Gunung Pembuktian

fajarsany

New member
Pagi itu, Deni, Khairul, dan Radit telah berkumpul di rumah Amir.

“Selamat datang semuanya, maaf kalau rumahku berantakan, lagipula ini bukan rumahku. Aku lebih suka menyebutnya posko, hehehe...” kata Amir, “baik, kita mulai saja sekarang.”

Mereka berempat kemudian berangkat dengan berjalan kaki.

Sampailah mereka di perkampungan bawah gunung. Deni dan Radit tampak kelelahan. Botol minum yang mereka bawa telah habis, sedangkan Khairul masih tersisa setengahnya.

“Aku sudah bilang agar banyak makan, minum, dan istirahat sebelum hari pendakian tiba, supaya tidak repot ke kaliannya. Deni, Radit, katanya ini pendakian keempat kalian?”

Mereka berdua hanya mengusap keningnya yang berlumuran keringat.

***​

Malam pun tiba, sampailah di pertengahan gunung. Mereka mendirikan tenda dan bermalam disana sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya. Amir, Dani, dan Khairul berkumpul mengelilingi api unggun.

“Radit dimana ya?” Tanya Khairul.

Deni mengintip ke dalam tenda, “Tidur!”

“Padahal jam di tanganku belum sampai angka 9, dia sudah tidur. Atau memang jamku yang salah?”

“Tidak... tidak salah,” balas Amir, “mungkin jam dia yang terlalu maju.”

***​

Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan. Deni dan Radit tampak ngos-ngosan, sedangkan Khairul terlihat ceria sambil bernyanyi kecil.

“Bagaimana kalian tidak lelah, padahal kita baru saja istirahat, sedangkan kalian mengemut permen? Kemarin sore sebelum berangkat kan aku sudah mengingatkan.” Kata Amir.

Khairul mengeluarkan bungkusan berisi beberapa gula merah, lalu menyodorkannya pada Deni dan Radit.

“Tidak usah, aku juga bawa.” Kata Deni.

“Nah, itu kamu bawa kenapa tidak diemut?” Tanya Amir.

Deni tersenyum, “tadinya aku mau, tapi setelah melihat permen Radit, aku jadi tertarik.”

“Uh... gula merah, aku tidak suka rasanya, terlalu manis.” Kata Radit.

***​

Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, sampailah di tujuan utama, puncak gunung. Wajah mereka berempat terlihat ceria ketika menyaksikan pemandangan kota dari atas, dengan kabut putih yang menutupi wilayah perhutanan di sekitarnya.

“Syukur, kita sampai di puncak sesuai rencana.”

Kemudian Khairul duduk di sebuah batu sambil melihat pemandangan. Sesekali dia memotret dengan kameranya.

Radit menulis sesuatu di kertas, kemudian memotretnya bersama pemandangan. Deni pun meniru, tapi dengan kata-kata yang berbeda, “Indonesia itu luas, jangan cuman diem dirumah.”

Amir tertawa melihat mereka berdua.

***​

Lima hari kemudian, Deni, Khairul, dan Radit berkumpul kembali di rumah Amir.

“Selamat sore, mohon maaf bang Amir tidak bisa hadir, dia ada halangan, jadi diwakilkan pada saya.”

“Langsung saja, setelah kami bermusyawarah, maka yang lolos masuk kelompok pecinta alam ini adalah...”

“Khairul.”

“Apa...” kata Radit, “apa alasannya?”

“Ya, kenapa?” Tambah Deni.

“Lelaki tersebut terdiam sejenak, “saya tidak bisa memberitahukannya, biar bang Amir saja nanti yang bicara.”

Radit mendekat, lalu berdiri seperti orang yang menantang.

“Ayolah, kemarin aku sudah bersusah payah mengikuti ujian tersebut, masa aku tidak lulus?”

“Hmmm...”

“Baiklah.”

“Alasannya karena...” lelaki itu membuka kertas, “Deni, ingin menjadi pecinta alam karena ikut-ikutan saja; sedangkan Radit, karena ingin mempecundangi orang lain.”

“Mempecundangi? Aku tidak mengerti ini!” Kata Radit dengan tinggi.

“Ya, aku juga tidak mengerti ikut-ikutan saja bagaimana?” Tambah Deni.

“Saya sudah memberitahukannya, jika ada yang mau protes, besok pagi bang Amir sudah kembali, saya hanya melaksanakan tugas saja. Terima kasih.”

Lelaki itu kemudian langsung pergi tanpa menghiraukan Deni dan Radit yang menggerutu.
 
Back
Top