjadi indah. Jika memikirkan masaku saat itu, kemudian membandingkannya dengan saat ini, aku merasa sedih; betapa enaknya santri-santri sekarang karena fasilitasnya yang melimpah, apalagi sekarang sudah ada internet dengan media sosialnya dan tentu saja smartphone, dan berbagai teknologi canggih lainnya, sedangkan aku dulu? Kamera digital pun masih barang mahal dan langka. Ya... setidaknya itu dalam anggapanku.

Bandung, Nopember 2003, saat itu adalah liburan panjang pertengahan tahun yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Jadi seminggu sebelum hari Idul Fitri tiba, pondok meliburkan santrinya selama sebulan. Kami biasa menyebutnya: perpulangan Idul Fitri.

Tapi, tidak semua santri pulang ke asalnya masing-masing, karena kelas 6 dan kelas 5 (setingkat dengan kelas 3 dan 2 SMA) diharuskan melaksanakan piket pondok. Mereka yang tidak bisa melaksanakan piket pondok, diharuskan membuat surat pernyataan. Ada 4 kelompok yang masing-masing masa tugasnya adalah satu minggu. Santri bebas memilih kelompoknya, dan itu dilakukan seminggu sebelum liburan panjang tiba. Aku memilih kelompok-1 yang bertugas di minggu pertama liburan panjang, tepatnya ketika bulan Ramadhan tersisa 1 minggu lagi. Biasanya mereka yang memilih kelompok ini adalah yang domisilinya di Bandung Raya, tak peduli dia pribumi atau pendatang.

Bagiku, piket pondok adalah saat yang menyenangkan, karena seperti camping. Kami bebas melakukan apapun di pondok, asalkan tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak pondok atau mengganggu Kamtibmas pondok dan masyarakat sekitar. Pondok menjadi seperti rumah kami yang besar, dengan fasilitas camping tentunya. Kami pun bisa bebas keluar pondok dan menjelajahi lingkungan sekitar, asalkan ketika waktu pengabsenan hadir, dan tidak semua anggota meninggalkan pondok. Pengabsenan dilaksanakan ketika selepas shalat shubuh dan isya yang diimami langsung oleh pimpinan pondok (kiai). Untuk santri putra, terdapat 3 Rayon (sama dengan blok dalam perumahan), yaitu Rayon A, B, dan C. Rayon A dan C memiliki dua pos, sedangkan Rayon B hanya satu; itu karena Rayon A dan C memiliki gerbang yang menghubungkan dengan luar pondok. Aku kebagian di pos Rayon A yang diposisikan dekat asrama santri, tepatnya di panggung yang biasa dipakai untuk menampilkan acara-acara kesenian atau pengumuman penting bagi santri putra.

Hari ke-4, sekitar pukul 23-an, aku merasa seperti bukan di malam hari, tidak terasa kantuk sedikitpun; malah badan terasa segar. Aku yakin ini efek kopi hitam yang kuminum 3 jam lalu. Di pos, aku dan dua orang temanku sesama kelas 6, dan tiga orang kelas 5 sedang menonton TV yang dibawa oleh salah seorang temanku yang domisilinya tidak jauh dari pondok. Saat itu TV-nya masih berjenis tabung. Teman posku sesama kelas 6 yang lain ada yang sedang sibuk mengecat lemarinya, dan ada yang sedang berkumpul mengelilingi api unggun sambil ngobrol-ngobrol dengan santri lainnya di lapangan kecil dekat jemuran.

Pukul 2 dini hari, aku keluar dari pos untuk mengambil beberapa buku komik di kamarku yang terletak di Rayon B, tepatnya di kamar khusus bagi bagian BLAT. Bukan hanya komik, tapi beberapa buku bacaan lainnya yang sudah aku bawa sebelumnya sebagai persiapan untuk membunuh waktu selama piket pondok.

Saat hendak keluar dari kamar, datang seorang santri kelas 5 mengatakan bahwa di kamar mandi hurufL (disebut demikian karena jejeran kamar mandinya jika dilihat dari atas membentuk huruf L), tiga kamar mandinya yang terletak diujung tampak gelap, karena lampunya putus atau bagaimana. Saat itu jika dibandingkan dengan sekarang, kondisi kamar mandi hurufL di malam hari terkesan angker. Posisinya yang terletak diantara Rayon A dan B, lebih rendah dibandingkan tanah sekitar, bersebelahan langsung dengan selokan besar (tersambung dengan sungai Citarum), lantainya yang keramik merah, dindingnya yang agak kumuh berlumut, langit-langitnya yang bilik bambu, dan rerumputan disekitarnya yang lebat benar-benar membuat merinding. Tapi sebagai seorang pengurus, aku tidak boleh takut apalagi malas. Aku kesana seorang diri sambil membawa peralatan kelistrikan dan tiga buah bohlam yang masih berjenis pijar.

Sesampainya disana, benar saja ketiga kamar mandi tersebut masing-masing bohlamnya putus. Ketika aku hendak memasang bohlam di kamar mandi yang ketiga, aliran listrik dari PLN ke pondok terputus, suatu kejadian yang biasa terjadi di pondok. Suasana menjadi gelap total, apalagi aku berada di dalam ruangan; diluar hanya ada penerangan dari sinar bulan, itupun kalau langit cerah. Aku tidak berani bergerak karena ditakutkan terjatuh ke bawah. Kemudian aku mengambil senter yang kugantungkan di sabuk. Sayangnya setelah kunyalakan, senter tersebut tanpa sengaja jatuh ke bawah, karena aku kurang kuat memegangnya.

Saat kulihat kebawah, senter tersebut menyinari sesuatu; bukan sebuah kotak penyimpanan alat mandi, atau benda lainnya. Aku heran karena benda itu berbulu, setelah kuperhatikan lebih seksama lagi (karena mataku sedikit minus), ternyata itu adalah sebuah kepala! Ya sebuah kepala buntung yang wajahnya menghadap ke lantai. Tidak ada darah yamg terlihat, hanya rambutnya yang hitam gimbal acak-acakan. Tak sampai 5 detik jantungku sudah berdegup kencang dengan keringat dingin yang keluar deras dari seluruh pori-pori tubuh membasahi celana, baju, dan mukaku. Aku mencoba teriak dan bergerak, tapi aku tidak bisa, sekujur tubuh seakan membatu, telingaku juga berdenging tidak bisa mendengar suara diluar. Hanya mataku saja yang bisa digerakkan dan berkedip. Selama 6 tahun aku mesantren disini, aku sudah mendengar banyak sekali cerita mistis, tapi baru kali ini aku mengalaminya sendiri.

Mataku masih tertuju pada kepala buntung itu. Lalu, kepala itu berputar menghadapkan wajahnya kearahku. Dan aku bisa melihat wajah kepala buntung itu... rata! Maksudku bukan rata datar, tapi rata tanpa mata, hidung, mulut, dll. Seperti orang yang menutup kepalanya dengan kain yang biasa dipakai maling, namun tanpa ada lubang sedikitpun. Kulitnya putih pucat dan dekil karena menyentuh lantai yang sedang kotor oleh bekas langkah kaki-kaki santri.

Kemudian, si muka rata itu berbicara dalam bahasa Sunda kasar yang artinya adalah menyuruhku memperingati para santri yang menggunakan kamar mandi disini agar tidak suka ribut seperti bersiul, nyanyi-nyanyi, bercanda ria, dan keributan yang lainnya, karena itu sangat mengganggu dia. Kalau masih suka ribut, maka dia akan mengganggu santri tersebut saat sedang menggunakan kamar mandi ini. Suaranya berat seperti bapak-bapak berusia 50 tahunan, dan aku bisa melihat di bagian yang seharusnya terdapat mulut, bergerak-gerak saat dia sedang berbicara.

Senter itupun mati, dan aku kembali tidak bisa melihat apapun. Beberapa detik kemudian, lampu menyala, lalu badan dan pendengaranku pulih kembali. Terdengar suara generator diesel yang sangat bising diluar. Kami biasa menyebutnya: genset. Tangan kananku masih memegang bohlam yang hendak dipasangkan. Kepala buntung bermuka rata tadi sudah tidak ada.

Selesai mengerjakan tugasku itu, aku kembali ke kamar bagian BLAT untuk menyimpan peralatan. Aku tidak bisa tidur hingga waktu shalat shubuh tiba. Selesai shalat shubuh dan pengabsenan, baru aku bisa tertidur pulas di kamar hingga dibangunkan oleh temanku pada pukul 13.30-an. Dia bertanya kenapa aku tidak berada di pos, aku langsung saja menceritakan apa yang tadi malam baru kualami. Temanku itu kemudian mengajakku ke pos, dan kebetulan disana ada seorang kakak alumnus pondok yang rumahnya masih di sekitaran pondok. Aku menceritakan kejadian tadi malam (yang membuat santri kelas 6 dan 5 disana melongo). Kakak alumnus tersebut kemudian menceritakan bahwa tanah kamar mandi huruf L tersebut dulunya adalah sebuah pekuburan tua misterius, yang mana tidak ada seorang warga pun yang mengklaimnya. Ketika hendak dibangun kamar mandi huruf L, beserta lapangan untuk jemuran di depannya, pekuburan tersebut dibongkar. Saat itu kakak alumnus tersebut masih duduk di kelas 2, dan dia melihat banyak sekali tulang belulang manusia. Setelah dibongkar, bekas pekuburan tersebut lalu diuruk.

Kini meskipun belasan tahun sudah berlalu, aku tidak akan pernah melupakan pengalaman mistis tersebut.
 
bagus cara nulis nya brooo,,
alur ceritanya bisa di ikuti,, coba nulis tentang cerita lain broo, soalnya cerita mistis itu terkadang seakan akan lebih mengarah ke imajinasi dan khayalan rasa takut aja,,

coba menulis kisah yang membuat orang bisa berpetualang dengan pikirannya setelah menbaca tulisan itu,
 
Back
Top